Decakan kagum dan raut wajah bahagia tak luntur dari seluruh manusia yang singgah di lapangan desa lumayan luas ini. Tidak terkecuali aku, gaun putih lusuh yang kupakai bergerak seirama dengan hembusan angin malam yang menerpa.
Sedangkan tangan kiriku yang terus ditarik Winda agar lebih dalam memasuki kerumunan manusia sama sekali tak membuatku kesal. Senyumanku merekah, sesekali melempar tatapan kagum pada penduduk asli desa ini yang mentapku dengan tatapan bingungnya. Mungkin, merasa tak pernah melihatku di desa ini.“Kak, itu lampionnya.” Winda menunjuk kerumunan manusia di ujung lapangan yang menjual lampion berbagai warna dan motif yang berbeda.
Aku mengangguk, lantas membiarkan tangan kiriku kembali ditarik gadis kecil berusia dua tahun lebih muda dariku menuju kerumunan manusia itu.“Yang mana, Kak?’ tanya Winda. Kedua tangannya menujukan lampion dengan warna dan model yang berbeda.Aku menimang sebentar, kemudian menunjuk lampion berwarna merah d
Entah, rasanya kurang mengenakan bila setiap bab cerita yang kutulis bukan perihalmu yang pertama aku utarkan.Ada bagian dari diriku yang menolak dan tidak terima hal kecil itu selalu menjadi kebiasaan.Mungkin, kebiasaan kecil itu bisa menjadi bemerang yang meneyerangku kala lengah. Melupakanmu misalnya, atau malah dirimu yang tiba-tiba amnesia dan berlagak tak lagi mengenalku ebagai manusia lain yang terjebak bersamamu di dunia pikiran.Tha, bilamana ada bagian dari diriku yang kurang mengenakanmu, yang menjadikanku jahat dalam cerita versimu, walau rasanya tidak mungkin ... kemungkinan itu pasti ada. Dan sialnya manusia sepertiku tak pernah berkehendak untuk menyangkalnya.Satu bagian cerita ini kutulis cuma-cuma tentang pertemuan pertama kita di dunia pikiran.Kala itu, yang kita berdia rasakan hanyalah keterkejutan dan rasa penasaran yang menggelora dada. Tak ada rasa menggelitik yang kau rasa atau tasa tak nyaman dan ingin pu
Suara pluit menggema disusul dengan suara ceburan peserta ujian akhir.Aku menatap Joo yang menjadi salah saru peserta yang baru saja memulai praktek berenangnya, laki-laki itu tampak tenang mengayunkan tangan dengan sesekali memunculkan wajah ke atas permukaan.Lee, gadis cantik seumuranku yang duduk di bangku samping kiriku sesekali bertepuk tangan dengan senyuman lebar merekah. Netranya sama sekali tak bergulir ke arah lain, fokusnya hanya pada Joo sejak laki-laki itu menceburkan diri ke kolam renang.Tanpa sepengetahuan Lee, aku tersenyum tipis. Ikut andil merasa bahagia yang setara mengingat kedekatan dua manusia yang dulunya menolak bersama.Joo dan Lee semakin dekat, tak ada canggung ataupun rasa sebal yang terasa bila menghabiskan waktu bersama.Benar kata Athala, segalanya memang perihal waktu saja."Joo, semangat!" seruan kencang Lee kembali terdengar. Aku mendengus kala merasakan telingaku berdengung kare
“Lu, akhirnya kau bangun,” pekikan kencang Lee samar-samar kudengar.Perlahan kedua mataku terbuka sempurna setelah beberapa detik mengerjap. Dengan perasaan yang tak bisa di deskripsikan dan ditambah lagi rasa pening pada kepala bagian samping. Lengkap sudah rasa sakit yang kurasa.“Shh, dimana ini Lee?” tanyaku dengan suara serak dan dahi yang bergerut bingung.Tubuhku yang semulanya bergerak ingin bersandar pada ranjang langsung ditahannya, membuat tubuhku dengan sangat terpaksa kembali berbaring di ranjang kecil dan bantal yang kurasakan empuknya.“Kau ada di klinik dekat pelatihan renang,” ujar Lee memberi tahu. Tangannya menodorkan segelas air putih, membantuku untuk meneguknya perlahan hingga air pada gelas bening itu tersisa setengah.“Kau selalu membuatku khawatir, tahu!” seru gadis itu cukup kencang setelah tangannya meletakan gelas pada nakas samping brangkar.Aku terkekeh menanggapinya, sedikit meringis kala nyeri pada kepala kembali teras
