Aku tersenyum menatap selebaran kertas dalam genggaman tangan, mengamati lebih lekat tulisan menggunakan bolpoin berwarna merah. Nilai yang semputna untuk ujian minggu ini.
Helaan napas lega keluar dari mulutku, kemudian menekuk kertas tadi menjadi beberapa bagian dan memasukannya ke dalam tas. Mataku mengedar, menatap keadaan kelas yang mulai tercipta keheningan. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Hal itu sama sekali tidak membuatku beranjak dan bergegas keluar dari gedung besar ini. Namun mengingat nenek, sontak aku langsung bangkit. Besok akhir pekan, dan aku tidak akan ada kesibukan lain selain berlatih berenang. Tas gendong berwarna mocca yang kupakai sekolah sejal kelas sepuluh kini sudah bertenger manis di bahuku. Aku beranjak setelah merapikan rambut yang hari ini kukuncir kuda. Langkah kakiku keluar dari kelas, berjalan disepanjang koridor yang hanya dilintasi beberapa siswa saja. Mataku kini melirik pada lapangan outdor, ramai. Sekelibat keinginan untuk ikut dalam organisasi atau sebuah estrakulikuler membucah, keinginan itu tak pernah terwujudkan sejak diriku duduk di bangku SMP. Bila tanya apa masalahnya, jawabannya ayah. Aku sampai di depan gerbang, bergegas menyebrangi jalanan raya setelah lampu merah menyala. Ah, kehidupan yang tidak buruk. Tubuhku duduk di bangku panjang terbuat dari besi yang sudah sedikit berkarat. menghirup napas dalam dengan mata terpejam menikmati keadaan sore hari yang familiar dalam ingatan sekali. Tiba-tiba aku teringat Athala, sedikit meringis tatkala mengingat kejadian kemarin sore saat tubuhku secara reflek memeluknya erat hingga waktu bertemu kami dalam dunia putih berakhir. Aku mengulum senyum, pipiku terasa panas saat mengingatnya saja. Entahlah mungkin memang naluri diri yang cukup berani, toh Athala juga sala sekali mempermasalahkan tubuhnya aku peluk. Bus berhenti di depan halte, aku dan beberapa penumpang naik ke dalam kendaraan besar ini. Bangku tunggal sampaing jendela, tempat favoritku di bus ini. Aku langsung mendudukan tubuhku di sana, takut-takut ada penumpang lain yang menerobos dan mengambil tempat duduk itu. Seperti biasanya, tak ada hal yang lebih membahagiakan selain menatap jalanan ramai dengan awan yang menjinga. Lima menit lagi untuk masuk ke dalam dunia pikiran, anggap saja kali ini aku menunggu waktu sepesial itu. Karena memang benar seperti itu. Aku menunggu waktu kami, waktu Andalusia dan Athala. ***“Welcome,” bisik suara familiar itu dari balik tubuhku.
Senyuman merekah langsung berbit begitu saja pada wajahku, aku membalikan badan. Menatap Athala yang membungkuk agar tinggi badan kami tampak sama. “Hai,” sapaku dengan senyuman yang belum luntur. Athala ikut tersenyum, setelahnya laki-laki itu menegakan tubuhnya. Tangannya terulur menuju kepalaku, menusap rambutku lembut tanpa mengakihkan pandangannya ke arah lain. “Aku senang pertemuan yang seperti ini, Lu,” ujarnya. Aku mengangkat kedua alis tanda bingung. Namun bukannya menjawab atas kebingunganku, Athala malah menggenggam tanganku dan melangkahkan kakinya menuju salah satu bangku panjang yang ada di dunia buatan kami ini. “Maksudmu apa, Tha?” tanyaku dengan ucapan, barangkali ia tidak paham akan kedua alis yang terangkat. Athala mendudukanku dibangku putih itu, ia ikut duduk di sampingku dengan pandangan yang kini teralihkan pada rerumputan segar. “Biasanya kau tiba di sini dengan muka masam,” jelas Athala yang langsung membuatku mengerti. Aku mengangguk-anggukan kepala untuk menanggapinya. Benar apa yang Athala