Share

Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.
Wanita yang Kau Hinakan. Season 2.
Penulis: Kencana Ungu

Bab 1. Siapa wanita itu?

Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.

Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.

Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko. 

Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.

‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.

Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.

Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu akan terus mentransfer pahala untuk diri kita sendiri. Kita tidak tahu bukan kebaikan kita yang mana yang akan mengantarkan kita masuk surga? Itulah kenapa selalu tertanam dalam hatiku sebuah konsep perjalanan hidup untuk selalu menebar kebaikan di mana pun dan dengan siapa pun.

Baik bukan berarti kita bodoh untuk tidak melihat cela dan keburukan orang lain. Jika kita diam saja itu namanya kita bunuh diri. Aku akan selalu waspada pada mereka yang selama ini selalu menganggapku bodoh dan mereka yang tidak tahu terima kasih.

Allah saja jika kita selalu bersyukur pada setiap keadaan akan menambah nikmat lebih banyak lagi. Begitu pun harusnya sesama manusia. Jika kita selalu menghargai dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang maka kita pun akan senang dan akan selalu berusaha untuk memberi lagi. Bukan bermaksud minta pujian.

“Kenapa, Nak?” Mamah Atik menghampiriku dan memberiku segelas jus Buah naga.

“Ada yang mengganjal di hati, Mah. Nanti pasti aku cerita sama Mamah. Oh, iya, ke mana Paman dan juga Evi?” tanyaku penasaran. Tadi suara mereka masih terdengar lantang membicarakan apa saja yang mereka lihat di rumahku. Kok, ini tiba-tiba adem ayem.

“Mereka Mamah suruh beres-beres kebun belakang yang berbatasan dengan rumah Wak Batak. Biar olahraga, Ta. Jangan maunya enak-enakan di sini,” jawab Mamah Atik seraya tertawa geli.

“Ibu sudah pulang, Mah?”

“Belum, itu ikut ke kebun mandorin pamannya Danu.”

Duh, Mamah Atik dan ibu sengaja sekali mengerjai orang.

“Jusnya di minum, Mamah mau ke kebun, Kia biar sama Mamah.” 

“Iya, Mah, makasih ya, ini aku bersihin ikan untuk lauk kita makan malam nanti.”

Ting!

Ada pesan masuk lagi ke ponsel Mas Danu. Mas Danu memang tidak telaten bawa HP apa lagi ada Joko yang mengahandle semuanya jadilah konsumen jika perlu  apa-apa seringnya ke Joko.

[Yakin, enggak mau pertimbangin omongan, Paman?] 

Pesan masuk disertai  foto lagi di mana Mas Danu memegang pundak wanita itu seraya tersenyum. Wanita itu rambutnya panjang sayangnya membelakangi kamera lagi.

[Cukup jelas kan, Danu?] Kata paman lagi.

Tak aku balas biar saja biar paman Mas Danu malah makin penasaran sendiri.

Siapa wanita berbaju orange itu. Mas Danu selama ini jujur padaku. Mungkinkah dia menyukai wanita lain selain aku? Mas Danu tipe suami yang sangat terbuka pada istri apa pun akan dia bicarakan padaku. Lalu foto tadi? Ah, rasanya sulit di percaya.

Mungkinkah jalan Mas Danu berbelok arah, tapi apa alasannya. Bukankah selama ini aku sudah mendampinginya sebagai istri yang baik.

Kuputuskan untuk ikut ke kebun belakang, aku penasaran sekali dengan mereka.

“Kamu bisa kerja enggak? Dari tadi main HP saja! Kalau enggak bersih ini parit bisa banjir turun hujan nanti!” bentak ibu mertuaku.

“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.

“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.

“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.

“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.

“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.

“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh. 

“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.

Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.

[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]

Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.

“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun hujan!” bentak ibu lagi.

Paman hanya manut saja dia mengayunkan cangkul dengan ogah-ogahan.

“Vi, setelah ini daun singkongnya disiangi dan ditumbuk. Setelahnya biarin aja nanti aku yang masak,” titahku.

Evi memaju mundurkan bibirnya tidak terima.

“Sekalian cabenya yang di ujung sana!” Tunjukku.

“Bu, Mungkin tidak kalau Mas Danu selingkuh?” tanyaku pada ibu mertua pasalnya dia pun tahu persis bagaimana sifat Mas Danu.

“Enggak lah, Ta. Kamu jangan bicara yang bukan-bukan. Ibu tahu Danu sifatnya bagaimana,” jawab ibu sambil cari capung sama Kia.

“Hati manusia tidak ada yang tahu, Nak. Jadi, kamu do’akan yang baik-baik untuk suamimu. Semakin tinggi pohon semakin kencang tertiup angin.” Mamah Atik ikut menasihatiku.

“Kenapa kamu tanya begitu, Ta? Adakah Danu selingkuh?” tanya ibu suaranya lumayan kencang hingga membuat Paman berhenti sejenak karena mendengar  suara ibu.

“Namanya juga laki-laki normal. Wajahnya rupawan, harta banyak. Sah-sah saja kalau beristri lebih dari satu!” sahut paman.

Sebenarnya hatiku kesal, tapi aku tetap bertahan untuk diam saja dulu.

“Jangan ngawur!” Mamah Atik memukul pundak  paman.

“Itulah kenapa kamu tidak dikasih harta banyak. Bisa-bisa kamu malah menyalah gunakan harta itu,” teriak ibu.

