Beranda / Pernikahan / Wanita yang Kau Hinakan. Season 2. / BAB 2. Manta pekerja panti pijat.

Share

BAB 2. Manta pekerja panti pijat.

Penulis: Kencana Ungu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-29 20:39:08

“Iya, Bu, saya pernah bekerja selama dua tahun di tempat panti pijat khusus pijat refleksi. Lalu saya kerja jadi Art di Jakarta selama lima tahun dan terakhir saya kerja jaga toko di kota selama tiga tahun. Setelah itu saya menikah,” jelas Maya saat aku tanya adakah pengalaman kerjanya. Dia juga rapi menulis lamaran kerjanya dan menyertakan persyaratannya lengkap.

Sepertinya memang sudah berpengalaman. Berbeda dengan pegawaiku yang lain mereka hanya datang saja meminta pekerjaan secara langsung tanpa surat lamaran kerja dan kawan-kawannya.

“Baik, kalau begitu aku traning kamu dulu selama 1 bulan. Jika, kerja kamu bagus akan aku lanjut dan jika tidak, maaf terpaksa aku ganti yang lain.”

“Training? Kenapa tidak sekalian jadi pekerja tetap saja, Bu? Saya sangat membutuhkan kerjaan ini,” tawarnya. Berani sekali!

“Itu jika kamu mau? Aturan tetap harus dipenuhi kalau kamu memang sangat butuh kerjaan ini buktikan kalau kamu sungguh-sungguh.” 

“Ba—ik, Bu,” jawabnya lesu.

“Satu lagi jangan berpakaian dan dandan seperti ini. Aku tidak suka.”

“Ta—pi, dulu wa—ktu saya kerja di toko harus berpakaian dan dandan menarik Bu, agar pembeli tertarik,” katanya lagi beralasan.

“Itu dulu. Aturan di tempatmu dulu dengan di sini beda. Kalau tidak mau ya tidak apa-apa aku tidak memaksa.”

“Ba—ik Bu, saya mau.”

“Bagus, kamu boleh kerja sekarang. Besok datang pagi jam 7.00 WIB harus sudah di sini dan pulang jam 5 sore. Paham?”

“Pa—ham, Bu. Gajinya berapa, Bu?"

"Gajinya per bulan 1,5 juta. Uang makan 10 ribu per hari." Maya kaget mendengar penjelasanku.

"A—apa tidak bisa naik lagi, Bu?" tanyanya tanpa sungkan.

"Bisa naik, aku lihat seperti apa kerjanya. Oh, ya hampir lupa kalau training gajinya 1 juta rupiah plus uang makan 10 ribu." Maya nambah melongo mendengarnya.

Di sini sistem gaji berbeda antara satu dengan yang lain seperti Joko dia yang menemani dari awal tentu berbeda dengan Karim, Opik, ataupun Edi.

Aku mempersilakan Maya untuk mulai bekerja. Kerja setengah hari dulu. Dari pada dia balik pulang kan, kasihan. Semoga saja kerjanya bagus.

“Sayang? Syukurlah kamu sudah datang aku kira belum ada kamu, tapi kok, ada Maya di depan? Enggk besok aja dia kerjanya?" ucap Mas Danu.

“Sudah dari sejam yang lalu, Mas. Memang Karim enggak bilang? Di depan juga ada Mamah Atik sama Kia loh,” jawabku heran.

“Karim ada di pojok sana lagi layanin pembeli. Mamah Atik enggak ada, kok.” Mas Danu terlihat sedikit berpikir.

“Oh, mungkin lagi keluar cari makanan. Gimana Mas belanjanya lancar?”

“Alhamdulillah lancar dua toko kita sudah terisi lagi hanya saja harganya naik.”

“Yah, mau gimana lagi, Mas. Sekarang memang apa-apa mahal.”

Aku dan Mas Danu makan bersama memang tadi aku pesan minta dibelikan nasi Padang di restoran Begadang yang sangat terkenal di kota. Rasanya membuat siapa saja yang makan akan balik untuk beli lagi.

“Ini map apa, Dik?” Mas Danu membolak-balik map abu-abu yang sudah kusam. Kurasa Maya tidak beli. 

“Milik Maya, itu di dalamnya ada surat lamaran kerja dan yang lainnya.”

Mendengar penjelasanku Mas Danu mengerutkan keningnya.

