Kembali pada pertemuan kami selanjutnya, kala aku mengiyakan ucapannya untuk segera memberitahukan dimana letak pohon harapan yang jujur saja sudah lama tidak kutengok dan kusinggahi.
Aku mengadah di boncengan belakang sepeda onthel yang ditunggangi bersama Athala, laki-laki itu tetap bersikap tenang walau kadang bertanya kemana arah selanjutnya."Setelah ini ke arah mana lagi, Lu?" tanyanya kembali masih dengan netra fokus ke jalanan di depan sana.
Aku menoleh, mendonggak menatap topi putih yang dikenakannya. "Masih jalan lurus," jawabku tanpa berpaling dari pemandangan indah dari belakang kepalanya.Andalusia, entah untuk ke berapa kalinya kamu harus mengakui bilamana dirimu benar-benar jatuh sejatuh jatuhnya ke dalam pesona sang laki-laki yang secara tak sengaja berada di dalam jalur skenario yang sama buatan Tuhan, yakni Athala.
Harusnya aku merasa bersyukur saja, tak perlu berlama-lama merasa bersedih dan m
Helaan napas kembali keluar begitu saja dari mulutku, aku mengedar mencari dua manusia yang bisa mengintiliku kini enyah dari pandangan.Kedua tanganku masuk ke dalam saku jaket yang aku gunakan pagi ini, suasana pagi di depan gerbang sekolah yang ramai akan siswa menanti datangnya bus camping tidak membuat susasana menjadi panas, mungkin karena bulan ini mulai memasuki bulan penuh hujan, juni dan seterusnya.Diatas kepalaku terselampir cindung berwarna merah muda hasil rajutan tangan nenek, wanita paruh baya itu sebenarnya melarangku ikut kegiatan luar seperti ini, aku pun mengiyakan ucapan nenek. Namun mengingat Lee yang sudah sangat antusias dan ingin aku ikut serta dalam kegiatan kali ini, aku sulit menolak dan bolos kegiatan.Lagi pula tidak lama, hanya satu hari. Hal itu malah semakin membautku mendengus tidak suka. Mengapa mengadakan acara yang letak jaraknya cukup jauh bila hanya diadakan satu hari saja? Bukannya itu hanya membuang-buang tenaga manusia?
Mungkin bagi Lee dan Joo, perjalanan menuju tempat camping akan terasa menyenangkan.Lain halnya denganku yang hanya bisa menghela napas terus menerus sembari bertopang dagu manatap pemandangan luar bus yang disi dengan deretan pohon besar dan tinggi menjulang. Mengartikan bahwa bus yang kami tumpangi ini sudah berada di dareah bukut tinggi. Sepertinya begitu walau aku rasa aku sedikit ragu.Kembali melirik pada sepasang manusia yang entah mengapa menolak terpisah barang sedetik pun. Aku tidak bisa menyalahkan Lee maupun Joo yang memilih duduk berdua di bangku seberangku sebab mereka memang sudah bmemiliki hubungan sepesial. Dan seluruh angkatan tahun ini hampir semuanya menghetahuinya.Senyumanku terbit, mendapati Lee bersandar nyaman di bahu Joo dengan kedua kelopak mata yang terpejam nyaman.Sedangkan Joo, laki-laki yang sudah melepaskan jaket yang sebelumnya ia pakai, kini sedang menatap benda pipih di tangan kanannya dengan netra sesekali m
Mendirikan tenda, hal yang paling tidak disukai oleh diriku sendiri saat berpetualang. Sejak dulu, bermula kala perkemahan tahunan, lebih tepatnya saat aku sedang duduk di bangku Sekolah dasar, tersadung tambang yang mengakibatkan diriku ditertawai teman satu kelas selalu terngiang dengan lancang dalam pikiran.Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku tidak senang mengikuti perkemahan atau camping selama 12 tahun mengayom pendidikan dibangku sekolah.Helaan kembali keluar dari mulutku, kedua bola mataku tak terlih pada palu yang kugunakan untuk memukul sebuah paku besar yang entah bernama apa.Sedikit bersyukur karena kelompok Joo lebih dulu selesai sehingga laki-laki itu secara sukareka menawarkan bantuan untuk mendirikan tenda kelompokku. Ralat, sepertinya ia melakukan hal demikian untuk sang gadis agar tidak terlalu kelelahan, aku selalu berpkir sedemikian.Syukurkan semesta berbaik hati padaku kali ini, bersama dalam kelompok Lee adalah kesenanga
Sensasi menyenangkan kala tubuhku mulai hanyut menuju dunia pikirian kembali kurasakan sore ini, senyuman tak pernah luntur dari wajahku. Mewakili bongkahan rasa sejuk dalam hati karena kembali menemui sang pemilik hati. Aku bersyukur terlah memberitahukan Lee perihal hal yang biasa terjadi pada tubuhku saat 17.17 WIB, nyatanya gadis itu cukup cerdik karena memiliki ide brilian yang digunakan untuk menyangkal keterlambatan diriku nanti di tengah lapangan untuk acara api unggun dan festival kecil.Lee menggunakan alasan diriku sakit, membuatku lebih leluasa tertidur dalam dunia nyata untuk hidup di dunia pikirian walau hanya satu jam ke depan.Kedua kakiku mulai menapak pada rerumputan hijau di dunia pikiran yang selalu berembun, mulai melangkah menuju pohon rindang nan tinggi menjulang dengan akar merambat kehinga tampak di atas permukaan tanah.Aku mendudukan tubuhku pada bangku panjang reot yang terdapat di bawah pohon beringin ini, angin sepoi-sepoi yang kurasa
“Langsung istirahat saja, kelihatannya kau masih lemas dan bibirmu juga masih sedikit pucat. Awas, jangan berniat mengerjakan tumpukan soal penuh angka setelah ini,” ujar Lee panjang lebar dari dalam mobil milik Joo.Aku yang sudah keluar dari mobil berwarna kuning dengan ransel yang ku letakan dibawah kaki hanya menanggapinya dengan anggukan pelan, menambah kesan lemas yang sebenarnya memang kurasakan saat ini.Lee menghela napas, kemudian menunjuk gerbang rumahku dengan dagunya sendiri, “Pergilah masuk untuk berisitirahat,” ujarnya lagi.“Jangan membuat tubuhmu kian melemah, Lu,” timpal Joo ikut menasehatiku seperti hannya Lee.Lagi-lagi aku mengangguk, “Aku masuk, kalian pulanglah dengan selamat,” ujarku parau. Tenggorokanku juga sedikit sakit.Tangan kananku meraih ransel, melambai-lambaikan tangan kiri lebih dulu sebelum membalikan badan untuk memasuki perkarangan rumah yang memang kelihatannya akan sela
Napasku terengah-engah, dengan tangan kanan memegangi dadaku sendiri yang kian bertambah bergemuruh. Bermodalkan tangan kiri yang bertumpu pada kasur sebab tubuhku yang tiba-tiba terjaga, reflek kaget karena memimpikan ulang kejadian kemarin sore di dunia pikiran bersama laki-laki bernama Athala.Aku mengerutuki diriku sendiri yang memikirkan Athala lebih dulu sebelum terlelap menuju alam bawah sadar. Mungin hal itu mengakibatkan tentangnya mampir dalam mimpi, itu masih menjadi kemungkinan yang akan selalu kuanggap kesamaran.Helaan napas keluar setelah aku mulai tenang, aku memundurkan tubuh hingga bersandar nyaman pada kepala ranjang, tatapanku lurus ke arah jendela yang tertutup dengan horden yang sesekali berayun terkena kipas dan pendingin ruangan yang sama-sama menyala.Mataku mengedar, membelak kaget saat tak sengaja melirik jam dinding yang terpasang di dekat pintu masuk. Pukul 15.53 WIB, aku tidur hampir enam jam lamanya. Sebegitu lelahnya aku? Bahkan aca
Dengan pandangan menerawang jalanan di luar lewat kaca bus yang kutumpangi, tanganku ikut serta menopang wajah dengan raut wajah kelewat datar. Seolah tak memusingkan keadaan bus yang hari ini lumayan ramai diminati pekerja kantoran yang baru saja pulang.Untung saja, kursi ntunggal dekat supir masih tersisa. Syukurlah, kali ini harus kuanggap sebagai kebruntungan.Beralih menatap arloji yang melingkar padpergelangan tangan, aku mendesah lelah, sebentar lagi dunia pikiran membawa tubuhku masuk selama satu jam ke depan. Merasa puas mantap jam yang tertera, aku beralih menatap jalanan untuk mengetahui berapa halte lagi yang harus kulalui setelah halte pertama terlewat tadi.“Masih lumayan lama,” gumamku setelah menatap jalanan cukup lama.Aku kembali menopang dagu, memilih terlelap lebih dulu sebelum dunia pikiran kembali menghanyutkanku untuk kesekian kalinya.“Andalusia!” Aku tersentak mendengar seruan lumayan kencang itu. Tubuhku
Kedua bola mataku berotasi menanggapi tanggapan berlebihan Benn pada dokter laki-laki yang batu saja memeriksa keadaan tubuhku. Laki-laki itu seolah memeraankan peran utama dalam cerita tanpa mengerti dialog dan alur yang sudah dimantapkan oleh sang penulisnya.Aku tak menganggap diriku sedang geer sekarang ini, yang jelas laki-laki itu bereaksi seolah ia adalah laki-laki penting yang ada di skenario yang dibuat Tuhan dalam hidupku. Secara kasarnya, kubilang ia berusaha terlihat sebagai kekasihku, ya walaupun dokter pun sepertinya percaya apa yang sedang dilakukannya sekarang.“Terima kasih, dok,” ucap Benn yang kembali kutanggapi dengusan keasl. Aku tersenyum tipis untuk menghormati dokter dan dua suster yanag ikut serta, tiga manusia berpakaian serba putih itu meninggalkan ruang rawat yang menampungku sendirian. Menyisakan Benn sebagai manusia asing dengan diriku sang pasien yang ditinggalkan Nenek. Sungguh, deni apapun tak pernah terlintas dalak benak untuk
“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Gedung pelatihan berenang kini bukan lagi tempat pilihan yang harus dikunjungi tiga hari sekali. Suasanyanya cukup hening dikarenakan tibanya aku di gedung besar ini terlalu pagi. Walau ada beberapa manusia yang sedang berenang bolak-balik sembari mengitari kolam renang dengan berbagai gaya berenang. Aku tak menjadikan gedung ini sebagai pilihan, melainkan sebuah keharusan. Melihat yang aku sukai hanyalah bermain air aku hanya bisa berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang kusukai.Kedua langkah kakiku bergerak mendekati kolam untuk mengecek suhu air di dalamnya. Takut-takut air di dalamnya tak cocok dengan kondisi tubuhku yang kini memang terasa tidak enak. Setelah memastikan airnya tidak terlalu dingin, kedua langkah kakiku ini kembali berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti baju yang kugunakan menjadi pakaian berenang yang biasanya kupakai di saat berda di tempat ini.Lee dan Joo masih sibuk dengan kuliah mereka sekarang ini, dibanding dengan diriku sendiri mereka b
Helaan napas lelah keluar dari multuku saat selesai menyelesaikan cucian bajuku sendiri dan menjemurnya di halaman samping. Dengan keringat yang meluncur dengan deras karena sinar matahari pagi yang hari ini bersinar dengan kemilaunya aku menyeka keringat menggunakan lengan kananku. Sementara satu tangan yang lainnya sibuk mengipasi diriku sendiri walau tahu hasil yanga kurang memuaskan.Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu tanpa berniat menuju kamar untuk sekeda mendunginkan tubuh. Sesekali kedua bola mataku mengedar mencari debu yang mungkin saja masih menempel pada satu benda yang lainnya. Aku tak bohong bila akhir-akhir ini merasa pikun, selalu melupakan sesuatu bila kekelahan mendera.Langkah kakiku berjalan menyusuri tapakan keramik putih yang berbunyi seirama dengan sandal rumahanku yang kini kembali terpakai. Tubuhku terduduk di atas singgle soffa depan pintu utama dengan kedua piantu rumah yang terbuka lebar, menetralkan deru napas yang memburu karena tig
Rasanya tak percaya dengan skenario Tuhan yang terasa dan tampak tak mudah di depan mataku kali ini. Aku duduk berhadapan dengan athala yang kini juga sedang menatapku dengan senyuman yang sejak beberapa manit yang lali tak luntur. Aku merasakan deruan napas miliknya menerpa dengan lembut pada permukaan wajahku yang kali ini memilih bungkam dan berperan pasif.Agaknya tak percaya dengan harpanku di dunia pikiran yang menjadi kenyataan di dunia nyata. Mataku kembali memanas saat mengingatnya, ia benar-benar Athala. Aku tidak berada di awang-awang dunia yang biasanya memepertemukan antar diriku dan aAthala.“Lu?” panggilnya dengan kedua alis yang terangkat saat menyadari diriku tidak dalam keadaan yang tenang untuk mendengarkan deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.Aku tersadar begitu saja, kemudian Athala yang kini masih emnampilkan wajah tenagnya seolah pertemuan pertama kami di dunia nyata tak sama sekali membuatnya canggung atau memeras atak e