Senyumanku merekah seiring dengan mengeratnya peganganku pada kemeja berwarna putih yang laki-laki itu kenakan. Sesekali melirik kedua kaki panjangnya yang mengajuh pedal hingga sepeda kuno ini melaju dengan kecepatan sedang.
Athala adalah wujud kesempurnaan buatan Tuhan yang benar-benar aku kagumi, sering kali permikiran bingung mengapa ada manusia sesempurna ia dibuat oleh Tuhan untuk menjadi bagian dari manusia yang menyinggahi diri di bumi.Mungkin memang benar, Tuhan menciptakan Athala saat sedang tertawa bahagia. Hal itu yang selalu kuingat kala memikirkan mengapa ia sesempurna itu.“Lu, kau tidak mendengarkanku berbicara ya?” seru Athala yang berhasil membuat tubuhku sedikit tersentak.Aku langsung mengadahkan kepala, menatap belakang tubuhnya dengan kedua alis yang terangkat refleks.“Ada apa?” tanyaku bingung.Bukan menjawab dengan ucapan yang bisa saja membuat kebingunganku sirna, Athala malah mendengus sembari melirikAku mengerjapkan pandangan, menatap sekeliling dengan pandangan linglung untuk mengerti apa yang baru terjadi. Helaan napas keluar begitu saja, membiarkan suara cempreng milik Lee merusak suasana hening di dalam kamar yang biasanya tercipta saat membuka mata.Memilih membungkus seluruh tubuh menggunakan selimut berwarna hijau pastel yang baru kuganti dua hari yang lalu untuk menghalau suara cempreng gadis berambut bergelombang dua layer itu.Sesekali decakan keluar begitu saja kala merasakan raanjangku bergerak naik turun karena Lee menggunakannya untuk melompat-lompat dengan riang. Sial, menagpa gadis itu bertingkah seperti halnya anak Sekolah Dasar saja? Ia pikir berat badannya bisa tertampung pada ranjang dalam waktu yang lama?“Lee, berhenti mengacau waktu istirahatku,” kesalku sembari menatapnya dengan pandangan tajam.Namun seolah tak dihiraukannya, Lee masih setia melompat-lompat kecil dengan senyuman yang mengembang pada wajahnya.Aku mem
Yang terus kulakukan dalam satu setengah jam berkeliling dengan laki-laki yang mengaku diperintah nenek untuk menjagaku hanyalah memutar bola mata malas dengan wajah kesal menatapnya.Sedangkan sang pelaku utama yang menjadi alasan mengapa wajahku tertekuk masam hanya terkekeh menimpali sepanjang jalanan ramai penuh dengan lautan manusia yang mendambakan hiburan.“Sebenarnya kau ingin mengajakku ke mana?” tanyaku dengan nada kelewat kesal. Pasalnya hampir dua jam ini yang ia lalukan hanyalah mengajaku ke stand ice cream dan membeli perlengkapan laki-laki itu sendiri.“Aku sedang mencari toko yang dulu pernah kukunjungi,” ujarnya memberi tahu dengan mata yang masih mengedar mencari toko yang dimaksud-maksudkannya. Mendengar lontaran ucapan yang ia keluarkan, wajahku kian memerah padam. Mengapa ia mencari toko yang dirinya sendiri tak tahu dimana letaknya.“Kau lupa? Memangnya kapan kau mengunjungi toko itu?” tanyaku penasaran.
Flashback.“Benn, jangan bersikap seolah-oelah dirimu mempunyai peran penting setelah nenek mengenali dirimu secara peribadi,” ujarku dengan tatapan datar yang kulayangkan untuknya seorang.Benn yang sebelumnya mengfokuskan pandangan pada foto cetak dari toko yang baru saja kami kunjungi langsung menoleh. Ia menatapku dengan kedua alis yang terangkat, sesekali laki-laki itu melirik pada keadaan sekitar yang masih ramai oleh lautan manusia yang sibuk dengan duniannya masing-masing.“Kau sedang berbicara denganku?” tanyanya bodoh. Sangat-sangat bodoh, memangnya dengan siapa aku bertutur bila bukan pada seseorang yang membawaku kabur untuk berjalan-jalan?“Kau terlau pintar sehingga bertindak bodoh ya?” tanyaku menyindir dengan nada sinis.Ia terkekeh, kemudian memasukan tiga lembar foto kami ke dalam saku kemejanya sendiri. Sebelumnya kau ditawari untuk menyimpannya satu foto sebagai kenang-kenangan, namun secara tegas dan tak terbantah aku menolak dengan raut wajah yan
Senyumanku merekah setelah sampai di depan gedung berlantai dua tempat manusia berenang ke sana kemari.Dengan langkah riang, aku melangkahkan kakia memasuki gedung yang kini kembali dibuka setelah dua minggu lamanya ditutup karena mengikuti jadwal libur sekolah nasional.“Lu!” seruan suara cempreng itu terdengar, mengundangku untuk menoleh ke arah kiri. Senyumanku bertambah merekah mendapati anak-anak satu angkatanku melambaikan tangan sebagai sapaan hangat setelah dua minggu lamanya tak aling bersapa secara langsunsg di gedung ini.Aku melambai-lambaikan tangan kananku, sedangkan satu tanganku yang lain memegangi ranesl yang saat ini kugendong di belakang punggung.Meski pun aku memutuskan untuk langsung menuju kamar ganti untuk berganti pakaian, tetapi sebelum itu aku mengedarkan pandangan. Mengapa Lee dan Joo tak tampak dalam netra? Dua detik setelahnya, aku mengendikan bahu merasa acuh, pasti nanti mereka muncul dengan sendirinya.Tas
Mungkin terasa asing, betah berlama-lama di luar rumah selalu dirasakan manusia saaat keluar dari sangkarnya. Begitupun aku, dengan langkah stabil menyusuri trotoar dengan netra yang sesekali melirik pada jalanan raya yang ramai di padati variasi kendaraaan. Bunyi bising yang tercipta tak membuatku menutup telinga, manusia yang biasanya menolak berada dalam laingkup ramai nan membisingkan kini malah menjadi salah satu manusia yang membiarkan tubuh dihembus angin sore dengan santainya.Hari mulai senja, kulirik arloji pada pergelangan tangan. Mendesah lelah saat jam menunjukan pukul 16.11 WIB.Perut yang keroncongan membuatku memutuskan untuk singgah pada minimarket di sisi kiri jalan untuk sekedar menikmati mie.Langkah kaki membawaku masuk, mengedarkan pandang kesegala penjuru arah untuk mengamati keadaan sekitar yang cukup hening. Pendingin ruangan dan suara musik klasik yang mengalun membuat senyuman pada wajahku timbul, aku kembali berjalan setelah memberi s
Firasat buruk, pernah merasakan perasaan itu? Aku menegguk ludah secara kasar saat tersadar dari dunia pikiran. Turun di halte dekat rumah yang untungnya tidak terlewat saat putaran bus yang kedua. Aku melirik pada arloji di pergelangan tangan, pukul 20.01 WIB. Berdecak keras karena setengah jam langsung terhanyuh tidur tanpa dulu bangun dalam bus.Kedua kakiku kembali berjalan dengan tempo cepat. Perasaan tidak mengenakan yang kini dirasa baik hati maupun raga memaksaku untuk terus berjalan maju hingga didepan rumah.Rasanya aneh, mengapa tanganku gemetar sedemikian?Sesekali aku memaparkan senyuman tipis saat beberapa tetangga komplek menyapaku disela kegiatannya. Terasa masih asing walau telah menghabiskan hidup di lingkup ini 15 tahun lamanya.Aku sampai tepat di depan gerbang rumah yang masih setia terututp, masuk dan kembali menutupnya rapat-rapat. Kedua alisku terangkat lengkap dengan dahiku yang menyirit bingung, mengapa lampu teras dibiarkan mati?
Pintu kamar nenek terbuka dengan sedikit kasar, aku hanya bisa menatap nyalang tiga manusia dengan raut wajah khawatir terpancar pada wajah. Namun setelahnya netraku kembali bergulir menatap ranjang yang menjadi tempat pertumpuan tubuh nenek yang terbaring tanpa deru napas.Bibi Liana, ibu Lee lebih dulu mendekat ke arahku. Ia merangkak naik di sisi ranjang yang lain, netranya tampak berkaca-kaca hingga satu detik setelahnya cairan kristal pada matanya meluncur dengan derasanya. Bibi Liana meraung dengan tubuh memeluk nenek yang masih saja diam tak bergerak di tempatnya, mendapati hal itu mataku kembali memanas, aku benar-benar tidak siap dengan kehilangan dalam bentuk apapun. Percaya atupun tidak, itu benar-benar menyisakan trauma yang sangat menyesakan dalam dada.Aku membalikan badan saat melihat paman Sam, ayah Lee ikut berbela sungkawa dengan tangan yang menggenggam tangan kiri nenek.Lee yang menjadi satu-satunya manusia yang masih berdiri tegak di sisi yang sam
Pantaskah aku bersedih setelah semua yang terjadi hari ini? aku melirik pada ranjang pada pada kamar tidurku, Lee terlelap nyaman dengan wajah sembab dan bekas jalur air mata yang masih sangat ketara. Aku kembali mengalihkan pandang pada bingkai berisikan foro diriku dengan nenek yang selalau terpajang rapih di samping nakas tempat tidur.Posisi tubuhku sekarang adalah duduk di bawah ranjang sisi kanan, dengan tangan menggenggam surat dan bingkai kecil dengan berlinang cairan bening bak kristal.Aku memejamkan meta sebentar, memikirkan hari esok yang pasatinya jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya bersama nenek, memikirkana hal itu selalu membuat dadaku sakit tidak kepayang.Paman Sam bilang, pemakaman nenek dilangsungkan besok pagi. Sepasang pasangan suami istri yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu sibuk menyiapkan segala hal yang dibutuhkan utnuk pemakaman besok. Andalusia, harusnya kau bersyukur karena masih ada manusia yang bersedia membantu nenek untuk ter