"Siapa yang ngizinin kamu masuk kamarku?" Arka berteriak kesal kala melihat sosok lelaki yang duduk santai di sofa kamarnya.
"Apa aku harus izin untuk masuk ke kamar istriku?"
"Astaga! Bisa nggak sih nggak nyebut-nyebut itu?" Arka mendengkus kesal sementara lelaki di hadapannya tersenyum simpul.
"Orang dibilang aku ngerasa nggak pernah nikah juga," gumam Arka entah pada siapa, yang jelas ia bangkit dari posisi tidurnya dan memilih duduk di foot board ranjang.
Meskipun setelah bangun tidur tadi ia masih berharap bahwa semuanya adalah mimpi, tapi begitu melihat sosok Caraka di dalam kamarnya, ia jadi sadar kalau harapannya tidak terkabul. Mau tidak mau, cepat atau lambat, ia harus menghadapi lelaki yang mengaku bernama Caraka Altair Abimana itu.
"So, apa yang mau kamu omongin sampe nerobos masuk ke kamarku?"
"Hubungan kita." Caraka menjawab dengan singkat dan nada yang dingin.
"Hubungan yang mana? Aku sama sekali nggak ngerasa punya hubungan sama kamu."
Caraka menghela napas kasar. "Aku tau, Arka. Ini pasti jadi pukulan berat buatmu. Tapi, kita nggak bisa kembali ke masa lalu lagi. Semuanya udah terjadi. Apa ucapan orang tuamu, foto-foto, video, dan dokumen yang ditunjukkan tadi masih belum bisa buat kamu percaya?"
"Iya, aku nggak percaya," jawab Arka angkuh.
"Ok ok, aku berusaha untuk ngerti. Kalau aku jadi kamu juga pasti aku nggak akan bisa langsung percaya. Aku cuma minta ... dengerin omongan orang tuamu. Apa mungkin mereka mempersiapkan kebohongan ini untuk kamu? Buat apa juga? Nggak ada gunanya Arka. Mau nggak mau kamu harus mulai mempersiapkan diri untuk menjalani rumah tangga yang seutuhnya." Caraka berdiri, meninggalkan Arka yang kini duduk diam.
Arka mencoba menelaah kata per kata yang baru saja diucapkan Caraka. Setelah apa yang diucapkan papa mamanya, kakaknya, dan kini Caraka sendiri, rasanya Arka tidak punya cara lagi untuk menafikan ucapan semua orang.
Helaan napas berat keluar dari Arka saat ia melihat ponselnya. Sepuluh missed call dan puluhan pesan dari Yudha memenuhi notifikasinya. Yudha pasti sangat khawatir padanya sekaligus bingung dengan apa yang terjadi hari ini.
Lalu harus bagaimana ia menceritakannya pada Yudha?
Yudha tidak mungkin bisa menerima hal itu begitu saja, sama seperti dirinya yang sampai detik itu masih sulit mempercayai apa yang terjadi pada hidupnya.
Sejujurnya ia ingin menghubungi Yudha, mengadukan semuanya pada lelaki yang sudah beberapa tahun ini ada di sampingnya, tapi satu sisi hatinya yang lain merasa tidak tega untuk berbagi kisahnya yang juga otomatis akan mengakhiri hubungannya dengan Yudha. Karenanya, Arka membuka aplikasi pesan singkat, berharap Yudha dapat ditenangkan hanya dengan balasan pesannya.
Arka: Maaf Yud, tadi aku tidur
Arka: It's ok Yud
Arka: Semua baik-baik aja kok
Arka: Nanti agak malem aku hubungi kamu ya
Arka: Abis mandi aku mau ngobrol bentar sama orang tuaku
Setelah beberapa pesan singkat itu, Arka memilih menyegarkan dirinya. Siapa tahu guyuran air bisa membuat kepalanya yang sejak tadi panas bisa sedikit dingin.
***
"Udah ngomong sama Caraka, Dek?" Pertanyaan pertama yang menyapa Arka saat ia turun dari tangga membuatnya seketika berhenti di tempat.
"Udah, dikit, Pa."