katakan, dulu rasanya menyebalkan bila sampai di dunia ini. Sampai-sampai pernah terbesit dalam pikian untuk mencari tahu cara menghancurkan dunia buatan kami berdua ini. Juga cara untuk mempercepat tersadarnya aku dari dunia pikiran ini. Athala benar-benar mengubah sudut pandangku terhadap dunia aneh ini, kupikir kini tidak begitu buruk. “Jangan terlalu banyak berpikir,” ucap Athala yang langsung membuatku tersadar. Aku kembali menggeleng-gelengkan kepala, “Hanya membenarkan ucapanmu saja.” “Memangnya benar begitu ucapanku, Lu?” tanyanya. Aku menyirit bingung, tak mengerti akan maksud ucapan Athala barusan. “Apa maksudnya?” tanyaku. “Dengan sikapmu yang seperti ini, apa merasa ada yang salah?” tanya Athala lagi, memperjelas ucapan penuh teka-teki sebelumnya. Aku memalingkan wajah darinya, mengedarkan pandangan sembari memikirkan pertanyaan Athala tadi. “Mungkin iya, ah tidak,” Athala terlihat bingung dengan jawabanku, dahinya bergelombang dengan kepala yang memiring ke arahku. “Jadi?” tanya laki-laki itu lagi. “Lucu bila kusebut sebagai perubahan, Tha,” “Mengapa lucu? Merasa tidak mengenali dirimu sendiri?´tanya Athala lagi. Benar-benar peka terhadap apapun, harus kuacungkan empat jempol untuknya. Mengapa ada mahluk seperti Athala? Mengapa dia bisa sekali memahami perkataan yang bahkan diriku sendiri kurang mengerti? Aku mengangguk, membenarkan ucapannya yang ia bilang ‘sedikti kehilangan diriku sendiri dan merasa tidak mengenali diriku sendiri.’ “Benar begitu, Lu? Kau tidak bisa mengenali dirimu sendiri sekarang?” tanyanya beruntun lagi. Aku menjawabnya dengan anggukan polos. Athala terkekeh mendapati responku barusan, ia kembali memalingakan wajah dengan bibir yang terlipat ke dalam mulitnya. “Wajahmu menggemaskan sekali,” puji Athala. Pipiku memanas mendengarnya, tanganku terlulur memukul bahu kekarnya yang sama sekali tidak ia tanggapi dengan rintihan sakit. “Lu, bila merasa tak mengenali dirimu sendiri, itu artinya kau belum percaya pada dirimu sendiri,” jelas Athala yang membuatku kembali memutar otakku lebih keras. “Jawaban macam apa itu?” tanyaku tak terima setelah berpikir sebentar. Aku percaya pada diriku sendiri. Athala mengendikan bahu acuh, “Memang seperti itu artinya, Lu.” Bibirku maju beberapa centi, kembali memutar otaku lagi. Bila diingat-ingat, aku memang tidak terlalu percaya pada diriku sendiri. Saat belajar untuk mempersiapkan ujian dan menjawab soal-soal latihan, walaupun otakku paham jawabannya, aku tidak langsung menjawab bila tak memeriksa berbagai sumber di internet lebih dulu. “Tampaknya ucapanku benar lagi,” ujar Athala yang selalu membuatku tersadar. Aku mengangguk pelan dengan gigi yang mengigit bibir bagian bawahku. Athala sepertinya mengerti akan perubahan ekspresi wajahku, tangannya kembali terulur mengusap rambutku yang dikuncir kuda. “Tidak apa, Lu. Hanya saja harusnya kau khawatir perihal sesuatu,” “Apa yang harus kukhawatirkan?” tanyaku penasaran. “Bagaimana cara dirimu percaya pada manusia lain bila pada diri sendiri saja enggan percaya, Lu?” Deg..., rasanya seperti tertampar akan balasan Athala atas pertanyaanku. Aku sama sekali tak menyalahkan ucapan laki-laki itu, karena memang itu benar adanya. Mungkin karena itu aku tak pernah begitu percaya pada manusia lain di bumi ini selain nenek. Athala benar, rasa tidak percaya pada orang lain ini muncul pertama kali saat aku merasa tidak mengenali diriku sendiri. Dulu, Andalusia yang dulu tidak senang matematika. Dulu, Andalusia tidak suka dengan tempat les. Dulu, Andalusia