“Bu Arka, tumben tampangnya kusut?” tanya Anggun, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kepala sekolah di sana.
Arka hanya tersenyum menanggapinya. Usia mereka terpaut cukup jauh, dan Arka memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Entah mengapa, sejak awal Arka selalu merasa ada yang disembunyikan wanita itu darinya.
Sekolah tempat Arka mengajar, dikelola sebuah yayasan. Ada daycare, playgroup, hingga TK di dalamnya. Bukan sekolah kecil seperti yang dibayangkan banyak orang. Yayasan itu dikelola orang-orang profesional, hingga banyak orang tua yang memercayakan anaknya ke sekolah itu, meskipun harus merogoh kocek yang dalam.
“Kenapa, Ka?” tanya Yasmin.
“Lagi ada sedikit masalah. Makanya hampir telat tadi.” Kali ini Arka membalas karena yang bertanya adalah Yasmin, sahabat dekatnya sejak ia mengenyam pendidikan sarjana dan magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Jangan kira yayasan tempat Arka mengajar mengambil sembarang orang untuk mengajar anak PAUD. Arka dan Yasmin adalah dua orang yang mengenyam pendidikan hingga magister untuk mengajar anak-anak itu.
Entah apa pertimbangan pemilik yayasan, Yasmin lah yang ditugaskan untuk mengajar kelas PAUD, sementara Arka harus cukup puas mengajak anak TK.
“Masalah berat, Ka?” tanya Yasmin lagi.
“Yaaah lumayan, yang jelas menyangkut masa depanku.”
“Dijodohin?”
Arka hanya tersenyum nanar. Kalau dijodohkan, ia masih punya peluang untuk menolak, atau mencari upaya apa pun untuk membatalkan perjodohan. Tapi ini? Tiba-tiba saja statusnya berubah menjadi seorang istri. Ia bisa apa? Satu-satunya jalan adalah mengajukan cerai.
“Udah yuk, siap-siap ngajar. Lupain dulu masalah orang dewasa. Bukannya ini tujuan dulu kita tetep ngeyel ngambil magister PAUD meskipun dipandang sebelah mata sama orang lain?”
Arka menyetujui ucapan sahabatnya. “Karena anak-anak itu selalu bisa membuat kita happy dan stres di saat yang bersamaan, sampai kita bisa lupa sama masalah sendiri.”
“Heem. Untuk saat-saat seperti ini nggak usah munafik dengan bilang kalau anak-anak itu layaknya kertas putih polos yang bisa kita tulis hal-hal baik di atasnya. Udahlah realistis aja, mereka juga jadi hiburan di tengah peliknya kehidupan kita.”
***
“Bu Arka!” teriak seorang anak bernama Sammy sambil berlari kembali ke kelasnya.
“Loh, Sam. Bukannya tadi kamu udah keluar kelas? Belum dijemput Mami?”
“Udah, Bu. Tapi Sam dimintain tolong sama Om di lapangan. Kata Mami aku boleh ke kelas dulu buat bantuin omnya.”
“Om siapa?” Arka mengernyitkan dahi. Wah, ia harus memperingatkan pihak keamanan kalau sampai ada om-om tidak dikenal berhasil masuk ke dalam sekolah itu.
“Om siapa, Sam? Kamu kenal omnya?”
“Omnya lagi ngobrol sama Mami, Bu. Omnya minta tolong aku buat manggil Bu Arka.”
“Hah?”
“Omnya bilang, mau makan siang, udah laper. Kasihan Bu, kalo omnya mesti nunggu Bu Arka lama-lama, nanti omnya kelaperan.”
Arka tersenyum. Pasti Yudha—yang akhirnya tidak sabar untuk mengajaknya berbicara—yang nekat datang ke sekolah. Padahal berulang kali ia mewanti-wanti Yudha untuk tidak datang ke sekolah, ia hanya … tidak suka gosip.
“Sam, mau ke tempat Mami kan? Kalo omnya masih ada, tolong Bu Arka bilang ke omnya minta nunggu sebentar ya, Bu Arka mau ambil tas di kantor.”