"Caraka lagi pulang sebentar ke rumah ibunya. Harusnya kamu sebagai istri juga berkunjung ke sana, kenalan sama mertuamu. Tapi Papa tau masih berat buat kamu nerima semua ini. Papa ngerti. Papa nggak akan maksa. Yang penting kamu coba kasih kesempatan buat Caraka."
"Emang rumah ibunya dia di mana?" tanya Arka yang kini mengambil posisi duduk di sebelah papanya.
"Di Bogor."
"Oooh."
"Caraka udah cukup lama diasingkan sama eyangmu. Kamu bisa bayangin nggak kalau kamu terpisah dari Papa Mama selama hampir tujuh tahun? Cuma bisa denger suara lewat sambungan telepon sama lihat wajah via video call, pasti Caraka juga tersiksa."
"Kenapa Eyang jahat ke semua orang?"
"Hush! Jangan ngomong gitu." Dalam hatinya, lelaki paruh baya itu juga menyetujui ucapan Arka. Apa yang dilakukan orang tuanya justru membuat Arka dan Caraka sama-sama merasakan sakit yang tidak seharusnya terjadi apabila wanita yang paling dituakan di keluarga Bestari itu tidak memaksakan kehendaknya tujuh tahun silam.
"Pa."
"Hmm?"
"Aku ...." Baru satu kata, dan Arka tidak berani melanjutkannya, padahal ia ingin menceritakan hubungannya dengan Yudha yang sudah ingin serius.
"Kenapa?"
"Aku ... nanti tidur di kamarku sendiri kan? Dia nggak tidur sama aku kan?" Pertanyaan absurd ini yang akhirnya lolos dari mulut Arka.
Hadi terbahak mendengar pertanyaan anaknya. "Bebas, Dek. Caraka boleh tidur di kamarmu, kan kalian udah sah sebagai suami istri. Tapi kalo kamu belum siap, kamar tamu udah disiapin kok buat Caraka."
"Emang dia bakal balik ke sini? Nggak nginep di rumah orang tuanya?"
"Ya coba, Dek, kamu yang nanya. Kan suamimu, kenapa Papa yang mesti nanya hal kayak gitu ke dia."
"Ih, Papa apaan sih. Nomornya aja nggak punya."
Karena kesal dengan papanya yang mulai meledeknya, Arka memilih pergi mencari mamanya yang sedang mengawasi ART menyiapkan makan malam untuk keluarga mereka. Tapi baru beberapa langkah, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya, pesan singkat dari papanya yang mengirimkan attachment nomor ponsel Caraka.
"Papa! Aku nggak minta nomornya!"
***
Sepuluh menit seblum makan malam dimulai, Caraka datang sambil menyeret kopernya menuju kamar tamu yang berada di lantai bawah, dekat ruang keluarga. Diam-diam Arka merasa lega karena artinya lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya itu tidak akan menginjakkan kaki di kamarnya.
Ya, mau tidak mau, Arka terpaksa (untuk sementara) mengakui lelaki itu sebagai suaminya.
Makan malam itu berlangsung canggung, tidak seperti biasanya. Arka yang biasanya akan menceritakan kejadian-kejadian lucu yang terjadi pada murid-muridnya, kini memilih diam. Ditambah dengan absennya Arga, suasana makan malam itu semakin sunyi.
"Ibu kamu sehat, Ka?"
"Hah?" Arka menatap bingung ke arah papanya, lupa kalau kini ada orang lain dengan nama serupa dirinya.
"Papa tanya Caraka, Dek."
"Iya, sehat kok, Pa," jawab Caraka singkat.
"Kamu nggak mau nginep di rumah ibumu? Udah bertahun-tahun kalian nggak ketemu, nggak apa-apa kok kalo kamu mau nginep di sana." Kini Avi yang berbicara.
Avi adalah salah satu orang yang dulu menolak ide gila dari mertuanya. Tapi sebagai anak menantu di keluarga Bestari, ucapannya tidak ada artinya jika dibanding titah Dewi Ayu Bestari.
"Nggak, Ma. Ibu udah ngizinin kok. Besok aku ke rumah Ibu lagi."
"Harusnya kamu banyak istirahat karena jetlag, bukan malah mondar-mandir Jakarta-Bogor." Diam-diam Avi khawatir kalau Caraka akan tidur bersama putrinya. Meskipun mereka sudah berstatus suami istri, tapi Avi tetap saja masih belm rela.
