Karena kejadian semalam aku lebih memilih diam rasanya hatiku masih dongkol. Mas Danu sudah berkali-kali meminta maaf padaku, aku tetap bergeming.
Mas Danu bilang dia bingung harus bagaimana apa lagi si Maya menyusulnya ke Masjid. Saat lewat Masjid masih ramai orang dan lihat suamiku ada di sana.
Mas Danu tidak ada maksud lain hanya murni menolongnya. Sebenarnya aku percaya pada suamiku, tapi hatiku masih dongkol jadilah aku diam saja sampai pagi ini.
Mas Danu paling tidak bisa jika istrinya merajuk. Dia akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Semalam saja kuperhatikan tidurnya tidak nyenyak.
Aku memang marah, tapi aku tidak akan membiarkan suamiku untuk tidur sendiri apa lagi tidur di luar itu tidak ada dalam kamus hidupku. Pagi ini pun seperti biasa aku siapkan baju kerjanya juga sarapannya aku temani.
Mas Danu menyesal dan bilang tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia berjanji akan meminta pendapatku apa pun itu.
“Kia, Nenek takut loh ... kalau di rumah ini ada perang dunia ke tiga. Kita yang jadi imbasnya,” ujar Mamah Atik mengajak bicara Kia yang sedang aku suapi.
Kia menanggapi dengan celotehannya dan mengikuti bahasa yang diucapkan Mamah Atik. Menggemaskan sekali. Mas Danu hanya tersenyum kecut sedang aku lebih memilih diam.
“Kia, gimana ya, kalau perang dunianya lama usainya? Pasti kita berdua tambah merana,” ucap Mamah Atik lagi.
Kali ini Mas Danu tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Kia yang mengangguk-anggukan kepala seraya mengikuti bahasa yang diucapkan Mamah Atik.
“Meyana ... meyana, Nek,” katanya.
“Maafin Ayah, ya, Nak. Gara-gara Ayah kalian jadi ....”
“Nanan, maf. Nanan edih,” sahut Kia seraya mengusap-ngusap pipi Mas Danu. Aku terharu sekali Kia ternyata sudah punya rasa peduli.
“Danu, enak enggak masakan Ita pagi ini?” tanya Mamah Atik.
“Emh ... E—nak kok, Mah. Masakan istriku selalu enak dan terbaik di dunia,” jawab Mas Danu gelagapan kalau sudah begitu ekspresinya maka aku yakin pasti masakanku tak enak.
Pantas saja Mamah Atik dan Mas Danu makannya lama sekali. Kalau ada paman dan Evi pasti mereka akan terus terang. Sayangnya mereka masih tidur bak big bos.
“Enak? Kata Mamah juga enak, tapi tidak seenak biasanya. Kamu tahu kenapa Danu?” Mas Danu hanya menggeleng seraya menatapku, tapi aku langsung buang muka.
“Itu karena hati istrimu sedang tidak baik-baik saja. Hatinya sakit dan mungkin juga akan lama sembuhnya. Makanya kamu sebagai suami harus dengar dan ingat kata istri. Seperti yang sudah Mamah bilang semalam. Istri itu jantungnya rumah tangga kalau jantungnya sudah sakit maka semua akan sakit,” jelas Mamah Atik.
Diam-diam aku menyipi sayur yang kumasak hari ini. Orek tempe, sambal balado telur dan lalapan. Orek tempenya super asin aku sampai meringis berasa minum air laut, sedang sambal balado telurnya tidak ada rasa. Anyep alias hambar.
“I—ya, Mah. Aku tahu dan aku sudah berkali-kali meminta maaf pada istriku, tapi seperti yang Mamah lihat sendiri dia belum mau memaafkanku,” jawab Mas Danu sendu.
“Beri waktu barang kali memang Ita masih ingin diam. Kamu lain kali jangan ceroboh lagi. Kamu memang baik, Nak, tapi di luar sana banyak sekali orang yang berusaha memanfaatkan kebaikanmu. Mamah tidak melarang kamu baik pada siapa pun, tapi kamu harus tahu mana yang tulus dan mana yang modus.”