Jalan takdir kan memang seperti itu, Tha. Kita sendiri kadang tak mengerti bagaimana alur dan cara menyelesaikannya. Bahkan, kapan dimulainya saja sulit untuk diri kita ketahui.Terlepas dari hal-hal berbau menyebalkan yang bisa saja merenggut apa yang ada di sekitar, bab kali ini lagi-lagi kupersembahkan untukmu. Juga untuk kisah kelabu kita yang belum sempat dirundingkan namanya.Namun, tak pernah terlintas hal-hal menyebalkan yang bisa saja mampir dalam siklus hidup, Tha. Mungkin karena sepenuhnya hidupku hanya berada dalam pusaran milikmu dan dunia pikiran. Terlepas dari dua hal itu, tidak kuanggap sebagai alur kehidupan.Juga kehadiran fanamu, manusia lain yang secara tak sengaja singgah dan merajut kenangan bersama denganku di dunia putih. Memang sempat menyesal bisa berada di awang-awang dunia lain, tetapi sekarang yang kuraskaan hanya sesal yang mendesak raga.Kini rasa sebal yang selalu menghampiri kala tubuhku terenggut begitu saja saat wakt
Aku terkekeh, merasa tak percaya akan kalimat tanya yang baru saja di lontarkan Athala. Lelucon macam apa ini?Apa dia anggap aku gadis kecil yang mudah sekali di bohongi?Demi apapun, lelucon yang baru saja dilontarkannya hanya kalimat singgat. Tetapi mengapa aku merasa lucu dan sesak sekaligus, tuhan?Tidak mungkin jika…,“Kau tidak mengenalku?” tanyaku hati-hati. Dalam hati, aku berharap Athala menjawabnya dengan kalimat menyenangkan yang bisa mengembalikan moodku yang kini meluruh karena ucapannya waktu lalu.“Tidak, aku tidak mengenalimu sama sekali. Maaf, mungkin kau salah orang,” ujarnya enteng dengan satu alis yang terangkat.Harapanku diluruhkannya begitu saja, tubuhku terkuai lemas, terjatuh di atas rerumputan hijau di dunia pikiran dengan padangan kosong menerawang, berniat memikirkan apa yang baru saja terjadi.Bagaimanaa raut wajah Athala yang serius, bola mata yang tak ada celah sedikitpun kebohongan, juga tubuh rileksnya yang tampak baik
Ujian Nasional datang, merasa tak ada yang perlu kukhawatirkan perihal hal ini. Mematangkan pikiran dan berusaha untuk tidak memikirkan hal lain yang bisa saja mengganggu konsentrasi mengerjakan soalku nantinya.Tha, aku tak bisa berbohong juga perihalmu. Untuk sekarang, satu-satunya cara agar tetap fokus dalam mengerjakan ujian selama satu minggu ini, hanya bergantung padamu. Sebisa mungkin menghindari keberadaanmu walau berada dalam dunia yang sama, dunia pikiran.Seperti sekarang ini, aku berjalan mengendap-ngendap berharap tak mendapati tubuh tegap Athala yang pasti berada di dunia pikiran ini.Aku menghela napas lega, tak ada yang perlu kukhawatirkan setelah berhasil melewati jalan panjang penuh kerikil untuk sampai di goa kecil yang ada di ujung dunia pikiran cukup luas ini.Aku menyandarkan tubuhku pada batu besar yang ada di dalam goa berukuran kecil ini, kedua kakiku kuluruskan dengan napas yang sedikit terengah-engah.Perjalanan awal hingga sampa
Ujian nasional tak membuat tubuhku memilih berhenti untuk berenang.Kini, bersama Joo dan Lee berada di dalam kolam renang dalam pemanasan.Sesekali wajah kami tampak di permukaan, menghirup udara sesekali sampai suara pluit mengudara.Joo lebih dulu naik ke atas permukaan, kemudian menarik Lee lebih dulu. Setelahnya, mereka menarikku dengan satu tangannya masing-masing.Kelas pagi hendak di mulai, memaksa seluruh manusia yang turut serta berukumpul di titik kumpul untuk mendengar pidato singkat dari sang pelatih.Begitupun diriku, Lee, dan Joo, mulai melangkahkan kaki dan langsung memposisikan tangan istirahat di tempat.Hampit lima belas jam mendengar Pak Yandi—pemilik gedung ini, berceloteh panjangg yang dikiranya singat. Cukup membosankan bagi semua murid, termasuk diriku."Joo, kau memakai mobil hari ini?" tanyaku dengan satu alis terangkat setelah kami dibubarkan untuk pemanasan personal.&
“Lu! Kau ini aku cari-cari sedari tadi. Dari mana saja kau?” Lee berlari kecil menuju ke arahku dengan dua buku yang ada dalam pelukannya.Aku meringis tidak enak, tatapan gadis itu kurang mengenakan. Lee memang sudah membertahukanku sebelumnya bila gadis itu sedang mengalami datang bulan.Mungkin itu salah satu sebab yang dimungkinkan perihal Joo mengiyakan permintaan aku dan Lee untuk pergi ke toko buku. Ah, laki-laki itu pasti tidak ingin membuat mood Lee berantakan hanya karena tolakannya.Aku menggaruk tengkuk belakang lebih dulu, “Aku tak sengaja ditabrak orang beberapa waktu lalu,” ujarku menjelaskan. Setidaknya berusaha agar raut wajah tak mengenakan yang masih terpancar pada wajah gadis itu sirna.Dua detik setelah penjelasan singkat itu terlontar dari mulutku, kedua mata Lee membola dengan sempurna. Gadis itu maju satu langkah, mendekat ke arahku kemudian meraih lengan ntanganku untuk diperiksanya walau sedikit kesusahan ka