"Kamu tidur di—"
Ucapan Avi itu disela langsung oleh suaminya. "Ma, biar Caraka sama Arka yang mutusin. Mereka harus mulai belajar mengurus rumah tangga mereka sendiri."
Avi menatap suaminya penuh permusuhan, kemudian meninggalkan meja makan begitu saja. Tapi Hadi tidak tinggal diam. Ia langsung mengejar istrinya yang sedang emosi.
"Aku nggak akan tidur di kamarmu sampe kamu yang ngizinin, kamu tenang aja," ucap Caraka yang seperti merasa tidak terganggu dengan suasana makan malam yang memanas.
"Bagus lah kalo kamu sadar diri." Arka memilih ikut pergi dari ruang makan itu seperti kedua orang tuanya.
'Terlalu banyak yang kukorbankan demi keluargamu, Arka. Udah saatnya aku meminta hakku.'
Seharusnya Arka bangun pagi seperti kebiasaannya di hari kerja. Tapi karena malam sebelumnya ia tidak bisa tidur, memikirkan masalah yang baru saja menimpanya, ditambah lagi dengan upayanya untuk menghindar dari kekasihnya, Arka baru membuka mata setelah jam di dindingnya menunjuk angka tujuh."Astaga!" Arka bangkit dan langsung berlari menuju kamar mandi.Usai mandi yang sangat singkat, Arka mengusapkan cc cream ke wajahnya, mengikat rambutnya asal dan segera berniat berangkat. Biarlah masalah dandanannya akan dia benahi sesampainya di sekolah nanti."Baru bangun? Bukannya kamu udah harus sampe di sekolah jam setengah delapan?"Pertanyaan pertama yang didengarnya di hari itu, sebelum nanti ia akan mendengar serentetan pertanyaan dari muridnya yang masih dipenuhi rasa penasaran di umur mereka yang belum genap menginjak usia enam tahun.Arka melirik ke arah si penanya, tapi kemudian mendengkus kesal dan berlalu begitu saja tanpa menjawabnya setelah menyadari orang yang bertanya adalah
“Bu Arka, tumben tampangnya kusut?” tanya Anggun, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kepala sekolah di sana.Arka hanya tersenyum menanggapinya. Usia mereka terpaut cukup jauh, dan Arka memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Entah mengapa, sejak awal Arka selalu merasa ada yang disembunyikan wanita itu darinya.Sekolah tempat Arka mengajar, dikelola sebuah yayasan. Ada daycare, playgroup, hingga TK di dalamnya. Bukan sekolah kecil seperti yang dibayangkan banyak orang. Yayasan itu dikelola orang-orang profesional, hingga banyak orang tua yang memercayakan anaknya ke sekolah itu, meskipun harus merogoh kocek yang dalam.“Kenapa, Ka?” tanya Yasmin.“Lagi ada sedikit masalah. Makanya hampir telat tadi.” Kali ini Arka membalas karena yang bertanya adalah Yasmin, sahabat dekatnya sejak ia mengenyam pendidikan sarjana dan magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Jangan kira yayasan tempat Arka mengajar mengambil sembarang orang untuk mengajar anak PAUD. Arka dan Yasmin adalah
"Kenapa kita nggak pulang aja sih?" Arka masih tidak terima lelaki di depannya itu memaksanya makan siang bersama di sebuah restoran makanan Jepang."Kita perlu bicara." Caraka memanggil pelayan restoran untuk meminta buku menu selagi Arka terus saja menyuarakan keberatannya."Tapi kan bisa di rumah.""Kamu terlalu merasa berkuasa kalau di rumah. Makanya aku cari tempat yang netral. Minimal kalau kamu merajuk, kamu nggak akan mencak-mencak kayak kemaren karena malu dilihat orang."Arka membuka mulut, ingin membantah apa yang diucapkan Caraka, tapi sepertinya otaknya sedang tidak bekerja, hingga akhirnya Arka menutup mulutnya kembali."Kamu nggak makan sushi?" tanya Caraka yang bingung mendapati Arka hanya memesan nasi kari Jepang."Aku nggak suka sushi."Caraka tiba-tiba merasa bersalah karena tadi tidak menanyakan terlebih dulu apa yang disuka dan tidak disuka Arka. "Sorry, aku nggak tau kalo kamu nggak suka sushi.""Katanya suami, tapi apa yang disuka istrinya nggak tau," ledek Arka
Arka berlari di sepanjang koridor rumah sakit hingga menemukan kamar rawat yang ditempati kekasihnya. Seketika rasa bersalah bergemuruh di dadanya saat mengingat kalau dirinya telah menghianati Yudha.Benar kan? Ia telah menghianati Yudha. Harusnya ia mengatakannya sejak awal. Walaupun baru beberapa hari ia menutupi pernikahan yang terjadi di masa lalunya dari Yudha, hatinya benar-benar merasa bersalah.Arka mengetuk pintu ruang rawat sebelum suara seseorang mempersilakannya masuk."Masuk, Ka. Masih tidur sih dia, efek obat.""Kok bisa kecelakaan sih? Gimana ceritanya?" tanya Arka pada Dharma, satu-satunya orang yang menunggui kekasihnya itu."Nggak tau gue, dari cerita temennya sekantor sih, tadi dia keluar kantor, pinjem motor temennya, nggak tau mau ke mana. Cerita detail kecelakaannya gue nggak tau.""Naik motor? Memang mobilnya ke mana?"Dharma mengedikkan bahu."Kamu makan siang dulu aja, biar aku yang nunggu Yudha."Dharma mengangguk lantas berlalu pergi saat Arka mendekati ran
Arka terpaksa membiarka Caraka masuk ke dalam kamarnya. Semua karena ucapan Caraka yang mengatakan pada papanya kalau mereka harus menyelesaikan perdebatan mereka yang membuat dirinya menangis.Perdebatan apa coba?"Kamu nggak mau terima kasih sama aku? Dua kali loh aku ngelindungin kamu hari ini.""Kok pamrih? Aku kan nggak minta dilindungi juga," jawab Arka kesal. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil satu set piyama tidur sebelum beranjak menuju pintu kamar mandi yang berada di ujung kamarnya.Caraka menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa keras kepalanya Arka. Ia lantas duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Entah berapa lama ia melakukannya, sampai sebuah teriakan dari Arka membuat telinganya berdenging."Kamu ngapain masih di sini?""Lah terus aku mesti ke mana?" tanya Caraka bingung."Ya ke kamarmu sana.""Kan tadi alasanku itu mau nyelesaiin perdebatan kita, masa iya cuma lima belas menit bisa beres.""Udah lah, sana keluar!""Kalo kamu nyuruh aku keluar sek
Caraka berbicara dengan Arga di ujung lorong sambil sesekali melirik ke arah Arka yang menangis tersedu di dekapan mamanya."Kenapa Papa bisa collapse, Mas?"Arga menghela napas sambil melirik adiknya. "Arka nekat ngomong ke papa setelah makan malam.""Ngomong apa?""Ya apa lagi? Dia ngomong kalo udah punya pacar dan pengen cerai sama kamu."Caraka memijat pelipisnya. Ia sedang bercengkerama dengan ibu dan adiknya saat tiba-tiba mendapat kabar dari Arga kalau mertuanya masuk rumah sakit. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Caraka langsung melajukan mobilnya dari Bogor menuju Jakarta.Meskipun rasanya Caraka malas untuk kembali lagi dan berhadapan dengan Arka, tapi ia tidak mungkin mengabaikan begitu saja keadaan mertuanya. Setidaknya untuk saat ini, statusnya masih menantu di keluarga itu.Dan kini, melihat Arka yang sangat terpukul dengan kejadian itu membuat Caraka tidak tahu harus berbuat apa.Arga bergegas mendekati mamanya ketika seorang dokter keluar dari rua
