Share

Bab 3. Pesan dari Maya.

[Aku otewe sekarang ya, Dan]

Kembali pesan singkat itu masuk.

“Siapa, Sayang? Kok bete gitu?”

“Temenmu!”

“Loh, kok, marah? Teman yang mana?” Mas Danu mengambil ponselnya.

“Oh, biarin aja lah, kan, di sana dia punya tetangga kenapa juga musti ke sini,” ujar Mas Danu lalu mematikan ponselnya.

“Sudah makan lagi nanti nasinya nangis kalau enggak dihabisin. Apa mau Mas suapin?”

“Iya, aku habisin. Mas, bisa tidak kalau enggak dekat-dekat lagi sama teman kamu itu?” pintaku.

“Bisa, kalau itu yang minta istriku apa pun akan aku lakukan,” jawab Mas Danu. Hatiku lega. Setidaknya meski perempuan itu mepet terus, tapi suamiku menghindar.

“Perempuan tadi siang, Ta?” Mamah Atik ikutan kepo.

“Iya, Mah, ini pakai kirim pesan segala minta tolong minep di sini katanya diusir suami dan keluarga suaminya.”

“Kasihan sih, tapi pasti ada alasannya kenapa begitu. Danu, apa orang tuanya tidak ada di sini?”

“Ada sih, Mah. Setahuku dulu waktu kecil memang asli orang kampung sebelah sini, tapi enggak tahu kalau sekarang.”

“Ingat Danu, apa yang kamu miliki sekarang berkat doa-doa tulus dari istrimu. Kalau sampai kamu berani macam-macam Mamah tidak akan pernah tinggal diam.”

“Iya, Mah ... aku tahu. Mamah jangan begitu ih, aku jadi takut.” Aku terkekeh melihat ekspresi Mamah Atik yang melotot pada Mas Danu.

“Kali aja kamu khilaf gitu, karena manusia kan, tempat salah dan lupa. Sebelum itu terjadi Mamah ingetin duluan.”

“Iya, Mah, terima kasih sudah ingetin aku,” ucap Mas Danu menarik turunkan alis matanya.

“Serius Danu!”

“Iya, Mah, ini serius,” jawab Mas Danu.

Selesai makan kami bersiap salat isya. Aku menyiapkan baju salat Mas Danu. Alhamdulillah lelakiku ini selalu berjamaah di masjid lima waktunya meski hujan pun tetap berangkat.

“Man, ayo, salat di masjid sudah azan, nih!” ajak Mas Danu.

“Enggaklah, Dan. Kapan-kapan aja,” tolak paman tangannya masih sibuk memegang remot memindah channel TV.

“Salat, Man. Salat itu wajib. Kalau Paman tidak salat bagaimana nanti Paman bisa bertanggung jawab terhadap diri Paman sendiri.” Mas Danu mematikan TV. Paman mendengus kesal lalu ikut beranjak dan mengekor Mas Danu ke Masjid.

“Kamu juga salat, Vi. Taruh dulu itu HP-mu,” titah Mamah Atik.

“Ogah! Aku masih M,” jawab Evi seraya beranjak dari duduknya entah mau pergi ke mana.

“Tunggu! Kamu masih M, hari ke berapa?” tanya Mamah Atik meyakinkan.

“Iya, Bulek, baru hari ke dua masih deras-derasnya,” jawab Evi malas.

Bok! 

Bok!

“Aaa! Bulek apa-apaan, sih!” teriak Evi.

Kutahan mulutku agar tidak tertawa. Bagaimana tidak Mamah Atik menabok pant*t Evi kuat sekali.

“Kamu itu yang apaan! Mens enggak bilang M. Mana buktinya kamu pakai pembalut aja enggak! Alasan saja dasar pemalas! Kalau mau tinggal di sini ikuti aturan bukan seenak jidatmu sendiri!” omel Mamah Atik. Lagi-lagi kepala Evi tak luput dari toyoran mautnya. Mau tidak mau Evi menurut dan ikut salat jamaah di rumah.

Selesai salat Evi tidak berdoa dia langsung ngacir ke depan membukakan pintu. Rupanya ada tamu.

“Mah, siapa yang bertamu malam-malam tumben sekali?”

“Mamah mana tahu, sudah kita berdoa dulu. Terus simaan 10 ayat aja ya, Mamah ada janji mau telpon Charles katanya dia sudah berangkat ke Jerman Alhamdulillah dapat beasiswa kuliah di sana.”

Charles cucu paling besar dari anak pertama Mamah Atik yang di Riau. Rupanya anak itu selain tampan juga pintar.

“Masya Allah keren sekali. Semoga nanti nular ke anak-anakku ya, Mah.”

“Aamiin. Ayo, doa dulu terus mulai kamu dulu, ya?” Aku menyimak bacaan ayat Alquran Mamah Atik. Beginilah rutinitas kami selama 6 bulan ini. Atas nasihat dari ustazah kami. Alhamdulillah makin banyak keberkahan. Tadinya kami mengaji setelah Maghrib, tapi waktunya tidak keburu karena harus makam malam juga akhirnya diganti habis isya.

“Ta, itu ada tamu laki-laki seumuran Danu. Apa teman Danu?” tanya Mamah Atik setelah mengambil ponselnya. Aku sedang ngajarin Kia ngaji iqro.

“Kalau teman Mas Danu pasti bikin janji dulu, Mah. Di depan sama siapa?”

“Sama Evi ngobrol sudah dibuatin minum juga. Kamu tanya dulu sana biar Kia sama Mamah sekalian ikut teleponan.”

Aku akhirnya ke ruang tamu. Benar juga ada pria seumuran Mas Danu sedang ngobrol akrab dengan Evi. Duduk bersama membelakangi ruang dapur jadi mereka tidak tahu aku berdiri di belakang mereka. Itu pasti teman Evi berani sekali dia bawa laki-laki ke rumah ini.

Derrrtt!

Pesan dari Maya lagi.

[Aku sudah mau sampai, Dan!]

 Astaghfirullah ini perempuan nekat sekali malam-malam datang ke sini. Memang cari masalah. Lebih baik aku abaikan saja.

“Rumahmu bagus banget ya, Vi? Baru kali ini aku bertamu ke rumah gedongan begini jadi enggak enak,” ucap laki-laki itu.

“Iya, ini rumah Kakakku. Dia memang orang kaya. Tokonya besar, kebunnya luas berhektar-hektar jadi wajar kalau rumahnya bagus begini,” jawab Evi bangga.

“Kalau kita menikah nanti apa kakakmu itu mau modali kita untuk buka usaha juga?” Aku terperangah kaget dengan pernyataan laki-laki di samping Evi. Menikah katanya? Jadi, laki-laki ini pacarnya. Lah, Evi kan, masih punya suami dan anak.

“Tentu ... Kakakku itu orangnya baik dan juga tidak pelit. Mas, aku pingin deh, beli tas ini.” Evi menyodorkan ponselnya pada laki-laki itu.

“Em, mahal itu, Vi. 300 ribu rupiah cukup untuk aku makan 1 bulan di kontrakan. Cari yang lebih murah lagi, ya?” Rasanya aku ingin tertawa melihat penolakan pacar Evi itu.

Evi cemberut karena permintaannya ditolak.

“Baru segini mahal, gimana nanti jadi suamiku. Kamu enggak lihat Mas aku ini adiknya orang kaya. Nanti kalau kamu menikah denganku pasti bakalan banyak keuntungan juga. Segitu doang pelit banget.”

“Emh ... baiklah. Kamu pesan saja nanti aku yang bayar.” Akhirnya pria itu tidak mampu menolak hanya karena iming-iming dapat imbalan setelah menikahi Evi.

Hebat sekali Evi merayunya. Memberi harapan palsu.

“Eghem!” Aku berdehem kuat sekali karena laki-laki itu nyosor pipi Evi dan berhasil. Modal cium pipi dapat tas seharga 300 ribu rupiah. Bukan main hebatnya Evi. Ups!

“Mbak! Ih, ngagetin aja, deh! Enggak sopan banget!” bentak Evi.

Kusilangkan tangan di dada lalu duduk di depan mereka. Laki-laki itu justru bengong melihatku.

“Mas! Ih, apaan sih, kamu lihatnya gitu amat!” Evi merajuk.

“Cantik sekali. Siapa dia, Vi?”

“Ih, apaan sih, Mas! Dasar mata keranjang!” Evi mencubit paha laki-laki di sampingnya.

“Bu—kan begitu, maksudnya siapa dia kok, ada di sini juga?” tanya lagi.

“Dia istri kakakku. Orangnya galak juga judes. Kamu jangan tertipu dengan wajah cantiknya,” sahut Evi.

“Benar yang dibilang Evi. Jadi, jangan macam-macam di rumahku ini. Kamu Evi apa tidak tahu malu. Kamu itu masih istri orang sudah punya anak kenapa juga pakai pacaran segala sama laki-laki lain apa kamu mau dimarah Mas Danu?” kataku telak. Tentu saja laki-laki yang berstatus pacar Evi itu terbelalak kaget.

“Apaan sih, Mbak ganggu kesenangan orang aja, deh!” bantah Evi tidak terima.

“Apa benar yang dikatakan Mbak ini, Vi? Kamu istri orang?”

“Enggak usah dipercaya sudah aku bilang kalau istri kakakku ini memang galak, judes, dan sok tahu!” sungut Evi.

“Tapi, kalau itu benar nanti aku dicap pebinor dan aku tidak mau,” sahut pacar Evi.

“Terserah kamu saja, Mas mau percaya padaku atau tidak, tapi kamu jangan menyesal kalau nanti aku nikah sama orang lain terus suamiku itu dapat harta dari kakakku dan kami hidup bahagia.” Aku terkekeh, omongan Evi sungguh tidak masuk akal

“Ba—baik, aku percaya padamu.” Akhirnya luluh juga laki-laki ini. Ancaman Evi sungguh membuatnya lupa diri.

“Kenapa Mbak, masih di sini? Sana masuk!” bentak Evi padaku.

“Ogah, ini rumahku jadi aku mau di mana juga terserah aku. Evi aku peringatkan ya, jangan lagi-lagi kamu bawa tamu sembarangan ke rumah ini.”

“Terserah akulah mau bawa siapa juga. Ini rumah Kakakku kok,” jawab Evi santai.

Krucuk!

Bunyi perut lapar dari pacarnya Evi.

“Vi, aku lapar kamu enggak masak? Aku ke sini kok, cuma dikasih air minum doang?”

“Ehm, itu ... baiklah ayo, makan!” Evi mengajak ke ruang makan. Aku tetap di sini sambil main ponsel. Biarlah mereka makan ... nasi dan lauk juga banyak. Kasihan pasti dia bakalan puasa karena 300 ribu rupiah miliknya lenyap untuk beli tas Evi. Untung Mamah Atik masih video call dengan cucunya kau tidak habis riwayat Evi.

“Makanannya enak sekali, Vi?”

“Iya, ini belum seberapa, Mas. Biasanya ada 12 macam lauk dan sayur terhidang di sini,” jawab Evi berbohong.

Tak kudengar lagi suara mereka hanya suara sendok beradu dengan piring.

“Aku pulang dulu, ya, Vi. Makasih jamuanya ini aku langsung mampir ke indoapril untuk bayar pesenan kamu. Besok bawain aku bekal kerja ya, biar hemat. Besok malam aku ke sini lagi.”

“Oke!”

“Tidak boleh datang ke sini lagi! Besok Evi mau aku kembalikan ke asalnya. Kasihan suami dan anaknya kalu ditinggal lama-lama.” Pacar Evi terlihat bingung, tapi sejurus kemudian pamit.

“Mbak, apa-apaan, sih! Kamu itu merusak kesenangan orang aja!” bentak Evi seraya mendorongku.

“Evi! Berani sekali kamu mendorong Mbak Ita!” bentak Mas Danu dari arah pintu depan. Evi langsung diam tidak bergerak sama sekali dia ketakutan.

Mas Danu baru pulang ini sudah hampir jam 10 malam, tapi ... tunggu dulu itu siapa dibalik badan Mas Danu dan paman. Kok, seperti perempuan.

“Benar kata Ita, besok tidak boleh bawa laki-laki masuk ke rumah ini. Ingat kamu itu istri orang dan suamimu itu baik!” bentak Mas Danu lagi.

Aku tidak fokus pada pembelaan Mas Danu aku hanya fokus pada perempuan yang bersembunyi di balik badan Mas Danu. Tidak salah lagi itu Maya.

Tak mau banyak omong aku langsung masuk kamar. Mas Danu menyusulku. 

“Sayang, hanya malam ini saja kasihan dia udah kadung ke sini jalan kaki loh, katanya. Kasihan ya, Sayang. Malam ini saja, Mas janji.”

Malas menjawab omongan Mas Danu aku segera mengambil bedcover di lemari lalu Keluar tanpa mempedulikan Mas Danu.

Tampak Maya sedang ngobrol dengan paman. Kuseret lengan Maya keluar rumah.

“Jangan macam-macam di rumahku ini apa lagi berusaha mengambil pemiliknya. Silakan tidur di luar! Evi! Tolong antar perempuan ini ke rumah sebelah!”

“Rumah ibunya Mas Danu?” tanya Evi tidak mengerti.

“Bukan! Paviliun kecil itu kan, kosong. Antar ke sana.” 

“Ayo! Buruan!” Evi menarik tangan Maya.

“Danu! Ikut Mamah ke kamar!” Mas Danu pasrah saja dia mengekor Mamah Atik.

Entah apa yang dipikirkan perempuan bernama Maya itu. Dia kan, orang sini pasti keluarganya juga ada di sini kenapa repot-repot datang ke rumah orang lain. Astaghfirullah aku sampai tidak bisa mengontrol amarahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status