"Nggak bisa, Yud. Orang tuaku bakal ngamuk kalo aku ngenalin kamu sebagai pacarku ke mereka."
"Udah dua tahun loh kita pacaran, Ka. Dan kamu tau kan kalo aku berniat serius sama kamu?"
Ini bukan pertama kalinya Yudha meminta kepada Arka untuk memperkenalkannya kepada kedua orang tua Arka. Mereka sudah dua tahun bersama dan rasanya sungguh tidak nyaman selalu bersembunyi dari kedua orang tua Arka—gadis manis yang dikenal Yudha sejak ia bertemu dengannya di sebuah event.
Arka terus mengaduk iced lemon tea di depannya tanpa minat. Pembicaraan yang sama, yang terus berulang, dan akan berakhir sama. Pertengkaran.
Yudha meraih tangan Arka, mengusap pelan punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya. "Kamu nggak pernah nanya ke orang tuamu, Ka? Kenapa kamu dilarang pacaran? Apa orang tuamu maunya kamu langsung dinikahi? Apa gimana? Kamu udah 23 tahun, Ka. Harusnya kamu udah bisa milih apa yang kamu mau."
"Ralat. Bagi orang tuaku, aku 'baru' 23 tahun, bukan 'sudah' 23 tahun. Ada perbedaan yang jauh antara kata 'baru' dan 'sudah' bagi orang tuaku." Arka mengerucutkan bibir, membuat emosi Yudha yang semula sudah hampir meledak, kembali turun.
Tidak perlu lah Arka membawa nama besar keluarga Bestari yang pasti akan membuat Yudha shock setelah tahu adat dalam keluarga itu.
"Please, Ka. Demi hubungan kita, tolong dong kamu berjuang sedikit. Setelah kamu ngomong ke orang tuamu, aku siap untuk maju meluluhkan hati mereka."
"Aku coba ya."
"Aku nunggu kamu, Ka. Umurku udah 26, dan mamaku udah berharap banget segera ada seseorang yang nemenin aku. Aku bisa aja nekat dateng ke orang tuamu, tapi aku selalu mikirin perasaanmu sebelum melakukan sesuatu."
Arka mengangguk, dalam diam berterima kasih atas apa yang dilakukan Yudha selama ini kepadanya.
"Aku anter pulang?"
"Tapi—"
"I know. Sampe depan kompleks atau perempatan dekat rumah, iya kan?" Yudha meraih tangan Arka kemudian membawanya ke mobil yang terparkir di depan cafe tempat mereka menghabiskan waktu makan siang.
Perjalanan tiga puluh menit itu terasa seperti berjam-jam karena keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Untung Yudha masih bisa fokus dan menghentikan mobilnya tepat di dekat perempatan rumah Arka. "Hati-hati ya, Ka," ucap Yudha sebelum Arka turun dari mobilnya.
"Iya, makasih, Yud."
"Jangan lupa apa yang kita omongin tadi. Ok?"
"Iya, aku janji bakal ngomong ke orang tuaku."
Kalimat itu akhirnya disesali Arka. Harusnya ia tidak menjanjikan apa yang tidak bisa dipenuhinya. Jangankan memenuhi, mau memulainya saja, keberanian Arka bagai ditenggelamkan ke dasar bumi.
Arkadewi Lintang Bestari, tumbuh sebagai anak bungsu yang dimanja keluarga. Sebenarnya semua wanita keturunan Bestari memang selalu dimanjakan layaknya putri.
Kakaknya, Argabima Pandhu bahkan tidak memiliki nama belakang seperti namanya. Hanya wanita yang berhak menyandang nama Bestari sebagai nama belakang keluarga itu. Arga bebas melakukan apa saja, kecuali satu hal, pekerjaan. Arga tidak punya pilihan lain selain mengelola bisnis keluarga.
Sebaliknya dengan Arka. Arka tidak bebas melakukan apa pun, kecuali satu hal, pekerjaan. Arka boleh memilih menjadi apa pun yang dia mau, selama tetap menjaga kehormatan keluarga Bestari.
Karena teringat janjinya pada Yudha, sejak sore Arka mencoba mencari waktu yang tepat untuk berbicara kepada kedua orang tuanya.
Dimulai dengan papanya, Arka mengekor ke mana papanya melangkah.