Arka terdiam di depan pintu kamar rawat papanya.Caraka yang memperhatikan tingkah Arka akhirnya menepuk bahunya pelan. "Kenapa?""Kalo Papa marah sama aku gimana?""Ya minta maaf.""KaloPpapa collapse lagi begitu ngelihat aku?""Ya udah, Abang masuk duluan, bilang kalo ada kamu mau ketemu Papa, gimana?"Arka menatap Caraka beberapa detik dan hanya menemukan tatapannya yang meyakinkan dan berhasil membuat Arka menganggukkan kepalanya.Caraka mengetuk pintu pelan kemudian menghilang di balik pintu itu, meninggalkan Arka seorang diri duduk di kursi tunggu yang ada di dekat pintu."Sendiri, Ka?" tanya Hadi Wijaya begitu melihat menantunya masuk ke dalam kamarnya. "Arka ngajar?""Arka ... di luar, Pa. Arka takut masuk, takut bikin keadaan Papa memburuk lagi."Lelaki paruh baya yang terbaring lemah di kasur itu menghela napas berat. "Anak itu.""Papa gimana kondisinya?""Udah baikan kok. Tapi ya gitu, dokter masih mau mantau kondisi jantung Papa. Suruh Arka masuk, Ka. Biar habis itu mama s
"Perlu bantuan, Ka?"Sebenarnya sudah hampir lima menit Caraka berdiri di ambang pintu kamar Arka yang terbuka. Ia memperhatikan Arka dalam diam. Di depan wanita itu ada satu koper yang masih terbuka, sementara di dekat ranjang tidur, sudah berdiri dua koper yang sepertinya telah berisi pakaian ataupun barang lain milik Arka.Anehnya, selama Caraka berdiri di depan pintu, Arka sama sekali tidak menyadarinya, dan Caraka tahu kalau Arka sedang melamun karena tidak ada pergerakan dari gadis itu."Eh?" Arka sedikit terkejut mendengar suara yang belakangan ini akrab di telinganya. "Udah pulang, Bang?" Arka mendekat ke arah Caraka yang hari itu lagi-lagi terlihat kumal sepulang kerja. Bukan berarti lantas kadar ketampanan Caraka turun, hanya saja pakaian yang dikenakannya tampak lusuh dan ada beberapa noda di celananya seperti semen atau entah apa yang Arka sendiri juga sebenarnya tidak paham."Mau dibikinin minum, Bang?" tanya Arka. Meskipun rasanya masih canggung, tapi ia tahu tidak selam
"Bang, Abang ngeluarin uang berapa buat nyewa rumah ini?" Dahi Arka mengernyit tidak suka. Bukan karena rumahnya lebih kecil daripada yang ada di otaknya, tapi karena rumah dua lantai yang berada di cluster perumahan itu pasti bernilai sewa tinggi.Arka masih bertahan di dalam mobil meskipun Caraka telah menghentikan mobil dan memarkirkannya dengan sempurna di garasi rumah yang akan mereka tempati."Kenapa memangnya?" tanya Caraka yang masih bertahan menunggu Arka mengatasi kebingungannya."Ini nggak mungkin murah sewanya, Bang. Abang—" Yang semula Arka menatap rumah itu dengan kagum, kini beralih menatap Caraka dan berusaha mengintimidasinya, walaupun nyatanya gagal karena Caraka malah tertawa setelahnya. "Abang kerja apa sih? Nggak mungkin tukang bisa sewa rumah kayak gini.""Kamu nggak usah ngeributin Abang kerja apa. Kalau Abang bisa nyediain ya berarti Abang punya uang yang cukup buat nyediainnya." Caraka kembali mengajak turun tapi gelengan tegas menjadi jawaban Arka."Aku nggak
"Perlu bantuan, Ka?"Sebenarnya sudah hampir lima menit Caraka berdiri di ambang pintu kamar Arka yang terbuka. Ia memperhatikan Arka dalam diam. Di depan wanita itu ada satu koper yang masih terbuka, sementara di dekat ranjang tidur, sudah berdiri dua koper yang sepertinya telah berisi pakaian ataupun barang lain milik Arka.Anehnya, selama Caraka berdiri di depan pintu, Arka sama sekali tidak menyadarinya, dan Caraka tahu kalau Arka sedang melamun karena tidak ada pergerakan dari gadis itu."Eh?" Arka sedikit terkejut mendengar suara yang belakangan ini akrab di telinganya. "Udah pulang, Bang?" Arka mendekat ke arah Caraka yang hari itu lagi-lagi terlihat kumal sepulang kerja. Bukan berarti lantas kadar ketampanan Caraka turun, hanya saja pakaian yang dikenakannya tampak lusuh dan ada beberapa noda di celananya seperti semen atau entah apa yang Arka sendiri juga sebenarnya tidak paham."Mau dibikinin minum, Bang?" tanya Arka. Meskipun rasanya masih canggung, tapi ia tahu tidak selam
Arka terdiam di depan pintu kamar rawat papanya.Caraka yang memperhatikan tingkah Arka akhirnya menepuk bahunya pelan. "Kenapa?""Kalo Papa marah sama aku gimana?""Ya minta maaf.""KaloPpapa collapse lagi begitu ngelihat aku?""Ya udah, Abang masuk duluan, bilang kalo ada kamu mau ketemu Papa, gimana?"Arka menatap Caraka beberapa detik dan hanya menemukan tatapannya yang meyakinkan dan berhasil membuat Arka menganggukkan kepalanya.Caraka mengetuk pintu pelan kemudian menghilang di balik pintu itu, meninggalkan Arka seorang diri duduk di kursi tunggu yang ada di dekat pintu."Sendiri, Ka?" tanya Hadi Wijaya begitu melihat menantunya masuk ke dalam kamarnya. "Arka ngajar?""Arka ... di luar, Pa. Arka takut masuk, takut bikin keadaan Papa memburuk lagi."Lelaki paruh baya yang terbaring lemah di kasur itu menghela napas berat. "Anak itu.""Papa gimana kondisinya?""Udah baikan kok. Tapi ya gitu, dokter masih mau mantau kondisi jantung Papa. Suruh Arka masuk, Ka. Biar habis itu mama s
Caraka berbicara dengan Arga di ujung lorong sambil sesekali melirik ke arah Arka yang menangis tersedu di dekapan mamanya."Kenapa Papa bisa collapse, Mas?"Arga menghela napas sambil melirik adiknya. "Arka nekat ngomong ke papa setelah makan malam.""Ngomong apa?""Ya apa lagi? Dia ngomong kalo udah punya pacar dan pengen cerai sama kamu."Caraka memijat pelipisnya. Ia sedang bercengkerama dengan ibu dan adiknya saat tiba-tiba mendapat kabar dari Arga kalau mertuanya masuk rumah sakit. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Caraka langsung melajukan mobilnya dari Bogor menuju Jakarta.Meskipun rasanya Caraka malas untuk kembali lagi dan berhadapan dengan Arka, tapi ia tidak mungkin mengabaikan begitu saja keadaan mertuanya. Setidaknya untuk saat ini, statusnya masih menantu di keluarga itu.Dan kini, melihat Arka yang sangat terpukul dengan kejadian itu membuat Caraka tidak tahu harus berbuat apa.Arga bergegas mendekati mamanya ketika seorang dokter keluar dari rua
Arka terpaksa membiarka Caraka masuk ke dalam kamarnya. Semua karena ucapan Caraka yang mengatakan pada papanya kalau mereka harus menyelesaikan perdebatan mereka yang membuat dirinya menangis.Perdebatan apa coba?"Kamu nggak mau terima kasih sama aku? Dua kali loh aku ngelindungin kamu hari ini.""Kok pamrih? Aku kan nggak minta dilindungi juga," jawab Arka kesal. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil satu set piyama tidur sebelum beranjak menuju pintu kamar mandi yang berada di ujung kamarnya.Caraka menggeleng-gelengkan kepala melihat betapa keras kepalanya Arka. Ia lantas duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Entah berapa lama ia melakukannya, sampai sebuah teriakan dari Arka membuat telinganya berdenging."Kamu ngapain masih di sini?""Lah terus aku mesti ke mana?" tanya Caraka bingung."Ya ke kamarmu sana.""Kan tadi alasanku itu mau nyelesaiin perdebatan kita, masa iya cuma lima belas menit bisa beres.""Udah lah, sana keluar!""Kalo kamu nyuruh aku keluar sek
