Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar.
“Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta.
Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.
“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.
“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.
“Dibayar, kan, Ta?”
“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman gegas mengambil pisau lalu pergi ke kebun belakang.Sedang aku segera ke warung.
“Kamu Ita, kan?” sapa seseorang di sebelahku.
Aku tersenyum padanya seraya mengingat-ngingat siapakah gerangan? Apa pernah kenal atau pernah bertemu dengannya?
“Apa kabar kamu, Ta? Enggak berubah ya, masih seperti dulu tetap cantik,” ucapnya lagi.
Ramah sekali wanita di depanku ini. Sedari tadi aku mengingat-ngingat, tapi tidak juga ingat.
“Alhamdulillah baik dan sehat. Maaf Mbaknya siapa, ya?” tanyaku penasaran.
Wanita di depanku malah melompong dan mengerutkan keningnya.
“Kamu lupa sama aku, Ta?” Aku mengangguk. Jangankan lupa, sepertinya kenal saja tidak.
“Ya Tuhan, Ita! Ini aku Novi. Aku teman mainmu dulu di kampung. Kita teman waktu kecil,” jawabnya semangatAku mencoba mengingat masa kecilku. Benarkah ini Novi yang dulu sering minta buah seri di depan rumahku? Tapi, kenapa penampilannya beda sekali.
“Kamu pasti heran, kan? Ya ampun! Enggak nyangka banget aku bisa ketemu kamu di sini setelah ribuan purnama di alias 22 tahun tidak bertemu. Kamu tinggal di sini, Ta?” Aku mengangguk lagi. Aku masih belum percaya kalau ini Novi temanku dulu.
Novi teman sepermainanku dari kecil hingga SMP. Kami tidak pernah satu sekolah, tapi selalu bermain bersama. Novi temanku dulu kalem, sopan, sedang yang di depanku modis dan penampilannya cetar sekali. Sepertinya sudah jadi orang kaya.
“Sudah ingat, Ta?”
“Iya, ingat. Aku pangling, Nov. Kamu cantik sekali sekarang. Sudah gitu modis,” kataku kagum.
Novi tersenyum senang seraya mengibaskan rambutnya yang panjang pirang.
“Iya, lah, Ta. Hidup memang harus ada perubahan dan kemajuan. Aku sekarang bukan lagi Novi yang dulu,” jawabnya bangga.
“Oh, namanya Mbak Novi. Ini belanjaannya,” ucap Bu warung.
“Eeeh, ada Ita. Tumben sekali belanja sendiri biasanya mamah tercinta yang belanja. Ini siapa cantik sekali sepertinya warga baru ya?” ucap Bu Jum. Novi mengangguk ramah.
Ya Allah kenapa ada Bu Jum di sini. Sebenarnya aku hanya mau beli bawang saja di rumah habis sedang hari ini mau masak-masak untuk dibawa ke panti asuhan.
“Iya, Bu Jum,” jawabku singkat. “Mbak Ita mau belanja apa?” tanya Bu warung. Gara-gara Bu Jum aku jadi lupa. “Bawang merah putih masing-masing satu kilogram, Bu.” “Cuma beli bawang, Ta? Apa duit warisan orang tua sudah habis?” Nyinyir Bu Jum. Aku diam malas menanggapi.“Mbaknya rumahnya mana?” tanya Bu Jum pada Novi.
“Itu rumah cat krem yang baru selesai dibangun, Bu.” Tunjuk Novi pada bangunan rumah besar di samping rumahku.
Ternyata itu rumah Novi. Dia pindahan dari Jakarta kah? Dulu tukang yang membangun rumah itu bilang yang punya orang Jakarta. Tadi pun paman bilang begitu.
“Wah, rumah besar itu?” ujar Bu Jum takjub.
“Iya, Bu.”“Mbak Novi pindahan dari mana?” Bu warung tidak kalah kepo.
