[Aku otewe sekarang ya, Dan]
Kembali pesan singkat itu masuk.
“Siapa, Sayang? Kok bete gitu?”
“Temenmu!”
“Loh, kok, marah? Teman yang mana?” Mas Danu mengambil ponselnya.
“Oh, biarin aja lah, kan, di sana dia punya tetangga kenapa juga musti ke sini,” ujar Mas Danu lalu mematikan ponselnya.
“Sudah makan lagi nanti nasinya nangis kalau enggak dihabisin. Apa mau Mas suapin?”
“Iya, aku habisin. Mas, bisa tidak kalau enggak dekat-dekat lagi sama teman kamu itu?” pintaku.
“Bisa, kalau itu yang minta istriku apa pun akan aku lakukan,” jawab Mas Danu. Hatiku lega. Setidaknya meski perempuan itu mepet terus, tapi suamiku menghindar.
“Perempuan tadi siang, Ta?” Mamah Atik ikutan kepo.
“Iya, Mah, ini pakai kirim pesan segala minta tolong minep di sini katanya diusir suami dan keluarga suaminya.”
“Kasihan sih, tapi pasti ada alasannya kenapa begitu. Danu, apa orang tuanya tidak ada di sini?”
“Ada sih, Mah. Setahuku dulu waktu kecil memang asli orang kampung sebelah sini, tapi enggak tahu kalau sekarang.”
“Ingat Danu, apa yang kamu miliki sekarang berkat doa-doa tulus dari istrimu. Kalau sampai kamu berani macam-macam Mamah tidak akan pernah tinggal diam.”
“Iya, Mah ... aku tahu. Mamah jangan begitu ih, aku jadi takut.” Aku terkekeh melihat ekspresi Mamah Atik yang melotot pada Mas Danu.
“Kali aja kamu khilaf gitu, karena manusia kan, tempat salah dan lupa. Sebelum itu terjadi Mamah ingetin duluan.”
“Iya, Mah, terima kasih sudah ingetin aku,” ucap Mas Danu menarik turunkan alis matanya.
“Serius Danu!”
“Iya, Mah, ini serius,” jawab Mas Danu.
Selesai makan kami bersiap salat isya. Aku menyiapkan baju salat Mas Danu. Alhamdulillah lelakiku ini selalu berjamaah di masjid lima waktunya meski hujan pun tetap berangkat.
“Man, ayo, salat di masjid sudah azan, nih!” ajak Mas Danu.
“Enggaklah, Dan. Kapan-kapan aja,” tolak paman tangannya masih sibuk memegang remot memindah channel TV.
“Salat, Man. Salat itu wajib. Kalau Paman tidak salat bagaimana nanti Paman bisa bertanggung jawab terhadap diri Paman sendiri.” Mas Danu mematikan TV. Paman mendengus kesal lalu ikut beranjak dan mengekor Mas Danu ke Masjid.
“Kamu juga salat, Vi. Taruh dulu itu HP-mu,” titah Mamah Atik.
“Ogah! Aku masih M,” jawab Evi seraya beranjak dari duduknya entah mau pergi ke mana.
“Tunggu! Kamu masih M, hari ke berapa?” tanya Mamah Atik meyakinkan.
“Iya, Bulek, baru hari ke dua masih deras-derasnya,” jawab Evi malas.
Bok!
Bok!
“Aaa! Bulek apa-apaan, sih!” teriak Evi.
Kutahan mulutku agar tidak tertawa. Bagaimana tidak Mamah Atik menabok pant*t Evi kuat sekali.
“Kamu itu yang apaan! Mens enggak bilang M. Mana buktinya kamu pakai pembalut aja enggak! Alasan saja dasar pemalas! Kalau mau tinggal di sini ikuti aturan bukan seenak jidatmu sendiri!” omel Mamah Atik. Lagi-lagi kepala Evi tak luput dari toyoran mautnya. Mau tidak mau Evi menurut dan ikut salat jamaah di rumah.