“I—ya, Mah. Terima kasih banyak ya, sudah mengingatkan aku. Sudah jadi ibu yang baik untukku dan juga istriku.” Mamah Atik tersenyum bahagia mendengar ucapan Mas Danu.
“Ita, nanti kita jalan-jalan, yuk, ke mol atau ke mana gitu, Mamah suntuk di rumah terus,” ajak Mamah Atik. Aku tahu sebenarnya beliau tidak suntuk hanya saja ingin mengajakku untuk refreshing agar aku tidak terus-menerus ngambek.
“Iya, Mah. Nanti aku temani, tapi kan, kita hari ini mau masak-masak untuk acara syukuran besok,” jawabku.
“Gampang itu, kamu kan, sudah minta tolong sama istrinya Joko, kita serahkan semuanya saja sama dia. Kamu temani Mamah, ya?” Aku mengiyakan saja.
“Taa, Ita! Danu! Assalamualaikum!” teriak ibu mertuaku dari pintu samping.
“Duh, Nenek rombeng mau apa pagi-pagi ke sini! Wa’alaikumsalam masuk!” jawab Mamah Atik teriakannya tak kalah dengan toa Masjid. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa, tapi aku tahan.
“Ta, itu siapa yang tinggal di gubuk kecil rumah kalian? Pagi-pagi nyetel musik pakai HP kenceng banget dangdutan pula sudah gitu goyang-goyang di terasnya. Ibu tegur katanya lagi senam jangan ganggu gitu. Ih, enggak sopan!” Mendengar cerita ibu aku jadi bete lagi. Ah, itu orang ternyata banyak tingkah.
“Sekarang masih senam?” tanya Mamah Atik.
“Enggak sudah dari tadi masuk karena aku tegur. Siapa sih, Mabes? Apa art baru?”
“Bukan art. Dia itu teman Danu dan kerja di toko, tapi semalam katanya kabur dari rumah karena diusir suami dan keluarganya. Makanya minta tolong tinggal di sini,” jelas Mamah Atik.
“Loh, kok, gitu. Haduh, ini sudah enggak benar. Biasanya begitu hanya modus saja mau dekatin Danu. Ini anak juga polos atau bloon sih!” Ibu kesal dipukulnya pundak mas Danu kuat sekali.
“Ya, begitulah! Namanya juga Danu,” sahut Mamah Atik.
“Ibu sekalian ikut sarapan ya, Asih belum selesai masaknya Ibu sudah lapar gegara tadi teriak-teriak negur teman Danu itu.” Tangan ibu cekatan mengambil nasi dan kawan-kawannya. Hap! Suapan pertama masuk ke mulut muka ibu berubah jadi merah dan melirik ke Mamah Atik.
“Ha-ha- gimana rasanya masakan mantumu pagi ini. Enak sekali bukan? Itu gara-gara Danu,” kelakar Mamah Atik. Kia sampai ikutan ketawa.
“Ck, Ita kamu itu kalau masak makanya dicicip dulu. Kalau begini kan, sayang mubazir,” bentak ibu. Aku diam saja malas menanggapi.
“Ini salahku, Bu. Sampai Ita masaknya begini. Sudah kita nikmati saja, dari pada dibuang mubazir,” sahut Mas Danu.
“Kita? Kamu aja kali, Ibu mah ogah! Bisa-bisa darah tinggi Ibu kambuh! Mending ibu tunggu Asih beres masak aja,” jawab ibu.
“Benar! Mamah juga malas ngabisin. Mending Mamah makan di rumah ibumu aja, Dan. Nah, karena ini ulahmu maka kamu yang harus habisin. Cepat!”
Mas Danu hanya pasrah saja dia dengan susah payah menelan setiap suapan makanan yang masuk ke mulutnya. Sebenarnya aku kasihan, tapi biarlah anggap aja hukuman untuknya.
“Minum, Dan. Nah, kan, kalau gitu kamu hebat, Alhamdulillah habis,” ucap Mamah Atik. Ibu cekikikan bahagia aku pun sebetulnya menahan tawa sejak tadi.
“Hari ini aku libur dulu ya, Mah? Enggak usah ke toko.” Izinnya ke Mamah Atik, tapi meliriknya padaku.
“Enggak bisa! Kenapa juga mesti libur, sudah tenang aja urusan Ita biar Mamah yang tangani,” jawab Mamah Atik. Mas Danu langsung lesu.
“Istrimu masih ngambek, Dan? Biarin aja enggak usah diladeni. Perempuan di luar yang lebih cantik dari istrimu juga banyak. Sudah tidak usah ambil pusing laki-laki itu harus dihormati bukan diambeki. Kamu harus punya harga diri, dong!” sahut paman. Dia menghidupkan kompor untuk menyulut putung rokok kemudian duduk di depan pintu samping. Pas-pus sambil ceramah.
“Wong edan! Kalau nasihati anak itu yang bener! Kamu siapa di sini enggak usah ikut campur! Jam segini baru bangun memang kamu bos!” bentak ibu mertuaku.
“Aku ini ya, pamannya Danu. Sebagai lelaki harus punya harga diri!” cicit paman lagi.
“Berisik kamu! Tahu masalahnya enggak sok, ikut campur! Pulang sana ke asalmu!” bentak ibu lagi.
“Memang aku yang salah, Man. Di luar memang banyak wanita cantik, tapi tidak ada yang secantik dan sesempurna istriku. Ini murni kesalahanku. Menghormati istri bukan berarti kita tidak punya harga diri. Justru karena kita lelaki maka tugas kita memuliakan istri,” jawab Mas Danu seraya mengambil putung rokok paman yang masih menyala dan membuangnya keluar.
“Apa-apan sih, kamu, Dan! Enggak sopan!” Paman emosi.
“Paman kan, tahu di rumahku di larang merokok kenapa masih melanggar?” Mas Danu dengan santai menghampiriku dan mencium pucuk kepalaku lama sekali.
“Maaf ya, Sayang. Aku janji tidak akan ceroboh lagi. Doakan suamimu ini ya, semoga hari ini rezeki kita banyak, lancar, berkah. Mas berangkat dulu.”
Kuraih tangannya dan kucium takzim. Meski aku masih merajuk aku harus tetap melakukannya. Ini bentuk baktiku pada suami.
Kami mengantar Mas Danu sampai teras depan. Mas Danu ke garasi mobil. Tiba-tiba dari samping rumah muncul Maya dengan tergesa dia jalan menghampiri suamiku.
“Danu! Kok, kamu udah mau berangkat kan, masih jam setengah tujuh? Ini aku bawain sarapan. Aku dengar masakan istrimu enggak enak. Jadi, tadi aku buru-buru beli ke warung. Nanti kita sarapan bareng, ya?”
Bukan hanya Mas Danu yang bengong aku pun terperangah tidak percaya dengan kenekatan Maya. Aku masih diam saja mau ngetes sejauh mana Mas Danu merasa tidak enak. Mamah Atik hanya menyenggol sikuku.
“Danu, kamu cocok sekali pakai kaus warna navi begini terlihat sangat ganteng. Kamu memang dari dulu gantengnya enggak ilang-ilang,” puji Maya, tangannya berusaha meraih bahu Mas Danu, tapi Mas Danu menghindar.
“Bocah gendeng! Nguping obrolan orang! Sana pergi, anakku enggak doyan masakan orang lain apa lagi beli begitu. Kamu makan sendiri saja!” bentak ibu mertuaku seraya menghampiri Maya dan menunjuk-nunjuk muka Maya.
“Kata siapa enggak doyan? Dulu waktu kami kecil Danu sering kok, makan bareng aku. Makan bekalku karena sama Ibu enggak pernah dikasih makan,” bantah Maya. Bukan main, perempuan itu kenangan masa kecilnya dengan Mas Danu pun masih ingat.
“Owalah, makanya ini otak di taruh di tempatnya yang bener! Itu kan, dulu. Lain dulu, lain sekarang! Danu sejak sudah punya istri jangankan masakan orang lain masakan ibunya saja dia tidak mau! Sudah sana enyah. Hus! Husss!” bentak ibu seperti mengusir ayam.
