Share

Bab 5. Tetangga baru.

Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar. 

“Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta. 

Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.

“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.

“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.

“Dibayar, kan, Ta?”

“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman gegas mengambil pisau lalu pergi ke kebun belakang.

Sedang aku segera ke warung.

“Kamu Ita, kan?” sapa seseorang di sebelahku.

Aku tersenyum padanya seraya mengingat-ngingat siapakah gerangan? Apa pernah kenal atau pernah bertemu dengannya?

“Apa kabar kamu, Ta? Enggak berubah ya, masih seperti dulu tetap cantik,” ucapnya lagi.

Ramah sekali wanita di depanku ini. Sedari tadi aku mengingat-ngingat, tapi tidak juga ingat.

“Alhamdulillah baik dan sehat. Maaf Mbaknya siapa, ya?” tanyaku penasaran.

Wanita di depanku malah melompong dan mengerutkan keningnya.

“Kamu lupa sama aku, Ta?” Aku mengangguk. Jangankan lupa, sepertinya kenal saja tidak.

“Ya Tuhan, Ita! Ini aku Novi. Aku teman mainmu dulu di kampung. Kita teman waktu kecil,” jawabnya semangat

Aku mencoba mengingat masa kecilku. Benarkah ini Novi yang dulu sering minta buah seri di depan rumahku? Tapi, kenapa penampilannya beda sekali.

“Kamu pasti heran, kan? Ya ampun! Enggak nyangka banget aku  bisa ketemu kamu di sini setelah ribuan purnama di alias 22 tahun tidak bertemu. Kamu tinggal di sini, Ta?” Aku mengangguk lagi. Aku masih belum percaya kalau ini Novi temanku dulu.

Novi teman sepermainanku dari kecil hingga SMP. Kami tidak pernah satu sekolah, tapi selalu bermain bersama. Novi temanku dulu kalem, sopan, sedang yang di depanku modis dan penampilannya cetar sekali. Sepertinya sudah jadi orang kaya.

“Sudah ingat, Ta?”

“Iya, ingat. Aku pangling, Nov. Kamu cantik sekali sekarang. Sudah gitu modis,” kataku kagum. 

Novi tersenyum senang seraya mengibaskan rambutnya yang panjang pirang.

“Iya, lah, Ta. Hidup memang harus ada perubahan dan kemajuan. Aku sekarang bukan lagi Novi yang dulu,” jawabnya bangga.

“Oh, namanya Mbak Novi. Ini belanjaannya,” ucap Bu warung.

“Eeeh, ada Ita. Tumben sekali belanja sendiri biasanya mamah tercinta yang belanja. Ini siapa cantik sekali sepertinya warga baru ya?” ucap Bu Jum. Novi mengangguk ramah.

 Ya Allah kenapa ada Bu Jum di sini. Sebenarnya aku hanya mau beli bawang saja di rumah habis sedang hari ini mau masak-masak untuk dibawa ke panti asuhan.

“Iya, Bu Jum,” jawabku singkat.

“Mbak Ita mau belanja apa?” tanya Bu warung. Gara-gara Bu Jum aku jadi lupa.

“Bawang merah putih masing-masing satu kilogram, Bu.”

“Cuma beli bawang, Ta? Apa duit warisan orang tua sudah habis?” Nyinyir Bu Jum. Aku diam malas menanggapi.

“Mbaknya rumahnya mana?” tanya Bu Jum pada Novi.

“Itu rumah cat krem yang baru selesai dibangun, Bu.” Tunjuk Novi pada bangunan rumah besar di samping rumahku.

Ternyata itu rumah Novi. Dia pindahan dari Jakarta kah? Dulu tukang yang membangun rumah itu bilang yang punya orang Jakarta. Tadi pun paman bilang begitu.

“Wah, rumah besar itu?” ujar Bu Jum takjub.

“Iya, Bu.”

“Mbak Novi pindahan dari mana?” Bu warung tidak kalah kepo.

“Dari Jakarta. Suamiku pingin tinggal di kampung yang suasananya masih asri. Sudah bosan tinggal di kota metropolitan,” jawab Novi bangga seraya membetulkan penampilannya.

“Orang Jakarta beda, ya? Ke warung aja cetar begini macam artis princess Syahrini, pakai sendal tinggi juga,” cerocos Bu Jum seraya memperhatikan penampilan Novi dari atas sampai bawah.

“Iya, lah, emang situ! Ke mana-mana pakai daster robek!” sahut Bu warung. Aku menahan tawa sedang Novi hanya melirik saja.

“Aku duluan ya, Ibu-ibu. Main-main loh, ke rumahku. Kami sedang open house. Nanti kita ngobrol-ngobrol di rumahku.”

“Open house itu apa?” tanya Bu Jum lagi.

“Itu maksudnya kami sedang mempersilakan siapa saja untuk bertamu, Bu. Maklum kami orang sibuk jadi harus kasih jadwal kapan waktunya gitu,” jelas Novi raut wajahnya terlihat kesal.

“Oo, di kampung itu enggak ada begitu-bagituan. Main ya, main saja. Biasanya kalau yang begitu orangnya pelit atau enggak mau rumahnya kotor karena ada tamu,”  sanggah Bu Jum lagi.

“Ah, Ibu, terserah aku lah, rumah-rumahku, kok!” Novi mencebik kesal.

“Ini belanjaanya, Mbak Novi. Semuanya 50 ribu rupiah.” Bu warung memberikan bungkusan plastik besar pada Novi.

“Bayarnya nanti ya, Bu. Aku enggak ada uang kecil,” ucap Novi.

“Uang besar juga tidak apa-apa Mbak, ada kembaliannya kok,” sahut Bu warung.

“Ibu ini, dibilang aku enggak ada uang kecil, maksudnya uangku di ATM semua belum gesek, nanti pasti aku bayar enggak usah khawatir. Aku orang kaya di sini. Itu rumahku ibu tinggal ketuk saja. Khawatir amat,” ucap Novi enteng kemudian dia melongos pergi begitu saja seraya menenteng plastik belanjaanya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

“Belanjaku sudah, Bu?” 

“Eh, iya, sudah ini, Mbak Ita, total semuanya 60 ribu rupiah.” Setelah kubayar belanjaan aku segera pulang pasti ibu dan  yang lainnya sudah menunggu. 

Benar saja, Mbak Asih langsung mencak-mencak begitu aku sampai rumah.

“Warungnya jauh banget apa kamu gosip dulu di sana, Ta! Lama banget!” ucap Mbak Asih ketus.

Mamah memberi kode untuk tidak usah mempedulikan omongan Mbak Asih.

“Ta, kalau orang tua ngomong itu didengerin! Kamu di sana pasti gosipin aku, ya, makanya lama betul,” kata Mbak Asih lagi.

“Enggak Mbak, tadi yang belanja ngantri,” jawabku asal.

“Ta, rumah sebelah sudah ditempati, ya? Semalam aku pulang kerja ada tiga mobil truk bawa barang-barang,” tanya Mbak Asih lagi. 

“Iya, Mbak. Tapi, kok, Mbak Asih pulang kerjanya malam banget, ya? Semalam aku dengar ada mobil itu sekitar jam 11 malam.”

“Kamu itu Ta, kayak enggak tahu wanita karir saja. Ginilah, kerja pagi pulang malam,” jawab Mbak Asih seraya tersenyum.

“Wanita karir apaan! Gaji aja enggak ada. Enggak jelas!” sahut ibu.

“Ibu ini loh, malah enggak dukung anaknya. Aku ini beneran kerja cari duit untuk kita,” jawab Mbak Asih membela diri.

“Asih, kamu itu kerja sudah 1 bulan lebih, tapi gajian saja belum. Awas saja kalau bohongi Ibu. Alasan kerja, tapi ketemuan sama Roni!” bentak Ibu.

Mbak Asih berdecak kesal dia pindah tempat di depan pintu membawa bawang yang baru saja aku beli untuk dikupas.

“Janda dilarang duduk di pintu! Nanti enggak laku!”

“Eh, Bu Jum. Mau apa ke sini? Mau tebar gosip murahan, ya!” bentak Mamah Atik begitu lihat Bu Jum duduk di dekat Mbak Asih.

“Songong amat jadi orang! Aku ke sini mau main aja,” sahut Bu Jum.

“Awas, ya, kamu kalau di sini ngeghibah kucabein mulutmu!” bentak Mamah Atik lagi. Bu Jum diam saja. Pasti dia mau ngomongin tadi yang di warung berhubung Mamah Atik sudah marah duluan dia jadi segan jadilah Bu Jum kepo kami sedang masak untuk acara apa.

“Bu, aku pergi dulu, ya? Mau ke ATM ambil uang. Ini temanku barusan kasih tahu kalau gaji sudah turun,” pamit Mbak Asih.

“Kamu enggak bohong kan, Sih?”

“Enggak lah, Bu. Lihat nih, kalau enggak percaya!” Mbak Asih menunjukkan pesan dari teman kerjanya. Syukurlah aku ikut senang Mbak Asih sudah mulai hidup normal.

“Jum, pulang sana! Kamu ngapain masih di sini, nunggu dikasih makan?” Usir ibu. Bu Jum bergeming. Akhirnya aku menyuruhnya masuk. Biarlah dia gosip apa pun aku tidak peduli yang penting dia tidak duduk di luar begitu. Kasihan.

[Dik, minta tolong antar makan siang ya, bekal yang tadi, Mas kasihkan ke orang gila depan toko. Kasihan lagi ngorek-ngorek tong sampah cari makanan.] 

[Iya, Mas. Aku masak dulu sebentar.] Segera kubalas pesan dari suamiku.

Sebenarnya Mas Danu bisa saja beli makanan matang di warung, tapi itu tidak pernah dia lakukan. Mas Danu lebih suka masakan istri. Katanya ceplok telur masakan istri meski keasinan jauh lebih enak dari pada makan masakan Padang lauk rendang. Aku sih, iyain aja, memang dasarnya Mas Danu sangat menghargai istrinya.

Makan makanan rumah akan menambah keberkahan. Karena dimasak dengan penuh cinta dan tentunya ada doa-doa dan harapan disetiap olahannya itulah mengapa Mas Danu lebih suka masakan istri.

Jika, mengharuskan makan di luar maka dia akan mengajak kami turut serta. Dia tidak akan pernah mau makan sendiri kecuali saat sedang pergi bersama Joko, Karim, Edi, dan Opik. Sepertinya memang Mas Danu ditakdirkan untuk berkawan dengan orang-orang lugu seperti mereka.

Setelah berjibaku dengan alat-alat masak akhirnya selesai juga. Aku titipkan Kia sebentar pada Mamah. Kalau ke toko bawa Kia sendiri naik motor begini akan susah takut jatuh karena aku belum bisa naik motor dengan lancar. Sedari dulu terbiasa naik sepeda.

Biasanya Joko atau yang lain yang akan mengambilnya mungkin toko ramai jadi tidak ada satu pun yang bisa ambil makan siang ini.

Sampai toko aku tercengang. Maya sedang asyik main HP sedang yang lain sibuk melayani pembeli sampai ngantri-ngantri.

Niat kerja atau tidak si Maya ini. Bikin tensi naik saja.

“Maya, kamu enggak lihat toko lagi ramai kok, malah main HP?” tegurku. Maya gelagapan melihat kedatanganku. Ponselnya langsung di masukkan ke kantung bajunya. Tanpa permisi padaku langsung nyelonong ke depan bantu Joko dan yang lainnya.

“Mas, kamu kok, gak negur Maya? Dia main HP saat toko sedang ramai begini,” kataku kesal.

“Tadi katanya ada telepon dari anaknya makanya Mas biarkan saja. Barang kali kan, penting. Sudah, yuk, makan, Mas sudah lapar!”

“Sebentar aku siapkan dulu, Mas.” 

“Loh, Danu, kok, bawa makanan? Tadi kan, sudah aku sudah bilang makan bekalku saja,” ujar Maya saat melihat kami makan bersama.

“Tidak usah repot-repot, May. Makasih, aku lebih suka makan masakan istriku,” jawab Mas Danu.

“Aku enggak merasa repot kok, Dan. Aku malah senang kalau kamu mau makan bekalku. Besok aku masakin deh, kayaknya kamu lebih suka masakan rumahan dari pada beli, ya?” cicit Maya lagi.

“Iya, benar, itu May. Aku lebih suka masakan rumahan yang dimasak istriku.”

“Ah, besok kamu juga pasti suka masakanku. Besok aku akan bawa bekal yang aku masak sendiri biar istri kamu ini tidak sibuk-sibuk datang ke sini untuk antarkan makan siang. Besok kita makan bareng, ya?” ucap Maya sangat bersemangat. Tatapannya fokus ke Mas Danu. Sama sekali tidak menoleh ke arahku. Aku jadi makin tahu kalau sebenarnya Maya itu mengagumi Mas Danu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status