Flashback.
“Benn, jangan bersikap seolah-oelah dirimu mempunyai peran penting setelah nenek mengenali dirimu secara peribadi,” ujarku dengan tatapan datar yang kulayangkan untuknya seorang.Benn yang sebelumnya mengfokuskan pandangan pada foto cetak dari toko yang baru saja kami kunjungi langsung menoleh. Ia menatapku dengan kedua alis yang terangkat, sesekali laki-laki itu melirik pada keadaan sekitar yang masih ramai oleh lautan manusia yang sibuk dengan duniannya masing-masing.“Kau sedang berbicara denganku?” tanyanya bodoh. Sangat-sangat bodoh, memangnya dengan siapa aku bertutur bila bukan pada seseorang yang membawaku kabur untuk berjalan-jalan?“Kau terlau pintar sehingga bertindak bodoh ya?” tanyaku menyindir dengan nada sinis.Ia terkekeh, kemudian memasukan tiga lembar foto kami ke dalam saku kemejanya sendiri. Sebelumnya kau ditawari untuk menyimpannya satu foto sebagai kenang-kenangan, namun secara tegas dan tak terbantah aku menolak dengan raut wajah yanSenyumanku merekah setelah sampai di depan gedung berlantai dua tempat manusia berenang ke sana kemari.Dengan langkah riang, aku melangkahkan kakia memasuki gedung yang kini kembali dibuka setelah dua minggu lamanya ditutup karena mengikuti jadwal libur sekolah nasional.“Lu!” seruan suara cempreng itu terdengar, mengundangku untuk menoleh ke arah kiri. Senyumanku bertambah merekah mendapati anak-anak satu angkatanku melambaikan tangan sebagai sapaan hangat setelah dua minggu lamanya tak aling bersapa secara langsunsg di gedung ini.Aku melambai-lambaikan tangan kananku, sedangkan satu tanganku yang lain memegangi ranesl yang saat ini kugendong di belakang punggung.Meski pun aku memutuskan untuk langsung menuju kamar ganti untuk berganti pakaian, tetapi sebelum itu aku mengedarkan pandangan. Mengapa Lee dan Joo tak tampak dalam netra? Dua detik setelahnya, aku mengendikan bahu merasa acuh, pasti nanti mereka muncul dengan sendirinya.Tas
Mungkin terasa asing, betah berlama-lama di luar rumah selalu dirasakan manusia saaat keluar dari sangkarnya. Begitupun aku, dengan langkah stabil menyusuri trotoar dengan netra yang sesekali melirik pada jalanan raya yang ramai di padati variasi kendaraaan. Bunyi bising yang tercipta tak membuatku menutup telinga, manusia yang biasanya menolak berada dalam laingkup ramai nan membisingkan kini malah menjadi salah satu manusia yang membiarkan tubuh dihembus angin sore dengan santainya.Hari mulai senja, kulirik arloji pada pergelangan tangan. Mendesah lelah saat jam menunjukan pukul 16.11 WIB.Perut yang keroncongan membuatku memutuskan untuk singgah pada minimarket di sisi kiri jalan untuk sekedar menikmati mie.Langkah kaki membawaku masuk, mengedarkan pandang kesegala penjuru arah untuk mengamati keadaan sekitar yang cukup hening. Pendingin ruangan dan suara musik klasik yang mengalun membuat senyuman pada wajahku timbul, aku kembali berjalan setelah memberi s
Firasat buruk, pernah merasakan perasaan itu? Aku menegguk ludah secara kasar saat tersadar dari dunia pikiran. Turun di halte dekat rumah yang untungnya tidak terlewat saat putaran bus yang kedua. Aku melirik pada arloji di pergelangan tangan, pukul 20.01 WIB. Berdecak keras karena setengah jam langsung terhanyuh tidur tanpa dulu bangun dalam bus.Kedua kakiku kembali berjalan dengan tempo cepat. Perasaan tidak mengenakan yang kini dirasa baik hati maupun raga memaksaku untuk terus berjalan maju hingga didepan rumah.Rasanya aneh, mengapa tanganku gemetar sedemikian?Sesekali aku memaparkan senyuman tipis saat beberapa tetangga komplek menyapaku disela kegiatannya. Terasa masih asing walau telah menghabiskan hidup di lingkup ini 15 tahun lamanya.Aku sampai tepat di depan gerbang rumah yang masih setia terututp, masuk dan kembali menutupnya rapat-rapat. Kedua alisku terangkat lengkap dengan dahiku yang menyirit bingung, mengapa lampu teras dibiarkan mati?
Pintu kamar nenek terbuka dengan sedikit kasar, aku hanya bisa menatap nyalang tiga manusia dengan raut wajah khawatir terpancar pada wajah. Namun setelahnya netraku kembali bergulir menatap ranjang yang menjadi tempat pertumpuan tubuh nenek yang terbaring tanpa deru napas.Bibi Liana, ibu Lee lebih dulu mendekat ke arahku. Ia merangkak naik di sisi ranjang yang lain, netranya tampak berkaca-kaca hingga satu detik setelahnya cairan kristal pada matanya meluncur dengan derasanya. Bibi Liana meraung dengan tubuh memeluk nenek yang masih saja diam tak bergerak di tempatnya, mendapati hal itu mataku kembali memanas, aku benar-benar tidak siap dengan kehilangan dalam bentuk apapun. Percaya atupun tidak, itu benar-benar menyisakan trauma yang sangat menyesakan dalam dada.Aku membalikan badan saat melihat paman Sam, ayah Lee ikut berbela sungkawa dengan tangan yang menggenggam tangan kiri nenek.Lee yang menjadi satu-satunya manusia yang masih berdiri tegak di sisi yang sam
Pantaskah aku bersedih setelah semua yang terjadi hari ini? aku melirik pada ranjang pada pada kamar tidurku, Lee terlelap nyaman dengan wajah sembab dan bekas jalur air mata yang masih sangat ketara. Aku kembali mengalihkan pandang pada bingkai berisikan foro diriku dengan nenek yang selalau terpajang rapih di samping nakas tempat tidur.Posisi tubuhku sekarang adalah duduk di bawah ranjang sisi kanan, dengan tangan menggenggam surat dan bingkai kecil dengan berlinang cairan bening bak kristal.Aku memejamkan meta sebentar, memikirkan hari esok yang pasatinya jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya bersama nenek, memikirkana hal itu selalu membuat dadaku sakit tidak kepayang.Paman Sam bilang, pemakaman nenek dilangsungkan besok pagi. Sepasang pasangan suami istri yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu sibuk menyiapkan segala hal yang dibutuhkan utnuk pemakaman besok. Andalusia, harusnya kau bersyukur karena masih ada manusia yang bersedia membantu nenek untuk ter
Mataku mengerjap perlahan, mengedarkan pandang ke segala penjuru arah untuk mengenali tempat yang menampung tubuhku saat ini. Nyeri yang terasa pada kepalaku membuatku mengurungkan niat raga untuk terduduk dan bersandar pada kepala ranjang. Aku mencoba mengingat kejadian sebelum tub uhku terbaring pada ranjang, seingatku tubuhku menapak pada tanah pemakaman umum yang menjadi tempat peristirahat terakhir nenek.Helaan napas keluar begitu saja, saat menyadari diriku pingsan sebelum pulang kerumah ini, rasanya menyebalkan sekali bila terlihat lemah di hadapan manusia lain. Tak terkecuali di depan Lee maupun Joo yang bernotabe sebagia manusia yang cukup dekat denganku sendiri.Dahiku menyirit bingung karena tidak mendapati manusia lain yang hinggap ataupun singgah dalam kamar, aku pikir Lee akan menungguku sadar atau pun ikut terlelap di sampingku karena kelelahan.Setelah meredakan rasa sakit pada kepala yang kini mulai mereda, aku mendudukan tubuhku dan menyadarkan pung
Anggap saja aku sebagai manusia yang selalu berlarut-larut memikirkan kejadian yang terlalu besar menurut raga maupun hati. Aku termenung di taman samping rumah yang biasanya menjadi tempat favorit nenek saat menyelesaikan rajutan buatan tangannya sendiri. Tatapanku menatap ke depan dengan pandnagan kosong tanpa minat, sungguh sebenarnya aku sendiri tak ingin melihat diriku dengan versi yang sedemkian.Rasanya tak ingin mengakhiri sesi bersama nenek, terlalu sayang dan disayangkan bila mana diakhiri begitu saja dengan bab yang cukup pendek. Jadi tidak ada salahnya bukan bila kuperpanjang untuk beberapa bab ke depan? Aku hanya ingin menuangkan kerinduan mendalamku pada nenek. Terlepas dari kalian yang ingin menganggap diriku terlalu berlebihan atau apapun.Merasa diperhatikan oleh manusia lain, aku terpaksa mengalihkan pandang mejadi menatap pintu masuk ruang tamu yang selalu dibiarkan terbuka lebar. Aku mendengus secara tak sadar saat mendapati Benn berdiri tepat di
Suara bel rumah yang ditekan beberapa kali terpaksa membuatku bangkit dari tidur dengan sangat terpaksa. Aku berjalan gontai menuruni satu persatu anak tangga dengan wajah bantal yang masih sangat tampak pada wajah.Aku baru sadar saat menapaki lantai satu bilamana malam tadi tertidur di kamar nenek tanpa ada yang membangunkan. Bahkan Lee sekali pun mungkin saja memilih tidur di kamarku sendiri. Tanganku terulur menyatukan helaian demi helai rambut yang tampak acak-acakan dan menjepitnya menggunakan jepit rambut dengan gerakan yang cukup gesit. Sedangkan kedua kakiku terus menapaki lantai satu dengan tujuan menuju pintu. Tanganku terulur, bergerak menarik pintu ke dalam agar bisa terbuka, wajah sembab yang masih sangat tampak tak kuhiraukan.Nenek bilang setiap kali ada bel yang terdengar, enggan ataupun senang pada akhirnya harus dibukakan. Pamali, sedemikian yang almarhumah katakan beberapa waktu silam.“Siapa?” tanyaku setelah pintu utama te