“Kenapa pakai begini segala? Karim, Joko, Edi, Opik enggak pakai beginian,” tanya Mas Danu heran.

“Enggak apa-apa malah bagus kita juga tidak tahu sebenarnya dia itu siapa dan bagaimana sifatnya. Kalau yang lain kan, tetangga kita semua teman akrab kamu, Mas.”

“Tapi, Maya, juga teman Mamas, Dik.”

“Teman dulu waktu kecil. Kita kan, enggak tahu kesehariannya. Kok, kamu terkesan belain dia ya, Mas?” 

“Astghfirull ... bukan gitu Dik, Mas hanya heran saja. Sudah jangan ngambek gitu. Maaf ya?”

“Iya, jangan begitu lagi kalau temanmu mau kerja di sini harus ikuti aturanku, Mas.”

“Baik, Bos!” jawab Mas Danu seraya menyuapkan nasi ke mulutku.

“Satu lagi, aku akan setiap hari datang ke toko untuk mengontrol semuanya.”

“Ha-ha boleh, datanglah sesuka hatimu justru Mas malah senang kalau ada kamu. Kerja jadi lebih semangat,” kelakar Mas Danu.

“Aku tahu kamu pasti cemburu kan, karena ada Maya. Mas senang kalau kamu cemburu,” katanya lagi. 

“Apaan sih, Mas. Enggak kok, masa aku cemburu dengan perempuan seperti itu?” elakku.

Walaupun sebenarnya ada rasa itu di hatiku. Sekuat-kuatnya iman dan sesetia-setianya laki-laki kalau setiap hari disuguhi pemandangan dan berinteraksi dengan lawan jenis lama-lama juga akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apa lagi kalau perempuannya seperti Maya. Witing tresno jalaran Seko kulino, kata pepatah Jawa kan, begitu. Ih, amit-amit na’uzhubillah kenapa aku mikir sejauh ini si? 

“Dik, apa sih, malah bengong gitu? Padahal Mas sudah senang loh, kalau dicemburuin sama kamu,” ucap Mas Danu lagi.

“Mas cemburu itu kalau dia lebih baik dari aku dalam segala hal dan  lebih soleha dari aku.”

“Em, iya, deh, iya! Istri Mamas memang terbaik."

Kami bercengkrama membicarakan banyak hal termasuk hal-hal konyol. Mas Danu akan setia mendengarkan. Aku juga menceritakan ulah Evi dan paman. Mas Danu tertawa terpingkal-pingkal karena ulah Mamah Atik dan ibu mertuaku yang dengan sengaja mengerjai mereka.

“Permisi, Bos! Ini ada pesanan banyak dari warung Sutris minta dikirim sekarang juga, apa masih bisa? Sekarang sudah mau tutup,” ucap Joko.

“Kirim aja, Jok. Alhamdulillah rezeki kita. Nanti kalian aku hitung lembur,” jawab Mas Danu. Joko tersenyum girang seraya berlalu ke depan.

“Kita bantu packing yuk, Dik, biar tidak terlalu lama kasihan mereka juga punya kelurga pasti anak istrinya sudah menunggu di rumah.” Aku mengiyakan ajakan Mas Danu. Ah, suamiku memang sebaik ini. Tidak heran jika banyak orang yang menyukainya karena kebaikannya.

Kulihat Maya hanya diam saja memperhatikan padahal dia juga harusnya sibuk membantu Joko dan Karim menyiapkan pesanan konsumen. Dia malah asyik menopang dagu melihat orang sibuk kolar-kilir.

“Mbak Maya! Kok malah ngelamun gitu? Bantu cepetan ini buru-buru mau dikirim keburu malam!” titahku. Maya gelagapan mendengarkan bentakanku.

“Saya bingung mau ngerjain yang mana. Semuanya berat, Bu saya tidak bisa angkat berat saya kan, perempuan,” elaknya beralasan.

Aku sungguh kesal mendengar alasannya. 

“Kamu niat kerja di toko atau tidak? Kalau kerja di toko sembako ya, begini. Lihat itu sudah ditempel daftar belanjaanya sama Joko. Kamu bisa kerjakan yang tidak berat. Alasan saja! Kalau kamu malas-malasan bisa aku pecat!” 

“Ja—ngan pecat saya, Bu. Ba—aik saya akan kerjakan.” Buru-buru Maya ikut nimbrung menyiapkan pesan pelanggan.