“Evi sudah belum cepat pulang dan tumbuk dulu itu daun singkongnya!” teriak Ibu.

Evi menurut lalu mengekor ibu masuk ke dalam.

“Apa Danu ada tingkahnya yang buat kamu tidak nyaman, Nak?” cecar Mamah Atik.

“Ini, Mah.” Kuberikan ponsel Mas Danu pada Mamah Atik biar beliau yang baca sendiri.

“Huuh, bikin tambah kesal ajah! Enggak usah dipikirin itu bisa saja akal-akalan pamannya Danu yang gendeng itu.” Mamah Atik mengembalikan ponselnya padaku.

Kami tinggalkan masuk paman Mas Danu. Di dapur sudah ada Evi yang sedang menumbuk daun singkong.

“Vi, kalau sudah beres numbuk kamu uleg bumbu ya, biar aku yang masak,” titahku. Evi mencebik kesal.

~k~u 🌸🌸🌸

“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.

Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.

“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.

“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”

“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.” 

“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.

“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.

“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”

“Namanya Maya, dia teman sekolah  Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya. 

Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.

“Karena Mas kasihan makanya Mas sering beri sedekah Jum’at  dan setiap hari Jumat itu dia datang. Kadang dengan suaminya kadang sendiri.”

“Sudah berapa lama, Mas?

“Hampir tiga bulan ... tapi, sudah dua Jum’at ini dia datang sendirian katanya lagi proses perceraian dengan suaminya.” Meski Mas Danu bercerita tanpa beban dan juga terlihat jujur entah kenapa aku merasakan hal lain.

“Em ... itu, Dik, dia mau minta kerjaan sama kita. Di toko. Apa kamu kasih izin?” tanya Mas Danu ragu.

“Kalau aku tidak kasih izin gimana?”

“Kasihan, Dik, kalau tidak dikasih kerjaan. Anaknya ada dua masih kecil-kecil mana sebentar lagi tidak ada suami.”

“Kok, Mamas kayaknya peduli banget ya, sama dia siapa tadi namanya?” 

“Maya, Dik, namanya Maya,” jawab Mas Danu semangat.

“Akan aku pikirkan. Sekarang aku ngantuk mau tidur!” jawabku ketus.

“Dik, jangan marah. Mas, hanya kasihan padanya tidak lebih,” ujar Mas Danu lagi.  Aku diam saja.

***

Setelah aku berdiskusi dengan Mamah Atik kami memutuskan untuk mentraining teman Mas Danu terlebih dahulu. Kalau kerjanya bagus bisa lanjut kalau tidak maka akan aku jadikan Art saja di rumahku. Lagi pula kasihan kalau memang keadaannya benar seperti yang diceritakan Mas Danu.

Gegas kukirim pesan pada Mas Danu kalau temannya akan aku wawancarai hari ini juga selepas Zuhur.

“Paman, jatah bertamu Paman tinggal dua hari lagi, aku harap paman bisa tahu diri,” kataku mengingatkan.

Pasalnya paman sudah seperti orang yang paling berjasa pada kehidupan Mas Danu. Beliau keliling kampung dengan banyak cerita ini dan itu. Bu RT yang mengadu pada Mamah Atik.

“Loh, aku dianggap bertamu, ya? Bukan keluarga?” tanyanya terkejut.

“Tentu saja! Kalau Paman dan Evi dalam kurun waktu tiga hari tidak mau pulang berarti bukan tamu, itu artinya kalian harus tahu diri membantu ini dan itu di rumah ini,” tegasku.

“Enggak bisa begitu, Mbak! Aku bukan pembantu!” bentak Evi.

“Terserah kamu saja, Vi. Mau ngomong sampai berbusa keputusan anakku tidak akan pernah bisa diganggu gugat,” bela Mamah Atik padaku.

“Aku mau pergi sebentar, nanti jika ada yang datang meminta sumbangan atau yang lain dari desa ini Paman bilang saja suruh kembali nanti sore.”

Paman mengiyakan saja dan kembali sibuk nonton TV sedang Evi sibuk dengan ponselnya cekrek sana cekrek sini dengan berbagai pose.

Sampai toko ternyata wanita yang bernama Maya sudah menungguku. Mas Danu sedang tidak ada kata Karim ikut belanja ke kota bersama Joko. 

Seperti di foto dia menggunakan baju orange mungkin benar dia bukan orang punya makanya memakai baju yang sama.

“Silakan, mau belanja apa, Bu?” ucapnya padaku ramah. Tapi ada yang tidak aku senangi dandannya terlalu menor seperti artis panggung kausnya juga berleher V dengan belahan dada yang rendah.

“Tidak ada yang ingin aku beli. Aku mau mewawancarai Mbak. Silakan masuk ke dalam,” jawabku santai. Mamah Atik malah tertawa.

“Sa—ya, Bu?” tanyanya memastikan.

“Iya, mau kerja tidak?” Meski bingung akhirnya dia mengikutiku masuk ke dalam.

“Istigfar Karim, ada istrimu di rumah!” Mamah Atik memukul pundak Karim yang sedang memperhatikan Maya.

“Silakan duduk,” kataku mempersilakan.

“Sa—ya kira yang mewawancarai Danu sendiri. Ternyata bukan,” selorohnya.

“Mas Danu sedang sibuk jadi aku yang menghadle semuanya.”

“Perkenalkan dirimu dan kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini, padahal kami sebenarnya tidak menerima pekerja wanita.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status