sempat tidak suka dengan kedua orang tuanya. “Kau harus belajar mempercayai orang-orang disekitarmu setelah ini,” ucap Athala. Aku menoleh ke arah laki-laki itu. Kemudian mengangguk dengan senyuman tipis tanda kelegaan. Benar-benar lega, rasanya satu beban besar yang sejak dulu tertanam kini terangkat begitu saja saat membicarakannya pada Athala. “Bagaimana dengan dirimu sendiri, Tha?” tanyaku balik. “Apa yang bagaimana?” tanyanya tak paham. “Pernah merasa tidak mengenali dirimu sendiri tidak?”Weekend minggu ini tidak terlihat buruk, itu menurut pengelihatan ku kali ini.Satu persatu anak tangga kupijaki dengan satu tangan berpegangan pada besi sebagai penopang.Kedua bola mataku mengedar, mencari keberadaan nenek yang belum tampak dalam pandangan.Senyumku langsung merekah tatkala mendapati wanita paruh baya itu duduk di kursi makan dengan susu dan bubur di atas meja yang selalu menjadi hidangan seperti hari-hari sebelumnya."Selamat lagi, nek," sapaku dengan nada riang. Tanganku memegang kedua bahu rimpuhnya dari belakang.Nenek tampak tak kaget atau menanggapi dengan reaksi tersentak, mungkin karena sudah terlalu biasa akan perilaku diriku kala pagi hari."Pagi, Lu. Sarapan dulu," balas nenek. Ia menarik kursi di sampingnya, memintaku untuk duduk di sampingnya.Aku mengangguk walau nenek tak akan melihatnya, mendudukan tubuhku di sana masih dengan senyuman yang tercetak jelas pada wajah.En
Merasa menyesal juga tak ada gunannya, tepat saat aku mendudukan tubuhku pada bangku kecil tak jauh dari kolam renang, pukul 17.17 WIB yang pertama kali kuabaikan merenggutku ke dalam dunia pikiran.Aku mendengus dalam dunia nyata, kurang mengenakan bila terjebak dalam dunia pikiran dengan keadaan belum berganti pakaian ganti.Kembali bada dunia pikiran, aku kembali melangkah menuju bangku yang biasanya diduduki aku dan Athala. Setelah mendudukan tubuhku di sana, mataku kembali mengedar. Mencari sososk tegap yang biasanya datang duluan.“Kau sampai lebih dulu ternyata,” ujar Athala yang muncul dibalik pohon rindang dengan ukuran yang cukup besar.Aku tersenyum mendapatinya, menepuk ruang kosong di sampingku, memintanya untuk turut menumpukan tubuhnya di benda berwarna putih ini.Athala berjalan ke arahku dengan senyuman manis yang tercetak jelas dalam wajah tampannya, hah?Aku menggaruk-garuk tengkuk y
Aku tersentak tatkala kembali pada dunia asliku. Mataku mengedar dengan napas yang sedikit tidak beraturan. Beberapa bulir keringat pada dahiku mengalir dan sangat mengganggu suasana, ini sudah biasa dirasa bila di dunia pikiran aku melakukan hal-hal seperti berlari atau banyak menggunakan kaki."Astaga Lu, kau sadar juga akhirnya," ucap laki-laki sebayaku. Dia Joo, tubuh alestis yang sebelumnya tampak dalam kolam renang, kini ia angkat dan berlari kecil menuju tempatku. Air yang berasal dari kolam renang yang ia selami beberapa waktu lalu tumpah-tumpah dan bercecer disepanjang keramik yang sebelumnya tampak kering. Aku kembali mengerjapkan mata dan sedikit tersentak tatkala mendapati laki-laki duduk di sampingku dengan tangan yang memegangi kacamata renangnya. "Kau ini sebenarnya mengapa sih?" tanyanya dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Aku mengangkat alis, memikirkan jawaban yang pas
Kedua tanganku bertumpu pada meja, sedangkan kepalaku kuletakan di atasnya. Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit lalu, tetapi tak ada keniatan sama sekali untuk beranjak dari kursi yang kupijaki sedari pagi ini.Netraku menatap lapangan outdor yang menampilkan anak basket mempersiapkan lomba bulan depan nanti.Sesekali memejam tatakala semilir angin dengan gorden yang beegerak seirama menjadi petunjuknya. Aku menahan napas dengan mata terpejam, setelahnya mengembuskannya perlahan-lahan.Pikiranku kembali terfokus pada Athala, laki-laki yang akhir-akhir ini senang sekali berputar-putar dalam dunia nyata maupun dunia alam bawah sadarku.“Dia itu mahluk seperti apa, sih sebenarnya?” tanyaku pada semilir angin dengan bibir maju beberapa centi.Laki-laki itu selalu membuatku berpikir dua kali, tidakkah merasa kasihan dengan pikiran gadis kecil ini?Semilir angin kembali menerpa wajahku, mataku tetap terpejam. Mengingat Athala selalu membuatku mengan
“Pertandinganmu jam dua siang, Lu,” ujar Joo. Laki-laki itu menyodorkan selebaran jadwal perlombaan berenang hari in.Aku mengangaguk, kemudian kembali meneguk air mineral yang juga di berikan Joo. Mataku mengedar mencari Lee yang katanya akan menjadi lawan bermainku bila masuk final pada perlombaan kali ini.“Kau melihat Lee tidak?” tanyaku pada Joo, wajahku mendonggak menatapnya yang berdiri di sampingku.Joo yang semulanya berdiri tegap kini berkacak pinggang dengan pandangan mengedar.“Entahlah, hilang diitelan bumi semoga,” ujarnya asal.Aku menendang tulang keringnya lumayan kencang, mengundang rintihan keras yang keluar dari mulutnya terdengar hingga para peserta lain menoleh sekilas.“Dua hari belakangan ini bicaramu blak-blakan sekali,” ujarku menyindir.Joo mengendikan bahu, laki-laki itu duduk di sampingku masih dengan mata yang mengedar ke segala penjuru kolam.“Ikut mencari sosok Lee?” tanyaku dengan tatapan mengejek.Joo memutar bol
Siapa dia? Apa aku benar-benar sudah mati? Mengapa dia terus menatapku seolah kami saling mengenal satu sama lain? Dan mengapa wajahnya terasa familiar dinetra.Aku melangkah mendekat ke arah laki-laki berjemeja putih itu, kedua kakiku yang menapak rerumputan basah tanpa alas tak mengganggu fokus netraku.Aku mengerjap beberapa kali, mencoba mengingat-ingat waajah tak asing itu. Namun bukannya menemukan suatu hal, kepalaku malah berdenyut sakit.“Kau siapa?” tanyaku penasaran. Tangan kananku memegangi kepala bagian belakangku yang masih saja terasa sakit.Namun laki-laki itu bergeming ditempat dengan sorot mata memandangkaua penuh ... kerinduan?Sebenarnya dia siapa?“Kau siapa? Mengapa sepertinya aku pernah melihatmu?” tanyaku mengulang sembari menajamkan pengelihatan.“Manusia harapanmu, Lu,” ujarnya bersuara. Aku tertegun, kedua kakiku berhenti melangkah tatakala mendengar suara bariton itu. Napasku tercekat, rasa menggelitik ini muncul tanpa kuketahui
“Mengapa jadi seperti ini sih, Lu?” tanya nenek dengan pandangan khawatirnya. Tangan kanannya terangkat menuju rambutku, mengusap surai panjang tergerai berantakan itu dengan gerakan pelan penuh sayang.Sedangkan aku hanya bisa menanggapi ucapan nenek dengan segaris senyuman masih dengan kondisi badan yang berbaring, punggungku masih terasa sakit bila banyak digerakan walau tidak sesakit sebelumnya.“Lu tidak apa-apa, nek,” ujarku berharap bisa membuatnya tenang.Embusan napas nenek yang keluar mebuatku kian tersenyum, disaat-saat seperti inilah aku merasa dianggap ada dalam muka bumi.“Bukan hanya masalah itu, kamu tak memberitahukan nenek perihal lomba ini juga,” celetuknya lagi.Aku meringis, melupakan hal sesepele itu yang pada akhirnya membuahkan hasil tidak menyenangkan ini.“Bukan tidak memberitahu, nek. Lomba ini memang dicepatkan tanggalnya, dan hanya lomba kecil,” ujarku memberitahu.