"Kamu kenapa sih dari tadi ngikutin Papa terus?" Hadi Wijaya, keturunan keluarga Bestari yang juga tidak memiliki nama belakang 'Bestari' itu menatap putri semata wayangnya dengan bingung.
"Papa mau ngapain?"
"Mau ngasih makan ikan di kolam samping," jawabnya sambil meraih pakan ikan yang ada di lemari kecil dekat teras.
Arka masih setia mengekor ke mana papanya melangkah. "Pa."
"Hmm?" tangan Hadi dengan luwesnya menaburkan pakan ikan ke dalam kolam sesuai takaran yang biasanya ia berikan.
"Pa, hmm ... menurut Papa aku udah dewasa belum?"
"Belum, mandi aja mesti diteriakin dulu."
Arka memejamkan mata, kenapa itu yang harus diungkit papanya. Dia bukan satu-satunya orang di dunia ini yang malas mandi kan?
"Pa, aku serius."
"Kenapa sih, Dek?"
"Aku ... pengen punya pacar kayak orang lain, Pa," ucapnya sambil membuat riak-riak air kolam dengan tangannya dan menampilkan wajah sesendu mungkin agar papanya tergerak hatinya.
"Nggak boleh," jawab Hadi dingin.
"Alasannya? Aku udah 23 tahun, dan kayaknya aku berhak tau alasannya deh, Pa."
Hadi hanya menghela napas berat, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Arka tanpa sepatah kata pun.
"Jangan salahin aku kalo nanti aku nggak nikah-nikah ya!" teriak Arka dari pinggir kolam sesaat sebelum papanya masuk ke dalam rumah.
Arka menggeram kesal. Ia berjalan menuju dapur di mana mamanya sedang entah melakukan apa, baking mungkin, atau membuat dessert. Sebagai ibu rumah tangga, mamanya sangat sering berada di dapur, walau hasil masakannya kadang membuat anggota keluarga itu mengernyitkan dahi.
"Ma."
"Kenapa?"
"Hmm ... Mama lagi bikin apa?"
"Setup roti, belum jadi, jangan minta dulu."
Arka mendengkus pelan. Dari mana ia harus mulai mengajukan pertanyaan? Sementara mamanya terkenal lebih galak daripada papanya. Itu sebabnya tadi ia bertanya lebih dulu pada papanya.
"Ma ...."
"Apa?"
"Nggak jadi, aku ambil buah pear yang di kulkas ya." Arka berlari dari dapur setelahnya, padahal tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang terkait dengan izin pacaran, tapi debaran jantungnya sudah menggila.
Hadi yang melihat Arka berlari tergopoh dari dapur lantas menghampiri istrinya. "Arka ngomong sesuatu, Ma?"
"Cuma ambil buah pear aja."
"Masa nggak ngomong sesuatu?"
"Nggak, Pa. Arka ngomong apa ke Papa? Dia kan suka takut mau ngomong ke Mama."
"Dia nanya alasan kita ngelarang dia pacaran." Helaan napas berat terdengar dari lelaki paruh baya itu. "Apa udah saatnya kita panggil Caraka ya, Ma? Umur Arka juga udah 23 tahun, Ma. Mungkin udah saatnya Arka tau semuanya."
***
Sebuah cafe bernuansa monokrom menjadi pilihan Yudha untuk makan siang dengan Arka. Tidak setiap hari ia bisa menjemput Arka pulang mengajar. Bersyukur hari ini ia sedang ada penugasan di luar hingga bisa mengajak Arka sekalian makan siang meskipun saat itu adalah hari kerja.
"Gimana, Sayang? Udah ngomong ke orang tuamu?"
Arka hampir saja mendengkus kesal atas pertanyaan Yudha. Tidak bisakah ia istirahat sebentar? Dia baru pulang mengajar, dan mengajar dua puluh anak berusia lima tahun itu tidaklah mudah. Energi yang dihabiskannya mungkin lebih banyak dibanding para dosen yang mengajar tiga puluh mahasiswa di dalam kelasnya.
"Apa kita harus ngomongin ini sekarang, Yud?"
"Kamu capek ya? Sorry." Yudha kemudian mengusapi puncak kepala Arka.
