“Kukira aku sudah lulus dalam hal ini, Lu,” ujarnya dengan pandangan fakus ke jalanan depan. Aku mendengus di belakangnya, ralat lebih tepatnya berada dalam boncengan sepeda onthelnya.
Peganganku pada kemeja putih polos yang dikenakannya kian menyerat, menyalurkan rasa was-was bila mana tiba-tiba ia lengah dan kami berdua terjatuh diatas kerikil kecil bagian barat dunia pikiran.“Kau tak akan pernah kuanggap lulus sampai benar-benar mengerti apa yang dulu terjadi,” ujarku. Aku menatap deretan pepohonan yang tidak kuketahui tertatanam sedemikian rapi seolah dulu pernah di seting atau ditanam oleh manusia lain yang terjebak di dunia pikiran.
“Maksudmu sampai ingatanku perihalmu dan dunia pikiran sepenuhnya kembali?” tanyanya.Aku mengangguk walau ragu ia bisa melihatnya, “Anggap saja seperti itu.”
“Aku tidak mau, Lu. Kau juga harus memberitahukanku dimana pohon harapan,” protesnya. Bila bisa kudapAku mendengus tidak suka selepas sampai di depan gedung bertingkat tiga yang ramai akan manusia-manusia sibuk dengan urusannya masing-masing.Sedangkan Lee dan Joo yang saling bertaut tangan di sampingku malah merasa baik tanpa menghiraukan manusia lain yang secara sengaja mereka libatkan begitu saja, diriku.“Lee, Joo, jika kalian terus mengabaikan diriku lebih baik aku pulang saja,” ujarku pura-pura merajuk. Kedua tanganku bersedekap dada sembari menatap dua manusia yang sedang kasmaran itu dengan pandagan tak menyenangkan.Lee langsung menanggapiku dengan kekehan kecil, sedangkan Joo hanya bisa mendengus tidak suka kala aku secara tak langsung menghancurkan momen romansa antar dirinya dengan Lee.Tangan Lee yang sebelumnya bergelantungan pada Joo kini beraling mengapit lengan kanannku, terpaksa membuat sikap bersedekap dadaku sebelumnya rusak begitu saja.Joo menatapku dengan mata yanga membola, mungkin tidak senang karena aku berhasil m
Kembali pada pertemuan kami selanjutnya, kala aku mengiyakan ucapannya untuk segera memberitahukan dimana letak pohon harapan yang jujur saja sudah lama tidak kutengok dan kusinggahi.Aku mengadah di boncengan belakang sepeda onthel yang ditunggangi bersama Athala, laki-laki itu tetap bersikap tenang walau kadang bertanya kemana arah selanjutnya."Setelah ini ke arah mana lagi, Lu?" tanyanya kembali masih dengan netra fokus ke jalanan di depan sana.Aku menoleh, mendonggak menatap topi putih yang dikenakannya."Masih jalan lurus," jawabku tanpa berpaling dari pemandangan indah dari belakang kepalanya.Andalusia, entah untuk ke berapa kalinya kamu harus mengakui bilamana dirimu benar-benar jatuh sejatuh jatuhnya ke dalam pesona sang laki-laki yang secara tak sengaja berada di dalam jalur skenario yang sama buatan Tuhan, yakni Athala.Harusnya aku merasa bersyukur saja, tak perlu berlama-lama merasa bersedih dan m
Helaan napas kembali keluar begitu saja dari mulutku, aku mengedar mencari dua manusia yang bisa mengintiliku kini enyah dari pandangan.Kedua tanganku masuk ke dalam saku jaket yang aku gunakan pagi ini, suasana pagi di depan gerbang sekolah yang ramai akan siswa menanti datangnya bus camping tidak membuat susasana menjadi panas, mungkin karena bulan ini mulai memasuki bulan penuh hujan, juni dan seterusnya.Diatas kepalaku terselampir cindung berwarna merah muda hasil rajutan tangan nenek, wanita paruh baya itu sebenarnya melarangku ikut kegiatan luar seperti ini, aku pun mengiyakan ucapan nenek. Namun mengingat Lee yang sudah sangat antusias dan ingin aku ikut serta dalam kegiatan kali ini, aku sulit menolak dan bolos kegiatan.Lagi pula tidak lama, hanya satu hari. Hal itu malah semakin membautku mendengus tidak suka. Mengapa mengadakan acara yang letak jaraknya cukup jauh bila hanya diadakan satu hari saja? Bukannya itu hanya membuang-buang tenaga manusia?
Mungkin bagi Lee dan Joo, perjalanan menuju tempat camping akan terasa menyenangkan.Lain halnya denganku yang hanya bisa menghela napas terus menerus sembari bertopang dagu manatap pemandangan luar bus yang disi dengan deretan pohon besar dan tinggi menjulang. Mengartikan bahwa bus yang kami tumpangi ini sudah berada di dareah bukut tinggi. Sepertinya begitu walau aku rasa aku sedikit ragu.Kembali melirik pada sepasang manusia yang entah mengapa menolak terpisah barang sedetik pun. Aku tidak bisa menyalahkan Lee maupun Joo yang memilih duduk berdua di bangku seberangku sebab mereka memang sudah bmemiliki hubungan sepesial. Dan seluruh angkatan tahun ini hampir semuanya menghetahuinya.Senyumanku terbit, mendapati Lee bersandar nyaman di bahu Joo dengan kedua kelopak mata yang terpejam nyaman.Sedangkan Joo, laki-laki yang sudah melepaskan jaket yang sebelumnya ia pakai, kini sedang menatap benda pipih di tangan kanannya dengan netra sesekali m
Mendirikan tenda, hal yang paling tidak disukai oleh diriku sendiri saat berpetualang. Sejak dulu, bermula kala perkemahan tahunan, lebih tepatnya saat aku sedang duduk di bangku Sekolah dasar, tersadung tambang yang mengakibatkan diriku ditertawai teman satu kelas selalu terngiang dengan lancang dalam pikiran.Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku tidak senang mengikuti perkemahan atau camping selama 12 tahun mengayom pendidikan dibangku sekolah.Helaan kembali keluar dari mulutku, kedua bola mataku tak terlih pada palu yang kugunakan untuk memukul sebuah paku besar yang entah bernama apa.Sedikit bersyukur karena kelompok Joo lebih dulu selesai sehingga laki-laki itu secara sukareka menawarkan bantuan untuk mendirikan tenda kelompokku. Ralat, sepertinya ia melakukan hal demikian untuk sang gadis agar tidak terlalu kelelahan, aku selalu berpkir sedemikian.Syukurkan semesta berbaik hati padaku kali ini, bersama dalam kelompok Lee adalah kesenanga
Sensasi menyenangkan kala tubuhku mulai hanyut menuju dunia pikirian kembali kurasakan sore ini, senyuman tak pernah luntur dari wajahku. Mewakili bongkahan rasa sejuk dalam hati karena kembali menemui sang pemilik hati. Aku bersyukur terlah memberitahukan Lee perihal hal yang biasa terjadi pada tubuhku saat 17.17 WIB, nyatanya gadis itu cukup cerdik karena memiliki ide brilian yang digunakan untuk menyangkal keterlambatan diriku nanti di tengah lapangan untuk acara api unggun dan festival kecil.Lee menggunakan alasan diriku sakit, membuatku lebih leluasa tertidur dalam dunia nyata untuk hidup di dunia pikirian walau hanya satu jam ke depan.Kedua kakiku mulai menapak pada rerumputan hijau di dunia pikiran yang selalu berembun, mulai melangkah menuju pohon rindang nan tinggi menjulang dengan akar merambat kehinga tampak di atas permukaan tanah.Aku mendudukan tubuhku pada bangku panjang reot yang terdapat di bawah pohon beringin ini, angin sepoi-sepoi yang kurasa
“Langsung istirahat saja, kelihatannya kau masih lemas dan bibirmu juga masih sedikit pucat. Awas, jangan berniat mengerjakan tumpukan soal penuh angka setelah ini,” ujar Lee panjang lebar dari dalam mobil milik Joo.Aku yang sudah keluar dari mobil berwarna kuning dengan ransel yang ku letakan dibawah kaki hanya menanggapinya dengan anggukan pelan, menambah kesan lemas yang sebenarnya memang kurasakan saat ini.Lee menghela napas, kemudian menunjuk gerbang rumahku dengan dagunya sendiri, “Pergilah masuk untuk berisitirahat,” ujarnya lagi.“Jangan membuat tubuhmu kian melemah, Lu,” timpal Joo ikut menasehatiku seperti hannya Lee.Lagi-lagi aku mengangguk, “Aku masuk, kalian pulanglah dengan selamat,” ujarku parau. Tenggorokanku juga sedikit sakit.Tangan kananku meraih ransel, melambai-lambaikan tangan kiri lebih dulu sebelum membalikan badan untuk memasuki perkarangan rumah yang memang kelihatannya akan sela
Napasku terengah-engah, dengan tangan kanan memegangi dadaku sendiri yang kian bertambah bergemuruh. Bermodalkan tangan kiri yang bertumpu pada kasur sebab tubuhku yang tiba-tiba terjaga, reflek kaget karena memimpikan ulang kejadian kemarin sore di dunia pikiran bersama laki-laki bernama Athala.Aku mengerutuki diriku sendiri yang memikirkan Athala lebih dulu sebelum terlelap menuju alam bawah sadar. Mungin hal itu mengakibatkan tentangnya mampir dalam mimpi, itu masih menjadi kemungkinan yang akan selalu kuanggap kesamaran.Helaan napas keluar setelah aku mulai tenang, aku memundurkan tubuh hingga bersandar nyaman pada kepala ranjang, tatapanku lurus ke arah jendela yang tertutup dengan horden yang sesekali berayun terkena kipas dan pendingin ruangan yang sama-sama menyala.Mataku mengedar, membelak kaget saat tak sengaja melirik jam dinding yang terpasang di dekat pintu masuk. Pukul 15.53 WIB, aku tidur hampir enam jam lamanya. Sebegitu lelahnya aku? Bahkan aca