“Iya, Bu.” Secapat kilat bocah itu datang, dan secepat kilat pula bocah itu berlari pergi dari hadapan Arka.
Arka bergegas kembali ke kantor guru untuk mengambil tasnya. Kali ini ia akan memaklumi kelakuan Yudha yang menjemputnya ke sekolah. Lagipula ia juga ingin berbicara serius dengan Yudha.
Setelah mengambil tasnya, Arka melangkah menuju halaman sekolah dan hanya ada tiga mobil di sana. Satu mobil milik kepala sekolah, satu lagi mobil milik salah satu guru lainnya, dan satu mobil lagi milik …?”
Mobil itu yang jelas bukan milik Yudha. Kecuali, Yudha tiba-tiba saja ganti mobil tanpa sepengetahuannya.
Arka berjalan pelan menuju sisi kiri mobil, kemudian mengintip dari jendela mobil yang agak gelap. Baru saja ia mendekat, jendela mobil itu tiba-tiba saja terbuka.
“Buruan, Ka. Laper.”
“Ngapain kamu jemput aku? Aku nggak minta dijemput.”
Caraka menahan kekesalannya. Ia benar-benar lapar dan ia baru saja kembali dari Bogor untuk menukar motor sport yang tidak disukai Arka dengan motor biasa, lalu mengambil mobil di rumah mertuanya dan datang menjemput Arka yang kini terlihat marah karena kedatangannya.
Arka seketika berbalik untuk pergi.
Caraka keluar dari mobil dan mengejar Arka hingga ia berhasil meraih pergelangan tangan Arka. “Arka, masuk mobil atau semua orang di sekolah ini akan tahu kalau aku adalah suami kamu.”
“Caraka! Nggak lucu.”
“Aku memang nggak lagi bercanda. Mau bukti?”
Dengan bersungut kesal, Arka kembali ke arah mobil Caraka dan masuk melalui pintu penumpang depan.
“Brengsek!” umpat Arka yang ternyata didengar oleh Caraka yang baru saja masuk ke dalam mobil.
“Waaah, aku nggak nyangka guru TK bisa mengumpat selancar itu. Kamu nggak ngajarin muridmu yang aneh-aneh kan?”
“Jangan bikin aku makin kesel, Ka.” Arka terdiam, memanggil Carakan dengan panggilan ‘Ka’ rasanya seperti memanggil dirinya sendiri. “Caraka. Jangan bikin aku makin kesel. Cepet jalanin mobilnya, aku nggak mau ada orang lain yang ngelihat kamu jemput aku.”
“Kenapa?”
“Bahkan pacarku aja nggak pernah jemput aku di sekolah. Kamu nggak sepede itu kan?”
“Oh, jelas aku percaya diri. Dia cuma pacarmu, aku suamimu. Apa salahnya aku jemput kamu ke tempatmu kerja?”
“Jangan gila deh, Car … aka.”
Arka mengacak rambutnya sendiri. Harus seperti apa ia memanggil Caraka? Terlalu panjang untuk memanggil Caraka. Ia tidak suka memenggal panggilannya dengan ‘Ka’, apalagi ‘Car’.
“You can call me anything, Ka. Tapi karena aku lebih tua dari kamu beberapa tahun, mungkin kamu bisa manggil aku dengan lebih sopan. Bukannya kamu juga harus ngajarin sopan santun ke muridmu? Dan anak kecil kan lebih cepet nangkap pelajaran kalau lewat contoh. You can call me ‘Bang’ atau ‘Abang’.”
“Nggak usah mimpi!”
