Ujian nasional tak membuat tubuhku memilih berhenti untuk berenang.
Kini, bersama Joo dan Lee berada di dalam kolam renang dalam pemanasan. Sesekali wajah kami tampak di permukaan, menghirup udara sesekali sampai suara pluit mengudara.Joo lebih dulu naik ke atas permukaan, kemudian menarik Lee lebih dulu. Setelahnya, mereka menarikku dengan satu tangannya masing-masing.
Kelas pagi hendak di mulai, memaksa seluruh manusia yang turut serta berukumpul di titik kumpul untuk mendengar pidato singkat dari sang pelatih. Begitupun diriku, Lee, dan Joo, mulai melangkahkan kaki dan langsung memposisikan tangan istirahat di tempat.Hampit lima belas jam mendengar Pak Yandi—pemilik gedung ini, berceloteh panjangg yang dikiranya singat. Cukup membosankan bagi semua murid, termasuk diriku.
"Joo, kau memakai mobil hari ini?" tanyaku dengan satu alis terangkat setelah kami dibubarkan untuk pemanasan personal.&
“Lu! Kau ini aku cari-cari sedari tadi. Dari mana saja kau?” Lee berlari kecil menuju ke arahku dengan dua buku yang ada dalam pelukannya.Aku meringis tidak enak, tatapan gadis itu kurang mengenakan. Lee memang sudah membertahukanku sebelumnya bila gadis itu sedang mengalami datang bulan.Mungkin itu salah satu sebab yang dimungkinkan perihal Joo mengiyakan permintaan aku dan Lee untuk pergi ke toko buku. Ah, laki-laki itu pasti tidak ingin membuat mood Lee berantakan hanya karena tolakannya.Aku menggaruk tengkuk belakang lebih dulu, “Aku tak sengaja ditabrak orang beberapa waktu lalu,” ujarku menjelaskan. Setidaknya berusaha agar raut wajah tak mengenakan yang masih terpancar pada wajah gadis itu sirna.Dua detik setelah penjelasan singkat itu terlontar dari mulutku, kedua mata Lee membola dengan sempurna. Gadis itu maju satu langkah, mendekat ke arahku kemudian meraih lengan ntanganku untuk diperiksanya walau sedikit kesusahan ka
Sudah saatnya, aku menikmati sensai tubuh yang biasa kurasakan kala terengut begitu saja memasuki dunia pitih. Mataku terpejam, menahan napas hingga merasa tubuhku kembali memijaki tanah penuh dengan rerumputan tebal.Aku mulai membuka mata, Kembali membuang napas untuk yang ketiga kalinya. Pertama, saat terenggut. Kedua, saat dalam perjalanan ke dunia pikiran. Dan ketiga dan yang baru saja, saat aku menapaki tanah di dunia pikiran.Aku mengedarkan pandangan, kembali seperti basanya seperti hari-hari sebelumnya, yakni mencari sosok tegap dengan balutan kemeja putih dan celana bahan yang biasa terduduk di atas kursi reot, letaknya tak jauh dari pohon beringin terbesar sekaligus pohon beringin paling tua di dunia pikiran.Senyumanku mengembang begitu saja, sejenak berniat melupakan lautan masalah dan resah yang menghantui beberapa waktu lalau saat belum benar-benar terenggut ke dalam dunia putih. Sungguh, sebenanrnya aku tak ingin menyembunyikan ratapan kesediha
Tak sadar, tangan kami berdua saling bertaut. Entah sedari kapan, yang jelas hal itu tak perlu kupusingkan sekarang.Tha, mau bagaimanapun akhirnya, kamu laki-laki yang berhasil merebut hati dari pemiliknya sendiri.Aku tak berusaha membual, karena kenyataannya memang hatiku ini tak lagi milik ragaku sendiri. Sepenuhnya terisi olehmu seiring berjalannnya waktu kita berdua di dunia pikiran."Apa masih jauh?" tanya Atahala yang setia berjalan di sampingku.Aku menoleh ke samping, tetapi dengan didetik berikutnya mengedarkan pandangan mengamati keadaan sekitaran dinia pikiran bagian timur yang masih familiar dalam indra penglihatan."Sebentar lagi sampai," ujarku meresponnya.Athala mengangguk-angguk, tak sadar pegangannya pada genggaman tanganku kian mengencang seiring langkah kakinya menapak maju di atas bebatuan kerikil yang dulunya sangat tidak kusukai saat lewat bersamanya menggunakan sepeda."Sudah sampai," ujarku padany
Langkah kakiku menyusuri jalanan panjang dengan alas paving segi lima di lapangan outdor sekolah. Mataku mengedar, menacari sosok Lee yang hampir bel ini belum menampakan diri. Apa yang terjadi dengan gadis itu?Aku mendudukan tubuhku pada bangku pajang yang tersedia di setiap ujung lapangan, menggerogoh mencari benda pipih berniat menghubungi gadis itu.Layarku menyala, menapakan deringan ponsel panggilan yang berati terhgubung dengan nama Lee yang tertera pada layar. Panggilan pertama tak dijawabnya, aku tak berpututs asa lantaran ponsel gadis itu aktif.“Halo, Lee,” ujarku kala mendapati panggilan teleponku dijawab Lee.Beberapa detik hening, setelahnya bunyi berisik yang kutebak berasal dari sepeda motor yang sedang berjalan dengaan kecepatan maksimal masuk ke dalam indra pendengar.“Joy, aku tidak masuk kesolah. Jadi jangan berharap mendapatiku dalam netramu hari ini,” ujarnya membertitahu seolah tahu bila diirku memanggilnya karena hal itu.