“Galak kali Bosku ini, aku jadi takut,” ucap Mamah Atik.

“Astaghfirullah ... Mamah ngagetin aja, ih! Mamah dari mana kok, tadi kata Mas Danu enggak ada?”

“Di atas tidur sama Kia,” jawab Mamah Atik terkekeh.

“Ya, udah, makan dulu, Mah. Sini biar Kia sama aku. Itu tadi Mas Danu beli masakan Padang favorit kita. Aku siapkan ya, Mah.”

“Enggak usah, Ta. Mamah kenyang. Nanti aja lah, kalau mau makan di rumah aja. Sana bantu suamimu biar Kia di sini aja sama Mamah.”

“Beneran?” tanyaku meyakinkan, kukedip-kedipkan mata genitku.

“Beneerr ... Mamah masih kenyang. Sudah sana!"

~k~u🌸🌸🌸

“Mas minta uang dong, aku mau beli kuota, tapi tidak ada uang,” rengek Evi tepat saat kami baru saja melangkah masuk rumah. 

“Benar-benar ya, kamu! Enggak sopan! Enggak tahu orang capek pulang kerja?!” bentak Mamah Atik kepala Evi tidak luput dari jurus toyoran maut.

“Eh, sembarangan kamu! Main toyor kepala orang sembarang!” Paman tidak tinggal diam dia balik marahin Mamah Atik.

“Terserah aku, kalau enggak suka ini kepala dipakai untuk mikir! Sudah tua otak kok, di dengkul!” jawab Mamah Atik. Paman langsung mengekeret dibentak Mamah Atik.

“Mau duit itu kerja Vi, bukan nodong begitu. Lagi pula rumah ini sudah dipasang WI-FI jadi, enggak usah repot-repot beli kuota lagi,” jawabku ketus.

“Aku minta uang sama kakakku sendiri kok, bukan sama kamu!” sungut Evi.

“Benar kata Ita, tidak perlu beli kuota lagi. Kamu kalau mau uang bisa kerja. Nanti Mas kasih kerjaan.” Mendengar jawaban Mas Danu Evi mencebik kesal kemudia berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.

“Capek ya, Mas. Dulu hidup susah kita dihina dicaci dikatain benalu. Sekarang sudah punya segalanya masih saja ada yang mau numpang hidup sama kita,” keluhku.

“Sabar, Sayang. Ini semuanya ujian. Kekayaan dan kesuksesan kita ujian pun dulu sewaktu kita miski juga ujian. Ingat loh, Allah tidak akan pernah memberi ujian dibatas kemampuan hambanya. Kalau Allah kasih ini dan itu ke kita berarti memang kita kuat jalaninya,” terang Mas Danu. Aku mengangguk saja, memang kenyataannya begitu. Semoga saja kami kuat dan bisa melalui ini semua.

“Makanannya hanya ini, Nu? Orang kaya loh, masa pelit banget!” ejek paman.

Malam ini aku dan mamah Atik memang hanya menghangatkan sayur gulai nangka, rendang daging sapi, sambal ijo, dan ayam goreng sisa tadi siang.

“Alhamdulillah Man, ini rezeki kita malam ini,” jawab Mas Danu santai.

“Kamu orang kaya loh, Danu. Perkara makanan itu jangan irit-iritan nanti belum sempat kamu menikmati makan enak sudah mati. Kan, rugi,” seloroh paman lagi. Padahal mulutnya penuh  nasi dan kawan-kawannya.

“Benar banget itu yang dibilang Paman, rumah megah magrong-magrong kok, makan beginian,” timpal Evi. Dia pun sama dengan paman makan dengan lahap, tapi mulutnya ngomel-ngomel.

Brak!

Mamah Atik menggebrak meja. Lalu beranjak dari duduknya.

“Kalau enggak suka enggak usah dimakan! Sini!” Mamah Atik marah diambilnya piring mereka berdua lalu di taruh ke tempat pencucian piring.

Paman dan Evi bengong pasalnya nasi mereka masih banyak, ayamnya pun belum habis dimakan.

“Pergi sana! Jangan kacaukan makan malam kami!” Usir Mamah Atik.

Mas Danu biasa saja tidak berucap sepatah kata pun. Tetap makan dengan tenang. Mamah Atik memang begitu sangat menghargai makanan kalau ada orang yang mencela makanan dia akan sangat marah.

