Tangan kannaku meraih handuk kecil khusus yang selalu kugunakan setelah mandi, meletakannya pada kepala untuk kuusap-usap lembut guna meminimalisir air bekas keramas yang masih menetes menuju baju rumahan yang kugunakan.
Kedua kakiku yang beralaskan sandal rumahan berwarna putih itu menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai satu untuk sekedar menghirup udara segar lewat jendela samping.Hingga setelah kedua kakiku menapak pada lantai putih bersih di rumah dua tingkat ini, kedua bola mataku memilih mengedar lebih dahulu mencari keberadaan nenek yang sejak pagi buta belum terlihat walaupun lewat ekor mata.“Nenek!” seruku memanggilnya dengan suara lumayan kencang.Aku mengembuskan napas lega setelah mendapati wanita paruh baya itu berjalan ke arahku dengan raut wajah bertanya, senyumanku mengembang seketika mendapati nenek mengunakan kebaya yang dulu sering dipakainya bersama almrhum kakek untuk menghabiskan waktu bersama.“Nenek, kau tSenyumanku merekah seiring dengan mengeratnya peganganku pada kemeja berwarna putih yang laki-laki itu kenakan. Sesekali melirik kedua kaki panjangnya yang mengajuh pedal hingga sepeda kuno ini melaju dengan kecepatan sedang.Athala adalah wujud kesempurnaan buatan Tuhan yang benar-benar aku kagumi, sering kali permikiran bingung mengapa ada manusia sesempurna ia dibuat oleh Tuhan untuk menjadi bagian dari manusia yang menyinggahi diri di bumi.Mungkin memang benar, Tuhan menciptakan Athala saat sedang tertawa bahagia. Hal itu yang selalu kuingat kala memikirkan mengapa ia sesempurna itu.“Lu, kau tidak mendengarkanku berbicara ya?” seru Athala yang berhasil membuat tubuhku sedikit tersentak.Aku langsung mengadahkan kepala, menatap belakang tubuhnya dengan kedua alis yang terangkat refleks.“Ada apa?” tanyaku bingung.Bukan menjawab dengan ucapan yang bisa saja membuat kebingunganku sirna, Athala malah mendengus sembari melirik
Aku mengerjapkan pandangan, menatap sekeliling dengan pandangan linglung untuk mengerti apa yang baru terjadi. Helaan napas keluar begitu saja, membiarkan suara cempreng milik Lee merusak suasana hening di dalam kamar yang biasanya tercipta saat membuka mata.Memilih membungkus seluruh tubuh menggunakan selimut berwarna hijau pastel yang baru kuganti dua hari yang lalu untuk menghalau suara cempreng gadis berambut bergelombang dua layer itu.Sesekali decakan keluar begitu saja kala merasakan raanjangku bergerak naik turun karena Lee menggunakannya untuk melompat-lompat dengan riang. Sial, menagpa gadis itu bertingkah seperti halnya anak Sekolah Dasar saja? Ia pikir berat badannya bisa tertampung pada ranjang dalam waktu yang lama?“Lee, berhenti mengacau waktu istirahatku,” kesalku sembari menatapnya dengan pandangan tajam.Namun seolah tak dihiraukannya, Lee masih setia melompat-lompat kecil dengan senyuman yang mengembang pada wajahnya.Aku mem
Yang terus kulakukan dalam satu setengah jam berkeliling dengan laki-laki yang mengaku diperintah nenek untuk menjagaku hanyalah memutar bola mata malas dengan wajah kesal menatapnya.Sedangkan sang pelaku utama yang menjadi alasan mengapa wajahku tertekuk masam hanya terkekeh menimpali sepanjang jalanan ramai penuh dengan lautan manusia yang mendambakan hiburan.“Sebenarnya kau ingin mengajakku ke mana?” tanyaku dengan nada kelewat kesal. Pasalnya hampir dua jam ini yang ia lalukan hanyalah mengajaku ke stand ice cream dan membeli perlengkapan laki-laki itu sendiri.“Aku sedang mencari toko yang dulu pernah kukunjungi,” ujarnya memberi tahu dengan mata yang masih mengedar mencari toko yang dimaksud-maksudkannya. Mendengar lontaran ucapan yang ia keluarkan, wajahku kian memerah padam. Mengapa ia mencari toko yang dirinya sendiri tak tahu dimana letaknya.“Kau lupa? Memangnya kapan kau mengunjungi toko itu?” tanyaku penasaran.
