Langkah kakiku menapak pada paving sekolah yang sedikit basah karena hujan deras semalam. Embusan napas teratur yang keluar dari hidungku seirama dengan degub jantung yang kini stabil.
Kedua tanganku bertumpu pada ransel sekolah yang kugendong di belakang punggung.
Sedangkan rambut panjang milikku kini diikat kuda seperti biasanya. Ah, mengapa semua hal yang kuceritakan harus membuatku teringat pada Athala, sih? Kuncir kuda dan Athala. Laki-laki itu punya sejuta memori dari sebagian ingatanku.Tha, kau tidak berniat kembali kah?
Sebenarnya sakit bila kuungkit lagu. Namun memang pada dasarnya jari tanganku terasa gatal dan ingin menulisnya, aku terpaksa memulainya lagi. Izinkan aku kali ini lagi, tolong. Athala, ini kesekian kalinya bab yang selalu berisi kisahmu. Ralat, kisah kita. Bukannya menyangkal kisah lain yang ada dialur hidupku, Tha. Namun kurasa hanya kisahmu yang patut kuabadikan selain Joo d"Dia siapa, Lu?" tanya Lee. Jari telunjuknya menunjuk sebuah sketsa wajah Athala yang baru kubuat tiga hari yang lalu.Aku menoleh setelah meletakan buku-buku sejarah yang baru saja baca, lalu berjalan menuju tempat Lee berdiri dengan netra memandangi sketsa laki-laki itu.Aku tersenyum getir, kembali mengingat Athala dan serpihan memori yang ada."Kau sudah punya pacar, Lu?" tanya Lee dengan kedua alis yang terangkat. Raut wajah tidak percayanya malah membuatku sedikit salah tingkah."P-pacar?" tanyaku balik dengan sedikit terbata.Lee manatapku bingung, mungkin karena mendengar respon tak biasa yang keluar dari mulutku.Ia menghela napas, kemudian mendudukan tubuhnya di atas ranjang milikku dengan kedua tangan yang bersedekap dada."Aku hanya mengenalinya," ujarku masih dengan netra memandangi sketsa itu. "Juga mencoba memahami rumitnya dia," sambungku.Pacar? Tidak, aku dan Athala tak pernah
Lagi, adegan kala Athala sibuk mengedarkan pandangannya mencariku kembali terulang. Aku memaksa membuka kedua kelopak mataku, tetapi bak ditahan oleh sebuah lem, sulit rasanya terbuka.Air mataku kembali turun, rasanya tidak kuat menahan perasaan mengerat yang melilit dada.Tubuhku bersandar penuh pada kepala ranjang, menatap pintu balkon kamar yang selalu kubuka setiap malamnya. Menatap horden tipis berwarna putih yang berayun seirama dengan angin malam yang menerpanya.Kedua tanganku memeluk erat boneka kecil yang entah sejak kapan berada dalam dekapan, aku tak ingin terlalu memusingkannya.Lagi dan lagi, mimpi perihal Athala dalam dunia nyata kembali terulang. Mimpi saat dimana aku hanya bisa menatapnya tanpa lagi bisa menyentuh dan menyapannya. Seolah aku hanyalah mahluk tak kasat mata yang tak bisa menyentuh manusia seperti Athala. Biar saja aku memposisikan diriku sedemikian, rasa kesal diriku akan tubuhku dan kejadian beberapa waktu silam sering memb
Tak banyak yang bisa kulakukan untuk meratapi ketidakberadaan dirimu, Tha. Hal-hal yang kujalankan dalm dunia nyata tampak seperti paksaan yang malah membuatku mati rasa. Jangan anggap aku manusia yang berlebihan, karena memang begitu kenyataannya.Perlahan, kuresap teh dalam cangkir putih yang beberapa waktu lalu dibuatkan oleh nenek. Pandanganku tertuju pada anak-anak yang kira-kira masih duduk di bangku sekolah dasar bermain layangan di lapangan depan rumah lewat balkon kamar.Mataku memang menatap ke arah manusia lain, menatap aktivitas mahluk lain seperti Andalusia yang biasnya. Raut wajahku tenang, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah dan rambut panjang tergeraiku.Piyama nyaman berwarna kuning pastel yang melekat pada tubuhku dan belum kuganti sejak kemarin sore tak membuatku risin. Enggan sekali berjalan dan menyiram tubuh menggunakan air dingin di kamar mandi. Aku hanya ingin berdiri di sini dengan pikiran penuh perihalmu, Tha.Aku tak pe
Ting!Gelas kecil berisi kopi tubruk milikku, Joo, juga Lee saling bertubrukan. Kami mulai menyesap kopi hitam dalam genggam tangan dengan senyuman merekah yang tampak pada masing-masing wajah.Joo lebih dulu meletakan gelas miliknya di atas meja, menatapku dan Lee yang duduk bersebelahan dengan senyuman yang terpatri jelas pada jawahnya.Aku ikut meletakan gelas milikku, kemudian mengedarkan pandangan mencari pelayan cafe untuk menambah menu makanan yang dirasanya belum sempat kupesan.Kopi dan sandwich di atas meja tak bisa mengganjal penuh perut kami, mungkin karena Lee terlalu irit untuk memesan menggunakan uangnya sendiri.“Ada yang ingin dipesan lagi, Kak?” ujar pelayan berseragam hitam putih dengan sebuah clemek dan tangan yang memegagi catatan.“Paket B, ya,” ujarku memberitahu dengan seutas senyuman. Menunjuk paket menu berisi lima variasi makanan yang ada pada buku menu.Pelayan muda itu lantas mengangguk, mencatat pesananku dan berlalu d
Hari hingga minggu berlalu, yang bisa kulakukan setelah satu bulan penuh kau tenggelam dalam pikiran, yang kulakukan hanya merenung dan meratapi nasib hidup yang kurasa tak pernah baik.Tha, tolong jangan salahkan manusia lemah sepertiku yang tak mudah merelakan sesuatu. Sebab, memang pada kenyataannya aku tak akan pernah sudi merelakan sesuatu yang sudah memberiku kenyamanan.“Lu!” seruan kencang dari belakang tubuhku reflek membuatku menoleh.Senyumanku langsung mengembang kala Lee melambai-lambaikan satu tangannya dengan senyuman merekah. Suasana Cafe cukup tenang, tak perlu malu menjadi pusat perhatian karena seruan gadis itu.Namun kerutan dahiku tampak kala mendapati presensi di belakang tubuh Lee.Hingga dua manusia itu mendekat dan duduk di banggku kosong yang ada di depanku, aku hanya bisa menatap manik Lee dan laki-laki asing itu secara bergantian.Sedikit tak menyangka bila gadis itu benar-benar mendatangkan laki-laki yang disebutnya
Decakan kagum dan raut wajah bahagia tak luntur dari seluruh manusia yang singgah di lapangan desa lumayan luas ini. Tidak terkecuali aku, gaun putih lusuh yang kupakai bergerak seirama dengan hembusan angin malam yang menerpa.Sedangkan tangan kiriku yang terus ditarik Winda agar lebih dalam memasuki kerumunan manusia sama sekali tak membuatku kesal. Senyumanku merekah, sesekali melempar tatapan kagum pada penduduk asli desa ini yang mentapku dengan tatapan bingungnya. Mungkin, merasa tak pernah melihatku di desa ini.“Kak, itu lampionnya.” Winda menunjuk kerumunan manusia di ujung lapangan yang menjual lampion berbagai warna dan motif yang berbeda.Aku mengangguk, lantas membiarkan tangan kiriku kembali ditarik gadis kecil berusia dua tahun lebih muda dariku menuju kerumunan manusia itu.“Yang mana, Kak?’ tanya Winda. Kedua tangannya menujukan lampion dengan warna dan model yang berbeda.Aku menimang sebentar, kemudian menunjuk lampion berwarna merah d
Entah, rasanya kurang mengenakan bila setiap bab cerita yang kutulis bukan perihalmu yang pertama aku utarkan.Ada bagian dari diriku yang menolak dan tidak terima hal kecil itu selalu menjadi kebiasaan.Mungkin, kebiasaan kecil itu bisa menjadi bemerang yang meneyerangku kala lengah. Melupakanmu misalnya, atau malah dirimu yang tiba-tiba amnesia dan berlagak tak lagi mengenalku ebagai manusia lain yang terjebak bersamamu di dunia pikiran.Tha, bilamana ada bagian dari diriku yang kurang mengenakanmu, yang menjadikanku jahat dalam cerita versimu, walau rasanya tidak mungkin ... kemungkinan itu pasti ada. Dan sialnya manusia sepertiku tak pernah berkehendak untuk menyangkalnya.Satu bagian cerita ini kutulis cuma-cuma tentang pertemuan pertama kita di dunia pikiran.Kala itu, yang kita berdia rasakan hanyalah keterkejutan dan rasa penasaran yang menggelora dada. Tak ada rasa menggelitik yang kau rasa atau tasa tak nyaman dan ingin pu
Suara pluit menggema disusul dengan suara ceburan peserta ujian akhir.Aku menatap Joo yang menjadi salah saru peserta yang baru saja memulai praktek berenangnya, laki-laki itu tampak tenang mengayunkan tangan dengan sesekali memunculkan wajah ke atas permukaan.Lee, gadis cantik seumuranku yang duduk di bangku samping kiriku sesekali bertepuk tangan dengan senyuman lebar merekah. Netranya sama sekali tak bergulir ke arah lain, fokusnya hanya pada Joo sejak laki-laki itu menceburkan diri ke kolam renang.Tanpa sepengetahuan Lee, aku tersenyum tipis. Ikut andil merasa bahagia yang setara mengingat kedekatan dua manusia yang dulunya menolak bersama.Joo dan Lee semakin dekat, tak ada canggung ataupun rasa sebal yang terasa bila menghabiskan waktu bersama.Benar kata Athala, segalanya memang perihal waktu saja."Joo, semangat!" seruan kencang Lee kembali terdengar. Aku mendengus kala merasakan telingaku berdengung kare