Share

BAB 6. Benalu harus dikasih pelajaran.

"Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.

Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.

“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.

“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.

“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.

“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.

Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. 

Jika seorang perempuan  bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.

Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim. 

Maya tidak tahu atau memang dia sengaja melanggar. Ah, entahlah hanya dia dan Tuhan yang tahu keadaannya sesungguhnya seperti apa.

“Kamu tega mengusirku, Dan? Aku hanya menumpang sementara sampai dapat uang dan bisa mengontrak rumah.” Kudengar suara Maya sedikit meninggi disertai Isak tangis.

“Maaf, May, ini demi kedamaian hati istriku. Kamu sudah membuat gaduh hatinya dan juga sudah lancang. Aku pun tidak suka dengan sikapmu yang seperti itu.”

“Aku hanya bercanda saja, Dan. Aku hanya mengetes apakah istrimu bisa cemburu atau tidak. Sungguh aku tidak ada maksud lain,” jawab Maya. 

Alasan yang tidak masuk akal. Punya hak apa dia bertindak begitu. Menyebalkan!

“Apa pun alasannya tidak bisa aku terima, May. Aku sangat sayang pada istriku aku tidak bisa melihatnya terus bersedih.

Aku bangga pada Mas Danu dia bisa setegas itu pada Maya, tapi aku sangat tahu kelemahan Mas Danu, dia tidak bisa melihat orang lain susah. 

Jadi, aku tidak yakin Maya bisa pergi dari paviliun apa lagi dia bilang tidak punya uang. Tapi, setidaknya aku sudah tahu bagaimana perasaan Mas Danu.

“Aku mohon, Dan, sekali lagi saja sampai aku gajian. Aku janji segera pindah dari sana,” ucap Maya memohon.

“Kamu kan, masih punya keluarga di sini, May. Kamu bisa tinggal di sana,” sahutku. Maya melirik sekilas dan mencebikkan bibirnya.

“Aku malu pada saudara-saudaraku dan juga tidak mau membuat beban ke dua orang tuaku yang sudah tua.”

“Baiklah, kali ini aku izinkan kamu tinggal sementara di sana, tapi ingat jika kamu bikin ulah aku akan pastikan kamu tidak hanya keluar dari rumahku, tapi juga dari toko ini,” tegasku.

“Ba—baik. Terima kasih,” jawab Maya terbata.

“Kamu yakin, Sayang?” tanya Mas Danu memastikan.

“Entahlah, tapi rasanya aku tidak tega Mas. Bukankah menolong orang itu perbuatan terpuji?” kataku balik tanya.

“Iya, tentu! Mas bangga padamu,” jawab Mas Danu seraya melingkarkan tangannya ke pinggangku.

Semoga saja keputusanku tidak salah dan Maya tidak menyalahgunakan kebaikan orang lain. Begitu dia dapat uang dari sini aku sendiri yang akan memintanya pergi.

“May, kerja yang benar kalau enggak mau dipecat Bu Bos!” teriak Karim. Seketika aku menoleh. Kulihat Maya memang sebentar-sebentar melihat ponselnya.

“Anakku sedang sakit, Karim, jadi aku tidak bisa lepas dari HP untuk mengontrol keadaannya,” jawab Maya.

“Anakmu kan, sama mertuamu pasti diurusin lah, mana mungkin seorang nenek membiarkan cucucnya sakit,” sahut Karim.

“Sekali lagi aku lihat kamu main HP maka aku akan pecat kamu sekarang juga!” tegasku. Sebenarnya kasihan, kalau aku di posisi Maya pasti juga aku sangat khawatir keadaan anakku.

“Ba—ik, Ta. Eh, Bu.” 

Baru kerja sehari sudah menyusahkan! Kalau bukan karena kasihan aku tidak mau menerimanya. Jadilah aku sampai sore mengawasi pekerjaan Maya. 

***

“Ta, aku sudah kerjakan semuanya mana bayarannya. Katamu tadi pagi mau bayar, kan?” 

Baru saja aku turun dari mobil paman sudah menodong uang padaku. 

“Loh, kan, sudah aku bayar. Paman masa enggak tahu?” jawabku seraya mengambil beberapa belanjaan.

“Mana? Paman belum terima kok, Ta. Apa kamu titipkan pada mertuamu?” tanya paman penasaran.

“Evi ke mana, Man? Kok, enggak bantuin yang lainnya?” Mas Danu keluar membawa kantong besar berisi beraneka buah-buahan.

“Lagi teleponan sama suami dan anaknya. Dan, aku minta sama kamu ajalah uangnya. Ita tadi pagi berjanji mau ngasih upah padaku,” jawab paman.

“Upah untuk apa, Man?”

“Kerjaan. Tadi pagi Ita menyuruhku mengerjakan sesuatu dia bilang mau bayar,” jawab paman semangat. Mas Danu mengalihkan pandangannya padaku. Aku mengangguk saja.

“Jangan, Mas!” cegahku saat Mas Danu mengeluarkan uang satu lembar untuk diberikan pada paman.

“Paman itu sudah aku bayar,” kataku lagi.

“Kapan, Ta? Belum, kok,” sanggah paman. Wajahnya tampak kesal.

“Paman lupa? Loh, tadi pagi yang jual kopi coklatku sampai dapat uang 100 ribu siapa? Terus yang tinggal dan makan gratis di rumahku siapa? Itu semua enggak gratis loh!” Paman kecewa dengan jawabanku.

“Tapi, Ta ... itu kan .....”

“Enggak ada kata tapi, Man. Ingat ya, Man, di dunia ini tidak ada yang gratis. Apa lagi Paman di sini  sudah habis masa bertamunya. Jadi, tidak ada lagi kewajiban bagiku untuk terus melayani Paman dan juga Evi,” jelasku. Semoga saja paman paham kalau tidak paham juga kebangetan. Kutinggalkan paman yang masih berdiri terpaku.

Enak saja mau semena-mena padaku. Benalu seperti paman Mas Danu, harus dikasih pelajaran biar kapok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status