Dengan pandangan menerawang jalanan di luar lewat kaca bus yang kutumpangi, tanganku ikut serta menopang wajah dengan raut wajah kelewat datar. Seolah tak memusingkan keadaan bus yang hari ini lumayan ramai diminati pekerja kantoran yang baru saja pulang.
Untung saja, kursi ntunggal dekat supir masih tersisa. Syukurlah, kali ini harus kuanggap sebagai kebruntungan.
Beralih menatap arloji yang melingkar padpergelangan tangan, aku mendesah lelah, sebentar lagi dunia pikiran membawa tubuhku masuk selama satu jam ke depan. Merasa puas mantap jam yang tertera, aku beralih menatap jalanan untuk mengetahui berapa halte lagi yang harus kulalui setelah halte pertama terlewat tadi.“Masih lumayan lama,” gumamku setelah menatap jalanan cukup lama.Aku kembali menopang dagu, memilih terlelap lebih dulu sebelum dunia pikiran kembali menghanyutkanku untuk kesekian kalinya.“Andalusia!” Aku tersentak mendengar seruan lumayan kencang itu. Tubuhku
Kedua bola mataku berotasi menanggapi tanggapan berlebihan Benn pada dokter laki-laki yang batu saja memeriksa keadaan tubuhku. Laki-laki itu seolah memeraankan peran utama dalam cerita tanpa mengerti dialog dan alur yang sudah dimantapkan oleh sang penulisnya.Aku tak menganggap diriku sedang geer sekarang ini, yang jelas laki-laki itu bereaksi seolah ia adalah laki-laki penting yang ada di skenario yang dibuat Tuhan dalam hidupku. Secara kasarnya, kubilang ia berusaha terlihat sebagai kekasihku, ya walaupun dokter pun sepertinya percaya apa yang sedang dilakukannya sekarang.“Terima kasih, dok,” ucap Benn yang kembali kutanggapi dengusan keasl. Aku tersenyum tipis untuk menghormati dokter dan dua suster yanag ikut serta, tiga manusia berpakaian serba putih itu meninggalkan ruang rawat yang menampungku sendirian. Menyisakan Benn sebagai manusia asing dengan diriku sang pasien yang ditinggalkan Nenek. Sungguh, deni apapun tak pernah terlintas dalak benak untuk
Tangan kannaku meraih handuk kecil khusus yang selalu kugunakan setelah mandi, meletakannya pada kepala untuk kuusap-usap lembut guna meminimalisir air bekas keramas yang masih menetes menuju baju rumahan yang kugunakan.Kedua kakiku yang beralaskan sandal rumahan berwarna putih itu menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai satu untuk sekedar menghirup udara segar lewat jendela samping.Hingga setelah kedua kakiku menapak pada lantai putih bersih di rumah dua tingkat ini, kedua bola mataku memilih mengedar lebih dahulu mencari keberadaan nenek yang sejak pagi buta belum terlihat walaupun lewat ekor mata.“Nenek!” seruku memanggilnya dengan suara lumayan kencang.Aku mengembuskan napas lega setelah mendapati wanita paruh baya itu berjalan ke arahku dengan raut wajah bertanya, senyumanku mengembang seketika mendapati nenek mengunakan kebaya yang dulu sering dipakainya bersama almrhum kakek untuk menghabiskan waktu bersama.“Nenek, kau t
Senyumanku merekah seiring dengan mengeratnya peganganku pada kemeja berwarna putih yang laki-laki itu kenakan. Sesekali melirik kedua kaki panjangnya yang mengajuh pedal hingga sepeda kuno ini melaju dengan kecepatan sedang.Athala adalah wujud kesempurnaan buatan Tuhan yang benar-benar aku kagumi, sering kali permikiran bingung mengapa ada manusia sesempurna ia dibuat oleh Tuhan untuk menjadi bagian dari manusia yang menyinggahi diri di bumi.Mungkin memang benar, Tuhan menciptakan Athala saat sedang tertawa bahagia. Hal itu yang selalu kuingat kala memikirkan mengapa ia sesempurna itu.“Lu, kau tidak mendengarkanku berbicara ya?” seru Athala yang berhasil membuat tubuhku sedikit tersentak.Aku langsung mengadahkan kepala, menatap belakang tubuhnya dengan kedua alis yang terangkat refleks.“Ada apa?” tanyaku bingung.Bukan menjawab dengan ucapan yang bisa saja membuat kebingunganku sirna, Athala malah mendengus sembari melirik
Aku mengerjapkan pandangan, menatap sekeliling dengan pandangan linglung untuk mengerti apa yang baru terjadi. Helaan napas keluar begitu saja, membiarkan suara cempreng milik Lee merusak suasana hening di dalam kamar yang biasanya tercipta saat membuka mata.Memilih membungkus seluruh tubuh menggunakan selimut berwarna hijau pastel yang baru kuganti dua hari yang lalu untuk menghalau suara cempreng gadis berambut bergelombang dua layer itu.Sesekali decakan keluar begitu saja kala merasakan raanjangku bergerak naik turun karena Lee menggunakannya untuk melompat-lompat dengan riang. Sial, menagpa gadis itu bertingkah seperti halnya anak Sekolah Dasar saja? Ia pikir berat badannya bisa tertampung pada ranjang dalam waktu yang lama?“Lee, berhenti mengacau waktu istirahatku,” kesalku sembari menatapnya dengan pandangan tajam.Namun seolah tak dihiraukannya, Lee masih setia melompat-lompat kecil dengan senyuman yang mengembang pada wajahnya.Aku mem