"Kenapa kita nggak pulang aja sih?" Arka masih tidak terima lelaki di depannya itu memaksanya makan siang bersama di sebuah restoran makanan Jepang."Kita perlu bicara." Caraka memanggil pelayan restoran untuk meminta buku menu selagi Arka terus saja menyuarakan keberatannya."Tapi kan bisa di rumah.""Kamu terlalu merasa berkuasa kalau di rumah. Makanya aku cari tempat yang netral. Minimal kalau kamu merajuk, kamu nggak akan mencak-mencak kayak kemaren karena malu dilihat orang."Arka membuka mulut, ingin membantah apa yang diucapkan Caraka, tapi sepertinya otaknya sedang tidak bekerja, hingga akhirnya Arka menutup mulutnya kembali."Kamu nggak makan sushi?" tanya Caraka yang bingung mendapati Arka hanya memesan nasi kari Jepang."Aku nggak suka sushi."Caraka tiba-tiba merasa bersalah karena tadi tidak menanyakan terlebih dulu apa yang disuka dan tidak disuka Arka. "Sorry, aku nggak tau kalo kamu nggak suka sushi.""Katanya suami, tapi apa yang disuka istrinya nggak tau," ledek Arka
Arka berlari di sepanjang koridor rumah sakit hingga menemukan kamar rawat yang ditempati kekasihnya. Seketika rasa bersalah bergemuruh di dadanya saat mengingat kalau dirinya telah menghianati Yudha.Benar kan? Ia telah menghianati Yudha. Harusnya ia mengatakannya sejak awal. Walaupun baru beberapa hari ia menutupi pernikahan yang terjadi di masa lalunya dari Yudha, hatinya benar-benar merasa bersalah.Arka mengetuk pintu ruang rawat sebelum suara seseorang mempersilakannya masuk."Masuk, Ka. Masih tidur sih dia, efek obat.""Kok bisa kecelakaan sih? Gimana ceritanya?" tanya Arka pada Dharma, satu-satunya orang yang menunggui kekasihnya itu."Nggak tau gue, dari cerita temennya sekantor sih, tadi dia keluar kantor, pinjem motor temennya, nggak tau mau ke mana. Cerita detail kecelakaannya gue nggak tau.""Naik motor? Memang mobilnya ke mana?"Dharma mengedikkan bahu."Kamu makan siang dulu aja, biar aku yang nunggu Yudha."Dharma mengangguk lantas berlalu pergi saat Arka mendekati ran
Arka terpaksa membiarka Caraka masuk ke dalam kamarnya. Semua karena ucapan Caraka yang mengatakan pada papanya kalau mereka harus menyelesaikan perdebatan mereka yang membuat dirinya menangis.Perdebatan apa coba?"Kamu nggak mau terima kasih sama aku? Dua kali loh aku ngelindungin kamu hari ini.""Kok pamrih? Aku kan nggak minta dilindungi juga," jawab Arka kesal. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil satu set piyama tidur sebelum beranjak menuju pintu kamar mandi yang berada di ujung kamarnya.Caraka menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa keras kepalanya Arka. Ia lantas duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Entah berapa lama ia melakukannya, sampai sebuah teriakan dari Arka membuat telinganya berdenging."Kamu ngapain masih di sini?""Lah terus aku mesti ke mana?" tanya Caraka bingung."Ya ke kamarmu sana.""Kan tadi alasanku itu mau nyelesaiin perdebatan kita, masa iya cuma lima belas menit bisa beres.""Udah lah, sana keluar!""Kalo kamu nyuruh aku keluar sek
