Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar.
“Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta.
Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.
“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.
“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.
“Dibayar, kan, Ta?”
“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman gegas mengambil pisau lalu pergi ke kebun belakang.Sedang aku segera ke warung.
“Kamu Ita, kan?” sapa seseorang di sebelahku.
Aku tersenyum padanya seraya mengingat-ngingat siapakah gerangan? Apa pernah kenal atau pernah bertemu dengannya?
“Apa kabar kamu, Ta? Enggak berubah ya, masih seperti dulu tetap cantik,” ucapnya lagi.
Ramah sekali wanita di depanku ini. Sedari tadi aku mengingat-ngingat, tapi tidak juga ingat.
“Alhamdulillah baik dan sehat. Maaf Mbaknya siapa, ya?” tanyaku penasaran.
Wanita di depanku malah melompong dan mengerutkan keningnya.
“Kamu lupa sama aku, Ta?” Aku mengangguk. Jangankan lupa, sepertinya kenal saja tidak.
“Ya Tuhan, Ita! Ini aku Novi. Aku teman mainmu dulu di kampung. Kita teman waktu kecil,” jawabnya semangatAku mencoba mengingat masa kecilku. Benarkah ini Novi yang dulu sering minta buah seri di depan rumahku? Tapi, kenapa penampilannya beda sekali.
“Kamu pasti heran, kan? Ya ampun! Enggak nyangka banget aku bisa ketemu kamu di sini setelah ribuan purnama di alias 22 tahun tidak bertemu. Kamu tinggal di sini, Ta?” Aku mengangguk lagi. Aku masih belum percaya kalau ini Novi temanku dulu.
Novi teman sepermainanku dari kecil hingga SMP. Kami tidak pernah satu sekolah, tapi selalu bermain bersama. Novi temanku dulu kalem, sopan, sedang yang di depanku modis dan penampilannya cetar sekali. Sepertinya sudah jadi orang kaya.
“Sudah ingat, Ta?”
“Iya, ingat. Aku pangling, Nov. Kamu cantik sekali sekarang. Sudah gitu modis,” kataku kagum.
Novi tersenyum senang seraya mengibaskan rambutnya yang panjang pirang.
“Iya, lah, Ta. Hidup memang harus ada perubahan dan kemajuan. Aku sekarang bukan lagi Novi yang dulu,” jawabnya bangga.
“Oh, namanya Mbak Novi. Ini belanjaannya,” ucap Bu warung.
“Eeeh, ada Ita. Tumben sekali belanja sendiri biasanya mamah tercinta yang belanja. Ini siapa cantik sekali sepertinya warga baru ya?” ucap Bu Jum. Novi mengangguk ramah.
Ya Allah kenapa ada Bu Jum di sini. Sebenarnya aku hanya mau beli bawang saja di rumah habis sedang hari ini mau masak-masak untuk dibawa ke panti asuhan.
“Iya, Bu Jum,” jawabku singkat. “Mbak Ita mau belanja apa?” tanya Bu warung. Gara-gara Bu Jum aku jadi lupa. “Bawang merah putih masing-masing satu kilogram, Bu.” “Cuma beli bawang, Ta? Apa duit warisan orang tua sudah habis?” Nyinyir Bu Jum. Aku diam malas menanggapi.“Mbaknya rumahnya mana?” tanya Bu Jum pada Novi.
“Itu rumah cat krem yang baru selesai dibangun, Bu.” Tunjuk Novi pada bangunan rumah besar di samping rumahku.
Ternyata itu rumah Novi. Dia pindahan dari Jakarta kah? Dulu tukang yang membangun rumah itu bilang yang punya orang Jakarta. Tadi pun paman bilang begitu.
“Wah, rumah besar itu?” ujar Bu Jum takjub.
“Iya, Bu.”“Mbak Novi pindahan dari mana?” Bu warung tidak kalah kepo.