"Next time ya, Yud, kita omongin lagi. Aku pasti ngasih tau kamu kalo udah ada hasil dari pembicaraanku sama orang tuaku."
"Ok, ok, I'm sorry." Sekali lagi Yudha meminta maaf karena melihat gurat letih di wajah kekasihnya. Tangannya dengan lembut menyentuh tangan Arka dan memainkan jari-jarinya.
Namun tiba-tiba, seseorang menarik tangan Arka, berusaha memisahkan genggaman tangan mereka sebelumnya.
Yudha dan Arka menatap lelaki itu dengan tatapan bingung.
Baru saja Yudha akan menegur lelaki yang berani-beraninya mengganggu mereka, tapi lelaki itu sudah lebih dulu bicara.
"Arka, bukan pemandangan seperti ini yang ingin dilihat seorang suami yang baru bertemu istrinya setelah sekian lama!" ucapnya sambil menatap Arka lekat, seakan Yudha sama sekali tidak ada di sana.
"Masnya siapa ya?" Arka benar-benar bingung mendengar penuturan lelaki itu. Tapi tadi lelaki itu memanggil namanya kan?
"Arkadewi Lintang Bestari, saya … suami kamu."
"Arkadewi Lintang Bestari, saya … suami kamu."Arka hanya menatap kosong ke arah lelaki yang mengaku sebagai suaminya. Tiga detik kemudian, pandangannya beralih kembali kepada Yudha, kekasihnya. "Yud, sekarang bentuk penipuan bukan cuma ‘mama minta pulsa ya’, udah berani nunjukin wajah loh. Jangan biarin aku dihipnotis, Yud."Sungguh, Yudha ingin terbahak mendengar ucapan Arka, andaikan ia tidak melihat ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu. Tapi, ada satu hal yang mengganggunya, lelaki itu menyebut nama Arka dengan lengkap dan tatapannya yang seolah tidak ada keraguan kalau statusnya adalah suami Arka."Lepasin tangan pacar saya!" Yudha yang akhirnya berhasil mengabaikan segala pertanyaan dalam pikirannya, ikut mencekal tangan lelaki itu dan menariknya agar melepaskan tangan Arka.Masih mengabaikan Yudha, Caraka menatap Arka lekat. "Arka, keluargamu nanti yang jelasin semuanya. Mereka nunggu kamu di rumah sekarang.""Yud, pergi aja yuk," rengek Arka.Caraka hampir menggeram kesal kala
Seumur hidupnya, baru dua kali Arka mendapat kejutan yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Pertama, ketika muridnya yang masih TK, entah bagaimana caranya mencoba memanjat pohon mangga yang ada di halaman sekolah tempatnya mengajar dan membuat anak itu terjatuh hingga patah tulang kanan. Kedua, saat ini, saat ada seorang lelaki yang memperkenalkan diri sebagai suaminya.Untuk kasus kali ini, bahkan Arka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Menatap kedua orang tuanya yang tetap duduk tenang di tempatnya sama sekali tidak membantunya. Ia pasti pernah amnesia. Tidak ada alasan lain yang membuatnya yakin pernah menikah kecuali hal itu.Arka bahkan tidak sanggup untuk menyambut uluran tangan dari lelaki bernama Caraka itu."Kapan kita nikahnya?" tanya Arka dengan judesnya. "Ingatanku cukup kuat, dan aku yakin nggak pernah amnesia sampe kehilangan potongan memori hidupku. Jadi aku tanya ke kamu, yang ngaku sebagai suamiku, kapan kita nikahnya?"Caraka menarik tangannya yang mengg
"Siapa yang ngizinin kamu masuk kamarku?" Arka berteriak kesal kala melihat sosok lelaki yang duduk santai di sofa kamarnya."Apa aku harus izin untuk masuk ke kamar istriku?""Astaga! Bisa nggak sih nggak nyebut-nyebut itu?" Arka mendengkus kesal sementara lelaki di hadapannya tersenyum simpul."Orang dibilang aku ngerasa nggak pernah nikah juga," gumam Arka entah pada siapa, yang jelas ia bangkit dari posisi tidurnya dan memilih duduk di foot board ranjang.Meskipun setelah bangun tidur tadi ia masih berharap bahwa semuanya adalah mimpi, tapi begitu melihat sosok Caraka di dalam kamarnya, ia jadi sadar kalau harapannya tidak terkabul. Mau tidak mau, cepat atau lambat, ia harus menghadapi lelaki yang mengaku bernama Caraka Altair Abimana itu."So, apa yang mau kamu omongin sampe nerobos masuk ke kamarku?""Hubungan kita." Caraka menjawab dengan singkat dan nada yang dingin."Hubungan yang mana? Aku sama sekali nggak ngerasa punya hubungan sama kamu."Caraka menghela napas kasar. "Aku