Caraka berbicara dengan Arga di ujung lorong sambil sesekali melirik ke arah Arka yang menangis tersedu di dekapan mamanya."Kenapa Papa bisa collapse, Mas?"Arga menghela napas sambil melirik adiknya. "Arka nekat ngomong ke papa setelah makan malam.""Ngomong apa?""Ya apa lagi? Dia ngomong kalo udah punya pacar dan pengen cerai sama kamu."Caraka memijat pelipisnya. Ia sedang bercengkerama dengan ibu dan adiknya saat tiba-tiba mendapat kabar dari Arga kalau mertuanya masuk rumah sakit. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Caraka langsung melajukan mobilnya dari Bogor menuju Jakarta.Meskipun rasanya Caraka malas untuk kembali lagi dan berhadapan dengan Arka, tapi ia tidak mungkin mengabaikan begitu saja keadaan mertuanya. Setidaknya untuk saat ini, statusnya masih menantu di keluarga itu.Dan kini, melihat Arka yang sangat terpukul dengan kejadian itu membuat Caraka tidak tahu harus berbuat apa.Arga bergegas mendekati mamanya ketika seorang dokter keluar dari rua
Arka terdiam di depan pintu kamar rawat papanya.Caraka yang memperhatikan tingkah Arka akhirnya menepuk bahunya pelan. "Kenapa?""Kalo Papa marah sama aku gimana?""Ya minta maaf.""KaloPpapa collapse lagi begitu ngelihat aku?""Ya udah, Abang masuk duluan, bilang kalo ada kamu mau ketemu Papa, gimana?"Arka menatap Caraka beberapa detik dan hanya menemukan tatapannya yang meyakinkan dan berhasil membuat Arka menganggukkan kepalanya.Caraka mengetuk pintu pelan kemudian menghilang di balik pintu itu, meninggalkan Arka seorang diri duduk di kursi tunggu yang ada di dekat pintu."Sendiri, Ka?" tanya Hadi Wijaya begitu melihat menantunya masuk ke dalam kamarnya. "Arka ngajar?""Arka ... di luar, Pa. Arka takut masuk, takut bikin keadaan Papa memburuk lagi."Lelaki paruh baya yang terbaring lemah di kasur itu menghela napas berat. "Anak itu.""Papa gimana kondisinya?""Udah baikan kok. Tapi ya gitu, dokter masih mau mantau kondisi jantung Papa. Suruh Arka masuk, Ka. Biar habis itu mama s
"Perlu bantuan, Ka?"Sebenarnya sudah hampir lima menit Caraka berdiri di ambang pintu kamar Arka yang terbuka. Ia memperhatikan Arka dalam diam. Di depan wanita itu ada satu koper yang masih terbuka, sementara di dekat ranjang tidur, sudah berdiri dua koper yang sepertinya telah berisi pakaian ataupun barang lain milik Arka.Anehnya, selama Caraka berdiri di depan pintu, Arka sama sekali tidak menyadarinya, dan Caraka tahu kalau Arka sedang melamun karena tidak ada pergerakan dari gadis itu."Eh?" Arka sedikit terkejut mendengar suara yang belakangan ini akrab di telinganya. "Udah pulang, Bang?" Arka mendekat ke arah Caraka yang hari itu lagi-lagi terlihat kumal sepulang kerja. Bukan berarti lantas kadar ketampanan Caraka turun, hanya saja pakaian yang dikenakannya tampak lusuh dan ada beberapa noda di celananya seperti semen atau entah apa yang Arka sendiri juga sebenarnya tidak paham."Mau dibikinin minum, Bang?" tanya Arka. Meskipun rasanya masih canggung, tapi ia tahu tidak selam
"Bang, Abang ngeluarin uang berapa buat nyewa rumah ini?" Dahi Arka mengernyit tidak suka. Bukan karena rumahnya lebih kecil daripada yang ada di otaknya, tapi karena rumah dua lantai yang berada di cluster perumahan itu pasti bernilai sewa tinggi.Arka masih bertahan di dalam mobil meskipun Caraka telah menghentikan mobil dan memarkirkannya dengan sempurna di garasi rumah yang akan mereka tempati."Kenapa memangnya?" tanya Caraka yang masih bertahan menunggu Arka mengatasi kebingungannya."Ini nggak mungkin murah sewanya, Bang. Abang—" Yang semula Arka menatap rumah itu dengan kagum, kini beralih menatap Caraka dan berusaha mengintimidasinya, walaupun nyatanya gagal karena Caraka malah tertawa setelahnya. "Abang kerja apa sih? Nggak mungkin tukang bisa sewa rumah kayak gini.""Kamu nggak usah ngeributin Abang kerja apa. Kalau Abang bisa nyediain ya berarti Abang punya uang yang cukup buat nyediainnya." Caraka kembali mengajak turun tapi gelengan tegas menjadi jawaban Arka."Aku nggak