“Kukira aku sudah lulus dalam hal ini, Lu,” ujarnya dengan pandangan fakus ke jalanan depan. Aku mendengus di belakangnya, ralat lebih tepatnya berada dalam boncengan sepeda onthelnya.Peganganku pada kemeja putih polos yang dikenakannya kian menyerat, menyalurkan rasa was-was bila mana tiba-tiba ia lengah dan kami berdua terjatuh diatas kerikil kecil bagian barat dunia pikiran.“Kau tak akan pernah kuanggap lulus sampai benar-benar mengerti apa yang dulu terjadi,” ujarku. Aku menatap deretan pepohonan yang tidak kuketahui tertatanam sedemikian rapi seolah dulu pernah di seting atau ditanam oleh manusia lain yang terjebak di dunia pikiran.“Maksudmu sampai ingatanku perihalmu dan dunia pikiran sepenuhnya kembali?” tanyanya.Aku mengangguk walau ragu ia bisa melihatnya, “Anggap saja seperti itu.”“Aku tidak mau, Lu. Kau juga harus memberitahukanku dimana pohon harapan,” protesnya. Bila bisa kudap
Aku mendengus tidak suka selepas sampai di depan gedung bertingkat tiga yang ramai akan manusia-manusia sibuk dengan urusannya masing-masing.Sedangkan Lee dan Joo yang saling bertaut tangan di sampingku malah merasa baik tanpa menghiraukan manusia lain yang secara sengaja mereka libatkan begitu saja, diriku.“Lee, Joo, jika kalian terus mengabaikan diriku lebih baik aku pulang saja,” ujarku pura-pura merajuk. Kedua tanganku bersedekap dada sembari menatap dua manusia yang sedang kasmaran itu dengan pandagan tak menyenangkan.Lee langsung menanggapiku dengan kekehan kecil, sedangkan Joo hanya bisa mendengus tidak suka kala aku secara tak langsung menghancurkan momen romansa antar dirinya dengan Lee.Tangan Lee yang sebelumnya bergelantungan pada Joo kini beraling mengapit lengan kanannku, terpaksa membuat sikap bersedekap dadaku sebelumnya rusak begitu saja.Joo menatapku dengan mata yanga membola, mungkin tidak senang karena aku berhasil m
Kembali pada pertemuan kami selanjutnya, kala aku mengiyakan ucapannya untuk segera memberitahukan dimana letak pohon harapan yang jujur saja sudah lama tidak kutengok dan kusinggahi.Aku mengadah di boncengan belakang sepeda onthel yang ditunggangi bersama Athala, laki-laki itu tetap bersikap tenang walau kadang bertanya kemana arah selanjutnya."Setelah ini ke arah mana lagi, Lu?" tanyanya kembali masih dengan netra fokus ke jalanan di depan sana.Aku menoleh, mendonggak menatap topi putih yang dikenakannya."Masih jalan lurus," jawabku tanpa berpaling dari pemandangan indah dari belakang kepalanya.Andalusia, entah untuk ke berapa kalinya kamu harus mengakui bilamana dirimu benar-benar jatuh sejatuh jatuhnya ke dalam pesona sang laki-laki yang secara tak sengaja berada di dalam jalur skenario yang sama buatan Tuhan, yakni Athala.Harusnya aku merasa bersyukur saja, tak perlu berlama-lama merasa bersedih dan m
Helaan napas kembali keluar begitu saja dari mulutku, aku mengedar mencari dua manusia yang bisa mengintiliku kini enyah dari pandangan.Kedua tanganku masuk ke dalam saku jaket yang aku gunakan pagi ini, suasana pagi di depan gerbang sekolah yang ramai akan siswa menanti datangnya bus camping tidak membuat susasana menjadi panas, mungkin karena bulan ini mulai memasuki bulan penuh hujan, juni dan seterusnya.Diatas kepalaku terselampir cindung berwarna merah muda hasil rajutan tangan nenek, wanita paruh baya itu sebenarnya melarangku ikut kegiatan luar seperti ini, aku pun mengiyakan ucapan nenek. Namun mengingat Lee yang sudah sangat antusias dan ingin aku ikut serta dalam kegiatan kali ini, aku sulit menolak dan bolos kegiatan.Lagi pula tidak lama, hanya satu hari. Hal itu malah semakin membautku mendengus tidak suka. Mengapa mengadakan acara yang letak jaraknya cukup jauh bila hanya diadakan satu hari saja? Bukannya itu hanya membuang-buang tenaga manusia?