“Benar yang dikatakan ibuku, May. Aku memang tidak suka masakan orang lain. Bagiku masakan istriku adalah yang terenak dan terbaik. Kamu bawa pulang saja,” sahut Mas Danu seraya tersenyum padaku.
“Mas, berangkat dulu, ya, Dik, assalamualaikum ....”
“Wa’alaikumsalam,” jawab kami bersamaan.
“Danu, tunggu! Kamu kan, mau berangkat ke toko, sekalian saja bareng. Aku lagi hemat uang karena semua uangku diminta ibu mertuaku katanya untuk anakku di sana,” pinta Maya lagi dengan wajah memelas.
“Maaf May, enggak bisa. Aku mau ke kantor Samsat dulu. Kamu berangkat jalan kaki saja tidak terlalu jauh, kok, atau bareng Joko saja. Sebentar lagi Joko ke sini mengantar istrinya,” tolak Mas Danu. Lagi-lagi Maya hanya bisa tersenyum kecut.
Tak lama Joko datang bersama istrinya. Memang aku meminta tolong pada istri Joko untuk bantu masak, nanti malam kami akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak panti asuhan.
“Yuk, bareng sekalian! Kalau telat gaji dipotong sama Bu Bos!” ajak Joko seraya menunjukku.
“Pak’e hati-hati awas kalau macam-macam aku sunat lagi, kamu!” ucap istri Joko.
“Siap, Bune! Hati Pak’e selamanya untuk Bune. Pak’e enggak doyan sama ondel-ondel,” jawab Joko terkekeh. Istrinya tersipu malu seraya mencubit gemas pipi Joko. Kami yang melihat pun ikut tertawa.
Benar juga kata Joko, Maya dandannya menor sekali. Mending kalau rapi, itu berantakan mungkin karena tadi buru-buru pergi ke warung beli sarapan untuk Mas Danu. Duh!
“Danu! Tunggu!” Kali ini Paman yang berteriak memanggil Mas Danu. Sepertinya Mas Danu tidak dengar mobilnya tetap melaju.
“Dasar Danu budek sekali dipanggil enggak dengar. Ita, Paman minta duit ya, ini istri Paman mau kondang, tapi enggak ada uang nunggu transferan dari Paman sedang Paman nunggu dikasih Danu.”
“Pingin uang? Kerja sana. Minta enak amat memang situ siapa!?” jawabku kesal.
Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar. “Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta. Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.“Dibayar, kan, Ta?”“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman
"Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap
"Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat
"Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl
“Kita bicara di dalam, Mas!” Mas Danu tanpa membantah langsung masuk ke dalam.“Kamu kemasi barangmu sekarang juga, dan pergi dari sini!” titahku pada Maya.“Hhh ... aku tidak akan pernah pergi dari sini kalau bukan Danu yang meminta. Semua ini milik Danu kamu hanya berstatus istri dan tidak bawa apa-apa ke sini jadi tidak usah berlagak Nyonya,” jawab Maya sinis dia menyilangkan ke dua tangannya di dada.“Percuma ngomong sama manusia tidak punya otak. Kita lihat saja aku pastikan kamu akan kutendang dari sini!” Kutatap matanya yang penuh amarah itu.“Maya tidak mau pergi dari sini kalau bukan kamu yang minta Mas. Jadi, lebih baik sekarang kamu suruh dia pergi dari sini.” Mas Danu yang sedang menggendong Kia langsung menghampiriku ke kamar.“Dik, dengar dulu penjelasanku. Tadi itu aku sengaja menurunkan Maya di sana karena memang dia sendiri yang minta katanya mau beli perlengkapan mandi,” jelas Mas Danu.“Aku sudah sulit percaya Mas, semenjak ada dia di sini kamu juga berubah. Sekaran