“Dari Jakarta. Suamiku pingin tinggal di kampung yang suasananya masih asri. Sudah bosan tinggal di kota metropolitan,” jawab Novi bangga seraya membetulkan penampilannya.“Orang Jakarta beda, ya? Ke warung aja cetar begini macam artis princess Syahrini, pakai sendal tinggi juga,” cerocos Bu Jum seraya memperhatikan penampilan Novi dari atas sampai bawah.
“Iya, lah, emang situ! Ke mana-mana pakai daster robek!” sahut Bu warung. Aku menahan tawa sedang Novi hanya melirik saja.
“Aku duluan ya, Ibu-ibu. Main-main loh, ke rumahku. Kami sedang open house. Nanti kita ngobrol-ngobrol di rumahku.”
“Open house itu apa?” tanya Bu Jum lagi.
“Itu maksudnya kami sedang mempersilakan siapa saja untuk bertamu, Bu. Maklum kami orang sibuk jadi harus kasih jadwal kapan waktunya gitu,” jelas Novi raut wajahnya terlihat kesal.
“Oo, di kampung itu enggak ada begitu-bagituan. Main ya, main saja. Biasanya kalau yang begitu orangnya pelit atau enggak mau rumahnya kotor karena ada tamu,” sanggah Bu Jum lagi.“Ah, Ibu, terserah aku lah, rumah-rumahku, kok!” Novi mencebik kesal.
“Ini belanjaanya, Mbak Novi. Semuanya 50 ribu rupiah.” Bu warung memberikan bungkusan plastik besar pada Novi.
“Bayarnya nanti ya, Bu. Aku enggak ada uang kecil,” ucap Novi.“Uang besar juga tidak apa-apa Mbak, ada kembaliannya kok,” sahut Bu warung.
“Ibu ini, dibilang aku enggak ada uang kecil, maksudnya uangku di ATM semua belum gesek, nanti pasti aku bayar enggak usah khawatir. Aku orang kaya di sini. Itu rumahku ibu tinggal ketuk saja. Khawatir amat,” ucap Novi enteng kemudian dia melongos pergi begitu saja seraya menenteng plastik belanjaanya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.“Belanjaku sudah, Bu?”
“Eh, iya, sudah ini, Mbak Ita, total semuanya 60 ribu rupiah.” Setelah kubayar belanjaan aku segera pulang pasti ibu dan yang lainnya sudah menunggu.
Benar saja, Mbak Asih langsung mencak-mencak begitu aku sampai rumah.
“Warungnya jauh banget apa kamu gosip dulu di sana, Ta! Lama banget!” ucap Mbak Asih ketus.
Mamah memberi kode untuk tidak usah mempedulikan omongan Mbak Asih.
“Ta, kalau orang tua ngomong itu didengerin! Kamu di sana pasti gosipin aku, ya, makanya lama betul,” kata Mbak Asih lagi. “Enggak Mbak, tadi yang belanja ngantri,” jawabku asal.“Ta, rumah sebelah sudah ditempati, ya? Semalam aku pulang kerja ada tiga mobil truk bawa barang-barang,” tanya Mbak Asih lagi.
“Iya, Mbak. Tapi, kok, Mbak Asih pulang kerjanya malam banget, ya? Semalam aku dengar ada mobil itu sekitar jam 11 malam.” “Kamu itu Ta, kayak enggak tahu wanita karir saja. Ginilah, kerja pagi pulang malam,” jawab Mbak Asih seraya tersenyum. “Wanita karir apaan! Gaji aja enggak ada. Enggak jelas!” sahut ibu. “Ibu ini loh, malah enggak dukung anaknya. Aku ini beneran kerja cari duit untuk kita,” jawab Mbak Asih membela diri.“Asih, kamu itu kerja sudah 1 bulan lebih, tapi gajian saja belum. Awas saja kalau bohongi Ibu. Alasan kerja, tapi ketemuan sama Roni!” bentak Ibu.
Mbak Asih berdecak kesal dia pindah tempat di depan pintu membawa bawang yang baru saja aku beli untuk dikupas.“Janda dilarang duduk di pintu! Nanti enggak laku!”
“Eh, Bu Jum. Mau apa ke sini? Mau tebar gosip murahan, ya!” bentak Mamah Atik begitu lihat Bu Jum duduk di dekat Mbak Asih. “Songong amat jadi orang! Aku ke sini mau main aja,” sahut Bu Jum. “Awas, ya, kamu kalau di sini ngeghibah kucabein mulutmu!” bentak Mamah Atik lagi. Bu Jum diam saja. Pasti dia mau ngomongin tadi yang di warung berhubung Mamah Atik sudah marah duluan dia jadi segan jadilah Bu Jum kepo kami sedang masak untuk acara apa.“Bu, aku pergi dulu, ya? Mau ke ATM ambil uang. Ini temanku barusan kasih tahu kalau gaji sudah turun,” pamit Mbak Asih.
“Kamu enggak bohong kan, Sih?”
“Enggak lah, Bu. Lihat nih, kalau enggak percaya!” Mbak Asih menunjukkan pesan dari teman kerjanya. Syukurlah aku ikut senang Mbak Asih sudah mulai hidup normal.
“Jum, pulang sana! Kamu ngapain masih di sini, nunggu dikasih makan?” Usir ibu. Bu Jum bergeming. Akhirnya aku menyuruhnya masuk. Biarlah dia gosip apa pun aku tidak peduli yang penting dia tidak duduk di luar begitu. Kasihan.
[Dik, minta tolong antar makan siang ya, bekal yang tadi, Mas kasihkan ke orang gila depan toko. Kasihan lagi ngorek-ngorek tong sampah cari makanan.]
[Iya, Mas. Aku masak dulu sebentar.] Segera kubalas pesan dari suamiku.
Sebenarnya Mas Danu bisa saja beli makanan matang di warung, tapi itu tidak pernah dia lakukan. Mas Danu lebih suka masakan istri. Katanya ceplok telur masakan istri meski keasinan jauh lebih enak dari pada makan masakan Padang lauk rendang. Aku sih, iyain aja, memang dasarnya Mas Danu sangat menghargai istrinya.
Makan makanan rumah akan menambah keberkahan. Karena dimasak dengan penuh cinta dan tentunya ada doa-doa dan harapan disetiap olahannya itulah mengapa Mas Danu lebih suka masakan istri.
Jika, mengharuskan makan di luar maka dia akan mengajak kami turut serta. Dia tidak akan pernah mau makan sendiri kecuali saat sedang pergi bersama Joko, Karim, Edi, dan Opik. Sepertinya memang Mas Danu ditakdirkan untuk berkawan dengan orang-orang lugu seperti mereka.
Setelah berjibaku dengan alat-alat masak akhirnya selesai juga. Aku titipkan Kia sebentar pada Mamah. Kalau ke toko bawa Kia sendiri naik motor begini akan susah takut jatuh karena aku belum bisa naik motor dengan lancar. Sedari dulu terbiasa naik sepeda.
Biasanya Joko atau yang lain yang akan mengambilnya mungkin toko ramai jadi tidak ada satu pun yang bisa ambil makan siang ini.
Sampai toko aku tercengang. Maya sedang asyik main HP sedang yang lain sibuk melayani pembeli sampai ngantri-ngantri.
Niat kerja atau tidak si Maya ini. Bikin tensi naik saja.
“Maya, kamu enggak lihat toko lagi ramai kok, malah main HP?” tegurku. Maya gelagapan melihat kedatanganku. Ponselnya langsung di masukkan ke kantung bajunya. Tanpa permisi padaku langsung nyelonong ke depan bantu Joko dan yang lainnya.
“Mas, kamu kok, gak negur Maya? Dia main HP saat toko sedang ramai begini,” kataku kesal.“Tadi katanya ada telepon dari anaknya makanya Mas biarkan saja. Barang kali kan, penting. Sudah, yuk, makan, Mas sudah lapar!”
“Sebentar aku siapkan dulu, Mas.”
“Loh, Danu, kok, bawa makanan? Tadi kan, sudah aku sudah bilang makan bekalku saja,” ujar Maya saat melihat kami makan bersama.
“Tidak usah repot-repot, May. Makasih, aku lebih suka makan masakan istriku,” jawab Mas Danu. “Aku enggak merasa repot kok, Dan. Aku malah senang kalau kamu mau makan bekalku. Besok aku masakin deh, kayaknya kamu lebih suka masakan rumahan dari pada beli, ya?” cicit Maya lagi. “Iya, benar, itu May. Aku lebih suka masakan rumahan yang dimasak istriku.” “Ah, besok kamu juga pasti suka masakanku. Besok aku akan bawa bekal yang aku masak sendiri biar istri kamu ini tidak sibuk-sibuk datang ke sini untuk antarkan makan siang. Besok kita makan bareng, ya?” ucap Maya sangat bersemangat. Tatapannya fokus ke Mas Danu. Sama sekali tidak menoleh ke arahku. Aku jadi makin tahu kalau sebenarnya Maya itu mengagumi Mas Danu."Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap
"Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat
"Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl
“Kita bicara di dalam, Mas!” Mas Danu tanpa membantah langsung masuk ke dalam.“Kamu kemasi barangmu sekarang juga, dan pergi dari sini!” titahku pada Maya.“Hhh ... aku tidak akan pernah pergi dari sini kalau bukan Danu yang meminta. Semua ini milik Danu kamu hanya berstatus istri dan tidak bawa apa-apa ke sini jadi tidak usah berlagak Nyonya,” jawab Maya sinis dia menyilangkan ke dua tangannya di dada.“Percuma ngomong sama manusia tidak punya otak. Kita lihat saja aku pastikan kamu akan kutendang dari sini!” Kutatap matanya yang penuh amarah itu.“Maya tidak mau pergi dari sini kalau bukan kamu yang minta Mas. Jadi, lebih baik sekarang kamu suruh dia pergi dari sini.” Mas Danu yang sedang menggendong Kia langsung menghampiriku ke kamar.“Dik, dengar dulu penjelasanku. Tadi itu aku sengaja menurunkan Maya di sana karena memang dia sendiri yang minta katanya mau beli perlengkapan mandi,” jelas Mas Danu.“Aku sudah sulit percaya Mas, semenjak ada dia di sini kamu juga berubah. Sekaran
“Ssstt ... sudah jangan nangis. Salah Mas sih, enggak jujur sama kamu. Yuk, kita temui Maya!”“Halah Dan, istri begitu mah buang aja ke laut. Masih banyak perempuan di luar sana yang bisa tulus padamu dan tidak marah-marah padamu. Suami pulang kerja bukannya disambut bahagia malah dimarah tidak jelas,” ucap paman ketika kami ke luar kamar. Rupanya paman mendengar pertengkaran kami.“Sudahlah Paman, tidak usah menambah keruh suasana. Aku dan Ita tidak bertengkar kok, tadi Ita teriak itu gara-gara aku menjahilinya dengan menakutinya kecoak,” jawab Mas Danu berbohong.“Ah, terserah kamu saja, Dan. Kamu memang ngeyel seperti ibumu susah kalau dibilangin,” sahut paman lagi.“Danu, Ita, aku punya kabar gembira untuk kalian!” teriak Mbak Asih dari pintu samping dia sedikit berlari menghampiri kami. Mbak asih masih menggunakan seragam salesnya dia pasti baru pulang kerja dan langsung ke sini.“Kabar apaan, Mbak?” tanyaku penasaran.“Aku hamil,” jawab Mbak Asih tanpa malu.“Apa!” Aku dan Mas D
"Kamu tega mengusirku dalam keadaan begini, Dan? Sungguh kamu manusia tidak punya hati. Ke mana Danu temanku yang dulu selalu berjanji akan membalas kebaikanku?” ucap Maya lagi seraya terisak.Aku sama sekali tidak tersentuh oleh kata-katanya. Aku justru ingin sekali membantah ucapannya, tapi aku tahan aku mau lihat dulu seberapa jauh keberanian Mas Danu pada temannya itu.“Aku sedang tertimpa musibah dan tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang membantuku. Nasib orang miskin memang selalu begini di hina sana-sini dan juga disingkirkan,” tutur Maya. Dia berkali-kali mengelap air matanya.Mas Danu melirikku. Aku segera memalingkan wajah. Pasti Mas Danu mau meminta padaku untuk tidak mengusir Maya malam ini. Mas Danu selalu seperti itu tidak tegaan.“May, enggak usah jadi orang sok paling susah di dunia, deh! Kamu bilang tidak ada yang bantu kamu lantas yang kamu dapatkan selama ini apa? Kami membantumu. Mas Danu menepati janjinya. Apa kamu lupa? Pekerjaan yang kamu dapatkan sekaran
“Begini saja, Dan. Tentukan dulu usaha yang akan kamu jalankan itu usaha apa, nanti jika sudah ketemu kamu bisa bicarakan lagi denganku,” ucap Mas Danu menengahi kami.“Tapi kalau menunggu nanti kapan suksesnya, Mas. Aku ingin seperti kalian, sukses dan bisa membanggakan keluarga. Atau jangan-jangan kalian takut tersaingi? Kalian takut aku bisa lebih sukses dari kalian?”Rasanya ingin kujitak kepala Wira agar otaknya tidak konslet. Bagaimana bisa dia berpikiran picik begitu. Perkara pinjaman bisa melebar ke mana-mana.Mas Danu terkekeh seraya menepuk-nepuk pundak Wira.“Wira, Wira ... jujur, Mas sama sekali tidak takut tersaingi olehmu. Malahan senang kamu bisa maju, mandiri, dan sukses. Usaha itu tidak gampang Wir, banyak pesaingnya dan butuh mental yang kuat. Bukan hanya uang modal yang harus kamu siapkan,” jelas Mas Danu.“Pokoknya bisa enggak bisa Mas Danu dan Mbak Ita harus meminjamkan uang padaku. Aku tunggu sampai besok pagi. Jika tidak maka aku tidak akan pernah pulang dari si
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau
Paginya saat aku baru saja membuka pintu rumah tepatnya setelah salat subuh tiba-tiba Novi datang ke tergopoh-gopoh menghampiriku.Tumben sekali dia datang sepagi ini.“Ita! Boleh aku minta tolong padamu sekali ini saja,” tanya Novi. Aku mengangguk meskipun sedikit ragu.“Ada apa, ya, Nov? Tumben sekali kamu subuh-subuh datang ke sini,” jawabku balik bertanya.“Itu, Suamiku belum ngambil uang di ATM dan kebetulan uangku juga habis. Hari ini susu anakku habis ini dia lagi nangis karena minta susu enggak aku buatin ditambah lagi listriku tokennya sudah bunyi. Kasih aku pinjam uang satu juta saja Ita, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti langsung aku ganti,” jawab Novi.“Oh, mau pinjam uang Nov? Pagi-pagi begini memang ada minimarket buka,” tanyaku lagi.“Ya, enggak, ada sih, Ta, tapi kan, setelah ini aku mau langsung ke minimarket mau beli susu sekalian mau beli token listrik. Kamu tahu kan, Ta, rumahku itu besar pemakainya banyak jadi boros sekali listriknya,” jawab Novi.“Kalau gitu
“Barusan ada kok. Cepat sekali mereka pergi. Kenapa kalau pulang tidak pamitan? Dasar manusia hutan tidak punya etika!” gerutu Mbak Wulan.“Sebentar, ya, aku lihat ke depan, barangkali dia ngobrol dengan Mas Danu dan yang lainnya," kataku seraya menghampiri suamiku yang sedang duduk di depan.Loh, kok tidak ada juga, ke mana, ya? Di sana hanya ada suaminya yang ikut ngobrol dengan Mas Danu. Apa Novi pulang mengantarkan anak-anak, ya?“Ti—dak kok, Nyah, semuanya aman terkendali, Nyonya di sana baik-baik, ya, pokoknya nanti pas pulang ke sini semuanya sudah beres dan nyonya pasti terkejut sama rumah barunya.” Aku mendengar suara Novi di teras, aku tengok rupanya dia sedang menerima telepon. Pantas saja aku cari ke mana-mana tidak ada. “Oh, yang taman depan rumah tenang saja, Nyah, itu juga sedang dikerjain sama suamiku. Pokoknya beres terkendali. Nyonya di sana jaga kesehatan, baik-baik pokoknya. Aku di sini akan menjaga amanah Nyonya,” ucap Novi lagi.Aku sedikit terkejut dengar ob
Kata Rasulullah saudara yang terdekat dengan kita adalah tetangga kita. Itu artinya kita harus bersikap baik kepada tetangga kita agar berikatan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong satu sama lain, tidak mungkin kan kita mati dikubur sendiri? Tidak mungkin juga kita dalam keadaan sakit pergi ke rumah sakit sendiri itu sebabnya kita diwajibkan selalu berbuat baik kepada orang lain terutama tetangga kita.Kalau kasusnya seperti Novi ini aku bisa apa? Dibaikin seenaknya sendiri, tidak dibaikin juga seenaknya sendiri, jadi serba salah.Jadi satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan adalah jika dia tanya aku jawab, jika tidak, ya, sudah diam saja yang penting jika, Novi memiliki kesusahan aku harus pasang badan untuk menolong walaupun dia sangat menyebalkan, tapi Novi tetangga dekatku dan juga temanku dari kecil.Aku mengamati Novi sejak tadi terus saja berbicara mengeluarkan unek-uneknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Salahku
“Nov, langit itu tidak perlu memberitahukan bahwa dirinya tinggi karena tanpa diberitahu semua orang pun sudah tahu. Begitu juga dengan kehidupan kita, tak perlu lagi kita memberitahu kebahagiaan kita, harta-harta kita, kalau memang itu ada pasti nampak, kalau memang itu benar semua orang akan tahu dengan sendirinya, Nov.” Nasihatku kepadanya.“Alah kamu itu, Ta, sok, bijak! Padahal aslinya kamu juga kepo kan, sama kehidupanku? Kamu, kan, dari kecil dulu memang sudah terbiasa di bawahku, jadi ketika kamu hidup kaya, kamu terus mengepoin aku karena merasa tersaingi, ya, kan? Jujur aja, Ta. Enggak apa-apa kok, kita kan memang sudah teman sejak kecil jadi aku tahu betul loh, gimana sifat kamu," jawab Novi lagi.“Ita, ngepoin hidup kamu? Noh, kalau menurutku sih, kebalikannya. Kamu yang selalu mengepoin hidupnya Ita, kalau Ita mah udah mode kalem, mode tidak pernah memamerkan hartanya, dan juga mode dermawan sedangkan kamu kebalikannya," sahut Wulan kesal.“Iya, deh iya, Nov, memang aku
“Sebenarnya ada acara apa sih, kalian makan-makan begini? Soalnya Mbak Fitri sama Mbak Wulan update status enggak ada captionnya, jadi, aku bingung acara apa. Lagi pula aku belum makan malam, nih jadi kami ke sini. Ita ada acara apa sih?" tanya Novi.“Acara makan-makan biasa aja, Nov, kumpul-kumpul biasa. Karena kan, sudah lama juga kita enggak kumpul-kumpul,” jawabku.“Kok, kamu kumpul-kumpul enggak ngajakin aku sih, Ta, pelit banget!" jawab Novi kesal.“Bukan pelit, Nov, tadi kita itu mau ngajakin kamu, tapi kamu kan, jalannya duluan sudah gitu kamu jatuh ke comberan masa kita mau teriak-teriak ngajakin kamu," jawabku beralasan.Sebenarnya memang tadi mau ngajakin Novi, tapi karena dia sudah kesal duluan pada kami dan acara kami juga dadakan, jadi ya, terpaksa dia terlewatkan walaupun rumahnya persis di samping rumahku.“Halah, alasan saja kamu itu, Ita, kan, ada HP. Kamu bisa loh telpon aku. Novi ke sini, ya, sebentar kita makan-makan gitu, ah dasar aja, kamu, Ta, pelit," ucap
“Iya, Mbak, aku juga sudah memaafkan. Alhamdulillah kalian mau memaafkanku," ucap Mbak Asih, dia beranjak dari duduknya, menyalami dan memeluk Mbak Fitri dan Mbak Wulan secara bergantian. Mereka pun menangis sesenggukan, ya, Tuhan, ini benar-benar melebihi hari raya Idul Fitri. Kami sungguh-sungguh dalam bermaaf-maafan.“Alhamdulillah kalau kita sudah saling memaafkan semuanya. Berarti malam ini lebih baik makan seruitnya ini kita khususkan untuk menyambut kebahagiaan kita atas hijrahnya Mbak Asih. Kita pimpin doa. Siapa ini yang memimpin doa, Mas Taufik, Mas Dayat atau Mas Danu?” sahut Mamah Atik.“Monggo, silakan Mas Danu atau Mas Dayat, kalau saya enggak bisa baca doa apalagi mendoakan bersama-sama begini, bisanya makan," canda Mas Taufik.“Saya juga jadi jamaah saja, silakan Mas Danu untuk memimpin doa," jawab Mas Danu.“Lah, gimana ini orang-orang di suruh mengimami doa makan tuh paling gampang tinggal baca doa mau makan allahumma bariklana sampai selesai. Ya, sudah baiklah ak
Tiba-tiba Mbak Asih beranjak dari duduknya dan bersujud di kaki ibu, dia menangis sejadi-jadinya sampai tidak terdengar suaranya lagi. Kami semua yang ada di sini menyaksikan adegan ini pun ikut terharu dalam suasana yang begitu menyentuh hati. Ibu mertuaku pun ikut menangis. Beliau tidak mengucapkan satu kata pun kepada Mbak Asih. Beliau hanya mengusap kepala dan bahu Mbak Asih, sesekali tangan kirinya mengusap air matanya. Mas Danu pun terlihat berkali-kali mengusap ke dua matanya. Aku yakin dia pun menahan tangis. Ini baru terjadi sepanjang aku menjadi menantu Ibu. Ini adalah kali pertamanya Mbak Asih sujud di kaki Ibu.Dulu, waktu masih sama Mas Roni, sama sekali tidak pernah sungkem. Lebaran saja hanya salaman biasa lalu pergi dengan Mas Roni ke rumah mertuanya yang lebih menyedihkan lagi adalah sebelum pergi ke rumah mertuanya dia akan membawa berbagai makanan dan meminta uang saku untuk pergi ke sana.Duhai Allah sungguh indah semua rencanaMu pada kami. Ternyata di balik ujia
"Oh, iya, Mas, baik nanti akan aku terapkan itu baca ayat kursi kemarin juga aku sudah di ruqyah kata ustaznya juga gitu hanya saja kemarin aku masih bolong-bolong tidak menerapkan itu, makanya tadi sempat kerasukan walaupun hanya sebentar," jawab Mbak Asih."Syukurlah Asih, aku tuh sebenarnya sebagai tetangga prihatin sekali dengan kamu dan juga ibumu, tapi sekali lagi aku pribadi tidak berani ikut campur masalah keluarga orang lain,” ucap Mas topik lagi.“Assalamualaikum ...." Akhirnya Mama Atik dan ibu mertuaku datang. Wajah ibu mertuaku sudah masam. Aku yakin sekali dia marah dengan Mbak Asih karena tadi sudah menge-prank lagi pergi dari rumah tanpa pamit.“Asih, ih, kamu ke rumah Ita enggak bilng-bilang sama Ibu. Kamu tahu ibu, capek nyariin kamu keliling kampung karena tadi ibu dapat laporan dari Wak Jum, bahwa kamu sedang bertemu dengan Roni di ujung gang sana benar atau tidak?” omel ibu memarahi Mbak Asih.“Iya Bu, betul tadi sore aku ketemu dengan Mas Roni tuh dikasih coklat