Arka terpaksa kembali ke kamarnya walaupun sebenarnya ia ingin mengonfrontasi Caraka karena ucapannya yang membuat Arka kini berulang kali menoleh ke arah balkon.Namun, sepertinya ia tidak akan sanggup bertemu Caraka untuk sementara waktu. Pemandangan yang baru saja dilihatnya, ditambah dengan ekspresi Caraka—yang terkejut saat ia menerobos masuk sementara Caraka tengah topless—yang masih terbayang jelas di otaknya membuat jantungnya belum berada pada kondisi yang stabil.Untuk menetralkan jantungnya, Arka memilih mencuci mukanya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya, sekaligus untuk melihat kondisi kamar mandi itu.Not bad, tidak sebesar kamar mandi di rumahnya yang tersedia bathtub untuknya berendam, tapi kamar mandi itu juga melebihi ekspektasinya, bahkan mirip seperti kamar mandi hotel.Saat Arka masih tertegun di dalam kamar mandi, samar ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Arka menarik napas panjang dan menghelanya dengan kasar sebelum memberanikan diri untuk
Arka melangkahkan kaki masuk ke dalam gerai Pizza Hut sambil mengetikkan pesan balasan untuk Yudha. Selanjutnya ia hanya memesan minum dan personal pan pizza sambil menunggu kedatangan Yudha.Kalau ditanya apakah hatinya gelisah dengan sikap Caraka barusan padanya, ya, sejujurnya ia sedikit gelisah. Rasanya mungkin mirip seperti sedang bertengkar dengan teman kost. Bagaimanapun juga mereka tinggal satu atap, intensitas bertemu juga sangat tinggi, pastilah tidak enak rasanya kalau terjadi aksi saling diam di antara mereka.Tiga puluh menit Arka mencoba menyantap pizza di depannya pelan-pelan sambil memikirkan bagaimana ia akan menyampaikan semua fakta kepada Yudha, tapi otaknya terasa buntu.Yudha masuk ke dalam gerai pizza itu dan dengan mudahnya menemukan Arka yang duduk sendiri sambil melamun. "Udah lama?" Yudha mengusap puncak kepala Arka dari belakang.Akhirnya sosok yang ditunggu Arka menarik kursi di hadapannya."Belum lama kok, Yud. Kamu beneran udah sehat?" Arka menatap Yudha
Arka menggeliat, mengubah posisi tidurnya.Matanya yang semula masih mengerjap pelan, tiba-tiba saja membuka sempurna saat tangannya tidak sengaja menyenggol ponselnya dan membuat benda itu jatuh dari atas sofabed.Dengan kesasarannya yang telah utuh, Arka menengok ke bawah, mencoba mencari keberadaan ponselnya.Akan tetapi, yang pertama ia lihat adalah sosok Caraka yang tidur dengan nyenyak, hanya beralaskan karpet, bahkan tanpa selimut.Tanpa sadar ia mengulas senyum tipis. Ia teringat malam hari sebelumnya di mana ia termangu setelah mendengar kata-kata Caraka yang akan menemaninya tidur.Pikirannya sempat melayang ke mana-mana sebelum mendengar tawa terbahak yang keluar dari mulut Caraka.'Abang tidur di bawah, kamu di sofabed, Arka. Kamu mikir apa? Atau sebenernya kamu mau tidur sambil Abang peluk?’Ucapan dari Caraka yang menggodanya masih jelas di ingatan, dan kini melihat Caraka benar-benar tidur dengan beralas karpet, membuat Arka tiba-tiba saja merasa bersalah.Setelah berha