“Ssstt ... sudah jangan nangis. Salah Mas sih, enggak jujur sama kamu. Yuk, kita temui Maya!”“Halah Dan, istri begitu mah buang aja ke laut. Masih banyak perempuan di luar sana yang bisa tulus padamu dan tidak marah-marah padamu. Suami pulang kerja bukannya disambut bahagia malah dimarah tidak jelas,” ucap paman ketika kami ke luar kamar. Rupanya paman mendengar pertengkaran kami.“Sudahlah Paman, tidak usah menambah keruh suasana. Aku dan Ita tidak bertengkar kok, tadi Ita teriak itu gara-gara aku menjahilinya dengan menakutinya kecoak,” jawab Mas Danu berbohong.“Ah, terserah kamu saja, Dan. Kamu memang ngeyel seperti ibumu susah kalau dibilangin,” sahut paman lagi.“Danu, Ita, aku punya kabar gembira untuk kalian!” teriak Mbak Asih dari pintu samping dia sedikit berlari menghampiri kami. Mbak asih masih menggunakan seragam salesnya dia pasti baru pulang kerja dan langsung ke sini.“Kabar apaan, Mbak?” tanyaku penasaran.“Aku hamil,” jawab Mbak Asih tanpa malu.“Apa!” Aku dan Mas D
"Kamu tega mengusirku dalam keadaan begini, Dan? Sungguh kamu manusia tidak punya hati. Ke mana Danu temanku yang dulu selalu berjanji akan membalas kebaikanku?” ucap Maya lagi seraya terisak.Aku sama sekali tidak tersentuh oleh kata-katanya. Aku justru ingin sekali membantah ucapannya, tapi aku tahan aku mau lihat dulu seberapa jauh keberanian Mas Danu pada temannya itu.“Aku sedang tertimpa musibah dan tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang membantuku. Nasib orang miskin memang selalu begini di hina sana-sini dan juga disingkirkan,” tutur Maya. Dia berkali-kali mengelap air matanya.Mas Danu melirikku. Aku segera memalingkan wajah. Pasti Mas Danu mau meminta padaku untuk tidak mengusir Maya malam ini. Mas Danu selalu seperti itu tidak tegaan.“May, enggak usah jadi orang sok paling susah di dunia, deh! Kamu bilang tidak ada yang bantu kamu lantas yang kamu dapatkan selama ini apa? Kami membantumu. Mas Danu menepati janjinya. Apa kamu lupa? Pekerjaan yang kamu dapatkan sekaran
[Aku tidak peduli, pokoknya cepat kembalikan uangku! Aku sudah benar-benar marah padamu, aku sudah tidak percaya lagi padamu. Terserah kamu masih mau berteman denganku atau tidak karena itu sama sekali tidak membuatku rugi.][Iyalah baik, aku ke sana, tunggu!]Dengan senang hati aku menunggu kedatangan Novi, semoga saja kali ini dia tidak berbohong dan tidak banyak alasan. Kalau sampai dia tidak datang ke sini maka aku yang akan datang menghampiri ke rumahnya. Dia yang memulai, dia pun yang harus mengakhiri.Brak! tiba-tiba saja kacaku kembali dilempar oleh seseorang dengan batu yang sangat besar, kami yang sedang asyik bersantai di ruang TV pun bergegas lari ke depan.Tidak ada siapa-siapa hanya ada batu bata besar dengan bungkusan plastik hitam. Bapak lari ke jalan dan celingak-celinguk mencari apakah ada orang yang patut dicurigai.“Mbak Asih dari mana?" tanyaku pada Mbak Asih. Dia sepertinya dari minimarket karena menenteng plastik berlogo minimarket terkenal dengan segala isinya