“Dari Jakarta. Suamiku pingin tinggal di kampung yang suasananya masih asri. Sudah bosan tinggal di kota metropolitan,” jawab Novi bangga seraya membetulkan penampilannya.“Orang Jakarta beda, ya? Ke warung aja cetar begini macam artis princess Syahrini, pakai sendal tinggi juga,” cerocos Bu Jum seraya memperhatikan penampilan Novi dari atas sampai bawah.
“Iya, lah, emang situ! Ke mana-mana pakai daster robek!” sahut Bu warung. Aku menahan tawa sedang Novi hanya melirik saja.
“Aku duluan ya, Ibu-ibu. Main-main loh, ke rumahku. Kami sedang open house. Nanti kita ngobrol-ngobrol di rumahku.”
“Open house itu apa?” tanya Bu Jum lagi.
“Itu maksudnya kami sedang mempersilakan siapa saja untuk bertamu, Bu. Maklum kami orang sibuk jadi harus kasih jadwal kapan waktunya gitu,” jelas Novi raut wajahnya terlihat kesal.
“Oo, di kampung itu enggak ada begitu-bagituan. Main ya, main saja. Biasanya kalau yang begitu orangnya pelit atau enggak mau rumahnya kotor karena ada tamu,” sanggah Bu Jum lagi.“Ah, Ibu, terserah aku lah, rumah-rumahku, kok!” Novi mencebik kesal.
“Ini belanjaanya, Mbak Novi. Semuanya 50 ribu rupiah.” Bu warung memberikan bungkusan plastik besar pada Novi.
“Bayarnya nanti ya, Bu. Aku enggak ada uang kecil,” ucap Novi.“Uang besar juga tidak apa-apa Mbak, ada kembaliannya kok,” sahut Bu warung.
“Ibu ini, dibilang aku enggak ada uang kecil, maksudnya uangku di ATM semua belum gesek, nanti pasti aku bayar enggak usah khawatir. Aku orang kaya di sini. Itu rumahku ibu tinggal ketuk saja. Khawatir amat,” ucap Novi enteng kemudian dia melongos pergi begitu saja seraya menenteng plastik belanjaanya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.“Belanjaku sudah, Bu?”
“Eh, iya, sudah ini, Mbak Ita, total semuanya 60 ribu rupiah.” Setelah kubayar belanjaan aku segera pulang pasti ibu dan yang lainnya sudah menunggu.
Benar saja, Mbak Asih langsung mencak-mencak begitu aku sampai rumah.
“Warungnya jauh banget apa kamu gosip dulu di sana, Ta! Lama banget!” ucap Mbak Asih ketus.
Mamah memberi kode untuk tidak usah mempedulikan omongan Mbak Asih.
“Ta, kalau orang tua ngomong itu didengerin! Kamu di sana pasti gosipin aku, ya, makanya lama betul,” kata Mbak Asih lagi. “Enggak Mbak, tadi yang belanja ngantri,” jawabku asal.“Ta, rumah sebelah sudah ditempati, ya? Semalam aku pulang kerja ada tiga mobil truk bawa barang-barang,” tanya Mbak Asih lagi.
“Iya, Mbak. Tapi, kok, Mbak Asih pulang kerjanya malam banget, ya? Semalam aku dengar ada mobil itu sekitar jam 11 malam.” “Kamu itu Ta, kayak enggak tahu wanita karir saja. Ginilah, kerja pagi pulang malam,” jawab Mbak Asih seraya tersenyum. “Wanita karir apaan! Gaji aja enggak ada. Enggak jelas!” sahut ibu. “Ibu ini loh, malah enggak dukung anaknya. Aku ini beneran kerja cari duit untuk kita,” jawab Mbak Asih membela diri.“Asih, kamu itu kerja sudah 1 bulan lebih, tapi gajian saja belum. Awas saja kalau bohongi Ibu. Alasan kerja, tapi ketemuan sama Roni!” bentak Ibu.
Mbak Asih berdecak kesal dia pindah tempat di depan pintu membawa bawang yang baru saja aku beli untuk dikupas.“Janda dilarang duduk di pintu! Nanti enggak laku!”