Yang terus kulakukan dalam satu setengah jam berkeliling dengan laki-laki yang mengaku diperintah nenek untuk menjagaku hanyalah memutar bola mata malas dengan wajah kesal menatapnya.Sedangkan sang pelaku utama yang menjadi alasan mengapa wajahku tertekuk masam hanya terkekeh menimpali sepanjang jalanan ramai penuh dengan lautan manusia yang mendambakan hiburan.“Sebenarnya kau ingin mengajakku ke mana?” tanyaku dengan nada kelewat kesal. Pasalnya hampir dua jam ini yang ia lalukan hanyalah mengajaku ke stand ice cream dan membeli perlengkapan laki-laki itu sendiri.“Aku sedang mencari toko yang dulu pernah kukunjungi,” ujarnya memberi tahu dengan mata yang masih mengedar mencari toko yang dimaksud-maksudkannya. Mendengar lontaran ucapan yang ia keluarkan, wajahku kian memerah padam. Mengapa ia mencari toko yang dirinya sendiri tak tahu dimana letaknya.“Kau lupa? Memangnya kapan kau mengunjungi toko itu?” tanyaku penasaran.
Flashback.“Benn, jangan bersikap seolah-oelah dirimu mempunyai peran penting setelah nenek mengenali dirimu secara peribadi,” ujarku dengan tatapan datar yang kulayangkan untuknya seorang.Benn yang sebelumnya mengfokuskan pandangan pada foto cetak dari toko yang baru saja kami kunjungi langsung menoleh. Ia menatapku dengan kedua alis yang terangkat, sesekali laki-laki itu melirik pada keadaan sekitar yang masih ramai oleh lautan manusia yang sibuk dengan duniannya masing-masing.“Kau sedang berbicara denganku?” tanyanya bodoh. Sangat-sangat bodoh, memangnya dengan siapa aku bertutur bila bukan pada seseorang yang membawaku kabur untuk berjalan-jalan?“Kau terlau pintar sehingga bertindak bodoh ya?” tanyaku menyindir dengan nada sinis.Ia terkekeh, kemudian memasukan tiga lembar foto kami ke dalam saku kemejanya sendiri. Sebelumnya kau ditawari untuk menyimpannya satu foto sebagai kenang-kenangan, namun secara tegas dan tak terbantah aku menolak dengan raut wajah yan
Senyumanku merekah setelah sampai di depan gedung berlantai dua tempat manusia berenang ke sana kemari.Dengan langkah riang, aku melangkahkan kakia memasuki gedung yang kini kembali dibuka setelah dua minggu lamanya ditutup karena mengikuti jadwal libur sekolah nasional.“Lu!” seruan suara cempreng itu terdengar, mengundangku untuk menoleh ke arah kiri. Senyumanku bertambah merekah mendapati anak-anak satu angkatanku melambaikan tangan sebagai sapaan hangat setelah dua minggu lamanya tak aling bersapa secara langsunsg di gedung ini.Aku melambai-lambaikan tangan kananku, sedangkan satu tanganku yang lain memegangi ranesl yang saat ini kugendong di belakang punggung.Meski pun aku memutuskan untuk langsung menuju kamar ganti untuk berganti pakaian, tetapi sebelum itu aku mengedarkan pandangan. Mengapa Lee dan Joo tak tampak dalam netra? Dua detik setelahnya, aku mengendikan bahu merasa acuh, pasti nanti mereka muncul dengan sendirinya.Tas
Mungkin terasa asing, betah berlama-lama di luar rumah selalu dirasakan manusia saaat keluar dari sangkarnya. Begitupun aku, dengan langkah stabil menyusuri trotoar dengan netra yang sesekali melirik pada jalanan raya yang ramai di padati variasi kendaraaan. Bunyi bising yang tercipta tak membuatku menutup telinga, manusia yang biasanya menolak berada dalam laingkup ramai nan membisingkan kini malah menjadi salah satu manusia yang membiarkan tubuh dihembus angin sore dengan santainya.Hari mulai senja, kulirik arloji pada pergelangan tangan. Mendesah lelah saat jam menunjukan pukul 16.11 WIB.Perut yang keroncongan membuatku memutuskan untuk singgah pada minimarket di sisi kiri jalan untuk sekedar menikmati mie.Langkah kaki membawaku masuk, mengedarkan pandang kesegala penjuru arah untuk mengamati keadaan sekitar yang cukup hening. Pendingin ruangan dan suara musik klasik yang mengalun membuat senyuman pada wajahku timbul, aku kembali berjalan setelah memberi s