Setelah selesai sarapan aku segera beres-beres rumah. Hari ini rencananya akan berbelanja untuk acara esok yang akan kami adakan 5 hari lagi.Ting!WA dari Novi.[Ita maksudmu apa nulis status begitu, kamu menyindirku?Kamu tidak ikhlas menolongku. Oke, aku, kembalikan uang kamu, tapi tolong dong, kamu nggak usah bikin status-status begitu! Kamu merendahkan sekali. Jadi manusia baru kaya begitu saja sudah sombong.][Sepertinya kamu harus berkaca pakai kaca yang besar, kalau tidak ada datanglah ke rumahku sini. Berkaca di sini kamu kan, yang memulainya duluan, Nov! Kamu update status menyinggung aku bahwa aku ini berutang padamu subuh-subuh padahal kan, kamu yang hutang sama aku, jadi manusia itu jangan suka memutarbalikkan fakta. Ingat dosa, ingat mati, memangnya aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di belakangku? Banyak orang yang laporan padaku.] balasku berapi-api, kalau dia benar-benar mengajak perang maka aku akan ladeni.[Eh, fitnah itu, siapa yang bilang begitu. Aku tidak ada u
“Iya, Mah, Bu. Terima kasih sudah mengingatkan aku, tapi aku sudah kadung bikin status unek-unek di story WA.”“Ya, sudah tidak apa-apa biar kamu merasa puas kali ini Ibu maklum, tapi lain kali jangan kamu ulangi lagi, ya, Nak? Ibu tidak mau loh anak Ibu yang Ibu banggakan ini terpengaruh oleh lingkungan yang kotor.”“Astaghfirullahaladzim ... Iya, Bu, insya Allah aku tidak akan mengulangi lagi. Terima kasih Mama dan Ibu sudah selalu mmenasihatiku.”“Iya, kan, ini memang sudah tugas orang tua untuk selalu mengingatkan anaknya jika anaknya tersesat di jalan yang salah. Sudah kamu makan saja dulu. Lupakan masalahmu kalau kamu makan sambil mengingat-ingat kejadian yang bikin kamu emosi tidak akan pernah jadi daging makanan yang kamu telan itu,” jawab mamah Atik.“Iya, Mah. Terima kasih, ya, sudah masakin nasi goreng yang super enak ini kalau kita buka restoran dan ada menu nasi gorengnya, Mama wajib yang masak, rasanya enak banget. Pasti laris dan keuntungannya juga banyak,” pujiku pada
[Dasar manusia tidak tahu diri, tidak bersyukur tidak tahu diuntung, sudah dibantu malah memutar balikan fakta. Semoga saja kamu tidak bertemu dengan orang yang sifatnya sama denganmu. Pagi-pagi datang memohon-mohon meminjam uang setelah dapat bukanya mengucapkan terima kasih malah mengatakan yang tidak-tidak tentang aku.]Kutulis status di WA-ku panjang lebar agar semua orang-orang yang ada di sini, tetangga-tetanggaku bisa membacanya. Aku sudah benar-benar gerah dengan sikap Novi Yang keterlaluan padaku.Kutinggalkan ponselku di atas nakas lalu membantu Mama Atik dan ibuku untuk masak. Sebentar lagi pasti Mas Danu akan pulang.“Kamu kenapa, Ta, kok senyum-senyum begitu?” tanya ibu penuh selidik.“Tidak apa-apa, Bu, hanya ingat kejadian lucu tadi di warung,” jawabku.“Kejadian apa itu? Ibu, jadi kepo, nih! Duh bahasanya sudah kayak Si Nopi saja kepo,” ujar ibu.“Jadi ceritanya, Bu, tadi pagi subuh-subuh Novi itu datang ke sini pinjam uang sama aku satu juta katanya uangnya untuk be
“Wak, aku, bukan tipe orang yang suka melupakan jasa orang lain. Ya, terserah awak saja mau percaya atau tidak. Yng jelas aku tidak ada uutang dengan Novi," jawabku kesal lalu ikut mengantri untuk belanja.“Nih, Wak, dimakan! Biar itu mulut nggak pedes kayak cabe setan!" sahut Ibuku lalu memasukkan segenggam cabe caplak jawa yang kata orang cabe setan ke mulut Wak Jum yang sedang menganga karena menertawakanku.“Apa-apaan sih, kamu, Wak, jelek-jelekin menantuku! Bibirmu itu lama-lama nanti double dan dosamu menumpuk. Ingat, dosa woi! Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Menantuku itu orang baik tidak mungkin dia berhutang kepada orang lain," bela ibu mertuaku.“Iya, betul tuh masih aja ada yang percaya sama mulutnya Novi. Dia itu kan, ember dan juga mulut comberan. PAgi-pagi sudah bikin orang ribut saja!" sahut Mbak Fitri yang ternyata dia ada di sini belanja sayuran juga.“Sudah jangan ribut perkara uutang orang lain nggak baik. Dasar itu aja mulutnya comberan mau ikut campur aja u