Selesai salat Evi tidak berdoa dia langsung ngacir ke depan membukakan pintu. Rupanya ada tamu.
“Mah, siapa yang bertamu malam-malam tumben sekali?”
“Mamah mana tahu, sudah kita berdoa dulu. Terus simaan 10 ayat aja ya, Mamah ada janji mau telpon Charles katanya dia sudah berangkat ke Jerman Alhamdulillah dapat beasiswa kuliah di sana.”
Charles cucu paling besar dari anak pertama Mamah Atik yang di Riau. Rupanya anak itu selain tampan juga pintar.
“Masya Allah keren sekali. Semoga nanti nular ke anak-anakku ya, Mah.”
“Aamiin. Ayo, doa dulu terus mulai kamu dulu, ya?” Aku menyimak bacaan ayat Alquran Mamah Atik. Beginilah rutinitas kami selama 6 bulan ini. Atas nasihat dari ustazah kami. Alhamdulillah makin banyak keberkahan. Tadinya kami mengaji setelah Maghrib, tapi waktunya tidak keburu karena harus makam malam juga akhirnya diganti habis isya.
“Ta, itu ada tamu laki-laki seumuran Danu. Apa teman Danu?” tanya Mamah Atik setelah mengambil ponselnya. Aku sedang ngajarin Kia ngaji iqro.
“Kalau teman Mas Danu pasti bikin janji dulu, Mah. Di depan sama siapa?”
“Sama Evi ngobrol sudah dibuatin minum juga. Kamu tanya dulu sana biar Kia sama Mamah sekalian ikut teleponan.”
Aku akhirnya ke ruang tamu. Benar juga ada pria seumuran Mas Danu sedang ngobrol akrab dengan Evi. Duduk bersama membelakangi ruang dapur jadi mereka tidak tahu aku berdiri di belakang mereka. Itu pasti teman Evi berani sekali dia bawa laki-laki ke rumah ini.
Derrrtt!
Pesan dari Maya lagi.
[Aku sudah mau sampai, Dan!]
Astaghfirullah ini perempuan nekat sekali malam-malam datang ke sini. Memang cari masalah. Lebih baik aku abaikan saja.
“Rumahmu bagus banget ya, Vi? Baru kali ini aku bertamu ke rumah gedongan begini jadi enggak enak,” ucap laki-laki itu.
“Iya, ini rumah Kakakku. Dia memang orang kaya. Tokonya besar, kebunnya luas berhektar-hektar jadi wajar kalau rumahnya bagus begini,” jawab Evi bangga.
“Kalau kita menikah nanti apa kakakmu itu mau modali kita untuk buka usaha juga?” Aku terperangah kaget dengan pernyataan laki-laki di samping Evi. Menikah katanya? Jadi, laki-laki ini pacarnya. Lah, Evi kan, masih punya suami dan anak.
“Tentu ... Kakakku itu orangnya baik dan juga tidak pelit. Mas, aku pingin deh, beli tas ini.” Evi menyodorkan ponselnya pada laki-laki itu.
“Em, mahal itu, Vi. 300 ribu rupiah cukup untuk aku makan 1 bulan di kontrakan. Cari yang lebih murah lagi, ya?” Rasanya aku ingin tertawa melihat penolakan pacar Evi itu.
Evi cemberut karena permintaannya ditolak.
“Baru segini mahal, gimana nanti jadi suamiku. Kamu enggak lihat Mas aku ini adiknya orang kaya. Nanti kalau kamu menikah denganku pasti bakalan banyak keuntungan juga. Segitu doang pelit banget.”
“Emh ... baiklah. Kamu pesan saja nanti aku yang bayar.” Akhirnya pria itu tidak mampu menolak hanya karena iming-iming dapat imbalan setelah menikahi Evi.
Hebat sekali Evi merayunya. Memberi harapan palsu.
“Eghem!” Aku berdehem kuat sekali karena laki-laki itu nyosor pipi Evi dan berhasil. Modal cium pipi dapat tas seharga 300 ribu rupiah. Bukan main hebatnya Evi. Ups!
“Mbak! Ih, ngagetin aja, deh! Enggak sopan banget!” bentak Evi.
Kusilangkan tangan di dada lalu duduk di depan mereka. Laki-laki itu justru bengong melihatku.
“Mas! Ih, apaan sih, kamu lihatnya gitu amat!” Evi merajuk.
“Cantik sekali. Siapa dia, Vi?”
“Ih, apaan sih, Mas! Dasar mata keranjang!” Evi mencubit paha laki-laki di sampingnya.
“Bu—kan begitu, maksudnya siapa dia kok, ada di sini juga?” tanya lagi.
“Dia istri kakakku. Orangnya galak juga judes. Kamu jangan tertipu dengan wajah cantiknya,” sahut Evi.
“Benar yang dibilang Evi. Jadi, jangan macam-macam di rumahku ini. Kamu Evi apa tidak tahu malu. Kamu itu masih istri orang sudah punya anak kenapa juga pakai pacaran segala sama laki-laki lain apa kamu mau dimarah Mas Danu?” kataku telak. Tentu saja laki-laki yang berstatus pacar Evi itu terbelalak kaget.
“Apaan sih, Mbak ganggu kesenangan orang aja, deh!” bantah Evi tidak terima.
“Apa benar yang dikatakan Mbak ini, Vi? Kamu istri orang?”
“Enggak usah dipercaya sudah aku bilang kalau istri kakakku ini memang galak, judes, dan sok tahu!” sungut Evi.
“Tapi, kalau itu benar nanti aku dicap pebinor dan aku tidak mau,” sahut pacar Evi.
“Terserah kamu saja, Mas mau percaya padaku atau tidak, tapi kamu jangan menyesal kalau nanti aku nikah sama orang lain terus suamiku itu dapat harta dari kakakku dan kami hidup bahagia.” Aku terkekeh, omongan Evi sungguh tidak masuk akal
“Ba—baik, aku percaya padamu.” Akhirnya luluh juga laki-laki ini. Ancaman Evi sungguh membuatnya lupa diri.
“Kenapa Mbak, masih di sini? Sana masuk!” bentak Evi padaku.
“Ogah, ini rumahku jadi aku mau di mana juga terserah aku. Evi aku peringatkan ya, jangan lagi-lagi kamu bawa tamu sembarangan ke rumah ini.”
“Terserah akulah mau bawa siapa juga. Ini rumah Kakakku kok,” jawab Evi santai.
Krucuk!
Bunyi perut lapar dari pacarnya Evi.
“Vi, aku lapar kamu enggak masak? Aku ke sini kok, cuma dikasih air minum doang?”
“Ehm, itu ... baiklah ayo, makan!” Evi mengajak ke ruang makan. Aku tetap di sini sambil main ponsel. Biarlah mereka makan ... nasi dan lauk juga banyak. Kasihan pasti dia bakalan puasa karena 300 ribu rupiah miliknya lenyap untuk beli tas Evi. Untung Mamah Atik masih video call dengan cucunya kau tidak habis riwayat Evi.
“Makanannya enak sekali, Vi?”
“Iya, ini belum seberapa, Mas. Biasanya ada 12 macam lauk dan sayur terhidang di sini,” jawab Evi berbohong.
Tak kudengar lagi suara mereka hanya suara sendok beradu dengan piring.
“Aku pulang dulu, ya, Vi. Makasih jamuanya ini aku langsung mampir ke indoapril untuk bayar pesenan kamu. Besok bawain aku bekal kerja ya, biar hemat. Besok malam aku ke sini lagi.”
“Oke!”
“Tidak boleh datang ke sini lagi! Besok Evi mau aku kembalikan ke asalnya. Kasihan suami dan anaknya kalu ditinggal lama-lama.” Pacar Evi terlihat bingung, tapi sejurus kemudian pamit.
“Mbak, apa-apaan, sih! Kamu itu merusak kesenangan orang aja!” bentak Evi seraya mendorongku.
“Evi! Berani sekali kamu mendorong Mbak Ita!” bentak Mas Danu dari arah pintu depan. Evi langsung diam tidak bergerak sama sekali dia ketakutan.
Mas Danu baru pulang ini sudah hampir jam 10 malam, tapi ... tunggu dulu itu siapa dibalik badan Mas Danu dan paman. Kok, seperti perempuan.
“Benar kata Ita, besok tidak boleh bawa laki-laki masuk ke rumah ini. Ingat kamu itu istri orang dan suamimu itu baik!” bentak Mas Danu lagi.
Aku tidak fokus pada pembelaan Mas Danu aku hanya fokus pada perempuan yang bersembunyi di balik badan Mas Danu. Tidak salah lagi itu Maya.
Tak mau banyak omong aku langsung masuk kamar. Mas Danu menyusulku.
“Sayang, hanya malam ini saja kasihan dia udah kadung ke sini jalan kaki loh, katanya. Kasihan ya, Sayang. Malam ini saja, Mas janji.”
Malas menjawab omongan Mas Danu aku segera mengambil bedcover di lemari lalu Keluar tanpa mempedulikan Mas Danu.
Tampak Maya sedang ngobrol dengan paman. Kuseret lengan Maya keluar rumah.
“Jangan macam-macam di rumahku ini apa lagi berusaha mengambil pemiliknya. Silakan tidur di luar! Evi! Tolong antar perempuan ini ke rumah sebelah!”
“Rumah ibunya Mas Danu?” tanya Evi tidak mengerti.
“Bukan! Paviliun kecil itu kan, kosong. Antar ke sana.”
“Ayo! Buruan!” Evi menarik tangan Maya.
“Danu! Ikut Mamah ke kamar!” Mas Danu pasrah saja dia mengekor Mamah Atik.
Entah apa yang dipikirkan perempuan bernama Maya itu. Dia kan, orang sini pasti keluarganya juga ada di sini kenapa repot-repot datang ke rumah orang lain. Astaghfirullah aku sampai tidak bisa mengontrol amarahku.
Karena kejadian semalam aku lebih memilih diam rasanya hatiku masih dongkol. Mas Danu sudah berkali-kali meminta maaf padaku, aku tetap bergeming.Mas Danu bilang dia bingung harus bagaimana apa lagi si Maya menyusulnya ke Masjid. Saat lewat Masjid masih ramai orang dan lihat suamiku ada di sana.Mas Danu tidak ada maksud lain hanya murni menolongnya. Sebenarnya aku percaya pada suamiku, tapi hatiku masih dongkol jadilah aku diam saja sampai pagi ini.Mas Danu paling tidak bisa jika istrinya merajuk. Dia akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Semalam saja kuperhatikan tidurnya tidak nyenyak.Aku memang marah, tapi aku tidak akan membiarkan suamiku untuk tidur sendiri apa lagi tidur di luar itu tidak ada dalam kamus hidupku. Pagi ini pun seperti biasa aku siapkan baju kerjanya juga sarapannya aku temani.Mas Danu menyesal dan bilang tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia berjanji akan meminta pendapatku apa pun itu.“Kia, Nenek takut loh ... kalau di rumah ini ada perang d
Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar. “Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta. Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.“Dibayar, kan, Ta?”“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman
"Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap
"Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat
"Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl
“Kita bicara di dalam, Mas!” Mas Danu tanpa membantah langsung masuk ke dalam.“Kamu kemasi barangmu sekarang juga, dan pergi dari sini!” titahku pada Maya.“Hhh ... aku tidak akan pernah pergi dari sini kalau bukan Danu yang meminta. Semua ini milik Danu kamu hanya berstatus istri dan tidak bawa apa-apa ke sini jadi tidak usah berlagak Nyonya,” jawab Maya sinis dia menyilangkan ke dua tangannya di dada.“Percuma ngomong sama manusia tidak punya otak. Kita lihat saja aku pastikan kamu akan kutendang dari sini!” Kutatap matanya yang penuh amarah itu.“Maya tidak mau pergi dari sini kalau bukan kamu yang minta Mas. Jadi, lebih baik sekarang kamu suruh dia pergi dari sini.” Mas Danu yang sedang menggendong Kia langsung menghampiriku ke kamar.“Dik, dengar dulu penjelasanku. Tadi itu aku sengaja menurunkan Maya di sana karena memang dia sendiri yang minta katanya mau beli perlengkapan mandi,” jelas Mas Danu.“Aku sudah sulit percaya Mas, semenjak ada dia di sini kamu juga berubah. Sekaran
“Ssstt ... sudah jangan nangis. Salah Mas sih, enggak jujur sama kamu. Yuk, kita temui Maya!”“Halah Dan, istri begitu mah buang aja ke laut. Masih banyak perempuan di luar sana yang bisa tulus padamu dan tidak marah-marah padamu. Suami pulang kerja bukannya disambut bahagia malah dimarah tidak jelas,” ucap paman ketika kami ke luar kamar. Rupanya paman mendengar pertengkaran kami.“Sudahlah Paman, tidak usah menambah keruh suasana. Aku dan Ita tidak bertengkar kok, tadi Ita teriak itu gara-gara aku menjahilinya dengan menakutinya kecoak,” jawab Mas Danu berbohong.“Ah, terserah kamu saja, Dan. Kamu memang ngeyel seperti ibumu susah kalau dibilangin,” sahut paman lagi.“Danu, Ita, aku punya kabar gembira untuk kalian!” teriak Mbak Asih dari pintu samping dia sedikit berlari menghampiri kami. Mbak asih masih menggunakan seragam salesnya dia pasti baru pulang kerja dan langsung ke sini.“Kabar apaan, Mbak?” tanyaku penasaran.“Aku hamil,” jawab Mbak Asih tanpa malu.“Apa!” Aku dan Mas D
[Aku tidak peduli, pokoknya cepat kembalikan uangku! Aku sudah benar-benar marah padamu, aku sudah tidak percaya lagi padamu. Terserah kamu masih mau berteman denganku atau tidak karena itu sama sekali tidak membuatku rugi.][Iyalah baik, aku ke sana, tunggu!]Dengan senang hati aku menunggu kedatangan Novi, semoga saja kali ini dia tidak berbohong dan tidak banyak alasan. Kalau sampai dia tidak datang ke sini maka aku yang akan datang menghampiri ke rumahnya. Dia yang memulai, dia pun yang harus mengakhiri.Brak! tiba-tiba saja kacaku kembali dilempar oleh seseorang dengan batu yang sangat besar, kami yang sedang asyik bersantai di ruang TV pun bergegas lari ke depan.Tidak ada siapa-siapa hanya ada batu bata besar dengan bungkusan plastik hitam. Bapak lari ke jalan dan celingak-celinguk mencari apakah ada orang yang patut dicurigai.“Mbak Asih dari mana?" tanyaku pada Mbak Asih. Dia sepertinya dari minimarket karena menenteng plastik berlogo minimarket terkenal dengan segala isinya
Setelah selesai sarapan aku segera beres-beres rumah. Hari ini rencananya akan berbelanja untuk acara esok yang akan kami adakan 5 hari lagi.Ting!WA dari Novi.[Ita maksudmu apa nulis status begitu, kamu menyindirku?Kamu tidak ikhlas menolongku. Oke, aku, kembalikan uang kamu, tapi tolong dong, kamu nggak usah bikin status-status begitu! Kamu merendahkan sekali. Jadi manusia baru kaya begitu saja sudah sombong.][Sepertinya kamu harus berkaca pakai kaca yang besar, kalau tidak ada datanglah ke rumahku sini. Berkaca di sini kamu kan, yang memulainya duluan, Nov! Kamu update status menyinggung aku bahwa aku ini berutang padamu subuh-subuh padahal kan, kamu yang hutang sama aku, jadi manusia itu jangan suka memutarbalikkan fakta. Ingat dosa, ingat mati, memangnya aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di belakangku? Banyak orang yang laporan padaku.] balasku berapi-api, kalau dia benar-benar mengajak perang maka aku akan ladeni.[Eh, fitnah itu, siapa yang bilang begitu. Aku tidak ada u
“Iya, Mah, Bu. Terima kasih sudah mengingatkan aku, tapi aku sudah kadung bikin status unek-unek di story WA.”“Ya, sudah tidak apa-apa biar kamu merasa puas kali ini Ibu maklum, tapi lain kali jangan kamu ulangi lagi, ya, Nak? Ibu tidak mau loh anak Ibu yang Ibu banggakan ini terpengaruh oleh lingkungan yang kotor.”“Astaghfirullahaladzim ... Iya, Bu, insya Allah aku tidak akan mengulangi lagi. Terima kasih Mama dan Ibu sudah selalu mmenasihatiku.”“Iya, kan, ini memang sudah tugas orang tua untuk selalu mengingatkan anaknya jika anaknya tersesat di jalan yang salah. Sudah kamu makan saja dulu. Lupakan masalahmu kalau kamu makan sambil mengingat-ingat kejadian yang bikin kamu emosi tidak akan pernah jadi daging makanan yang kamu telan itu,” jawab mamah Atik.“Iya, Mah. Terima kasih, ya, sudah masakin nasi goreng yang super enak ini kalau kita buka restoran dan ada menu nasi gorengnya, Mama wajib yang masak, rasanya enak banget. Pasti laris dan keuntungannya juga banyak,” pujiku pada
[Dasar manusia tidak tahu diri, tidak bersyukur tidak tahu diuntung, sudah dibantu malah memutar balikan fakta. Semoga saja kamu tidak bertemu dengan orang yang sifatnya sama denganmu. Pagi-pagi datang memohon-mohon meminjam uang setelah dapat bukanya mengucapkan terima kasih malah mengatakan yang tidak-tidak tentang aku.]Kutulis status di WA-ku panjang lebar agar semua orang-orang yang ada di sini, tetangga-tetanggaku bisa membacanya. Aku sudah benar-benar gerah dengan sikap Novi Yang keterlaluan padaku.Kutinggalkan ponselku di atas nakas lalu membantu Mama Atik dan ibuku untuk masak. Sebentar lagi pasti Mas Danu akan pulang.“Kamu kenapa, Ta, kok senyum-senyum begitu?” tanya ibu penuh selidik.“Tidak apa-apa, Bu, hanya ingat kejadian lucu tadi di warung,” jawabku.“Kejadian apa itu? Ibu, jadi kepo, nih! Duh bahasanya sudah kayak Si Nopi saja kepo,” ujar ibu.“Jadi ceritanya, Bu, tadi pagi subuh-subuh Novi itu datang ke sini pinjam uang sama aku satu juta katanya uangnya untuk be
“Wak, aku, bukan tipe orang yang suka melupakan jasa orang lain. Ya, terserah awak saja mau percaya atau tidak. Yng jelas aku tidak ada uutang dengan Novi," jawabku kesal lalu ikut mengantri untuk belanja.“Nih, Wak, dimakan! Biar itu mulut nggak pedes kayak cabe setan!" sahut Ibuku lalu memasukkan segenggam cabe caplak jawa yang kata orang cabe setan ke mulut Wak Jum yang sedang menganga karena menertawakanku.“Apa-apaan sih, kamu, Wak, jelek-jelekin menantuku! Bibirmu itu lama-lama nanti double dan dosamu menumpuk. Ingat, dosa woi! Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Menantuku itu orang baik tidak mungkin dia berhutang kepada orang lain," bela ibu mertuaku.“Iya, betul tuh masih aja ada yang percaya sama mulutnya Novi. Dia itu kan, ember dan juga mulut comberan. PAgi-pagi sudah bikin orang ribut saja!" sahut Mbak Fitri yang ternyata dia ada di sini belanja sayuran juga.“Sudah jangan ribut perkara uutang orang lain nggak baik. Dasar itu aja mulutnya comberan mau ikut campur aja u
“Assalamualaikum permisi! Assalamualaikum permisi! berkali-kali kuulangi panggilan dan menggedor pintu Novi, tetapi tetap juga tidak dibukakan olehnya. Benar-benar memang dia sudah keterlaluan! Oke baiklah Novi aku akan pakai caramu!Dia benar-benar sudah tidak menghormati aku sebagai tetangga dan tidak menganggapku teman lagi. Padahal tadi pagi subuh-subuh dia memohon-mohon padaku untuk meminjamkan uang padanya. Lalu dia menyindirku lewat status WA. Aku datangi dia tidak berani nongol! Maunya apa? Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Padahal aku merasa tidak pernah punya salah pada dia.Bukankah seharusnya jika sudah mengenalku dari kecil, menganggapku teman, dan sekarang kami bertetanggaan, sikapnya harusnya lebih baik padaku bahkan menganggapku lebih dari saudara. Seperti aku menganggapnya begitu. Dasar saja Novi ternyata sifatnya sejak dulu tidak pernah berubah.Aku telusuri jalanan di depan rumahku dengan perasaan dongkol dan kesal. Astagfirullah pagi-pagi aku tidak boleh beg
Astaghfirullahaladzim ... kubaca status WA-nya Novi.“Pagi-pagi buta sudah ada orang datang ke rumah pinjam uang. Kelihatannya sih, kaya raya, rumahnya gede, bagus, ke mana-mana naiknya mobil ternyata pagi-pagi sudah pinjam uang. Yaa, elah, berarti dia lebih miskin dari aku, dong!”Aku geram sekali membaca status WA-nya Novi. Kenapa dia memutarbalikkan fakta seperti itu? Ini orang pagi-pagi sudah membuat kepalaku mendidih.Apa iya, aku harus mengikuti saran Mbak Fitri untuk melabrak dia, tapi meskipun Novi nulis status WA begitu itu, tapi tidak ada orang yang percaya dengan status dia buktinya Mbak Fitri malah marah-marah pada dia. Kalau meladeni Novi tidak akan pernah habisnya dan itu sangat buang-buang waktuku.Hidupku bukan hanya untuk mengurusi urusan orang lain. Lebih dari itu, tapi kalau dia tidak dikasih pelajaran dia bakalan selamanya menginjak-nginjak harga diriku. Salah apa aku ini pada Novi? Perasaan aku sudah selalu berbuat baik padanya, tapi masih saja dia menjelek-jelek
“Mas, sepertinya dia ini manusia benar-benar tidak punya pekerjaan. Bayangkan saja dia meneror kita setiap hari, setiap waktu dengan kata-kata serupa, tapi dia tidak berani menunjukkan actionnya selain mengirimi kita makhluk-makhluk halus begitu ya, enggak sih, Mas?” ucapku kepada Mas Danu.“Iya, betul, Dik, itulah kenapa Mas, selalu berpesan padamu dan juga yang lainnya agar selalu hati-hati karena lawan kita tidak kasat mata. Jika manusia di depan kita hendak mencelakai, kita, bisa melawannya, tapi kalau makhluk halus begitu kita tidak melihat bagaimana kita akan melawan mereka selain dengan doa dan kehati-hatian kita. Kamu paham kan, maksudku?” ujar Mas Danu.“Iya, Mas, aku paham, maka dari itu aku pun selalu mewanti-wanti Ibu, Mama, Ibumu, untuk selalu waspada. Apalagi Mbak Asih kan, sekarang dia sudah bertaubat memperbaiki diri, menutup, aurat, banyak-banyak mendekatkan diri pada Allah. Intinya yang pasti sudah tidak ada lagi media yang bisa digunakan untuk menteror kita dengan m
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau