Mungkin bagi Lee dan Joo, perjalanan menuju tempat camping akan terasa menyenangkan.
Lain halnya denganku yang hanya bisa menghela napas terus menerus sembari bertopang dagu manatap pemandangan luar bus yang disi dengan deretan pohon besar dan tinggi menjulang. Mengartikan bahwa bus yang kami tumpangi ini sudah berada di dareah bukut tinggi. Sepertinya begitu walau aku rasa aku sedikit ragu.
Kembali melirik pada sepasang manusia yang entah mengapa menolak terpisah barang sedetik pun. Aku tidak bisa menyalahkan Lee maupun Joo yang memilih duduk berdua di bangku seberangku sebab mereka memang sudah bmemiliki hubungan sepesial. Dan seluruh angkatan tahun ini hampir semuanya menghetahuinya.
Senyumanku terbit, mendapati Lee bersandar nyaman di bahu Joo dengan kedua kelopak mata yang terpejam nyaman.Sedangkan Joo, laki-laki yang sudah melepaskan jaket yang sebelumnya ia pakai, kini sedang menatap benda pipih di tangan kanannya dengan netra sesekali m
Mendirikan tenda, hal yang paling tidak disukai oleh diriku sendiri saat berpetualang. Sejak dulu, bermula kala perkemahan tahunan, lebih tepatnya saat aku sedang duduk di bangku Sekolah dasar, tersadung tambang yang mengakibatkan diriku ditertawai teman satu kelas selalu terngiang dengan lancang dalam pikiran.Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku tidak senang mengikuti perkemahan atau camping selama 12 tahun mengayom pendidikan dibangku sekolah.Helaan kembali keluar dari mulutku, kedua bola mataku tak terlih pada palu yang kugunakan untuk memukul sebuah paku besar yang entah bernama apa.Sedikit bersyukur karena kelompok Joo lebih dulu selesai sehingga laki-laki itu secara sukareka menawarkan bantuan untuk mendirikan tenda kelompokku. Ralat, sepertinya ia melakukan hal demikian untuk sang gadis agar tidak terlalu kelelahan, aku selalu berpkir sedemikian.Syukurkan semesta berbaik hati padaku kali ini, bersama dalam kelompok Lee adalah kesenanga
Sensasi menyenangkan kala tubuhku mulai hanyut menuju dunia pikirian kembali kurasakan sore ini, senyuman tak pernah luntur dari wajahku. Mewakili bongkahan rasa sejuk dalam hati karena kembali menemui sang pemilik hati. Aku bersyukur terlah memberitahukan Lee perihal hal yang biasa terjadi pada tubuhku saat 17.17 WIB, nyatanya gadis itu cukup cerdik karena memiliki ide brilian yang digunakan untuk menyangkal keterlambatan diriku nanti di tengah lapangan untuk acara api unggun dan festival kecil.Lee menggunakan alasan diriku sakit, membuatku lebih leluasa tertidur dalam dunia nyata untuk hidup di dunia pikirian walau hanya satu jam ke depan.Kedua kakiku mulai menapak pada rerumputan hijau di dunia pikiran yang selalu berembun, mulai melangkah menuju pohon rindang nan tinggi menjulang dengan akar merambat kehinga tampak di atas permukaan tanah.Aku mendudukan tubuhku pada bangku panjang reot yang terdapat di bawah pohon beringin ini, angin sepoi-sepoi yang kurasa
“Langsung istirahat saja, kelihatannya kau masih lemas dan bibirmu juga masih sedikit pucat. Awas, jangan berniat mengerjakan tumpukan soal penuh angka setelah ini,” ujar Lee panjang lebar dari dalam mobil milik Joo.Aku yang sudah keluar dari mobil berwarna kuning dengan ransel yang ku letakan dibawah kaki hanya menanggapinya dengan anggukan pelan, menambah kesan lemas yang sebenarnya memang kurasakan saat ini.Lee menghela napas, kemudian menunjuk gerbang rumahku dengan dagunya sendiri, “Pergilah masuk untuk berisitirahat,” ujarnya lagi.“Jangan membuat tubuhmu kian melemah, Lu,” timpal Joo ikut menasehatiku seperti hannya Lee.Lagi-lagi aku mengangguk, “Aku masuk, kalian pulanglah dengan selamat,” ujarku parau. Tenggorokanku juga sedikit sakit.Tangan kananku meraih ransel, melambai-lambaikan tangan kiri lebih dulu sebelum membalikan badan untuk memasuki perkarangan rumah yang memang kelihatannya akan sela