“Danu, kok, kamu diam aja sih, Paman masih lapar,” ucap paman lirih nyaris tak terdengar.

“Mas Danu jahat! Belain orang terus dari pada keluarga sendiri!” Evi merajuk dia masuk kamar dengan membanting pintunya sangat kuat. Awas aja sekali lagi begitu aku pukul tangannya. Memang ini rumah siapa kok, dia yang berlagak nyonya, banting pintu sembarangan.

Astaghfirullah ... selama hidupku diuji dengan berbagai masalah aku jadi sering tidak bisa mengontrol emosi.

Ting!

[Danu, boleh minta tolong enggak? Aku diusir Keluarga suamiku boleh numpang minep barang semalam saja?]

Belum hilang rasa kesalku pada Evi ini ditambah ada pesan nyeleneh dari Maya.

Bab terkait

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 3. Pesan dari Maya.

    [Aku otewe sekarang ya, Dan]Kembali pesan singkat itu masuk.“Siapa, Sayang? Kok bete gitu?”“Temenmu!”“Loh, kok, marah? Teman yang mana?” Mas Danu mengambil ponselnya.“Oh, biarin aja lah, kan, di sana dia punya tetangga kenapa juga musti ke sini,” ujar Mas Danu lalu mematikan ponselnya.“Sudah makan lagi nanti nasinya nangis kalau enggak dihabisin. Apa mau Mas suapin?”“Iya, aku habisin. Mas, bisa tidak kalau enggak dekat-dekat lagi sama teman kamu itu?” pintaku.“Bisa, kalau itu yang minta istriku apa pun akan aku lakukan,” jawab Mas Danu. Hatiku lega. Setidaknya meski perempuan itu mepet terus, tapi suamiku menghindar.“Perempuan tadi siang, Ta?” Mamah Atik ikutan kepo.“Iya, Mah, ini pakai kirim pesan segala minta tolong minep di sini katanya diusir suami dan keluarga suaminya.”“Kasihan sih, tapi pasti ada alasannya kenapa begitu. Danu, apa orang tuanya tidak ada di sini?”“Ada sih, Mah. Setahuku dulu waktu kecil memang asli orang kampung sebelah sini, tapi enggak tahu kalau s

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-29
  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 4. Para benalu.

    Karena kejadian semalam aku lebih memilih diam rasanya hatiku masih dongkol. Mas Danu sudah berkali-kali meminta maaf padaku, aku tetap bergeming.Mas Danu bilang dia bingung harus bagaimana apa lagi si Maya menyusulnya ke Masjid. Saat lewat Masjid masih ramai orang dan lihat suamiku ada di sana.Mas Danu tidak ada maksud lain hanya murni menolongnya. Sebenarnya aku percaya pada suamiku, tapi hatiku masih dongkol jadilah aku diam saja sampai pagi ini.Mas Danu paling tidak bisa jika istrinya merajuk. Dia akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Semalam saja kuperhatikan tidurnya tidak nyenyak.Aku memang marah, tapi aku tidak akan membiarkan suamiku untuk tidur sendiri apa lagi tidur di luar itu tidak ada dalam kamus hidupku. Pagi ini pun seperti biasa aku siapkan baju kerjanya juga sarapannya aku temani.Mas Danu menyesal dan bilang tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia berjanji akan meminta pendapatku apa pun itu.“Kia, Nenek takut loh ... kalau di rumah ini ada perang d

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-29
  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 5. Tetangga baru.

    Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar. “Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta. Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.“Dibayar, kan, Ta?”“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-29
  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   BAB 6. Benalu harus dikasih pelajaran.

    "Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-13
  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   BAB 7. Dikira pembantu.

    Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-13
  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   BAB 8. Tingkah absurd para benalu.

    "Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-13
  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 9. Sindiran tetangga baru.

    "Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-13
  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 10. Mengusir Maya.

    “Kita bicara di dalam, Mas!” Mas Danu tanpa membantah langsung masuk ke dalam.“Kamu kemasi barangmu sekarang juga, dan pergi dari sini!” titahku pada Maya.“Hhh ... aku tidak akan pernah pergi dari sini kalau bukan Danu yang meminta. Semua ini milik Danu kamu hanya berstatus istri dan tidak bawa apa-apa ke sini jadi tidak usah berlagak Nyonya,” jawab Maya sinis dia menyilangkan ke dua tangannya di dada.“Percuma ngomong sama manusia tidak punya otak. Kita lihat saja aku pastikan kamu akan kutendang dari sini!” Kutatap matanya yang penuh amarah itu.“Maya tidak mau pergi dari sini kalau bukan kamu yang minta Mas. Jadi, lebih baik sekarang kamu suruh dia pergi dari sini.” Mas Danu yang sedang menggendong Kia langsung menghampiriku ke kamar.“Dik, dengar dulu penjelasanku. Tadi itu aku sengaja menurunkan Maya di sana karena memang dia sendiri yang minta katanya mau beli perlengkapan mandi,” jelas Mas Danu.“Aku sudah sulit percaya Mas, semenjak ada dia di sini kamu juga berubah. Sekaran

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-16

Bab terbaru

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 150. Semoga akhir.

    "Ya, Allah, Asih memang benar-benar, ya, bikin orang tua khawatir! Semoga saja Ibumu baik-baik saja mau menerima maafnya Asih."“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ekspresi ibunya Asih pas tahu Asih sudah bertaubat,” sahut Mbak Wulan. “Yang pasti pertama kalinya adalah dia tidak percaya. Terus yang kedua bersyukur banget dan yang ketiga pasti Asih akan dicium-cium," kata Mbak Fitri.“Iya, semoga saja begitu. Ibunya nanti pasti akan terkejut sekali apalagi Asih sudah nge-prank sampai malam ini tidak pulang-pulang." “Iya, ya, sudah kita tinggalin dulu ya, Mbak, masakannya. Kita salat isya jamaah,” ucapku lagi kepada Mbak Fitri dan Mbak Wulan.Kami bergantian mengambil air wudu lalu melaksanakan salat Isya berjamaah. Ya, Tuhan, nikmat mana lagi yang pantas aku dustakan? Aku dikelilingi orang-orang baik dan juga memiliki tetangga yang baik, ipar yang baik, mertua yang baik, semoga tali persaudaraan kami sampai ke jannah-Mu.Setelah selesai salat Isya, kami menyaksikan Mbak Asih ke

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 149. Pertarungan jiwa.

    Sebelum wudu aku bergegas menghampiri Mbak Wulan dan juga Mbak Fitri yang ternyata sedang sibuk meracik lalapan untuk diletakkan di dalam nampan panjang.“Mbak Fitri, Mbak Wulan, maaf, ya, aku jadi cuekin kalian berdua, loh. Bukan maksud hati mau mencuekin kalian berdua, cuman tadi Mbak Asih banyak curhat enggak enak juga kalau ditinggal. Maaf banget ya, Mbak,” ucapku tulus.“Tidak apa-apa, Ta. Kami happy-happy aja kok! Di sini enggak usah merasa dicuekin. Lagi pula kan, tuan rumahnya bukan cuma kamu. Ada ibumu, ada mama mertua kamu. Kami tadi asik ngobrol, tapi karena kamu memang kebetulan lama makanya mereka nyusul ke sana. Semua sudah selesai, kita tinggal bikin sambal terasi aja, bikinnya nanti kalau bapak-bapak sudah pada pulang. Kalau bikin sekarang nanti enggak seger," jawab Mbak Wulan.“Iya, betul! Apa yang dibilang Fitri. Kami enjoy aja kok, lagi pula mungkin Mbak Asih memang lagi merasa ingin didengarkan, tapi sepertinya happy ending, ya? Sebab tadi kelihatan dari sini kamu

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 148. Bahagia.

    "Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Ta. Kamu sungguh berhati mulia. Aku menyesal sudah menyia-nyiakanmu selama ini."“Sama-sama, Mbak."“Oh, ya, Ita, nanti juga aku mau belajar ngaji Tahsin ikut kamu pengajian di rumah Ustazah, boleh?"“Boleh, pokoknya boleh semua kalau itu untuk kebaikan, Mbak Asih," jawabku semangat.“Sekali lagi, terima kasih atas kesabaranmu, aku jadi bisa begini. Karena kesabaran ibu dan doa ibu, aku jadi bisa memperbaiki diri seperti ini. Aku akan buktikan ke kamu dan orang-orang yang sudah menghinaku bahwa aku bisa jadi lebih baik lagi dari sebelumnya."“Nah, gitu dong, Mbak, semangat pokoknya! Mbak Asih harus tetap semangat dan istiqomah, bagaimana pun nanti rintangan dan ujiannya. Aku yakin, Mbak Asih, bisa karena aku tahu Mbak Asih ini Wonder Woman."“Wonder Woman sudah kayak lagunya Mulan Jameela aja. Makasih banyak, ya, adikku yang cantik. Alhamdulillah aku malam ini bahagia sekali, Ita."“Sama-sama, Mbakku yang cantik. Aku pun bahagia," jawabku.Kami

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 147. Awal yang baik.

    Sejatinya manusia itu memang berproses, dari yang tidak tahu apa-apa hingga tahu segalanya.Itulah sebabnya pendidikan sangat penting untuk kehidupan kita baik itu pendidikan agama, pendidikan di bangku sekolahan, ataupun pendidikan dari lingkungan sekitar. Itu semua yang akan menyebabkan kita jadi lebih baik, dewasa, dan bisa menyikapi segala sesuatu dengan adil sesuai porsinya.Aku percaya memang semuanya butuh proses, begitupun dengan Mbak Asih. Siapa yang akan menyangka dengan tiba-tiba di senja ini penuh dengan kejutan. Dia menyadari semua kesalahannya, dia menyadari semua kekhilafannya.Senja bahagia bagiku dan keluargaku, meskipun masih banyak kerikil yang menghalangi jalan hidup kami di depan. Salah satunya adalah teror yang ditujukan untuk keluarga kecilku. Tapi, itu semua tidak berarti apa-apa karena aku malam ini sungguh bahagia dengan perubahan Mbak Asih.Terima kasih ya, Allah ... Engkau telah kabulkan doa kami. Terima kasih ya, Allah, satu demi satu kehidupan yang aku j

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 146. Pengakuan Mbak Asih.

    Aku tersenyum menanggapi curhatan Mbak Asih. Dia memang benar-benar luar biasa bisa mengendalikan emosinya saat bertemu dengan orang yang dicintainya sekaligus orang yang membuat hidupnya berantakan dan hancur.“Alhamdulillah ... semoga Mbak Asih tetap istiqomah pada keputusan, Mbak Asih. Mbak Asih tidak goyah lagi. Aku doakan semoga suatu hari nanti akan dapat jodoh yang jauh lebih baik dari Mas Roni. Kalau Ibu tahu ini pasti Ibu senang banget, Mbak, nanti aku kasih tahu Ibu, ya?” ucapku.“Jangan, Ta, jangan dikasih tahu ibu, biar aku saja yang bilang sekaligus aku meminta maaf pada ibu,” jawab Mbak Asih.“Oh, gitu, Mbak. Ya, sudah baiklah ... semangat ya, Mbak, untuk hidup yang lebih baik lagi. Intinya aku hari ini senang sekali bisa melihat Mbak Asih begini. Oh, ya, lusa kita ada ruqyah lagi, Mbak Asih, mau kan, di ruqyah lagi?” tanyaku.“Mau, dong, Ta! Setelah ruqyah dua kali kemarin aku memang merasa lebih nyaman dan tenang gitu. Jadi, kalau besok aku di ruqyah lagi aku senang. T

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 145. Cerita Mbak Asih.

    “Mbak Asih, mau ikut masak-masak atau tetap di sini?” tanyaku padannya.“Aku, mau di sini saja, Ta, sambil menunggu waktu Isya Aku ingin ngaji,” jawab Mbak Asih.“Alhamdulillah ... aku senang sekali. Mbak Asih bisa begini. Akhirnya doa-doa tulus kami untuk Mbak Asih dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Kalau boleh tahu memang tadi Mbak Asih ketemu dengan Mas Roni, apa yang dibicarakan, kok sampai Mbak Asih bisa berubah sedrastis ini?” tanyaku padanya.Aku penasaran sekali karena setelah pertemuan tadi dengan Mas Roni Mbak Asih tiba-tiba saja langsung berubah. Aku percaya tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah dan Allah itu maha membolak-balikkan hati hambanya itu sebabnya Mbak Asih bisa berubah seperti ini.Aku hanya penasaran saja apa yang katakan dengan Mas Roni sampai membuatnya tersadar bahwa yang dilakukannya selama ini adalah salah.“Tadi itu, Ta, aku dan Mas Roni berantem hebat,” jawab Mbak Asih.“Berantem gimana maksudnya? Mas Roni tidak main fisik, kan, Mbak? Dia tidak

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 144. Semoga istiqomah.

    “Iya, ayo kita salat dulu, Ta! Nanti keburu waktu maghribnya habis!” ajak Mbak Asih.Aku, Mbak Wulan, Mbak Fitri, saling berpandangan heran melihat tingkah Mbak Asih yang tiba-tiba bisa senormal ini. Ya, Allah, semoga saja Mbak Asih tidak akan kumat lagi dan benar-benar menjadi orang normal seperti sebelumnya.“Ini coklat dari mana, Ta?" tanya Mama Atik.“Mbak Asih yang bawa. Itu katanya dikasih Mas Roni. Tadi mereka habis ketemuan di ujung gang sana.”“Ya, Allah, ketemuan sama istri cuma dikasih coklat!?” Mamah Atik pun heran dengan tingkah Mas Roni.“Iya, gitulah, Mah, namanya juga Mas Roni. Ya, sudah, aku salat dulu minta tolong itu kue cubitnya, ya, Mah? bentar lagi mateng.”“Iya, ya, sudah sana kalian salat dulu.”selesai salat aku bermunajat pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas segala nikmat yang telah diberikan padaku dan keluargaku hari ini. Semoga apa yang kami lakukan hari ini jika terdapat banyak kekhilafan Allah yang mengampuni dosa-dosa kami dan apabila terdapat banyak ke

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.    Bab 143. Mbak Asih sadar.

    "Ada apa, ya, Guccinya bisa jatuh sendiri, Ta?” tanya Mbak Wulan..“Setahu, aku, Mbak, biasanya sih, kesenggol kucing. Dia itu kan, punya kucing kecil. Dia tuh suka lari sana, lari sini dan suka merobohkan benda-benda gitu, tidak sengaja sih,” jawabku beralasan.“Ya, sudah enggak usah di perhatikan lebih baik kita sekarang masak sebentar lagi Magrib dan suami-suami kita pasti akan pulang," imbuhku.Kami menyiapkan bahan-bahan yang akan kami masak setelah Maghrib, meski sebenarnya hatiku gelisah karena memikirkan Gucci yang jatuh tadi, tapi aku berusaha bersikap biasa saja agar tetanggaku tidak mengetahui masalah yang kami hadapi saat ini.“Ita ... assalamualaikum lihat nih aku dapat coklat,” sapa Mbak Asih, dia masuk dari pintu samping.”“Coklat dari mana, Mbak, banyak sekali?” jawabku. Mbak Asih masih menenteng plastik berlogo minimarket terkenal seantero negeri ini.“Dapat, dari Mas Roni. Tadi aku ketemuan sama dia di ujung gang sana,” jawab Mbak Asih. Berarti benar apa yang diceri

  • Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.   Bab 142. Gucci.

    “Wah, boleh itu nanti habis Maghrib. Kalu kita masak-masaknya sekarang kan, ini sudah mau Maghrib lebih baik kita persiapan untuk salat dulu.”Tak lama berselang Mbak Wulan dan Mbak Fitri datang.“Waalaikumsalam ... alhamdulillah ada tamu jauh silakan Mbak Fitri, Mbak Wulan, masuk. Ayo, kita langsung ke ruang tengah saja!” ajakku pada kedua temanku. Aku bahagia sekali kalau ada tamu yang datang ke rumah.“Masya Allah ... Ita, Mbak benar-benar baru kali ini masuk rumah kamu. Waktu pengajian itu kan, tidak sempat datang yang datang suami. Masya Allah rumahmu bagus sekali, ya. Doakan Mbak Fitri biar bisa punya juga rumah begini, ya, walaupun tidak sebagus punya kamu setidaknya mirip-mirip sedikit lah, Mbak seneng loh kalau main di rumah orang kaya, tapi orang kayanya baik hati,” ucap Mbak Fitri.“Alhamdulillah Mbak ... ini semua berkat doa orang tua dan kegigihan kerja keras suamiku. Mari silakan, aku ambilin minum dulu ya, Mbak Wulan sama Mbak Fitri mau minum apa, nih?”“Ya, Allah, sera

DMCA.com Protection Status