“Training? Kenapa tidak sekalian jadi pekerja tetap saja, Bu? Saya sangat membutuhkan kerjaan ini,” tawarnya. Berani sekali!
“Itu jika kamu mau? Aturan tetap harus dipenuhi kalau kamu memang sangat butuh kerjaan ini buktikan kalau kamu sungguh-sungguh.”
“Ba—ik, Bu,” jawabnya lesu.
“Satu lagi jangan berpakaian dan dandan seperti ini. Aku tidak suka.”“Ta—pi, dulu wa—ktu saya kerja di toko harus berpakaian dan dandan menarik Bu, agar pembeli tertarik,” katanya lagi beralasan.
“Itu dulu. Aturan di tempatmu dulu dengan di sini beda. Kalau tidak mau ya tidak apa-apa aku tidak memaksa.” “Ba—ik Bu, saya mau.”“Bagus, kamu boleh kerja sekarang. Besok datang pagi jam 7.00 WIB harus sudah di sini dan pulang jam 5 sore. Paham?”
“Pa—ham, Bu. Gajinya berapa, Bu?""Gajinya per bulan 1,5 juta. Uang makan 10 ribu per hari." Maya kaget mendengar penjelasanku.
"A—apa tidak bisa naik lagi, Bu?" tanyanya tanpa sungkan. "Bisa naik, aku lihat seperti apa kerjanya. Oh, ya hampir lupa kalau training gajinya 1 juta rupiah plus uang makan 10 ribu." Maya nambah melongo mendengarnya.Di sini sistem gaji berbeda antara satu dengan yang lain seperti Joko dia yang menemani dari awal tentu berbeda dengan Karim, Opik, ataupun Edi.
Aku mempersilakan Maya untuk mulai bekerja. Kerja setengah hari dulu. Dari pada dia balik pulang kan, kasihan. Semoga saja kerjanya bagus.
“Sayang? Syukurlah kamu sudah datang aku kira belum ada kamu, tapi kok, ada Maya di depan? Enggk besok aja dia kerjanya?" ucap Mas Danu.
“Sudah dari sejam yang lalu, Mas. Memang Karim enggak bilang? Di depan juga ada Mamah Atik sama Kia loh,” jawabku heran.
“Karim ada di pojok sana lagi layanin pembeli. Mamah Atik enggak ada, kok.” Mas Danu terlihat sedikit berpikir.
“Oh, mungkin lagi keluar cari makanan. Gimana Mas belanjanya lancar?” “Alhamdulillah lancar dua toko kita sudah terisi lagi hanya saja harganya naik.” “Yah, mau gimana lagi, Mas. Sekarang memang apa-apa mahal.” Aku dan Mas Danu makan bersama memang tadi aku pesan minta dibelikan nasi Padang di restoran Begadang yang sangat terkenal di kota. Rasanya membuat siapa saja yang makan akan balik untuk beli lagi. “Ini map apa, Dik?” Mas Danu membolak-balik map abu-abu yang sudah kusam. Kurasa Maya tidak beli. “Milik Maya, itu di dalamnya ada surat lamaran kerja dan yang lainnya.” Mendengar penjelasanku Mas Danu mengerutkan keningnya. “Kenapa pakai begini segala? Karim, Joko, Edi, Opik enggak pakai beginian,” tanya Mas Danu heran.“Enggak apa-apa malah bagus kita juga tidak tahu sebenarnya dia itu siapa dan bagaimana sifatnya. Kalau yang lain kan, tetangga kita semua teman akrab kamu, Mas.”
“Tapi, Maya, juga teman Mamas, Dik.”“Teman dulu waktu kecil. Kita kan, enggak tahu kesehariannya. Kok, kamu terkesan belain dia ya, Mas?”
“Astghfirull ... bukan gitu Dik, Mas hanya heran saja. Sudah jangan ngambek gitu. Maaf ya?” “Iya, jangan begitu lagi kalau temanmu mau kerja di sini harus ikuti aturanku, Mas.” “Baik, Bos!” jawab Mas Danu seraya menyuapkan nasi ke mulutku.“Satu lagi, aku akan setiap hari datang ke toko untuk mengontrol semuanya.”
“Ha-ha boleh, datanglah sesuka hatimu justru Mas malah senang kalau ada kamu. Kerja jadi lebih semangat,” kelakar Mas Danu. “Aku tahu kamu pasti cemburu kan, karena ada Maya. Mas senang kalau kamu cemburu,” katanya lagi. “Apaan sih, Mas. Enggak kok, masa aku cemburu dengan perempuan seperti itu?” elakku. Walaupun sebenarnya ada rasa itu di hatiku. Sekuat-kuatnya iman dan sesetia-setianya laki-laki kalau setiap hari disuguhi pemandangan dan berinteraksi dengan lawan jenis lama-lama juga akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apa lagi kalau perempuannya seperti Maya. Witing tresno jalaran Seko kulino, kata pepatah Jawa kan, begitu. Ih, amit-amit na’uzhubillah kenapa aku mikir sejauh ini si? “Dik, apa sih, malah bengong gitu? Padahal Mas sudah senang loh, kalau dicemburuin sama kamu,” ucap Mas Danu lagi. “Mas cemburu itu kalau dia lebih baik dari aku dalam segala hal dan lebih soleha dari aku.” “Em, iya, deh, iya! Istri Mamas memang terbaik." Kami bercengkrama membicarakan banyak hal termasuk hal-hal konyol. Mas Danu akan setia mendengarkan. Aku juga menceritakan ulah Evi dan paman. Mas Danu tertawa terpingkal-pingkal karena ulah Mamah Atik dan ibu mertuaku yang dengan sengaja mengerjai mereka.“Permisi, Bos! Ini ada pesanan banyak dari warung Sutris minta dikirim sekarang juga, apa masih bisa? Sekarang sudah mau tutup,” ucap Joko.
“Kirim aja, Jok. Alhamdulillah rezeki kita. Nanti kalian aku hitung lembur,” jawab Mas Danu. Joko tersenyum girang seraya berlalu ke depan.
“Kita bantu packing yuk, Dik, biar tidak terlalu lama kasihan mereka juga punya kelurga pasti anak istrinya sudah menunggu di rumah.” Aku mengiyakan ajakan Mas Danu. Ah, suamiku memang sebaik ini. Tidak heran jika banyak orang yang menyukainya karena kebaikannya. Kulihat Maya hanya diam saja memperhatikan padahal dia juga harusnya sibuk membantu Joko dan Karim menyiapkan pesanan konsumen. Dia malah asyik menopang dagu melihat orang sibuk kolar-kilir. “Mbak Maya! Kok malah ngelamun gitu? Bantu cepetan ini buru-buru mau dikirim keburu malam!” titahku. Maya gelagapan mendengarkan bentakanku.“Saya bingung mau ngerjain yang mana. Semuanya berat, Bu saya tidak bisa angkat berat saya kan, perempuan,” elaknya beralasan.
Aku sungguh kesal mendengar alasannya.
“Kamu niat kerja di toko atau tidak? Kalau kerja di toko sembako ya, begini. Lihat itu sudah ditempel daftar belanjaanya sama Joko. Kamu bisa kerjakan yang tidak berat. Alasan saja! Kalau kamu malas-malasan bisa aku pecat!”
“Ja—ngan pecat saya, Bu. Ba—aik saya akan kerjakan.” Buru-buru Maya ikut nimbrung menyiapkan pesan pelanggan.
“Galak kali Bosku ini, aku jadi takut,” ucap Mamah Atik.
“Astaghfirullah ... Mamah ngagetin aja, ih! Mamah dari mana kok, tadi kata Mas Danu enggak ada?”
“Di atas tidur sama Kia,” jawab Mamah Atik terkekeh. “Ya, udah, makan dulu, Mah. Sini biar Kia sama aku. Itu tadi Mas Danu beli masakan Padang favorit kita. Aku siapkan ya, Mah.” “Enggak usah, Ta. Mamah kenyang. Nanti aja lah, kalau mau makan di rumah aja. Sana bantu suamimu biar Kia di sini aja sama Mamah.” “Beneran?” tanyaku meyakinkan, kukedip-kedipkan mata genitku. “Beneerr ... Mamah masih kenyang. Sudah sana!"~k~u🌸🌸🌸
“Mas minta uang dong, aku mau beli kuota, tapi tidak ada uang,” rengek Evi tepat saat kami baru saja melangkah masuk rumah.
“Benar-benar ya, kamu! Enggak sopan! Enggak tahu orang capek pulang kerja?!” bentak Mamah Atik kepala Evi tidak luput dari jurus toyoran maut.“Eh, sembarangan kamu! Main toyor kepala orang sembarang!” Paman tidak tinggal diam dia balik marahin Mamah Atik.
“Terserah aku, kalau enggak suka ini kepala dipakai untuk mikir! Sudah tua otak kok, di dengkul!” jawab Mamah Atik. Paman langsung mengekeret dibentak Mamah Atik.
“Mau duit itu kerja Vi, bukan nodong begitu. Lagi pula rumah ini sudah dipasang WI-FI jadi, enggak usah repot-repot beli kuota lagi,” jawabku ketus.
“Aku minta uang sama kakakku sendiri kok, bukan sama kamu!” sungut Evi. “Benar kata Ita, tidak perlu beli kuota lagi. Kamu kalau mau uang bisa kerja. Nanti Mas kasih kerjaan.” Mendengar jawaban Mas Danu Evi mencebik kesal kemudia berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.“Capek ya, Mas. Dulu hidup susah kita dihina dicaci dikatain benalu. Sekarang sudah punya segalanya masih saja ada yang mau numpang hidup sama kita,” keluhku.
“Sabar, Sayang. Ini semuanya ujian. Kekayaan dan kesuksesan kita ujian pun dulu sewaktu kita miski juga ujian. Ingat loh, Allah tidak akan pernah memberi ujian dibatas kemampuan hambanya. Kalau Allah kasih ini dan itu ke kita berarti memang kita kuat jalaninya,” terang Mas Danu. Aku mengangguk saja, memang kenyataannya begitu. Semoga saja kami kuat dan bisa melalui ini semua. “Makanannya hanya ini, Nu? Orang kaya loh, masa pelit banget!” ejek paman. Malam ini aku dan mamah Atik memang hanya menghangatkan sayur gulai nangka, rendang daging sapi, sambal ijo, dan ayam goreng sisa tadi siang. “Alhamdulillah Man, ini rezeki kita malam ini,” jawab Mas Danu santai.“Kamu orang kaya loh, Danu. Perkara makanan itu jangan irit-iritan nanti belum sempat kamu menikmati makan enak sudah mati. Kan, rugi,” seloroh paman lagi. Padahal mulutnya penuh nasi dan kawan-kawannya.
“Benar banget itu yang dibilang Paman, rumah megah magrong-magrong kok, makan beginian,” timpal Evi. Dia pun sama dengan paman makan dengan lahap, tapi mulutnya ngomel-ngomel.
Brak!
Mamah Atik menggebrak meja. Lalu beranjak dari duduknya.
“Kalau enggak suka enggak usah dimakan! Sini!” Mamah Atik marah diambilnya piring mereka berdua lalu di taruh ke tempat pencucian piring.
Paman dan Evi bengong pasalnya nasi mereka masih banyak, ayamnya pun belum habis dimakan.
“Pergi sana! Jangan kacaukan makan malam kami!” Usir Mamah Atik.
Mas Danu biasa saja tidak berucap sepatah kata pun. Tetap makan dengan tenang. Mamah Atik memang begitu sangat menghargai makanan kalau ada orang yang mencela makanan dia akan sangat marah.
“Danu, kok, kamu diam aja sih, Paman masih lapar,” ucap paman lirih nyaris tak terdengar. “Mas Danu jahat! Belain orang terus dari pada keluarga sendiri!” Evi merajuk dia masuk kamar dengan membanting pintunya sangat kuat. Awas aja sekali lagi begitu aku pukul tangannya. Memang ini rumah siapa kok, dia yang berlagak nyonya, banting pintu sembarangan.Astaghfirullah ... selama hidupku diuji dengan berbagai masalah aku jadi sering tidak bisa mengontrol emosi.
Ting!
[Danu, boleh minta tolong enggak? Aku diusir Keluarga suamiku boleh numpang minep barang semalam saja?]
Belum hilang rasa kesalku pada Evi ini ditambah ada pesan nyeleneh dari Maya.
[Aku otewe sekarang ya, Dan]Kembali pesan singkat itu masuk.“Siapa, Sayang? Kok bete gitu?”“Temenmu!”“Loh, kok, marah? Teman yang mana?” Mas Danu mengambil ponselnya.“Oh, biarin aja lah, kan, di sana dia punya tetangga kenapa juga musti ke sini,” ujar Mas Danu lalu mematikan ponselnya.“Sudah makan lagi nanti nasinya nangis kalau enggak dihabisin. Apa mau Mas suapin?”“Iya, aku habisin. Mas, bisa tidak kalau enggak dekat-dekat lagi sama teman kamu itu?” pintaku.“Bisa, kalau itu yang minta istriku apa pun akan aku lakukan,” jawab Mas Danu. Hatiku lega. Setidaknya meski perempuan itu mepet terus, tapi suamiku menghindar.“Perempuan tadi siang, Ta?” Mamah Atik ikutan kepo.“Iya, Mah, ini pakai kirim pesan segala minta tolong minep di sini katanya diusir suami dan keluarga suaminya.”“Kasihan sih, tapi pasti ada alasannya kenapa begitu. Danu, apa orang tuanya tidak ada di sini?”“Ada sih, Mah. Setahuku dulu waktu kecil memang asli orang kampung sebelah sini, tapi enggak tahu kalau s
Karena kejadian semalam aku lebih memilih diam rasanya hatiku masih dongkol. Mas Danu sudah berkali-kali meminta maaf padaku, aku tetap bergeming.Mas Danu bilang dia bingung harus bagaimana apa lagi si Maya menyusulnya ke Masjid. Saat lewat Masjid masih ramai orang dan lihat suamiku ada di sana.Mas Danu tidak ada maksud lain hanya murni menolongnya. Sebenarnya aku percaya pada suamiku, tapi hatiku masih dongkol jadilah aku diam saja sampai pagi ini.Mas Danu paling tidak bisa jika istrinya merajuk. Dia akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Semalam saja kuperhatikan tidurnya tidak nyenyak.Aku memang marah, tapi aku tidak akan membiarkan suamiku untuk tidur sendiri apa lagi tidur di luar itu tidak ada dalam kamus hidupku. Pagi ini pun seperti biasa aku siapkan baju kerjanya juga sarapannya aku temani.Mas Danu menyesal dan bilang tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia berjanji akan meminta pendapatku apa pun itu.“Kia, Nenek takut loh ... kalau di rumah ini ada perang d
Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar. “Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta. Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.“Dibayar, kan, Ta?”“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman
"Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap
"Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat
"Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl
“Kita bicara di dalam, Mas!” Mas Danu tanpa membantah langsung masuk ke dalam.“Kamu kemasi barangmu sekarang juga, dan pergi dari sini!” titahku pada Maya.“Hhh ... aku tidak akan pernah pergi dari sini kalau bukan Danu yang meminta. Semua ini milik Danu kamu hanya berstatus istri dan tidak bawa apa-apa ke sini jadi tidak usah berlagak Nyonya,” jawab Maya sinis dia menyilangkan ke dua tangannya di dada.“Percuma ngomong sama manusia tidak punya otak. Kita lihat saja aku pastikan kamu akan kutendang dari sini!” Kutatap matanya yang penuh amarah itu.“Maya tidak mau pergi dari sini kalau bukan kamu yang minta Mas. Jadi, lebih baik sekarang kamu suruh dia pergi dari sini.” Mas Danu yang sedang menggendong Kia langsung menghampiriku ke kamar.“Dik, dengar dulu penjelasanku. Tadi itu aku sengaja menurunkan Maya di sana karena memang dia sendiri yang minta katanya mau beli perlengkapan mandi,” jelas Mas Danu.“Aku sudah sulit percaya Mas, semenjak ada dia di sini kamu juga berubah. Sekaran
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau
Paginya saat aku baru saja membuka pintu rumah tepatnya setelah salat subuh tiba-tiba Novi datang ke tergopoh-gopoh menghampiriku.Tumben sekali dia datang sepagi ini.“Ita! Boleh aku minta tolong padamu sekali ini saja,” tanya Novi. Aku mengangguk meskipun sedikit ragu.“Ada apa, ya, Nov? Tumben sekali kamu subuh-subuh datang ke sini,” jawabku balik bertanya.“Itu, Suamiku belum ngambil uang di ATM dan kebetulan uangku juga habis. Hari ini susu anakku habis ini dia lagi nangis karena minta susu enggak aku buatin ditambah lagi listriku tokennya sudah bunyi. Kasih aku pinjam uang satu juta saja Ita, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti langsung aku ganti,” jawab Novi.“Oh, mau pinjam uang Nov? Pagi-pagi begini memang ada minimarket buka,” tanyaku lagi.“Ya, enggak, ada sih, Ta, tapi kan, setelah ini aku mau langsung ke minimarket mau beli susu sekalian mau beli token listrik. Kamu tahu kan, Ta, rumahku itu besar pemakainya banyak jadi boros sekali listriknya,” jawab Novi.“Kalau gitu
“Barusan ada kok. Cepat sekali mereka pergi. Kenapa kalau pulang tidak pamitan? Dasar manusia hutan tidak punya etika!” gerutu Mbak Wulan.“Sebentar, ya, aku lihat ke depan, barangkali dia ngobrol dengan Mas Danu dan yang lainnya," kataku seraya menghampiri suamiku yang sedang duduk di depan.Loh, kok tidak ada juga, ke mana, ya? Di sana hanya ada suaminya yang ikut ngobrol dengan Mas Danu. Apa Novi pulang mengantarkan anak-anak, ya?“Ti—dak kok, Nyah, semuanya aman terkendali, Nyonya di sana baik-baik, ya, pokoknya nanti pas pulang ke sini semuanya sudah beres dan nyonya pasti terkejut sama rumah barunya.” Aku mendengar suara Novi di teras, aku tengok rupanya dia sedang menerima telepon. Pantas saja aku cari ke mana-mana tidak ada. “Oh, yang taman depan rumah tenang saja, Nyah, itu juga sedang dikerjain sama suamiku. Pokoknya beres terkendali. Nyonya di sana jaga kesehatan, baik-baik pokoknya. Aku di sini akan menjaga amanah Nyonya,” ucap Novi lagi.Aku sedikit terkejut dengar ob
Kata Rasulullah saudara yang terdekat dengan kita adalah tetangga kita. Itu artinya kita harus bersikap baik kepada tetangga kita agar berikatan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong satu sama lain, tidak mungkin kan kita mati dikubur sendiri? Tidak mungkin juga kita dalam keadaan sakit pergi ke rumah sakit sendiri itu sebabnya kita diwajibkan selalu berbuat baik kepada orang lain terutama tetangga kita.Kalau kasusnya seperti Novi ini aku bisa apa? Dibaikin seenaknya sendiri, tidak dibaikin juga seenaknya sendiri, jadi serba salah.Jadi satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan adalah jika dia tanya aku jawab, jika tidak, ya, sudah diam saja yang penting jika, Novi memiliki kesusahan aku harus pasang badan untuk menolong walaupun dia sangat menyebalkan, tapi Novi tetangga dekatku dan juga temanku dari kecil.Aku mengamati Novi sejak tadi terus saja berbicara mengeluarkan unek-uneknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Salahku
“Nov, langit itu tidak perlu memberitahukan bahwa dirinya tinggi karena tanpa diberitahu semua orang pun sudah tahu. Begitu juga dengan kehidupan kita, tak perlu lagi kita memberitahu kebahagiaan kita, harta-harta kita, kalau memang itu ada pasti nampak, kalau memang itu benar semua orang akan tahu dengan sendirinya, Nov.” Nasihatku kepadanya.“Alah kamu itu, Ta, sok, bijak! Padahal aslinya kamu juga kepo kan, sama kehidupanku? Kamu, kan, dari kecil dulu memang sudah terbiasa di bawahku, jadi ketika kamu hidup kaya, kamu terus mengepoin aku karena merasa tersaingi, ya, kan? Jujur aja, Ta. Enggak apa-apa kok, kita kan memang sudah teman sejak kecil jadi aku tahu betul loh, gimana sifat kamu," jawab Novi lagi.“Ita, ngepoin hidup kamu? Noh, kalau menurutku sih, kebalikannya. Kamu yang selalu mengepoin hidupnya Ita, kalau Ita mah udah mode kalem, mode tidak pernah memamerkan hartanya, dan juga mode dermawan sedangkan kamu kebalikannya," sahut Wulan kesal.“Iya, deh iya, Nov, memang aku
“Sebenarnya ada acara apa sih, kalian makan-makan begini? Soalnya Mbak Fitri sama Mbak Wulan update status enggak ada captionnya, jadi, aku bingung acara apa. Lagi pula aku belum makan malam, nih jadi kami ke sini. Ita ada acara apa sih?" tanya Novi.“Acara makan-makan biasa aja, Nov, kumpul-kumpul biasa. Karena kan, sudah lama juga kita enggak kumpul-kumpul,” jawabku.“Kok, kamu kumpul-kumpul enggak ngajakin aku sih, Ta, pelit banget!" jawab Novi kesal.“Bukan pelit, Nov, tadi kita itu mau ngajakin kamu, tapi kamu kan, jalannya duluan sudah gitu kamu jatuh ke comberan masa kita mau teriak-teriak ngajakin kamu," jawabku beralasan.Sebenarnya memang tadi mau ngajakin Novi, tapi karena dia sudah kesal duluan pada kami dan acara kami juga dadakan, jadi ya, terpaksa dia terlewatkan walaupun rumahnya persis di samping rumahku.“Halah, alasan saja kamu itu, Ita, kan, ada HP. Kamu bisa loh telpon aku. Novi ke sini, ya, sebentar kita makan-makan gitu, ah dasar aja, kamu, Ta, pelit," ucap
“Iya, Mbak, aku juga sudah memaafkan. Alhamdulillah kalian mau memaafkanku," ucap Mbak Asih, dia beranjak dari duduknya, menyalami dan memeluk Mbak Fitri dan Mbak Wulan secara bergantian. Mereka pun menangis sesenggukan, ya, Tuhan, ini benar-benar melebihi hari raya Idul Fitri. Kami sungguh-sungguh dalam bermaaf-maafan.“Alhamdulillah kalau kita sudah saling memaafkan semuanya. Berarti malam ini lebih baik makan seruitnya ini kita khususkan untuk menyambut kebahagiaan kita atas hijrahnya Mbak Asih. Kita pimpin doa. Siapa ini yang memimpin doa, Mas Taufik, Mas Dayat atau Mas Danu?” sahut Mamah Atik.“Monggo, silakan Mas Danu atau Mas Dayat, kalau saya enggak bisa baca doa apalagi mendoakan bersama-sama begini, bisanya makan," canda Mas Taufik.“Saya juga jadi jamaah saja, silakan Mas Danu untuk memimpin doa," jawab Mas Danu.“Lah, gimana ini orang-orang di suruh mengimami doa makan tuh paling gampang tinggal baca doa mau makan allahumma bariklana sampai selesai. Ya, sudah baiklah ak
Tiba-tiba Mbak Asih beranjak dari duduknya dan bersujud di kaki ibu, dia menangis sejadi-jadinya sampai tidak terdengar suaranya lagi. Kami semua yang ada di sini menyaksikan adegan ini pun ikut terharu dalam suasana yang begitu menyentuh hati. Ibu mertuaku pun ikut menangis. Beliau tidak mengucapkan satu kata pun kepada Mbak Asih. Beliau hanya mengusap kepala dan bahu Mbak Asih, sesekali tangan kirinya mengusap air matanya. Mas Danu pun terlihat berkali-kali mengusap ke dua matanya. Aku yakin dia pun menahan tangis. Ini baru terjadi sepanjang aku menjadi menantu Ibu. Ini adalah kali pertamanya Mbak Asih sujud di kaki Ibu.Dulu, waktu masih sama Mas Roni, sama sekali tidak pernah sungkem. Lebaran saja hanya salaman biasa lalu pergi dengan Mas Roni ke rumah mertuanya yang lebih menyedihkan lagi adalah sebelum pergi ke rumah mertuanya dia akan membawa berbagai makanan dan meminta uang saku untuk pergi ke sana.Duhai Allah sungguh indah semua rencanaMu pada kami. Ternyata di balik ujia
"Oh, iya, Mas, baik nanti akan aku terapkan itu baca ayat kursi kemarin juga aku sudah di ruqyah kata ustaznya juga gitu hanya saja kemarin aku masih bolong-bolong tidak menerapkan itu, makanya tadi sempat kerasukan walaupun hanya sebentar," jawab Mbak Asih."Syukurlah Asih, aku tuh sebenarnya sebagai tetangga prihatin sekali dengan kamu dan juga ibumu, tapi sekali lagi aku pribadi tidak berani ikut campur masalah keluarga orang lain,” ucap Mas topik lagi.“Assalamualaikum ...." Akhirnya Mama Atik dan ibu mertuaku datang. Wajah ibu mertuaku sudah masam. Aku yakin sekali dia marah dengan Mbak Asih karena tadi sudah menge-prank lagi pergi dari rumah tanpa pamit.“Asih, ih, kamu ke rumah Ita enggak bilng-bilang sama Ibu. Kamu tahu ibu, capek nyariin kamu keliling kampung karena tadi ibu dapat laporan dari Wak Jum, bahwa kamu sedang bertemu dengan Roni di ujung gang sana benar atau tidak?” omel ibu memarahi Mbak Asih.“Iya Bu, betul tadi sore aku ketemu dengan Mas Roni tuh dikasih coklat