Seharusnya Arka bangun pagi seperti kebiasaannya di hari kerja. Tapi karena malam sebelumnya ia tidak bisa tidur, memikirkan masalah yang baru saja menimpanya, ditambah lagi dengan upayanya untuk menghindar dari kekasihnya, Arka baru membuka mata setelah jam di dindingnya menunjuk angka tujuh."Astaga!" Arka bangkit dan langsung berlari menuju kamar mandi.Usai mandi yang sangat singkat, Arka mengusapkan cc cream ke wajahnya, mengikat rambutnya asal dan segera berniat berangkat. Biarlah masalah dandanannya akan dia benahi sesampainya di sekolah nanti."Baru bangun? Bukannya kamu udah harus sampe di sekolah jam setengah delapan?"Pertanyaan pertama yang didengarnya di hari itu, sebelum nanti ia akan mendengar serentetan pertanyaan dari muridnya yang masih dipenuhi rasa penasaran di umur mereka yang belum genap menginjak usia enam tahun.Arka melirik ke arah si penanya, tapi kemudian mendengkus kesal dan berlalu begitu saja tanpa menjawabnya setelah menyadari orang yang bertanya adalah
“Bu Arka, tumben tampangnya kusut?” tanya Anggun, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kepala sekolah di sana.Arka hanya tersenyum menanggapinya. Usia mereka terpaut cukup jauh, dan Arka memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Entah mengapa, sejak awal Arka selalu merasa ada yang disembunyikan wanita itu darinya.Sekolah tempat Arka mengajar, dikelola sebuah yayasan. Ada daycare, playgroup, hingga TK di dalamnya. Bukan sekolah kecil seperti yang dibayangkan banyak orang. Yayasan itu dikelola orang-orang profesional, hingga banyak orang tua yang memercayakan anaknya ke sekolah itu, meskipun harus merogoh kocek yang dalam.“Kenapa, Ka?” tanya Yasmin.“Lagi ada sedikit masalah. Makanya hampir telat tadi.” Kali ini Arka membalas karena yang bertanya adalah Yasmin, sahabat dekatnya sejak ia mengenyam pendidikan sarjana dan magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Jangan kira yayasan tempat Arka mengajar mengambil sembarang orang untuk mengajar anak PAUD. Arka dan Yasmin adalah
"Kenapa kita nggak pulang aja sih?" Arka masih tidak terima lelaki di depannya itu memaksanya makan siang bersama di sebuah restoran makanan Jepang."Kita perlu bicara." Caraka memanggil pelayan restoran untuk meminta buku menu selagi Arka terus saja menyuarakan keberatannya."Tapi kan bisa di rumah.""Kamu terlalu merasa berkuasa kalau di rumah. Makanya aku cari tempat yang netral. Minimal kalau kamu merajuk, kamu nggak akan mencak-mencak kayak kemaren karena malu dilihat orang."Arka membuka mulut, ingin membantah apa yang diucapkan Caraka, tapi sepertinya otaknya sedang tidak bekerja, hingga akhirnya Arka menutup mulutnya kembali."Kamu nggak makan sushi?" tanya Caraka yang bingung mendapati Arka hanya memesan nasi kari Jepang."Aku nggak suka sushi."Caraka tiba-tiba merasa bersalah karena tadi tidak menanyakan terlebih dulu apa yang disuka dan tidak disuka Arka. "Sorry, aku nggak tau kalo kamu nggak suka sushi.""Katanya suami, tapi apa yang disuka istrinya nggak tau," ledek Arka