Arka terpaksa kembali ke kamarnya walaupun sebenarnya ia ingin mengonfrontasi Caraka karena ucapannya yang membuat Arka kini berulang kali menoleh ke arah balkon.Namun, sepertinya ia tidak akan sanggup bertemu Caraka untuk sementara waktu. Pemandangan yang baru saja dilihatnya, ditambah dengan ekspresi Caraka—yang terkejut saat ia menerobos masuk sementara Caraka tengah topless—yang masih terbayang jelas di otaknya membuat jantungnya belum berada pada kondisi yang stabil.Untuk menetralkan jantungnya, Arka memilih mencuci mukanya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya, sekaligus untuk melihat kondisi kamar mandi itu.Not bad, tidak sebesar kamar mandi di rumahnya yang tersedia bathtub untuknya berendam, tapi kamar mandi itu juga melebihi ekspektasinya, bahkan mirip seperti kamar mandi hotel.Saat Arka masih tertegun di dalam kamar mandi, samar ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Arka menarik napas panjang dan menghelanya dengan kasar sebelum memberanikan diri untuk
"Bang, Abang ngeluarin uang berapa buat nyewa rumah ini?" Dahi Arka mengernyit tidak suka. Bukan karena rumahnya lebih kecil daripada yang ada di otaknya, tapi karena rumah dua lantai yang berada di cluster perumahan itu pasti bernilai sewa tinggi.Arka masih bertahan di dalam mobil meskipun Caraka telah menghentikan mobil dan memarkirkannya dengan sempurna di garasi rumah yang akan mereka tempati."Kenapa memangnya?" tanya Caraka yang masih bertahan menunggu Arka mengatasi kebingungannya."Ini nggak mungkin murah sewanya, Bang. Abang—" Yang semula Arka menatap rumah itu dengan kagum, kini beralih menatap Caraka dan berusaha mengintimidasinya, walaupun nyatanya gagal karena Caraka malah tertawa setelahnya. "Abang kerja apa sih? Nggak mungkin tukang bisa sewa rumah kayak gini.""Kamu nggak usah ngeributin Abang kerja apa. Kalau Abang bisa nyediain ya berarti Abang punya uang yang cukup buat nyediainnya." Caraka kembali mengajak turun tapi gelengan tegas menjadi jawaban Arka."Aku nggak
"Perlu bantuan, Ka?"Sebenarnya sudah hampir lima menit Caraka berdiri di ambang pintu kamar Arka yang terbuka. Ia memperhatikan Arka dalam diam. Di depan wanita itu ada satu koper yang masih terbuka, sementara di dekat ranjang tidur, sudah berdiri dua koper yang sepertinya telah berisi pakaian ataupun barang lain milik Arka.Anehnya, selama Caraka berdiri di depan pintu, Arka sama sekali tidak menyadarinya, dan Caraka tahu kalau Arka sedang melamun karena tidak ada pergerakan dari gadis itu."Eh?" Arka sedikit terkejut mendengar suara yang belakangan ini akrab di telinganya. "Udah pulang, Bang?" Arka mendekat ke arah Caraka yang hari itu lagi-lagi terlihat kumal sepulang kerja. Bukan berarti lantas kadar ketampanan Caraka turun, hanya saja pakaian yang dikenakannya tampak lusuh dan ada beberapa noda di celananya seperti semen atau entah apa yang Arka sendiri juga sebenarnya tidak paham."Mau dibikinin minum, Bang?" tanya Arka. Meskipun rasanya masih canggung, tapi ia tahu tidak selam
Arka terdiam di depan pintu kamar rawat papanya.Caraka yang memperhatikan tingkah Arka akhirnya menepuk bahunya pelan. "Kenapa?""Kalo Papa marah sama aku gimana?""Ya minta maaf.""KaloPpapa collapse lagi begitu ngelihat aku?""Ya udah, Abang masuk duluan, bilang kalo ada kamu mau ketemu Papa, gimana?"Arka menatap Caraka beberapa detik dan hanya menemukan tatapannya yang meyakinkan dan berhasil membuat Arka menganggukkan kepalanya.Caraka mengetuk pintu pelan kemudian menghilang di balik pintu itu, meninggalkan Arka seorang diri duduk di kursi tunggu yang ada di dekat pintu."Sendiri, Ka?" tanya Hadi Wijaya begitu melihat menantunya masuk ke dalam kamarnya. "Arka ngajar?""Arka ... di luar, Pa. Arka takut masuk, takut bikin keadaan Papa memburuk lagi."Lelaki paruh baya yang terbaring lemah di kasur itu menghela napas berat. "Anak itu.""Papa gimana kondisinya?""Udah baikan kok. Tapi ya gitu, dokter masih mau mantau kondisi jantung Papa. Suruh Arka masuk, Ka. Biar habis itu mama s