“Assalamualaikum permisi! Assalamualaikum permisi! berkali-kali kuulangi panggilan dan menggedor pintu Novi, tetapi tetap juga tidak dibukakan olehnya. Benar-benar memang dia sudah keterlaluan! Oke baiklah Novi aku akan pakai caramu!Dia benar-benar sudah tidak menghormati aku sebagai tetangga dan tidak menganggapku teman lagi. Padahal tadi pagi subuh-subuh dia memohon-mohon padaku untuk meminjamkan uang padanya. Lalu dia menyindirku lewat status WA. Aku datangi dia tidak berani nongol! Maunya apa? Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Padahal aku merasa tidak pernah punya salah pada dia.Bukankah seharusnya jika sudah mengenalku dari kecil, menganggapku teman, dan sekarang kami bertetanggaan, sikapnya harusnya lebih baik padaku bahkan menganggapku lebih dari saudara. Seperti aku menganggapnya begitu. Dasar saja Novi ternyata sifatnya sejak dulu tidak pernah berubah.Aku telusuri jalanan di depan rumahku dengan perasaan dongkol dan kesal. Astagfirullah pagi-pagi aku tidak boleh beg
Astaghfirullahaladzim ... kubaca status WA-nya Novi.“Pagi-pagi buta sudah ada orang datang ke rumah pinjam uang. Kelihatannya sih, kaya raya, rumahnya gede, bagus, ke mana-mana naiknya mobil ternyata pagi-pagi sudah pinjam uang. Yaa, elah, berarti dia lebih miskin dari aku, dong!”Aku geram sekali membaca status WA-nya Novi. Kenapa dia memutarbalikkan fakta seperti itu? Ini orang pagi-pagi sudah membuat kepalaku mendidih.Apa iya, aku harus mengikuti saran Mbak Fitri untuk melabrak dia, tapi meskipun Novi nulis status WA begitu itu, tapi tidak ada orang yang percaya dengan status dia buktinya Mbak Fitri malah marah-marah pada dia. Kalau meladeni Novi tidak akan pernah habisnya dan itu sangat buang-buang waktuku.Hidupku bukan hanya untuk mengurusi urusan orang lain. Lebih dari itu, tapi kalau dia tidak dikasih pelajaran dia bakalan selamanya menginjak-nginjak harga diriku. Salah apa aku ini pada Novi? Perasaan aku sudah selalu berbuat baik padanya, tapi masih saja dia menjelek-jelek
“Mas, sepertinya dia ini manusia benar-benar tidak punya pekerjaan. Bayangkan saja dia meneror kita setiap hari, setiap waktu dengan kata-kata serupa, tapi dia tidak berani menunjukkan actionnya selain mengirimi kita makhluk-makhluk halus begitu ya, enggak sih, Mas?” ucapku kepada Mas Danu.“Iya, betul, Dik, itulah kenapa Mas, selalu berpesan padamu dan juga yang lainnya agar selalu hati-hati karena lawan kita tidak kasat mata. Jika manusia di depan kita hendak mencelakai, kita, bisa melawannya, tapi kalau makhluk halus begitu kita tidak melihat bagaimana kita akan melawan mereka selain dengan doa dan kehati-hatian kita. Kamu paham kan, maksudku?” ujar Mas Danu.“Iya, Mas, aku paham, maka dari itu aku pun selalu mewanti-wanti Ibu, Mama, Ibumu, untuk selalu waspada. Apalagi Mbak Asih kan, sekarang dia sudah bertaubat memperbaiki diri, menutup, aurat, banyak-banyak mendekatkan diri pada Allah. Intinya yang pasti sudah tidak ada lagi media yang bisa digunakan untuk menteror kita dengan m
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau