Share

Bab 4. Para benalu.

Karena kejadian semalam aku lebih memilih diam rasanya hatiku masih dongkol. Mas Danu sudah berkali-kali meminta maaf padaku, aku tetap bergeming.

Mas Danu bilang dia bingung harus bagaimana apa lagi si Maya menyusulnya ke Masjid. Saat lewat Masjid masih ramai orang dan lihat suamiku ada di sana.

Mas Danu tidak ada maksud lain hanya murni menolongnya. Sebenarnya aku percaya pada suamiku, tapi hatiku masih dongkol jadilah aku diam saja sampai pagi ini.

Mas Danu paling tidak bisa jika istrinya merajuk. Dia akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Semalam saja kuperhatikan tidurnya tidak nyenyak.

Aku memang marah, tapi aku tidak akan membiarkan suamiku untuk tidur sendiri apa lagi tidur di luar itu tidak ada dalam kamus hidupku. Pagi ini pun seperti biasa aku siapkan baju kerjanya juga sarapannya aku temani.

Mas Danu menyesal dan bilang tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia berjanji akan meminta pendapatku apa pun itu.

“Kia, Nenek takut loh ... kalau di rumah ini ada perang dunia ke tiga. Kita yang jadi imbasnya,” ujar Mamah Atik mengajak bicara Kia yang sedang aku suapi.

Kia menanggapi dengan celotehannya dan mengikuti bahasa yang diucapkan Mamah Atik. Menggemaskan sekali. Mas Danu hanya tersenyum kecut sedang aku lebih memilih diam.

“Kia, gimana ya, kalau perang dunianya lama usainya? Pasti kita berdua tambah merana,” ucap Mamah Atik lagi.

Kali ini Mas Danu tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Kia yang mengangguk-anggukan kepala seraya mengikuti bahasa yang diucapkan Mamah Atik.

“Meyana ... meyana, Nek,” katanya.

“Maafin Ayah, ya, Nak. Gara-gara Ayah kalian jadi ....”

“Nanan, maf. Nanan edih,” sahut Kia seraya mengusap-ngusap pipi Mas Danu. Aku terharu sekali Kia ternyata sudah punya rasa peduli.

“Danu, enak enggak masakan Ita pagi ini?” tanya Mamah Atik.

“Emh ... E—nak kok, Mah. Masakan istriku selalu enak dan terbaik di dunia,” jawab Mas Danu gelagapan kalau sudah begitu ekspresinya maka aku yakin pasti masakanku tak enak.

Pantas saja Mamah Atik dan Mas Danu makannya lama sekali. Kalau ada paman dan Evi pasti mereka akan terus terang. Sayangnya mereka masih tidur bak big bos.

“Enak? Kata Mamah juga enak, tapi tidak seenak biasanya. Kamu tahu kenapa Danu?” Mas Danu hanya menggeleng seraya menatapku, tapi aku langsung buang muka.

“Itu karena hati istrimu sedang tidak baik-baik saja. Hatinya sakit dan mungkin juga akan lama sembuhnya. Makanya kamu sebagai suami harus dengar dan ingat kata istri. Seperti yang sudah Mamah bilang semalam. Istri itu jantungnya rumah tangga kalau jantungnya sudah sakit maka semua akan sakit,” jelas Mamah Atik.

Diam-diam aku menyipi sayur yang kumasak hari ini. Orek tempe, sambal balado telur dan lalapan. Orek tempenya super asin aku sampai meringis berasa minum air laut, sedang sambal balado telurnya tidak ada rasa. Anyep alias hambar.

“I—ya, Mah. Aku tahu dan aku sudah berkali-kali meminta maaf pada istriku, tapi seperti yang Mamah lihat sendiri dia belum mau memaafkanku,” jawab Mas Danu sendu.

“Beri waktu barang kali memang Ita masih ingin diam. Kamu lain kali jangan ceroboh lagi. Kamu memang baik, Nak, tapi di luar sana banyak sekali orang yang berusaha memanfaatkan kebaikanmu. Mamah tidak melarang kamu baik pada siapa pun, tapi kamu harus tahu mana yang tulus dan mana yang modus.”

“I—ya, Mah. Terima kasih banyak ya, sudah mengingatkan aku. Sudah jadi ibu yang baik untukku dan juga istriku.” Mamah Atik tersenyum bahagia mendengar ucapan Mas Danu.

“Ita, nanti kita jalan-jalan, yuk, ke mol atau ke mana gitu, Mamah suntuk di rumah terus,” ajak Mamah Atik. Aku tahu sebenarnya beliau tidak suntuk hanya saja ingin mengajakku untuk refreshing agar aku tidak terus-menerus ngambek.

“Iya, Mah. Nanti aku temani, tapi kan, kita hari ini mau masak-masak untuk acara syukuran besok,” jawabku.

“Gampang itu, kamu kan, sudah minta tolong sama istrinya Joko, kita serahkan semuanya saja sama dia. Kamu temani Mamah, ya?” Aku mengiyakan saja.

“Taa, Ita! Danu! Assalamualaikum!” teriak ibu mertuaku dari pintu samping.

“Duh, Nenek rombeng mau apa pagi-pagi ke sini! Wa’alaikumsalam masuk!” jawab Mamah Atik teriakannya tak kalah dengan toa Masjid. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa, tapi aku tahan.

“Ta, itu siapa yang tinggal di gubuk kecil rumah kalian? Pagi-pagi nyetel musik pakai HP kenceng banget dangdutan pula sudah gitu goyang-goyang di terasnya. Ibu tegur katanya lagi senam jangan ganggu gitu. Ih, enggak sopan!” Mendengar cerita ibu aku jadi bete lagi. Ah, itu orang ternyata banyak tingkah.

“Sekarang masih senam?” tanya Mamah Atik.

“Enggak sudah dari tadi masuk karena aku tegur. Siapa sih, Mabes? Apa art baru?”

“Bukan art. Dia itu teman Danu dan kerja di toko, tapi semalam katanya kabur dari rumah karena diusir suami dan keluarganya. Makanya minta tolong tinggal di sini,” jelas Mamah Atik.

“Loh, kok, gitu. Haduh, ini sudah enggak benar. Biasanya begitu hanya modus saja mau dekatin Danu. Ini anak juga polos atau bloon sih!” Ibu kesal dipukulnya pundak mas Danu kuat sekali.

“Ya, begitulah! Namanya juga Danu,” sahut Mamah Atik.

“Ibu sekalian ikut sarapan ya, Asih belum selesai masaknya Ibu sudah lapar gegara tadi teriak-teriak negur teman Danu itu.” Tangan ibu cekatan mengambil nasi dan kawan-kawannya. Hap! Suapan pertama masuk ke mulut muka ibu berubah jadi merah dan melirik ke Mamah Atik.

“Ha-ha- gimana rasanya masakan mantumu pagi ini. Enak sekali bukan? Itu gara-gara Danu,” kelakar Mamah Atik. Kia sampai ikutan ketawa.

“Ck, Ita kamu itu kalau masak makanya dicicip dulu. Kalau begini kan, sayang mubazir,” bentak ibu. Aku diam saja malas menanggapi.

“Ini salahku, Bu. Sampai Ita masaknya begini. Sudah kita nikmati saja, dari pada dibuang mubazir,” sahut Mas Danu.

“Kita? Kamu aja kali, Ibu mah ogah! Bisa-bisa darah tinggi Ibu kambuh! Mending ibu tunggu Asih beres masak aja,” jawab ibu.

“Benar! Mamah juga malas ngabisin. Mending Mamah makan di rumah ibumu aja, Dan. Nah, karena ini ulahmu maka kamu yang harus habisin. Cepat!”

Mas Danu hanya pasrah saja dia dengan susah payah menelan setiap suapan makanan yang masuk ke mulutnya. Sebenarnya aku kasihan, tapi biarlah anggap aja hukuman untuknya.

“Minum, Dan. Nah, kan, kalau gitu kamu hebat, Alhamdulillah habis,” ucap Mamah Atik. Ibu cekikikan bahagia aku pun sebetulnya menahan tawa sejak tadi.

“Hari ini aku libur dulu ya, Mah? Enggak usah ke toko.” Izinnya ke Mamah Atik, tapi meliriknya padaku.

“Enggak bisa! Kenapa juga mesti libur, sudah tenang aja urusan Ita biar Mamah yang tangani,” jawab Mamah Atik. Mas Danu langsung lesu.

“Istrimu masih ngambek, Dan? Biarin aja enggak usah diladeni. Perempuan di luar yang lebih cantik dari istrimu juga banyak. Sudah tidak usah ambil pusing laki-laki itu harus dihormati bukan diambeki. Kamu harus punya harga diri, dong!” sahut paman. Dia menghidupkan kompor untuk menyulut putung rokok kemudian duduk di depan pintu samping. Pas-pus sambil ceramah.

“Wong edan! Kalau nasihati anak itu yang bener! Kamu siapa di sini enggak usah ikut campur! Jam segini baru bangun memang kamu bos!” bentak ibu mertuaku.

“Aku ini ya, pamannya Danu. Sebagai lelaki harus punya harga diri!” cicit paman lagi.

“Berisik kamu! Tahu masalahnya enggak sok, ikut campur! Pulang sana ke asalmu!” bentak ibu lagi.

“Memang aku yang salah, Man. Di luar memang banyak wanita cantik, tapi tidak ada yang secantik dan sesempurna istriku. Ini murni kesalahanku. Menghormati istri bukan berarti kita tidak punya harga diri. Justru karena kita lelaki maka tugas kita memuliakan istri,” jawab Mas Danu seraya mengambil putung rokok paman yang masih menyala dan membuangnya keluar.

“Apa-apan sih, kamu, Dan! Enggak sopan!” Paman emosi.

“Paman kan, tahu di rumahku di larang merokok kenapa masih melanggar?” Mas Danu dengan santai menghampiriku dan mencium pucuk kepalaku lama sekali.

“Maaf ya, Sayang. Aku janji tidak akan ceroboh lagi. Doakan suamimu ini ya, semoga hari ini rezeki kita banyak, lancar, berkah. Mas berangkat dulu.”

Kuraih tangannya dan kucium takzim. Meski aku masih merajuk aku harus tetap melakukannya. Ini bentuk baktiku pada suami.

Kami mengantar Mas Danu sampai teras depan. Mas Danu ke garasi mobil. Tiba-tiba dari samping rumah muncul Maya dengan tergesa dia jalan menghampiri suamiku.

“Danu! Kok, kamu udah mau berangkat kan, masih jam setengah tujuh? Ini aku bawain sarapan. Aku dengar masakan istrimu enggak enak. Jadi, tadi aku buru-buru beli ke warung. Nanti kita sarapan bareng, ya?”

Bukan hanya Mas Danu yang bengong aku pun terperangah tidak percaya dengan kenekatan Maya. Aku masih diam saja mau ngetes sejauh mana Mas Danu merasa tidak enak. Mamah Atik hanya menyenggol sikuku.

“Danu, kamu cocok sekali pakai kaus warna navi begini terlihat sangat ganteng. Kamu memang dari dulu gantengnya enggak ilang-ilang,” puji Maya, tangannya berusaha meraih bahu Mas Danu, tapi Mas Danu menghindar.

“Bocah gendeng! Nguping obrolan orang! Sana pergi, anakku enggak doyan masakan orang lain apa lagi beli begitu. Kamu makan sendiri saja!” bentak ibu mertuaku seraya menghampiri Maya dan menunjuk-nunjuk muka Maya.

“Kata siapa enggak doyan? Dulu waktu kami kecil Danu sering kok, makan bareng aku. Makan bekalku karena sama Ibu enggak pernah dikasih makan,” bantah Maya. Bukan main, perempuan itu kenangan masa kecilnya dengan Mas Danu pun masih ingat.

“Owalah, makanya ini otak di taruh di tempatnya yang bener! Itu kan, dulu. Lain dulu, lain sekarang! Danu sejak sudah punya istri jangankan masakan orang lain masakan ibunya saja dia tidak mau! Sudah sana enyah. Hus! Husss!” bentak ibu seperti mengusir ayam.

“Benar yang dikatakan ibuku, May. Aku memang tidak suka masakan orang lain. Bagiku masakan istriku adalah yang terenak dan terbaik. Kamu bawa pulang saja,” sahut Mas Danu seraya tersenyum padaku.

“Mas, berangkat dulu, ya, Dik, assalamualaikum ....”

“Wa’alaikumsalam,” jawab kami bersamaan.

“Danu, tunggu! Kamu kan, mau berangkat ke toko, sekalian saja bareng. Aku lagi hemat uang karena semua uangku diminta ibu mertuaku katanya untuk anakku di sana,” pinta Maya lagi dengan wajah memelas.

“Maaf May, enggak bisa. Aku mau ke kantor Samsat dulu. Kamu berangkat jalan kaki saja tidak terlalu jauh, kok, atau bareng Joko saja. Sebentar lagi Joko ke sini mengantar istrinya,” tolak Mas Danu. Lagi-lagi Maya hanya bisa tersenyum kecut.

Tak lama Joko datang bersama istrinya. Memang aku meminta tolong pada istri Joko untuk bantu masak, nanti malam kami akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak panti asuhan.

“Yuk, bareng sekalian! Kalau telat gaji dipotong sama Bu Bos!” ajak Joko seraya menunjukku.

“Pak’e hati-hati awas kalau macam-macam aku sunat lagi, kamu!” ucap istri Joko.

“Siap, Bune! Hati Pak’e selamanya untuk Bune. Pak’e enggak doyan sama ondel-ondel,” jawab Joko terkekeh. Istrinya tersipu malu seraya mencubit gemas pipi Joko. Kami yang melihat pun ikut tertawa.

Benar juga kata Joko, Maya dandannya menor sekali. Mending kalau rapi, itu berantakan mungkin karena tadi buru-buru pergi ke warung beli sarapan untuk Mas Danu. Duh!

“Danu! Tunggu!” Kali ini Paman yang berteriak memanggil Mas Danu. Sepertinya Mas Danu tidak dengar mobilnya tetap melaju.

“Dasar Danu budek sekali dipanggil enggak dengar. Ita, Paman minta duit ya, ini istri Paman mau kondang, tapi enggak ada uang nunggu transferan dari Paman sedang Paman nunggu dikasih Danu.”

“Pingin uang? Kerja sana. Minta enak amat memang situ siapa!?” jawabku kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status