Share

BAB 2. Manta pekerja panti pijat.

“Iya, Bu, saya pernah bekerja selama dua tahun di tempat panti pijat khusus pijat refleksi. Lalu saya kerja jadi Art di Jakarta selama lima tahun dan terakhir saya kerja jaga toko di kota selama tiga tahun. Setelah itu saya menikah,” jelas Maya saat aku tanya adakah pengalaman kerjanya. Dia juga rapi menulis lamaran kerjanya dan menyertakan persyaratannya lengkap.

Sepertinya memang sudah berpengalaman. Berbeda dengan pegawaiku yang lain mereka hanya datang saja meminta pekerjaan secara langsung tanpa surat lamaran kerja dan kawan-kawannya.

“Baik, kalau begitu aku traning kamu dulu selama 1 bulan. Jika, kerja kamu bagus akan aku lanjut dan jika tidak, maaf terpaksa aku ganti yang lain.”

“Training? Kenapa tidak sekalian jadi pekerja tetap saja, Bu? Saya sangat membutuhkan kerjaan ini,” tawarnya. Berani sekali!

“Itu jika kamu mau? Aturan tetap harus dipenuhi kalau kamu memang sangat butuh kerjaan ini buktikan kalau kamu sungguh-sungguh.” 

“Ba—ik, Bu,” jawabnya lesu.

“Satu lagi jangan berpakaian dan dandan seperti ini. Aku tidak suka.”

“Ta—pi, dulu wa—ktu saya kerja di toko harus berpakaian dan dandan menarik Bu, agar pembeli tertarik,” katanya lagi beralasan.

“Itu dulu. Aturan di tempatmu dulu dengan di sini beda. Kalau tidak mau ya tidak apa-apa aku tidak memaksa.”

“Ba—ik Bu, saya mau.”

“Bagus, kamu boleh kerja sekarang. Besok datang pagi jam 7.00 WIB harus sudah di sini dan pulang jam 5 sore. Paham?”

“Pa—ham, Bu. Gajinya berapa, Bu?"

"Gajinya per bulan 1,5 juta. Uang makan 10 ribu per hari." Maya kaget mendengar penjelasanku.

"A—apa tidak bisa naik lagi, Bu?" tanyanya tanpa sungkan.

"Bisa naik, aku lihat seperti apa kerjanya. Oh, ya hampir lupa kalau training gajinya 1 juta rupiah plus uang makan 10 ribu." Maya nambah melongo mendengarnya.

Di sini sistem gaji berbeda antara satu dengan yang lain seperti Joko dia yang menemani dari awal tentu berbeda dengan Karim, Opik, ataupun Edi.

Aku mempersilakan Maya untuk mulai bekerja. Kerja setengah hari dulu. Dari pada dia balik pulang kan, kasihan. Semoga saja kerjanya bagus.

“Sayang? Syukurlah kamu sudah datang aku kira belum ada kamu, tapi kok, ada Maya di depan? Enggk besok aja dia kerjanya?" ucap Mas Danu.

“Sudah dari sejam yang lalu, Mas. Memang Karim enggak bilang? Di depan juga ada Mamah Atik sama Kia loh,” jawabku heran.

“Karim ada di pojok sana lagi layanin pembeli. Mamah Atik enggak ada, kok.” Mas Danu terlihat sedikit berpikir.

“Oh, mungkin lagi keluar cari makanan. Gimana Mas belanjanya lancar?”

“Alhamdulillah lancar dua toko kita sudah terisi lagi hanya saja harganya naik.”

“Yah, mau gimana lagi, Mas. Sekarang memang apa-apa mahal.”

Aku dan Mas Danu makan bersama memang tadi aku pesan minta dibelikan nasi Padang di restoran Begadang yang sangat terkenal di kota. Rasanya membuat siapa saja yang makan akan balik untuk beli lagi.

“Ini map apa, Dik?” Mas Danu membolak-balik map abu-abu yang sudah kusam. Kurasa Maya tidak beli. 

“Milik Maya, itu di dalamnya ada surat lamaran kerja dan yang lainnya.”

Mendengar penjelasanku Mas Danu mengerutkan keningnya.

“Kenapa pakai begini segala? Karim, Joko, Edi, Opik enggak pakai beginian,” tanya Mas Danu heran.

“Enggak apa-apa malah bagus kita juga tidak tahu sebenarnya dia itu siapa dan bagaimana sifatnya. Kalau yang lain kan, tetangga kita semua teman akrab kamu, Mas.”

“Tapi, Maya, juga teman Mamas, Dik.”

“Teman dulu waktu kecil. Kita kan, enggak tahu kesehariannya. Kok, kamu terkesan belain dia ya, Mas?” 

“Astghfirull ... bukan gitu Dik, Mas hanya heran saja. Sudah jangan ngambek gitu. Maaf ya?”

“Iya, jangan begitu lagi kalau temanmu mau kerja di sini harus ikuti aturanku, Mas.”

“Baik, Bos!” jawab Mas Danu seraya menyuapkan nasi ke mulutku.

“Satu lagi, aku akan setiap hari datang ke toko untuk mengontrol semuanya.”

“Ha-ha boleh, datanglah sesuka hatimu justru Mas malah senang kalau ada kamu. Kerja jadi lebih semangat,” kelakar Mas Danu.

“Aku tahu kamu pasti cemburu kan, karena ada Maya. Mas senang kalau kamu cemburu,” katanya lagi. 

“Apaan sih, Mas. Enggak kok, masa aku cemburu dengan perempuan seperti itu?” elakku.

Walaupun sebenarnya ada rasa itu di hatiku. Sekuat-kuatnya iman dan sesetia-setianya laki-laki kalau setiap hari disuguhi pemandangan dan berinteraksi dengan lawan jenis lama-lama juga akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apa lagi kalau perempuannya seperti Maya. Witing tresno jalaran Seko kulino, kata pepatah Jawa kan, begitu. Ih, amit-amit na’uzhubillah kenapa aku mikir sejauh ini si? 

“Dik, apa sih, malah bengong gitu? Padahal Mas sudah senang loh, kalau dicemburuin sama kamu,” ucap Mas Danu lagi.

“Mas cemburu itu kalau dia lebih baik dari aku dalam segala hal dan  lebih soleha dari aku.”

“Em, iya, deh, iya! Istri Mamas memang terbaik."

Kami bercengkrama membicarakan banyak hal termasuk hal-hal konyol. Mas Danu akan setia mendengarkan. Aku juga menceritakan ulah Evi dan paman. Mas Danu tertawa terpingkal-pingkal karena ulah Mamah Atik dan ibu mertuaku yang dengan sengaja mengerjai mereka.

“Permisi, Bos! Ini ada pesanan banyak dari warung Sutris minta dikirim sekarang juga, apa masih bisa? Sekarang sudah mau tutup,” ucap Joko.

“Kirim aja, Jok. Alhamdulillah rezeki kita. Nanti kalian aku hitung lembur,” jawab Mas Danu. Joko tersenyum girang seraya berlalu ke depan.

“Kita bantu packing yuk, Dik, biar tidak terlalu lama kasihan mereka juga punya kelurga pasti anak istrinya sudah menunggu di rumah.” Aku mengiyakan ajakan Mas Danu. Ah, suamiku memang sebaik ini. Tidak heran jika banyak orang yang menyukainya karena kebaikannya.

Kulihat Maya hanya diam saja memperhatikan padahal dia juga harusnya sibuk membantu Joko dan Karim menyiapkan pesanan konsumen. Dia malah asyik menopang dagu melihat orang sibuk kolar-kilir.

“Mbak Maya! Kok malah ngelamun gitu? Bantu cepetan ini buru-buru mau dikirim keburu malam!” titahku. Maya gelagapan mendengarkan bentakanku.

“Saya bingung mau ngerjain yang mana. Semuanya berat, Bu saya tidak bisa angkat berat saya kan, perempuan,” elaknya beralasan.

Aku sungguh kesal mendengar alasannya. 

“Kamu niat kerja di toko atau tidak? Kalau kerja di toko sembako ya, begini. Lihat itu sudah ditempel daftar belanjaanya sama Joko. Kamu bisa kerjakan yang tidak berat. Alasan saja! Kalau kamu malas-malasan bisa aku pecat!” 

“Ja—ngan pecat saya, Bu. Ba—aik saya akan kerjakan.” Buru-buru Maya ikut nimbrung menyiapkan pesan pelanggan.

“Galak kali Bosku ini, aku jadi takut,” ucap Mamah Atik.

“Astaghfirullah ... Mamah ngagetin aja, ih! Mamah dari mana kok, tadi kata Mas Danu enggak ada?”

“Di atas tidur sama Kia,” jawab Mamah Atik terkekeh.

“Ya, udah, makan dulu, Mah. Sini biar Kia sama aku. Itu tadi Mas Danu beli masakan Padang favorit kita. Aku siapkan ya, Mah.”

“Enggak usah, Ta. Mamah kenyang. Nanti aja lah, kalau mau makan di rumah aja. Sana bantu suamimu biar Kia di sini aja sama Mamah.”

“Beneran?” tanyaku meyakinkan, kukedip-kedipkan mata genitku.

“Beneerr ... Mamah masih kenyang. Sudah sana!"

~k~u🌸🌸🌸

“Mas minta uang dong, aku mau beli kuota, tapi tidak ada uang,” rengek Evi tepat saat kami baru saja melangkah masuk rumah. 

“Benar-benar ya, kamu! Enggak sopan! Enggak tahu orang capek pulang kerja?!” bentak Mamah Atik kepala Evi tidak luput dari jurus toyoran maut.

“Eh, sembarangan kamu! Main toyor kepala orang sembarang!” Paman tidak tinggal diam dia balik marahin Mamah Atik.

“Terserah aku, kalau enggak suka ini kepala dipakai untuk mikir! Sudah tua otak kok, di dengkul!” jawab Mamah Atik. Paman langsung mengekeret dibentak Mamah Atik.

“Mau duit itu kerja Vi, bukan nodong begitu. Lagi pula rumah ini sudah dipasang WI-FI jadi, enggak usah repot-repot beli kuota lagi,” jawabku ketus.

“Aku minta uang sama kakakku sendiri kok, bukan sama kamu!” sungut Evi.

“Benar kata Ita, tidak perlu beli kuota lagi. Kamu kalau mau uang bisa kerja. Nanti Mas kasih kerjaan.” Mendengar jawaban Mas Danu Evi mencebik kesal kemudia berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.

“Capek ya, Mas. Dulu hidup susah kita dihina dicaci dikatain benalu. Sekarang sudah punya segalanya masih saja ada yang mau numpang hidup sama kita,” keluhku.

“Sabar, Sayang. Ini semuanya ujian. Kekayaan dan kesuksesan kita ujian pun dulu sewaktu kita miski juga ujian. Ingat loh, Allah tidak akan pernah memberi ujian dibatas kemampuan hambanya. Kalau Allah kasih ini dan itu ke kita berarti memang kita kuat jalaninya,” terang Mas Danu. Aku mengangguk saja, memang kenyataannya begitu. Semoga saja kami kuat dan bisa melalui ini semua.

“Makanannya hanya ini, Nu? Orang kaya loh, masa pelit banget!” ejek paman.

Malam ini aku dan mamah Atik memang hanya menghangatkan sayur gulai nangka, rendang daging sapi, sambal ijo, dan ayam goreng sisa tadi siang.

“Alhamdulillah Man, ini rezeki kita malam ini,” jawab Mas Danu santai.

“Kamu orang kaya loh, Danu. Perkara makanan itu jangan irit-iritan nanti belum sempat kamu menikmati makan enak sudah mati. Kan, rugi,” seloroh paman lagi. Padahal mulutnya penuh  nasi dan kawan-kawannya.

“Benar banget itu yang dibilang Paman, rumah megah magrong-magrong kok, makan beginian,” timpal Evi. Dia pun sama dengan paman makan dengan lahap, tapi mulutnya ngomel-ngomel.

Brak!

Mamah Atik menggebrak meja. Lalu beranjak dari duduknya.

“Kalau enggak suka enggak usah dimakan! Sini!” Mamah Atik marah diambilnya piring mereka berdua lalu di taruh ke tempat pencucian piring.

Paman dan Evi bengong pasalnya nasi mereka masih banyak, ayamnya pun belum habis dimakan.

“Pergi sana! Jangan kacaukan makan malam kami!” Usir Mamah Atik.

Mas Danu biasa saja tidak berucap sepatah kata pun. Tetap makan dengan tenang. Mamah Atik memang begitu sangat menghargai makanan kalau ada orang yang mencela makanan dia akan sangat marah.

“Danu, kok, kamu diam aja sih, Paman masih lapar,” ucap paman lirih nyaris tak terdengar.

“Mas Danu jahat! Belain orang terus dari pada keluarga sendiri!” Evi merajuk dia masuk kamar dengan membanting pintunya sangat kuat. Awas aja sekali lagi begitu aku pukul tangannya. Memang ini rumah siapa kok, dia yang berlagak nyonya, banting pintu sembarangan.

Astaghfirullah ... selama hidupku diuji dengan berbagai masalah aku jadi sering tidak bisa mengontrol emosi.

Ting!

[Danu, boleh minta tolong enggak? Aku diusir Keluarga suamiku boleh numpang minep barang semalam saja?]

Belum hilang rasa kesalku pada Evi ini ditambah ada pesan nyeleneh dari Maya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status