Napasku terengah-engah, dengan tangan kanan memegangi dadaku sendiri yang kian bertambah bergemuruh. Bermodalkan tangan kiri yang bertumpu pada kasur sebab tubuhku yang tiba-tiba terjaga, reflek kaget karena memimpikan ulang kejadian kemarin sore di dunia pikiran bersama laki-laki bernama Athala.Aku mengerutuki diriku sendiri yang memikirkan Athala lebih dulu sebelum terlelap menuju alam bawah sadar. Mungin hal itu mengakibatkan tentangnya mampir dalam mimpi, itu masih menjadi kemungkinan yang akan selalu kuanggap kesamaran.Helaan napas keluar setelah aku mulai tenang, aku memundurkan tubuh hingga bersandar nyaman pada kepala ranjang, tatapanku lurus ke arah jendela yang tertutup dengan horden yang sesekali berayun terkena kipas dan pendingin ruangan yang sama-sama menyala.Mataku mengedar, membelak kaget saat tak sengaja melirik jam dinding yang terpasang di dekat pintu masuk. Pukul 15.53 WIB, aku tidur hampir enam jam lamanya. Sebegitu lelahnya aku? Bahkan aca
Dengan pandangan menerawang jalanan di luar lewat kaca bus yang kutumpangi, tanganku ikut serta menopang wajah dengan raut wajah kelewat datar. Seolah tak memusingkan keadaan bus yang hari ini lumayan ramai diminati pekerja kantoran yang baru saja pulang.Untung saja, kursi ntunggal dekat supir masih tersisa. Syukurlah, kali ini harus kuanggap sebagai kebruntungan.Beralih menatap arloji yang melingkar padpergelangan tangan, aku mendesah lelah, sebentar lagi dunia pikiran membawa tubuhku masuk selama satu jam ke depan. Merasa puas mantap jam yang tertera, aku beralih menatap jalanan untuk mengetahui berapa halte lagi yang harus kulalui setelah halte pertama terlewat tadi.“Masih lumayan lama,” gumamku setelah menatap jalanan cukup lama.Aku kembali menopang dagu, memilih terlelap lebih dulu sebelum dunia pikiran kembali menghanyutkanku untuk kesekian kalinya.“Andalusia!” Aku tersentak mendengar seruan lumayan kencang itu. Tubuhku
Kedua bola mataku berotasi menanggapi tanggapan berlebihan Benn pada dokter laki-laki yang batu saja memeriksa keadaan tubuhku. Laki-laki itu seolah memeraankan peran utama dalam cerita tanpa mengerti dialog dan alur yang sudah dimantapkan oleh sang penulisnya.Aku tak menganggap diriku sedang geer sekarang ini, yang jelas laki-laki itu bereaksi seolah ia adalah laki-laki penting yang ada di skenario yang dibuat Tuhan dalam hidupku. Secara kasarnya, kubilang ia berusaha terlihat sebagai kekasihku, ya walaupun dokter pun sepertinya percaya apa yang sedang dilakukannya sekarang.“Terima kasih, dok,” ucap Benn yang kembali kutanggapi dengusan keasl. Aku tersenyum tipis untuk menghormati dokter dan dua suster yanag ikut serta, tiga manusia berpakaian serba putih itu meninggalkan ruang rawat yang menampungku sendirian. Menyisakan Benn sebagai manusia asing dengan diriku sang pasien yang ditinggalkan Nenek. Sungguh, deni apapun tak pernah terlintas dalak benak untuk
Tangan kannaku meraih handuk kecil khusus yang selalu kugunakan setelah mandi, meletakannya pada kepala untuk kuusap-usap lembut guna meminimalisir air bekas keramas yang masih menetes menuju baju rumahan yang kugunakan.Kedua kakiku yang beralaskan sandal rumahan berwarna putih itu menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai satu untuk sekedar menghirup udara segar lewat jendela samping.Hingga setelah kedua kakiku menapak pada lantai putih bersih di rumah dua tingkat ini, kedua bola mataku memilih mengedar lebih dahulu mencari keberadaan nenek yang sejak pagi buta belum terlihat walaupun lewat ekor mata.“Nenek!” seruku memanggilnya dengan suara lumayan kencang.Aku mengembuskan napas lega setelah mendapati wanita paruh baya itu berjalan ke arahku dengan raut wajah bertanya, senyumanku mengembang seketika mendapati nenek mengunakan kebaya yang dulu sering dipakainya bersama almrhum kakek untuk menghabiskan waktu bersama.“Nenek, kau t
Senyumanku merekah seiring dengan mengeratnya peganganku pada kemeja berwarna putih yang laki-laki itu kenakan. Sesekali melirik kedua kaki panjangnya yang mengajuh pedal hingga sepeda kuno ini melaju dengan kecepatan sedang.Athala adalah wujud kesempurnaan buatan Tuhan yang benar-benar aku kagumi, sering kali permikiran bingung mengapa ada manusia sesempurna ia dibuat oleh Tuhan untuk menjadi bagian dari manusia yang menyinggahi diri di bumi.Mungkin memang benar, Tuhan menciptakan Athala saat sedang tertawa bahagia. Hal itu yang selalu kuingat kala memikirkan mengapa ia sesempurna itu.“Lu, kau tidak mendengarkanku berbicara ya?” seru Athala yang berhasil membuat tubuhku sedikit tersentak.Aku langsung mengadahkan kepala, menatap belakang tubuhnya dengan kedua alis yang terangkat refleks.“Ada apa?” tanyaku bingung.Bukan menjawab dengan ucapan yang bisa saja membuat kebingunganku sirna, Athala malah mendengus sembari melirik