Flashback.“Benn, jangan bersikap seolah-oelah dirimu mempunyai peran penting setelah nenek mengenali dirimu secara peribadi,” ujarku dengan tatapan datar yang kulayangkan untuknya seorang.Benn yang sebelumnya mengfokuskan pandangan pada foto cetak dari toko yang baru saja kami kunjungi langsung menoleh. Ia menatapku dengan kedua alis yang terangkat, sesekali laki-laki itu melirik pada keadaan sekitar yang masih ramai oleh lautan manusia yang sibuk dengan duniannya masing-masing.“Kau sedang berbicara denganku?” tanyanya bodoh. Sangat-sangat bodoh, memangnya dengan siapa aku bertutur bila bukan pada seseorang yang membawaku kabur untuk berjalan-jalan?“Kau terlau pintar sehingga bertindak bodoh ya?” tanyaku menyindir dengan nada sinis.Ia terkekeh, kemudian memasukan tiga lembar foto kami ke dalam saku kemejanya sendiri. Sebelumnya kau ditawari untuk menyimpannya satu foto sebagai kenang-kenangan, namun secara tegas dan tak terbantah aku menolak dengan raut wajah yan
Senyumanku merekah setelah sampai di depan gedung berlantai dua tempat manusia berenang ke sana kemari.Dengan langkah riang, aku melangkahkan kakia memasuki gedung yang kini kembali dibuka setelah dua minggu lamanya ditutup karena mengikuti jadwal libur sekolah nasional.“Lu!” seruan suara cempreng itu terdengar, mengundangku untuk menoleh ke arah kiri. Senyumanku bertambah merekah mendapati anak-anak satu angkatanku melambaikan tangan sebagai sapaan hangat setelah dua minggu lamanya tak aling bersapa secara langsunsg di gedung ini.Aku melambai-lambaikan tangan kananku, sedangkan satu tanganku yang lain memegangi ranesl yang saat ini kugendong di belakang punggung.Meski pun aku memutuskan untuk langsung menuju kamar ganti untuk berganti pakaian, tetapi sebelum itu aku mengedarkan pandangan. Mengapa Lee dan Joo tak tampak dalam netra? Dua detik setelahnya, aku mengendikan bahu merasa acuh, pasti nanti mereka muncul dengan sendirinya.Tas
Mungkin terasa asing, betah berlama-lama di luar rumah selalu dirasakan manusia saaat keluar dari sangkarnya. Begitupun aku, dengan langkah stabil menyusuri trotoar dengan netra yang sesekali melirik pada jalanan raya yang ramai di padati variasi kendaraaan. Bunyi bising yang tercipta tak membuatku menutup telinga, manusia yang biasanya menolak berada dalam laingkup ramai nan membisingkan kini malah menjadi salah satu manusia yang membiarkan tubuh dihembus angin sore dengan santainya.Hari mulai senja, kulirik arloji pada pergelangan tangan. Mendesah lelah saat jam menunjukan pukul 16.11 WIB.Perut yang keroncongan membuatku memutuskan untuk singgah pada minimarket di sisi kiri jalan untuk sekedar menikmati mie.Langkah kaki membawaku masuk, mengedarkan pandang kesegala penjuru arah untuk mengamati keadaan sekitar yang cukup hening. Pendingin ruangan dan suara musik klasik yang mengalun membuat senyuman pada wajahku timbul, aku kembali berjalan setelah memberi s
Firasat buruk, pernah merasakan perasaan itu? Aku menegguk ludah secara kasar saat tersadar dari dunia pikiran. Turun di halte dekat rumah yang untungnya tidak terlewat saat putaran bus yang kedua. Aku melirik pada arloji di pergelangan tangan, pukul 20.01 WIB. Berdecak keras karena setengah jam langsung terhanyuh tidur tanpa dulu bangun dalam bus.Kedua kakiku kembali berjalan dengan tempo cepat. Perasaan tidak mengenakan yang kini dirasa baik hati maupun raga memaksaku untuk terus berjalan maju hingga didepan rumah.Rasanya aneh, mengapa tanganku gemetar sedemikian?Sesekali aku memaparkan senyuman tipis saat beberapa tetangga komplek menyapaku disela kegiatannya. Terasa masih asing walau telah menghabiskan hidup di lingkup ini 15 tahun lamanya.Aku sampai tepat di depan gerbang rumah yang masih setia terututp, masuk dan kembali menutupnya rapat-rapat. Kedua alisku terangkat lengkap dengan dahiku yang menyirit bingung, mengapa lampu teras dibiarkan mati?
Pintu kamar nenek terbuka dengan sedikit kasar, aku hanya bisa menatap nyalang tiga manusia dengan raut wajah khawatir terpancar pada wajah. Namun setelahnya netraku kembali bergulir menatap ranjang yang menjadi tempat pertumpuan tubuh nenek yang terbaring tanpa deru napas.Bibi Liana, ibu Lee lebih dulu mendekat ke arahku. Ia merangkak naik di sisi ranjang yang lain, netranya tampak berkaca-kaca hingga satu detik setelahnya cairan kristal pada matanya meluncur dengan derasanya. Bibi Liana meraung dengan tubuh memeluk nenek yang masih saja diam tak bergerak di tempatnya, mendapati hal itu mataku kembali memanas, aku benar-benar tidak siap dengan kehilangan dalam bentuk apapun. Percaya atupun tidak, itu benar-benar menyisakan trauma yang sangat menyesakan dalam dada.Aku membalikan badan saat melihat paman Sam, ayah Lee ikut berbela sungkawa dengan tangan yang menggenggam tangan kiri nenek.Lee yang menjadi satu-satunya manusia yang masih berdiri tegak di sisi yang sam
“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Gedung pelatihan berenang kini bukan lagi tempat pilihan yang harus dikunjungi tiga hari sekali. Suasanyanya cukup hening dikarenakan tibanya aku di gedung besar ini terlalu pagi. Walau ada beberapa manusia yang sedang berenang bolak-balik sembari mengitari kolam renang dengan berbagai gaya berenang. Aku tak menjadikan gedung ini sebagai pilihan, melainkan sebuah keharusan. Melihat yang aku sukai hanyalah bermain air aku hanya bisa berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang kusukai.Kedua langkah kakiku bergerak mendekati kolam untuk mengecek suhu air di dalamnya. Takut-takut air di dalamnya tak cocok dengan kondisi tubuhku yang kini memang terasa tidak enak. Setelah memastikan airnya tidak terlalu dingin, kedua langkah kakiku ini kembali berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti baju yang kugunakan menjadi pakaian berenang yang biasanya kupakai di saat berda di tempat ini.Lee dan Joo masih sibuk dengan kuliah mereka sekarang ini, dibanding dengan diriku sendiri mereka b
Helaan napas lelah keluar dari multuku saat selesai menyelesaikan cucian bajuku sendiri dan menjemurnya di halaman samping. Dengan keringat yang meluncur dengan deras karena sinar matahari pagi yang hari ini bersinar dengan kemilaunya aku menyeka keringat menggunakan lengan kananku. Sementara satu tangan yang lainnya sibuk mengipasi diriku sendiri walau tahu hasil yanga kurang memuaskan.Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu tanpa berniat menuju kamar untuk sekeda mendunginkan tubuh. Sesekali kedua bola mataku mengedar mencari debu yang mungkin saja masih menempel pada satu benda yang lainnya. Aku tak bohong bila akhir-akhir ini merasa pikun, selalu melupakan sesuatu bila kekelahan mendera.Langkah kakiku berjalan menyusuri tapakan keramik putih yang berbunyi seirama dengan sandal rumahanku yang kini kembali terpakai. Tubuhku terduduk di atas singgle soffa depan pintu utama dengan kedua piantu rumah yang terbuka lebar, menetralkan deru napas yang memburu karena tig
Rasanya tak percaya dengan skenario Tuhan yang terasa dan tampak tak mudah di depan mataku kali ini. Aku duduk berhadapan dengan athala yang kini juga sedang menatapku dengan senyuman yang sejak beberapa manit yang lali tak luntur. Aku merasakan deruan napas miliknya menerpa dengan lembut pada permukaan wajahku yang kali ini memilih bungkam dan berperan pasif.Agaknya tak percaya dengan harpanku di dunia pikiran yang menjadi kenyataan di dunia nyata. Mataku kembali memanas saat mengingatnya, ia benar-benar Athala. Aku tidak berada di awang-awang dunia yang biasanya memepertemukan antar diriku dan aAthala.“Lu?” panggilnya dengan kedua alis yang terangkat saat menyadari diriku tidak dalam keadaan yang tenang untuk mendengarkan deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.Aku tersadar begitu saja, kemudian Athala yang kini masih emnampilkan wajah tenagnya seolah pertemuan pertama kami di dunia nyata tak sama sekali membuatnya canggung atau memeras atak e