Tak ada yang berarti selain bertemu denganmu, Tha. Aku sendiri tidak mengerti mengapa akses masuk ke dalam dunia pikiran tertutup begitu saja. Parahnya lagi, untuk tersedot ke depan pintu dunia itu saja tubuhku kini tidak bisa.Aku rasa memang ini hal yang kau sebut ‘terjadilah apa yang akan terjadi’, arti dari kalimat singkat yang menjadi judul bab sembilan dalam buku ini.Mataku terpejam, kembali mengembuskna napas tatkala mengingat perihalmu, separuh rasa yang hampa entah karena apa berduyun-duyun menghantuiku siang-malam hanya karena keanehan ini.Bahkan, cuaca mendung dengan rerumputan hijau di bawah sana karena baru saja dibasahi tumpahan air mata awan tak berhasil membuatku merasakan euforia yang biasa dirasa.Semsta benar-benar memberikan teka-teki baru yang harus kupecahkan sendiri tanpamu, Tha. Memangnya di dunia aslimu juga seperti ini? Disuguhkan teka-teki aneh yang membuatmu kian memikirkanku?“Aku merindukanmu,” ujarku dengan bibir m
“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Gedung pelatihan berenang kini bukan lagi tempat pilihan yang harus dikunjungi tiga hari sekali. Suasanyanya cukup hening dikarenakan tibanya aku di gedung besar ini terlalu pagi. Walau ada beberapa manusia yang sedang berenang bolak-balik sembari mengitari kolam renang dengan berbagai gaya berenang. Aku tak menjadikan gedung ini sebagai pilihan, melainkan sebuah keharusan. Melihat yang aku sukai hanyalah bermain air aku hanya bisa berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang kusukai.Kedua langkah kakiku bergerak mendekati kolam untuk mengecek suhu air di dalamnya. Takut-takut air di dalamnya tak cocok dengan kondisi tubuhku yang kini memang terasa tidak enak. Setelah memastikan airnya tidak terlalu dingin, kedua langkah kakiku ini kembali berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti baju yang kugunakan menjadi pakaian berenang yang biasanya kupakai di saat berda di tempat ini.Lee dan Joo masih sibuk dengan kuliah mereka sekarang ini, dibanding dengan diriku sendiri mereka b
Helaan napas lelah keluar dari multuku saat selesai menyelesaikan cucian bajuku sendiri dan menjemurnya di halaman samping. Dengan keringat yang meluncur dengan deras karena sinar matahari pagi yang hari ini bersinar dengan kemilaunya aku menyeka keringat menggunakan lengan kananku. Sementara satu tangan yang lainnya sibuk mengipasi diriku sendiri walau tahu hasil yanga kurang memuaskan.Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu tanpa berniat menuju kamar untuk sekeda mendunginkan tubuh. Sesekali kedua bola mataku mengedar mencari debu yang mungkin saja masih menempel pada satu benda yang lainnya. Aku tak bohong bila akhir-akhir ini merasa pikun, selalu melupakan sesuatu bila kekelahan mendera.Langkah kakiku berjalan menyusuri tapakan keramik putih yang berbunyi seirama dengan sandal rumahanku yang kini kembali terpakai. Tubuhku terduduk di atas singgle soffa depan pintu utama dengan kedua piantu rumah yang terbuka lebar, menetralkan deru napas yang memburu karena tig
Rasanya tak percaya dengan skenario Tuhan yang terasa dan tampak tak mudah di depan mataku kali ini. Aku duduk berhadapan dengan athala yang kini juga sedang menatapku dengan senyuman yang sejak beberapa manit yang lali tak luntur. Aku merasakan deruan napas miliknya menerpa dengan lembut pada permukaan wajahku yang kali ini memilih bungkam dan berperan pasif.Agaknya tak percaya dengan harpanku di dunia pikiran yang menjadi kenyataan di dunia nyata. Mataku kembali memanas saat mengingatnya, ia benar-benar Athala. Aku tidak berada di awang-awang dunia yang biasanya memepertemukan antar diriku dan aAthala.“Lu?” panggilnya dengan kedua alis yang terangkat saat menyadari diriku tidak dalam keadaan yang tenang untuk mendengarkan deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.Aku tersadar begitu saja, kemudian Athala yang kini masih emnampilkan wajah tenagnya seolah pertemuan pertama kami di dunia nyata tak sama sekali membuatnya canggung atau memeras atak e