“Eh, Bu Jum. Mau apa ke sini? Mau tebar gosip murahan, ya!” bentak Mamah Atik begitu lihat Bu Jum duduk di dekat Mbak Asih. “Songong amat jadi orang! Aku ke sini mau main aja,” sahut Bu Jum. “Awas, ya, kamu kalau di sini ngeghibah kucabein mulutmu!” bentak Mamah Atik lagi. Bu Jum diam saja. Pasti dia mau ngomongin tadi yang di warung berhubung Mamah Atik sudah marah duluan dia jadi segan jadilah Bu Jum kepo kami sedang masak untuk acara apa.“Bu, aku pergi dulu, ya? Mau ke ATM ambil uang. Ini temanku barusan kasih tahu kalau gaji sudah turun,” pamit Mbak Asih.
“Kamu enggak bohong kan, Sih?”
“Enggak lah, Bu. Lihat nih, kalau enggak percaya!” Mbak Asih menunjukkan pesan dari teman kerjanya. Syukurlah aku ikut senang Mbak Asih sudah mulai hidup normal.
“Jum, pulang sana! Kamu ngapain masih di sini, nunggu dikasih makan?” Usir ibu. Bu Jum bergeming. Akhirnya aku menyuruhnya masuk. Biarlah dia gosip apa pun aku tidak peduli yang penting dia tidak duduk di luar begitu. Kasihan.
[Dik, minta tolong antar makan siang ya, bekal yang tadi, Mas kasihkan ke orang gila depan toko. Kasihan lagi ngorek-ngorek tong sampah cari makanan.]
[Iya, Mas. Aku masak dulu sebentar.] Segera kubalas pesan dari suamiku.
Sebenarnya Mas Danu bisa saja beli makanan matang di warung, tapi itu tidak pernah dia lakukan. Mas Danu lebih suka masakan istri. Katanya ceplok telur masakan istri meski keasinan jauh lebih enak dari pada makan masakan Padang lauk rendang. Aku sih, iyain aja, memang dasarnya Mas Danu sangat menghargai istrinya.
Makan makanan rumah akan menambah keberkahan. Karena dimasak dengan penuh cinta dan tentunya ada doa-doa dan harapan disetiap olahannya itulah mengapa Mas Danu lebih suka masakan istri.
Jika, mengharuskan makan di luar maka dia akan mengajak kami turut serta. Dia tidak akan pernah mau makan sendiri kecuali saat sedang pergi bersama Joko, Karim, Edi, dan Opik. Sepertinya memang Mas Danu ditakdirkan untuk berkawan dengan orang-orang lugu seperti mereka.
Setelah berjibaku dengan alat-alat masak akhirnya selesai juga. Aku titipkan Kia sebentar pada Mamah. Kalau ke toko bawa Kia sendiri naik motor begini akan susah takut jatuh karena aku belum bisa naik motor dengan lancar. Sedari dulu terbiasa naik sepeda.
Biasanya Joko atau yang lain yang akan mengambilnya mungkin toko ramai jadi tidak ada satu pun yang bisa ambil makan siang ini.
Sampai toko aku tercengang. Maya sedang asyik main HP sedang yang lain sibuk melayani pembeli sampai ngantri-ngantri.
Niat kerja atau tidak si Maya ini. Bikin tensi naik saja.
“Maya, kamu enggak lihat toko lagi ramai kok, malah main HP?” tegurku. Maya gelagapan melihat kedatanganku. Ponselnya langsung di masukkan ke kantung bajunya. Tanpa permisi padaku langsung nyelonong ke depan bantu Joko dan yang lainnya.
“Mas, kamu kok, gak negur Maya? Dia main HP saat toko sedang ramai begini,” kataku kesal.“Tadi katanya ada telepon dari anaknya makanya Mas biarkan saja. Barang kali kan, penting. Sudah, yuk, makan, Mas sudah lapar!”
“Sebentar aku siapkan dulu, Mas.”
“Loh, Danu, kok, bawa makanan? Tadi kan, sudah aku sudah bilang makan bekalku saja,” ujar Maya saat melihat kami makan bersama.
“Tidak usah repot-repot, May. Makasih, aku lebih suka makan masakan istriku,” jawab Mas Danu. “Aku enggak merasa repot kok, Dan. Aku malah senang kalau kamu mau makan bekalku. Besok aku masakin deh, kayaknya kamu lebih suka masakan rumahan dari pada beli, ya?” cicit Maya lagi. “Iya, benar, itu May. Aku lebih suka masakan rumahan yang dimasak istriku.” “Ah, besok kamu juga pasti suka masakanku. Besok aku akan bawa bekal yang aku masak sendiri biar istri kamu ini tidak sibuk-sibuk datang ke sini untuk antarkan makan siang. Besok kita makan bareng, ya?” ucap Maya sangat bersemangat. Tatapannya fokus ke Mas Danu. Sama sekali tidak menoleh ke arahku. Aku jadi makin tahu kalau sebenarnya Maya itu mengagumi Mas Danu."Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap
"Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat
"Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl
“Kita bicara di dalam, Mas!” Mas Danu tanpa membantah langsung masuk ke dalam.“Kamu kemasi barangmu sekarang juga, dan pergi dari sini!” titahku pada Maya.“Hhh ... aku tidak akan pernah pergi dari sini kalau bukan Danu yang meminta. Semua ini milik Danu kamu hanya berstatus istri dan tidak bawa apa-apa ke sini jadi tidak usah berlagak Nyonya,” jawab Maya sinis dia menyilangkan ke dua tangannya di dada.“Percuma ngomong sama manusia tidak punya otak. Kita lihat saja aku pastikan kamu akan kutendang dari sini!” Kutatap matanya yang penuh amarah itu.“Maya tidak mau pergi dari sini kalau bukan kamu yang minta Mas. Jadi, lebih baik sekarang kamu suruh dia pergi dari sini.” Mas Danu yang sedang menggendong Kia langsung menghampiriku ke kamar.“Dik, dengar dulu penjelasanku. Tadi itu aku sengaja menurunkan Maya di sana karena memang dia sendiri yang minta katanya mau beli perlengkapan mandi,” jelas Mas Danu.“Aku sudah sulit percaya Mas, semenjak ada dia di sini kamu juga berubah. Sekaran
“Ssstt ... sudah jangan nangis. Salah Mas sih, enggak jujur sama kamu. Yuk, kita temui Maya!”“Halah Dan, istri begitu mah buang aja ke laut. Masih banyak perempuan di luar sana yang bisa tulus padamu dan tidak marah-marah padamu. Suami pulang kerja bukannya disambut bahagia malah dimarah tidak jelas,” ucap paman ketika kami ke luar kamar. Rupanya paman mendengar pertengkaran kami.“Sudahlah Paman, tidak usah menambah keruh suasana. Aku dan Ita tidak bertengkar kok, tadi Ita teriak itu gara-gara aku menjahilinya dengan menakutinya kecoak,” jawab Mas Danu berbohong.“Ah, terserah kamu saja, Dan. Kamu memang ngeyel seperti ibumu susah kalau dibilangin,” sahut paman lagi.“Danu, Ita, aku punya kabar gembira untuk kalian!” teriak Mbak Asih dari pintu samping dia sedikit berlari menghampiri kami. Mbak asih masih menggunakan seragam salesnya dia pasti baru pulang kerja dan langsung ke sini.“Kabar apaan, Mbak?” tanyaku penasaran.“Aku hamil,” jawab Mbak Asih tanpa malu.“Apa!” Aku dan Mas D