Arka berlari di sepanjang koridor rumah sakit hingga menemukan kamar rawat yang ditempati kekasihnya. Seketika rasa bersalah bergemuruh di dadanya saat mengingat kalau dirinya telah menghianati Yudha.Benar kan? Ia telah menghianati Yudha. Harusnya ia mengatakannya sejak awal. Walaupun baru beberapa hari ia menutupi pernikahan yang terjadi di masa lalunya dari Yudha, hatinya benar-benar merasa bersalah.Arka mengetuk pintu ruang rawat sebelum suara seseorang mempersilakannya masuk."Masuk, Ka. Masih tidur sih dia, efek obat.""Kok bisa kecelakaan sih? Gimana ceritanya?" tanya Arka pada Dharma, satu-satunya orang yang menunggui kekasihnya itu."Nggak tau gue, dari cerita temennya sekantor sih, tadi dia keluar kantor, pinjem motor temennya, nggak tau mau ke mana. Cerita detail kecelakaannya gue nggak tau.""Naik motor? Memang mobilnya ke mana?"Dharma mengedikkan bahu."Kamu makan siang dulu aja, biar aku yang nunggu Yudha."Dharma mengangguk lantas berlalu pergi saat Arka mendekati ran
Arka terpaksa membiarka Caraka masuk ke dalam kamarnya. Semua karena ucapan Caraka yang mengatakan pada papanya kalau mereka harus menyelesaikan perdebatan mereka yang membuat dirinya menangis.Perdebatan apa coba?"Kamu nggak mau terima kasih sama aku? Dua kali loh aku ngelindungin kamu hari ini.""Kok pamrih? Aku kan nggak minta dilindungi juga," jawab Arka kesal. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil satu set piyama tidur sebelum beranjak menuju pintu kamar mandi yang berada di ujung kamarnya.Caraka menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa keras kepalanya Arka. Ia lantas duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Entah berapa lama ia melakukannya, sampai sebuah teriakan dari Arka membuat telinganya berdenging."Kamu ngapain masih di sini?""Lah terus aku mesti ke mana?" tanya Caraka bingung."Ya ke kamarmu sana.""Kan tadi alasanku itu mau nyelesaiin perdebatan kita, masa iya cuma lima belas menit bisa beres.""Udah lah, sana keluar!""Kalo kamu nyuruh aku keluar sek
Arka terpaksa kembali ke kamarnya walaupun sebenarnya ia ingin mengonfrontasi Caraka karena ucapannya yang membuat Arka kini berulang kali menoleh ke arah balkon.Namun, sepertinya ia tidak akan sanggup bertemu Caraka untuk sementara waktu. Pemandangan yang baru saja dilihatnya, ditambah dengan ekspresi Caraka—yang terkejut saat ia menerobos masuk sementara Caraka tengah topless—yang masih terbayang jelas di otaknya membuat jantungnya belum berada pada kondisi yang stabil.Untuk menetralkan jantungnya, Arka memilih mencuci mukanya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya, sekaligus untuk melihat kondisi kamar mandi itu.Not bad, tidak sebesar kamar mandi di rumahnya yang tersedia bathtub untuknya berendam, tapi kamar mandi itu juga melebihi ekspektasinya, bahkan mirip seperti kamar mandi hotel.Saat Arka masih tertegun di dalam kamar mandi, samar ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Arka menarik napas panjang dan menghelanya dengan kasar sebelum memberanikan diri untuk
"Bang, Abang ngeluarin uang berapa buat nyewa rumah ini?" Dahi Arka mengernyit tidak suka. Bukan karena rumahnya lebih kecil daripada yang ada di otaknya, tapi karena rumah dua lantai yang berada di cluster perumahan itu pasti bernilai sewa tinggi.Arka masih bertahan di dalam mobil meskipun Caraka telah menghentikan mobil dan memarkirkannya dengan sempurna di garasi rumah yang akan mereka tempati."Kenapa memangnya?" tanya Caraka yang masih bertahan menunggu Arka mengatasi kebingungannya."Ini nggak mungkin murah sewanya, Bang. Abang—" Yang semula Arka menatap rumah itu dengan kagum, kini beralih menatap Caraka dan berusaha mengintimidasinya, walaupun nyatanya gagal karena Caraka malah tertawa setelahnya. "Abang kerja apa sih? Nggak mungkin tukang bisa sewa rumah kayak gini.""Kamu nggak usah ngeributin Abang kerja apa. Kalau Abang bisa nyediain ya berarti Abang punya uang yang cukup buat nyediainnya." Caraka kembali mengajak turun tapi gelengan tegas menjadi jawaban Arka."Aku nggak
"Perlu bantuan, Ka?"Sebenarnya sudah hampir lima menit Caraka berdiri di ambang pintu kamar Arka yang terbuka. Ia memperhatikan Arka dalam diam. Di depan wanita itu ada satu koper yang masih terbuka, sementara di dekat ranjang tidur, sudah berdiri dua koper yang sepertinya telah berisi pakaian ataupun barang lain milik Arka.Anehnya, selama Caraka berdiri di depan pintu, Arka sama sekali tidak menyadarinya, dan Caraka tahu kalau Arka sedang melamun karena tidak ada pergerakan dari gadis itu."Eh?" Arka sedikit terkejut mendengar suara yang belakangan ini akrab di telinganya. "Udah pulang, Bang?" Arka mendekat ke arah Caraka yang hari itu lagi-lagi terlihat kumal sepulang kerja. Bukan berarti lantas kadar ketampanan Caraka turun, hanya saja pakaian yang dikenakannya tampak lusuh dan ada beberapa noda di celananya seperti semen atau entah apa yang Arka sendiri juga sebenarnya tidak paham."Mau dibikinin minum, Bang?" tanya Arka. Meskipun rasanya masih canggung, tapi ia tahu tidak selam
Arka terdiam di depan pintu kamar rawat papanya.Caraka yang memperhatikan tingkah Arka akhirnya menepuk bahunya pelan. "Kenapa?""Kalo Papa marah sama aku gimana?""Ya minta maaf.""KaloPpapa collapse lagi begitu ngelihat aku?""Ya udah, Abang masuk duluan, bilang kalo ada kamu mau ketemu Papa, gimana?"Arka menatap Caraka beberapa detik dan hanya menemukan tatapannya yang meyakinkan dan berhasil membuat Arka menganggukkan kepalanya.Caraka mengetuk pintu pelan kemudian menghilang di balik pintu itu, meninggalkan Arka seorang diri duduk di kursi tunggu yang ada di dekat pintu."Sendiri, Ka?" tanya Hadi Wijaya begitu melihat menantunya masuk ke dalam kamarnya. "Arka ngajar?""Arka ... di luar, Pa. Arka takut masuk, takut bikin keadaan Papa memburuk lagi."Lelaki paruh baya yang terbaring lemah di kasur itu menghela napas berat. "Anak itu.""Papa gimana kondisinya?""Udah baikan kok. Tapi ya gitu, dokter masih mau mantau kondisi jantung Papa. Suruh Arka masuk, Ka. Biar habis itu mama s
Caraka berbicara dengan Arga di ujung lorong sambil sesekali melirik ke arah Arka yang menangis tersedu di dekapan mamanya."Kenapa Papa bisa collapse, Mas?"Arga menghela napas sambil melirik adiknya. "Arka nekat ngomong ke papa setelah makan malam.""Ngomong apa?""Ya apa lagi? Dia ngomong kalo udah punya pacar dan pengen cerai sama kamu."Caraka memijat pelipisnya. Ia sedang bercengkerama dengan ibu dan adiknya saat tiba-tiba mendapat kabar dari Arga kalau mertuanya masuk rumah sakit. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Caraka langsung melajukan mobilnya dari Bogor menuju Jakarta.Meskipun rasanya Caraka malas untuk kembali lagi dan berhadapan dengan Arka, tapi ia tidak mungkin mengabaikan begitu saja keadaan mertuanya. Setidaknya untuk saat ini, statusnya masih menantu di keluarga itu.Dan kini, melihat Arka yang sangat terpukul dengan kejadian itu membuat Caraka tidak tahu harus berbuat apa.Arga bergegas mendekati mamanya ketika seorang dokter keluar dari rua
Arka terpaksa membiarka Caraka masuk ke dalam kamarnya. Semua karena ucapan Caraka yang mengatakan pada papanya kalau mereka harus menyelesaikan perdebatan mereka yang membuat dirinya menangis.Perdebatan apa coba?"Kamu nggak mau terima kasih sama aku? Dua kali loh aku ngelindungin kamu hari ini.""Kok pamrih? Aku kan nggak minta dilindungi juga," jawab Arka kesal. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil satu set piyama tidur sebelum beranjak menuju pintu kamar mandi yang berada di ujung kamarnya.Caraka menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa keras kepalanya Arka. Ia lantas duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Entah berapa lama ia melakukannya, sampai sebuah teriakan dari Arka membuat telinganya berdenging."Kamu ngapain masih di sini?""Lah terus aku mesti ke mana?" tanya Caraka bingung."Ya ke kamarmu sana.""Kan tadi alasanku itu mau nyelesaiin perdebatan kita, masa iya cuma lima belas menit bisa beres.""Udah lah, sana keluar!""Kalo kamu nyuruh aku keluar sek
Arka berlari di sepanjang koridor rumah sakit hingga menemukan kamar rawat yang ditempati kekasihnya. Seketika rasa bersalah bergemuruh di dadanya saat mengingat kalau dirinya telah menghianati Yudha.Benar kan? Ia telah menghianati Yudha. Harusnya ia mengatakannya sejak awal. Walaupun baru beberapa hari ia menutupi pernikahan yang terjadi di masa lalunya dari Yudha, hatinya benar-benar merasa bersalah.Arka mengetuk pintu ruang rawat sebelum suara seseorang mempersilakannya masuk."Masuk, Ka. Masih tidur sih dia, efek obat.""Kok bisa kecelakaan sih? Gimana ceritanya?" tanya Arka pada Dharma, satu-satunya orang yang menunggui kekasihnya itu."Nggak tau gue, dari cerita temennya sekantor sih, tadi dia keluar kantor, pinjem motor temennya, nggak tau mau ke mana. Cerita detail kecelakaannya gue nggak tau.""Naik motor? Memang mobilnya ke mana?"Dharma mengedikkan bahu."Kamu makan siang dulu aja, biar aku yang nunggu Yudha."Dharma mengangguk lantas berlalu pergi saat Arka mendekati ran
"Kenapa kita nggak pulang aja sih?" Arka masih tidak terima lelaki di depannya itu memaksanya makan siang bersama di sebuah restoran makanan Jepang."Kita perlu bicara." Caraka memanggil pelayan restoran untuk meminta buku menu selagi Arka terus saja menyuarakan keberatannya."Tapi kan bisa di rumah.""Kamu terlalu merasa berkuasa kalau di rumah. Makanya aku cari tempat yang netral. Minimal kalau kamu merajuk, kamu nggak akan mencak-mencak kayak kemaren karena malu dilihat orang."Arka membuka mulut, ingin membantah apa yang diucapkan Caraka, tapi sepertinya otaknya sedang tidak bekerja, hingga akhirnya Arka menutup mulutnya kembali."Kamu nggak makan sushi?" tanya Caraka yang bingung mendapati Arka hanya memesan nasi kari Jepang."Aku nggak suka sushi."Caraka tiba-tiba merasa bersalah karena tadi tidak menanyakan terlebih dulu apa yang disuka dan tidak disuka Arka. "Sorry, aku nggak tau kalo kamu nggak suka sushi.""Katanya suami, tapi apa yang disuka istrinya nggak tau," ledek Arka
“Bu Arka, tumben tampangnya kusut?” tanya Anggun, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kepala sekolah di sana.Arka hanya tersenyum menanggapinya. Usia mereka terpaut cukup jauh, dan Arka memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Entah mengapa, sejak awal Arka selalu merasa ada yang disembunyikan wanita itu darinya.Sekolah tempat Arka mengajar, dikelola sebuah yayasan. Ada daycare, playgroup, hingga TK di dalamnya. Bukan sekolah kecil seperti yang dibayangkan banyak orang. Yayasan itu dikelola orang-orang profesional, hingga banyak orang tua yang memercayakan anaknya ke sekolah itu, meskipun harus merogoh kocek yang dalam.“Kenapa, Ka?” tanya Yasmin.“Lagi ada sedikit masalah. Makanya hampir telat tadi.” Kali ini Arka membalas karena yang bertanya adalah Yasmin, sahabat dekatnya sejak ia mengenyam pendidikan sarjana dan magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Jangan kira yayasan tempat Arka mengajar mengambil sembarang orang untuk mengajar anak PAUD. Arka dan Yasmin adalah