Caraka berbicara dengan Arga di ujung lorong sambil sesekali melirik ke arah Arka yang menangis tersedu di dekapan mamanya."Kenapa Papa bisa collapse, Mas?"Arga menghela napas sambil melirik adiknya. "Arka nekat ngomong ke papa setelah makan malam.""Ngomong apa?""Ya apa lagi? Dia ngomong kalo udah punya pacar dan pengen cerai sama kamu."Caraka memijat pelipisnya. Ia sedang bercengkerama dengan ibu dan adiknya saat tiba-tiba mendapat kabar dari Arga kalau mertuanya masuk rumah sakit. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Caraka langsung melajukan mobilnya dari Bogor menuju Jakarta.Meskipun rasanya Caraka malas untuk kembali lagi dan berhadapan dengan Arka, tapi ia tidak mungkin mengabaikan begitu saja keadaan mertuanya. Setidaknya untuk saat ini, statusnya masih menantu di keluarga itu.Dan kini, melihat Arka yang sangat terpukul dengan kejadian itu membuat Caraka tidak tahu harus berbuat apa.Arga bergegas mendekati mamanya ketika seorang dokter keluar dari rua
Arka terpaksa membiarka Caraka masuk ke dalam kamarnya. Semua karena ucapan Caraka yang mengatakan pada papanya kalau mereka harus menyelesaikan perdebatan mereka yang membuat dirinya menangis.Perdebatan apa coba?"Kamu nggak mau terima kasih sama aku? Dua kali loh aku ngelindungin kamu hari ini.""Kok pamrih? Aku kan nggak minta dilindungi juga," jawab Arka kesal. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil satu set piyama tidur sebelum beranjak menuju pintu kamar mandi yang berada di ujung kamarnya.Caraka menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa keras kepalanya Arka. Ia lantas duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Entah berapa lama ia melakukannya, sampai sebuah teriakan dari Arka membuat telinganya berdenging."Kamu ngapain masih di sini?""Lah terus aku mesti ke mana?" tanya Caraka bingung."Ya ke kamarmu sana.""Kan tadi alasanku itu mau nyelesaiin perdebatan kita, masa iya cuma lima belas menit bisa beres.""Udah lah, sana keluar!""Kalo kamu nyuruh aku keluar sek
Arka berlari di sepanjang koridor rumah sakit hingga menemukan kamar rawat yang ditempati kekasihnya. Seketika rasa bersalah bergemuruh di dadanya saat mengingat kalau dirinya telah menghianati Yudha.Benar kan? Ia telah menghianati Yudha. Harusnya ia mengatakannya sejak awal. Walaupun baru beberapa hari ia menutupi pernikahan yang terjadi di masa lalunya dari Yudha, hatinya benar-benar merasa bersalah.Arka mengetuk pintu ruang rawat sebelum suara seseorang mempersilakannya masuk."Masuk, Ka. Masih tidur sih dia, efek obat.""Kok bisa kecelakaan sih? Gimana ceritanya?" tanya Arka pada Dharma, satu-satunya orang yang menunggui kekasihnya itu."Nggak tau gue, dari cerita temennya sekantor sih, tadi dia keluar kantor, pinjem motor temennya, nggak tau mau ke mana. Cerita detail kecelakaannya gue nggak tau.""Naik motor? Memang mobilnya ke mana?"Dharma mengedikkan bahu."Kamu makan siang dulu aja, biar aku yang nunggu Yudha."Dharma mengangguk lantas berlalu pergi saat Arka mendekati ran