Arka berlari di sepanjang koridor rumah sakit hingga menemukan kamar rawat yang ditempati kekasihnya. Seketika rasa bersalah bergemuruh di dadanya saat mengingat kalau dirinya telah menghianati Yudha.Benar kan? Ia telah menghianati Yudha. Harusnya ia mengatakannya sejak awal. Walaupun baru beberapa hari ia menutupi pernikahan yang terjadi di masa lalunya dari Yudha, hatinya benar-benar merasa bersalah.Arka mengetuk pintu ruang rawat sebelum suara seseorang mempersilakannya masuk."Masuk, Ka. Masih tidur sih dia, efek obat.""Kok bisa kecelakaan sih? Gimana ceritanya?" tanya Arka pada Dharma, satu-satunya orang yang menunggui kekasihnya itu."Nggak tau gue, dari cerita temennya sekantor sih, tadi dia keluar kantor, pinjem motor temennya, nggak tau mau ke mana. Cerita detail kecelakaannya gue nggak tau.""Naik motor? Memang mobilnya ke mana?"Dharma mengedikkan bahu."Kamu makan siang dulu aja, biar aku yang nunggu Yudha."Dharma mengangguk lantas berlalu pergi saat Arka mendekati ran
"Kenapa kita nggak pulang aja sih?" Arka masih tidak terima lelaki di depannya itu memaksanya makan siang bersama di sebuah restoran makanan Jepang."Kita perlu bicara." Caraka memanggil pelayan restoran untuk meminta buku menu selagi Arka terus saja menyuarakan keberatannya."Tapi kan bisa di rumah.""Kamu terlalu merasa berkuasa kalau di rumah. Makanya aku cari tempat yang netral. Minimal kalau kamu merajuk, kamu nggak akan mencak-mencak kayak kemaren karena malu dilihat orang."Arka membuka mulut, ingin membantah apa yang diucapkan Caraka, tapi sepertinya otaknya sedang tidak bekerja, hingga akhirnya Arka menutup mulutnya kembali."Kamu nggak makan sushi?" tanya Caraka yang bingung mendapati Arka hanya memesan nasi kari Jepang."Aku nggak suka sushi."Caraka tiba-tiba merasa bersalah karena tadi tidak menanyakan terlebih dulu apa yang disuka dan tidak disuka Arka. "Sorry, aku nggak tau kalo kamu nggak suka sushi.""Katanya suami, tapi apa yang disuka istrinya nggak tau," ledek Arka
“Bu Arka, tumben tampangnya kusut?” tanya Anggun, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kepala sekolah di sana.Arka hanya tersenyum menanggapinya. Usia mereka terpaut cukup jauh, dan Arka memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Entah mengapa, sejak awal Arka selalu merasa ada yang disembunyikan wanita itu darinya.Sekolah tempat Arka mengajar, dikelola sebuah yayasan. Ada daycare, playgroup, hingga TK di dalamnya. Bukan sekolah kecil seperti yang dibayangkan banyak orang. Yayasan itu dikelola orang-orang profesional, hingga banyak orang tua yang memercayakan anaknya ke sekolah itu, meskipun harus merogoh kocek yang dalam.“Kenapa, Ka?” tanya Yasmin.“Lagi ada sedikit masalah. Makanya hampir telat tadi.” Kali ini Arka membalas karena yang bertanya adalah Yasmin, sahabat dekatnya sejak ia mengenyam pendidikan sarjana dan magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Jangan kira yayasan tempat Arka mengajar mengambil sembarang orang untuk mengajar anak PAUD. Arka dan Yasmin adalah
Seharusnya Arka bangun pagi seperti kebiasaannya di hari kerja. Tapi karena malam sebelumnya ia tidak bisa tidur, memikirkan masalah yang baru saja menimpanya, ditambah lagi dengan upayanya untuk menghindar dari kekasihnya, Arka baru membuka mata setelah jam di dindingnya menunjuk angka tujuh."Astaga!" Arka bangkit dan langsung berlari menuju kamar mandi.Usai mandi yang sangat singkat, Arka mengusapkan cc cream ke wajahnya, mengikat rambutnya asal dan segera berniat berangkat. Biarlah masalah dandanannya akan dia benahi sesampainya di sekolah nanti."Baru bangun? Bukannya kamu udah harus sampe di sekolah jam setengah delapan?"Pertanyaan pertama yang didengarnya di hari itu, sebelum nanti ia akan mendengar serentetan pertanyaan dari muridnya yang masih dipenuhi rasa penasaran di umur mereka yang belum genap menginjak usia enam tahun.Arka melirik ke arah si penanya, tapi kemudian mendengkus kesal dan berlalu begitu saja tanpa menjawabnya setelah menyadari orang yang bertanya adalah