"Kamu tega mengusirku dalam keadaan begini, Dan? Sungguh kamu manusia tidak punya hati. Ke mana Danu temanku yang dulu selalu berjanji akan membalas kebaikanku?” ucap Maya lagi seraya terisak.Aku sama sekali tidak tersentuh oleh kata-katanya. Aku justru ingin sekali membantah ucapannya, tapi aku tahan aku mau lihat dulu seberapa jauh keberanian Mas Danu pada temannya itu.“Aku sedang tertimpa musibah dan tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang membantuku. Nasib orang miskin memang selalu begini di hina sana-sini dan juga disingkirkan,” tutur Maya. Dia berkali-kali mengelap air matanya.Mas Danu melirikku. Aku segera memalingkan wajah. Pasti Mas Danu mau meminta padaku untuk tidak mengusir Maya malam ini. Mas Danu selalu seperti itu tidak tegaan.“May, enggak usah jadi orang sok paling susah di dunia, deh! Kamu bilang tidak ada yang bantu kamu lantas yang kamu dapatkan selama ini apa? Kami membantumu. Mas Danu menepati janjinya. Apa kamu lupa? Pekerjaan yang kamu dapatkan sekaran
“Begini saja, Dan. Tentukan dulu usaha yang akan kamu jalankan itu usaha apa, nanti jika sudah ketemu kamu bisa bicarakan lagi denganku,” ucap Mas Danu menengahi kami.“Tapi kalau menunggu nanti kapan suksesnya, Mas. Aku ingin seperti kalian, sukses dan bisa membanggakan keluarga. Atau jangan-jangan kalian takut tersaingi? Kalian takut aku bisa lebih sukses dari kalian?”Rasanya ingin kujitak kepala Wira agar otaknya tidak konslet. Bagaimana bisa dia berpikiran picik begitu. Perkara pinjaman bisa melebar ke mana-mana.Mas Danu terkekeh seraya menepuk-nepuk pundak Wira.“Wira, Wira ... jujur, Mas sama sekali tidak takut tersaingi olehmu. Malahan senang kamu bisa maju, mandiri, dan sukses. Usaha itu tidak gampang Wir, banyak pesaingnya dan butuh mental yang kuat. Bukan hanya uang modal yang harus kamu siapkan,” jelas Mas Danu.“Pokoknya bisa enggak bisa Mas Danu dan Mbak Ita harus meminjamkan uang padaku. Aku tunggu sampai besok pagi. Jika tidak maka aku tidak akan pernah pulang dari si
[Aku tidak peduli, pokoknya cepat kembalikan uangku! Aku sudah benar-benar marah padamu, aku sudah tidak percaya lagi padamu. Terserah kamu masih mau berteman denganku atau tidak karena itu sama sekali tidak membuatku rugi.][Iyalah baik, aku ke sana, tunggu!]Dengan senang hati aku menunggu kedatangan Novi, semoga saja kali ini dia tidak berbohong dan tidak banyak alasan. Kalau sampai dia tidak datang ke sini maka aku yang akan datang menghampiri ke rumahnya. Dia yang memulai, dia pun yang harus mengakhiri.Brak! tiba-tiba saja kacaku kembali dilempar oleh seseorang dengan batu yang sangat besar, kami yang sedang asyik bersantai di ruang TV pun bergegas lari ke depan.Tidak ada siapa-siapa hanya ada batu bata besar dengan bungkusan plastik hitam. Bapak lari ke jalan dan celingak-celinguk mencari apakah ada orang yang patut dicurigai.“Mbak Asih dari mana?" tanyaku pada Mbak Asih. Dia sepertinya dari minimarket karena menenteng plastik berlogo minimarket terkenal dengan segala isinya
Setelah selesai sarapan aku segera beres-beres rumah. Hari ini rencananya akan berbelanja untuk acara esok yang akan kami adakan 5 hari lagi.Ting!WA dari Novi.[Ita maksudmu apa nulis status begitu, kamu menyindirku?Kamu tidak ikhlas menolongku. Oke, aku, kembalikan uang kamu, tapi tolong dong, kamu nggak usah bikin status-status begitu! Kamu merendahkan sekali. Jadi manusia baru kaya begitu saja sudah sombong.][Sepertinya kamu harus berkaca pakai kaca yang besar, kalau tidak ada datanglah ke rumahku sini. Berkaca di sini kamu kan, yang memulainya duluan, Nov! Kamu update status menyinggung aku bahwa aku ini berutang padamu subuh-subuh padahal kan, kamu yang hutang sama aku, jadi manusia itu jangan suka memutarbalikkan fakta. Ingat dosa, ingat mati, memangnya aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di belakangku? Banyak orang yang laporan padaku.] balasku berapi-api, kalau dia benar-benar mengajak perang maka aku akan ladeni.[Eh, fitnah itu, siapa yang bilang begitu. Aku tidak ada u
“Iya, Mah, Bu. Terima kasih sudah mengingatkan aku, tapi aku sudah kadung bikin status unek-unek di story WA.”“Ya, sudah tidak apa-apa biar kamu merasa puas kali ini Ibu maklum, tapi lain kali jangan kamu ulangi lagi, ya, Nak? Ibu tidak mau loh anak Ibu yang Ibu banggakan ini terpengaruh oleh lingkungan yang kotor.”“Astaghfirullahaladzim ... Iya, Bu, insya Allah aku tidak akan mengulangi lagi. Terima kasih Mama dan Ibu sudah selalu mmenasihatiku.”“Iya, kan, ini memang sudah tugas orang tua untuk selalu mengingatkan anaknya jika anaknya tersesat di jalan yang salah. Sudah kamu makan saja dulu. Lupakan masalahmu kalau kamu makan sambil mengingat-ingat kejadian yang bikin kamu emosi tidak akan pernah jadi daging makanan yang kamu telan itu,” jawab mamah Atik.“Iya, Mah. Terima kasih, ya, sudah masakin nasi goreng yang super enak ini kalau kita buka restoran dan ada menu nasi gorengnya, Mama wajib yang masak, rasanya enak banget. Pasti laris dan keuntungannya juga banyak,” pujiku pada
[Dasar manusia tidak tahu diri, tidak bersyukur tidak tahu diuntung, sudah dibantu malah memutar balikan fakta. Semoga saja kamu tidak bertemu dengan orang yang sifatnya sama denganmu. Pagi-pagi datang memohon-mohon meminjam uang setelah dapat bukanya mengucapkan terima kasih malah mengatakan yang tidak-tidak tentang aku.]Kutulis status di WA-ku panjang lebar agar semua orang-orang yang ada di sini, tetangga-tetanggaku bisa membacanya. Aku sudah benar-benar gerah dengan sikap Novi Yang keterlaluan padaku.Kutinggalkan ponselku di atas nakas lalu membantu Mama Atik dan ibuku untuk masak. Sebentar lagi pasti Mas Danu akan pulang.“Kamu kenapa, Ta, kok senyum-senyum begitu?” tanya ibu penuh selidik.“Tidak apa-apa, Bu, hanya ingat kejadian lucu tadi di warung,” jawabku.“Kejadian apa itu? Ibu, jadi kepo, nih! Duh bahasanya sudah kayak Si Nopi saja kepo,” ujar ibu.“Jadi ceritanya, Bu, tadi pagi subuh-subuh Novi itu datang ke sini pinjam uang sama aku satu juta katanya uangnya untuk be
“Wak, aku, bukan tipe orang yang suka melupakan jasa orang lain. Ya, terserah awak saja mau percaya atau tidak. Yng jelas aku tidak ada uutang dengan Novi," jawabku kesal lalu ikut mengantri untuk belanja.“Nih, Wak, dimakan! Biar itu mulut nggak pedes kayak cabe setan!" sahut Ibuku lalu memasukkan segenggam cabe caplak jawa yang kata orang cabe setan ke mulut Wak Jum yang sedang menganga karena menertawakanku.“Apa-apaan sih, kamu, Wak, jelek-jelekin menantuku! Bibirmu itu lama-lama nanti double dan dosamu menumpuk. Ingat, dosa woi! Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Menantuku itu orang baik tidak mungkin dia berhutang kepada orang lain," bela ibu mertuaku.“Iya, betul tuh masih aja ada yang percaya sama mulutnya Novi. Dia itu kan, ember dan juga mulut comberan. PAgi-pagi sudah bikin orang ribut saja!" sahut Mbak Fitri yang ternyata dia ada di sini belanja sayuran juga.“Sudah jangan ribut perkara uutang orang lain nggak baik. Dasar itu aja mulutnya comberan mau ikut campur aja u
“Assalamualaikum permisi! Assalamualaikum permisi! berkali-kali kuulangi panggilan dan menggedor pintu Novi, tetapi tetap juga tidak dibukakan olehnya. Benar-benar memang dia sudah keterlaluan! Oke baiklah Novi aku akan pakai caramu!Dia benar-benar sudah tidak menghormati aku sebagai tetangga dan tidak menganggapku teman lagi. Padahal tadi pagi subuh-subuh dia memohon-mohon padaku untuk meminjamkan uang padanya. Lalu dia menyindirku lewat status WA. Aku datangi dia tidak berani nongol! Maunya apa? Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Padahal aku merasa tidak pernah punya salah pada dia.Bukankah seharusnya jika sudah mengenalku dari kecil, menganggapku teman, dan sekarang kami bertetanggaan, sikapnya harusnya lebih baik padaku bahkan menganggapku lebih dari saudara. Seperti aku menganggapnya begitu. Dasar saja Novi ternyata sifatnya sejak dulu tidak pernah berubah.Aku telusuri jalanan di depan rumahku dengan perasaan dongkol dan kesal. Astagfirullah pagi-pagi aku tidak boleh beg
Astaghfirullahaladzim ... kubaca status WA-nya Novi.“Pagi-pagi buta sudah ada orang datang ke rumah pinjam uang. Kelihatannya sih, kaya raya, rumahnya gede, bagus, ke mana-mana naiknya mobil ternyata pagi-pagi sudah pinjam uang. Yaa, elah, berarti dia lebih miskin dari aku, dong!”Aku geram sekali membaca status WA-nya Novi. Kenapa dia memutarbalikkan fakta seperti itu? Ini orang pagi-pagi sudah membuat kepalaku mendidih.Apa iya, aku harus mengikuti saran Mbak Fitri untuk melabrak dia, tapi meskipun Novi nulis status WA begitu itu, tapi tidak ada orang yang percaya dengan status dia buktinya Mbak Fitri malah marah-marah pada dia. Kalau meladeni Novi tidak akan pernah habisnya dan itu sangat buang-buang waktuku.Hidupku bukan hanya untuk mengurusi urusan orang lain. Lebih dari itu, tapi kalau dia tidak dikasih pelajaran dia bakalan selamanya menginjak-nginjak harga diriku. Salah apa aku ini pada Novi? Perasaan aku sudah selalu berbuat baik padanya, tapi masih saja dia menjelek-jelek
“Mas, sepertinya dia ini manusia benar-benar tidak punya pekerjaan. Bayangkan saja dia meneror kita setiap hari, setiap waktu dengan kata-kata serupa, tapi dia tidak berani menunjukkan actionnya selain mengirimi kita makhluk-makhluk halus begitu ya, enggak sih, Mas?” ucapku kepada Mas Danu.“Iya, betul, Dik, itulah kenapa Mas, selalu berpesan padamu dan juga yang lainnya agar selalu hati-hati karena lawan kita tidak kasat mata. Jika manusia di depan kita hendak mencelakai, kita, bisa melawannya, tapi kalau makhluk halus begitu kita tidak melihat bagaimana kita akan melawan mereka selain dengan doa dan kehati-hatian kita. Kamu paham kan, maksudku?” ujar Mas Danu.“Iya, Mas, aku paham, maka dari itu aku pun selalu mewanti-wanti Ibu, Mama, Ibumu, untuk selalu waspada. Apalagi Mbak Asih kan, sekarang dia sudah bertaubat memperbaiki diri, menutup, aurat, banyak-banyak mendekatkan diri pada Allah. Intinya yang pasti sudah tidak ada lagi media yang bisa digunakan untuk menteror kita dengan m
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau