Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.
Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.
Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.
Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.
‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.
Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.
Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu akan terus mentransfer pahala untuk diri kita sendiri. Kita tidak tahu bukan kebaikan kita yang mana yang akan mengantarkan kita masuk surga? Itulah kenapa selalu tertanam dalam hatiku sebuah konsep perjalanan hidup untuk selalu menebar kebaikan di mana pun dan dengan siapa pun.
Baik bukan berarti kita bodoh untuk tidak melihat cela dan keburukan orang lain. Jika kita diam saja itu namanya kita bunuh diri. Aku akan selalu waspada pada mereka yang selama ini selalu menganggapku bodoh dan mereka yang tidak tahu terima kasih.
Allah saja jika kita selalu bersyukur pada setiap keadaan akan menambah nikmat lebih banyak lagi. Begitu pun harusnya sesama manusia. Jika kita selalu menghargai dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang maka kita pun akan senang dan akan selalu berusaha untuk memberi lagi. Bukan bermaksud minta pujian.
“Kenapa, Nak?” Mamah Atik menghampiriku dan memberiku segelas jus Buah naga.“Ada yang mengganjal di hati, Mah. Nanti pasti aku cerita sama Mamah. Oh, iya, ke mana Paman dan juga Evi?” tanyaku penasaran. Tadi suara mereka masih terdengar lantang membicarakan apa saja yang mereka lihat di rumahku. Kok, ini tiba-tiba adem ayem.
“Mereka Mamah suruh beres-beres kebun belakang yang berbatasan dengan rumah Wak Batak. Biar olahraga, Ta. Jangan maunya enak-enakan di sini,” jawab Mamah Atik seraya tertawa geli.
“Ibu sudah pulang, Mah?”
“Belum, itu ikut ke kebun mandorin pamannya Danu.”
Duh, Mamah Atik dan ibu sengaja sekali mengerjai orang.
“Jusnya di minum, Mamah mau ke kebun, Kia biar sama Mamah.”
“Iya, Mah, makasih ya, ini aku bersihin ikan untuk lauk kita makan malam nanti.”
Ting!
Ada pesan masuk lagi ke ponsel Mas Danu. Mas Danu memang tidak telaten bawa HP apa lagi ada Joko yang mengahandle semuanya jadilah konsumen jika perlu apa-apa seringnya ke Joko.
[Yakin, enggak mau pertimbangin omongan, Paman?]Pesan masuk disertai foto lagi di mana Mas Danu memegang pundak wanita itu seraya tersenyum. Wanita itu rambutnya panjang sayangnya membelakangi kamera lagi.
[Cukup jelas kan, Danu?] Kata paman lagi.
Tak aku balas biar saja biar paman Mas Danu malah makin penasaran sendiri.
Siapa wanita berbaju orange itu. Mas Danu selama ini jujur padaku. Mungkinkah dia menyukai wanita lain selain aku? Mas Danu tipe suami yang sangat terbuka pada istri apa pun akan dia bicarakan padaku. Lalu foto tadi? Ah, rasanya sulit di percaya.
Mungkinkah jalan Mas Danu berbelok arah, tapi apa alasannya. Bukankah selama ini aku sudah mendampinginya sebagai istri yang baik.
Kuputuskan untuk ikut ke kebun belakang, aku penasaran sekali dengan mereka.
“Kamu bisa kerja enggak? Dari tadi main HP saja! Kalau enggak bersih ini parit bisa banjir turun hujan nanti!” bentak ibu mertuaku.
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.
“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.
“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.
“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.
“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.
“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.
Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.
[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]
Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.
“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun hujan!” bentak ibu lagi.
Paman hanya manut saja dia mengayunkan cangkul dengan ogah-ogahan.
“Vi, setelah ini daun singkongnya disiangi dan ditumbuk. Setelahnya biarin aja nanti aku yang masak,” titahku.
Evi memaju mundurkan bibirnya tidak terima.
“Sekalian cabenya yang di ujung sana!” Tunjukku.
“Bu, Mungkin tidak kalau Mas Danu selingkuh?” tanyaku pada ibu mertua pasalnya dia pun tahu persis bagaimana sifat Mas Danu.
“Enggak lah, Ta. Kamu jangan bicara yang bukan-bukan. Ibu tahu Danu sifatnya bagaimana,” jawab ibu sambil cari capung sama Kia.“Hati manusia tidak ada yang tahu, Nak. Jadi, kamu do’akan yang baik-baik untuk suamimu. Semakin tinggi pohon semakin kencang tertiup angin.” Mamah Atik ikut menasihatiku.
“Kenapa kamu tanya begitu, Ta? Adakah Danu selingkuh?” tanya ibu suaranya lumayan kencang hingga membuat Paman berhenti sejenak karena mendengar suara ibu.
“Namanya juga laki-laki normal. Wajahnya rupawan, harta banyak. Sah-sah saja kalau beristri lebih dari satu!” sahut paman.
Sebenarnya hatiku kesal, tapi aku tetap bertahan untuk diam saja dulu.
“Jangan ngawur!” Mamah Atik memukul pundak paman.
“Itulah kenapa kamu tidak dikasih harta banyak. Bisa-bisa kamu malah menyalah gunakan harta itu,” teriak ibu.
“Evi sudah belum cepat pulang dan tumbuk dulu itu daun singkongnya!” teriak Ibu.
Evi menurut lalu mengekor ibu masuk ke dalam.
“Apa Danu ada tingkahnya yang buat kamu tidak nyaman, Nak?” cecar Mamah Atik.
“Ini, Mah.” Kuberikan ponsel Mas Danu pada Mamah Atik biar beliau yang baca sendiri.
“Huuh, bikin tambah kesal ajah! Enggak usah dipikirin itu bisa saja akal-akalan pamannya Danu yang gendeng itu.” Mamah Atik mengembalikan ponselnya padaku.
Kami tinggalkan masuk paman Mas Danu. Di dapur sudah ada Evi yang sedang menumbuk daun singkong.
“Vi, kalau sudah beres numbuk kamu uleg bumbu ya, biar aku yang masak,” titahku. Evi mencebik kesal.
~k~u 🌸🌸🌸
“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.
Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.
“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.
“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”
“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.
“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.
“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”
“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.
Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas sering beri sedekah Jum’at dan setiap hari Jumat itu dia datang. Kadang dengan suaminya kadang sendiri.”
“Sudah berapa lama, Mas?
“Hampir tiga bulan ... tapi, sudah dua Jum’at ini dia datang sendirian katanya lagi proses perceraian dengan suaminya.” Meski Mas Danu bercerita tanpa beban dan juga terlihat jujur entah kenapa aku merasakan hal lain.
“Em ... itu, Dik, dia mau minta kerjaan sama kita. Di toko. Apa kamu kasih izin?” tanya Mas Danu ragu.
“Kalau aku tidak kasih izin gimana?”
“Kasihan, Dik, kalau tidak dikasih kerjaan. Anaknya ada dua masih kecil-kecil mana sebentar lagi tidak ada suami.”
“Kok, Mamas kayaknya peduli banget ya, sama dia siapa tadi namanya?”
“Maya, Dik, namanya Maya,” jawab Mas Danu semangat.
“Akan aku pikirkan. Sekarang aku ngantuk mau tidur!” jawabku ketus.
“Dik, jangan marah. Mas, hanya kasihan padanya tidak lebih,” ujar Mas Danu lagi. Aku diam saja.
*** Setelah aku berdiskusi dengan Mamah Atik kami memutuskan untuk mentraining teman Mas Danu terlebih dahulu. Kalau kerjanya bagus bisa lanjut kalau tidak maka akan aku jadikan Art saja di rumahku. Lagi pula kasihan kalau memang keadaannya benar seperti yang diceritakan Mas Danu.Gegas kukirim pesan pada Mas Danu kalau temannya akan aku wawancarai hari ini juga selepas Zuhur.
“Paman, jatah bertamu Paman tinggal dua hari lagi, aku harap paman bisa tahu diri,” kataku mengingatkan.
Pasalnya paman sudah seperti orang yang paling berjasa pada kehidupan Mas Danu. Beliau keliling kampung dengan banyak cerita ini dan itu. Bu RT yang mengadu pada Mamah Atik.
“Loh, aku dianggap bertamu, ya? Bukan keluarga?” tanyanya terkejut.
“Tentu saja! Kalau Paman dan Evi dalam kurun waktu tiga hari tidak mau pulang berarti bukan tamu, itu artinya kalian harus tahu diri membantu ini dan itu di rumah ini,” tegasku.
“Enggak bisa begitu, Mbak! Aku bukan pembantu!” bentak Evi.
“Terserah kamu saja, Vi. Mau ngomong sampai berbusa keputusan anakku tidak akan pernah bisa diganggu gugat,” bela Mamah Atik padaku.
“Aku mau pergi sebentar, nanti jika ada yang datang meminta sumbangan atau yang lain dari desa ini Paman bilang saja suruh kembali nanti sore.”
Paman mengiyakan saja dan kembali sibuk nonton TV sedang Evi sibuk dengan ponselnya cekrek sana cekrek sini dengan berbagai pose.
Sampai toko ternyata wanita yang bernama Maya sudah menungguku. Mas Danu sedang tidak ada kata Karim ikut belanja ke kota bersama Joko.
Seperti di foto dia menggunakan baju orange mungkin benar dia bukan orang punya makanya memakai baju yang sama.
“Silakan, mau belanja apa, Bu?” ucapnya padaku ramah. Tapi ada yang tidak aku senangi dandannya terlalu menor seperti artis panggung kausnya juga berleher V dengan belahan dada yang rendah.
“Tidak ada yang ingin aku beli. Aku mau mewawancarai Mbak. Silakan masuk ke dalam,” jawabku santai. Mamah Atik malah tertawa.“Sa—ya, Bu?” tanyanya memastikan.
“Iya, mau kerja tidak?” Meski bingung akhirnya dia mengikutiku masuk ke dalam.
“Istigfar Karim, ada istrimu di rumah!” Mamah Atik memukul pundak Karim yang sedang memperhatikan Maya.
“Silakan duduk,” kataku mempersilakan.
“Sa—ya kira yang mewawancarai Danu sendiri. Ternyata bukan,” selorohnya.
“Mas Danu sedang sibuk jadi aku yang menghadle semuanya.”
“Perkenalkan dirimu dan kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini, padahal kami sebenarnya tidak menerima pekerja wanita.”
“Iya, Bu, saya pernah bekerja selama dua tahun di tempat panti pijat khusus pijat refleksi. Lalu saya kerja jadi Art di Jakarta selama lima tahun dan terakhir saya kerja jaga toko di kota selama tiga tahun. Setelah itu saya menikah,” jelas Maya saat aku tanya adakah pengalaman kerjanya. Dia juga rapi menulis lamaran kerjanya dan menyertakan persyaratannya lengkap.Sepertinya memang sudah berpengalaman. Berbeda dengan pegawaiku yang lain mereka hanya datang saja meminta pekerjaan secara langsung tanpa surat lamaran kerja dan kawan-kawannya.“Baik, kalau begitu aku traning kamu dulu selama 1 bulan. Jika, kerja kamu bagus akan aku lanjut dan jika tidak, maaf terpaksa aku ganti yang lain.”“Training? Kenapa tidak sekalian jadi pekerja tetap saja, Bu? Saya sangat membutuhkan kerjaan ini,” tawarnya. Berani sekali!“Itu jika kamu mau? Aturan tetap harus dipenuhi kalau kamu memang sangat butuh kerjaan ini buktikan kalau kamu sungguh-sungguh.” “Ba—ik, Bu,” jawabnya lesu.“Satu lagi jangan ber
[Aku otewe sekarang ya, Dan]Kembali pesan singkat itu masuk.“Siapa, Sayang? Kok bete gitu?”“Temenmu!”“Loh, kok, marah? Teman yang mana?” Mas Danu mengambil ponselnya.“Oh, biarin aja lah, kan, di sana dia punya tetangga kenapa juga musti ke sini,” ujar Mas Danu lalu mematikan ponselnya.“Sudah makan lagi nanti nasinya nangis kalau enggak dihabisin. Apa mau Mas suapin?”“Iya, aku habisin. Mas, bisa tidak kalau enggak dekat-dekat lagi sama teman kamu itu?” pintaku.“Bisa, kalau itu yang minta istriku apa pun akan aku lakukan,” jawab Mas Danu. Hatiku lega. Setidaknya meski perempuan itu mepet terus, tapi suamiku menghindar.“Perempuan tadi siang, Ta?” Mamah Atik ikutan kepo.“Iya, Mah, ini pakai kirim pesan segala minta tolong minep di sini katanya diusir suami dan keluarga suaminya.”“Kasihan sih, tapi pasti ada alasannya kenapa begitu. Danu, apa orang tuanya tidak ada di sini?”“Ada sih, Mah. Setahuku dulu waktu kecil memang asli orang kampung sebelah sini, tapi enggak tahu kalau s
Karena kejadian semalam aku lebih memilih diam rasanya hatiku masih dongkol. Mas Danu sudah berkali-kali meminta maaf padaku, aku tetap bergeming.Mas Danu bilang dia bingung harus bagaimana apa lagi si Maya menyusulnya ke Masjid. Saat lewat Masjid masih ramai orang dan lihat suamiku ada di sana.Mas Danu tidak ada maksud lain hanya murni menolongnya. Sebenarnya aku percaya pada suamiku, tapi hatiku masih dongkol jadilah aku diam saja sampai pagi ini.Mas Danu paling tidak bisa jika istrinya merajuk. Dia akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Semalam saja kuperhatikan tidurnya tidak nyenyak.Aku memang marah, tapi aku tidak akan membiarkan suamiku untuk tidur sendiri apa lagi tidur di luar itu tidak ada dalam kamus hidupku. Pagi ini pun seperti biasa aku siapkan baju kerjanya juga sarapannya aku temani.Mas Danu menyesal dan bilang tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia berjanji akan meminta pendapatku apa pun itu.“Kia, Nenek takut loh ... kalau di rumah ini ada perang d
Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar. “Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta. Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.“Dibayar, kan, Ta?”“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman
"Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap
"Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat
"Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau
Paginya saat aku baru saja membuka pintu rumah tepatnya setelah salat subuh tiba-tiba Novi datang ke tergopoh-gopoh menghampiriku.Tumben sekali dia datang sepagi ini.“Ita! Boleh aku minta tolong padamu sekali ini saja,” tanya Novi. Aku mengangguk meskipun sedikit ragu.“Ada apa, ya, Nov? Tumben sekali kamu subuh-subuh datang ke sini,” jawabku balik bertanya.“Itu, Suamiku belum ngambil uang di ATM dan kebetulan uangku juga habis. Hari ini susu anakku habis ini dia lagi nangis karena minta susu enggak aku buatin ditambah lagi listriku tokennya sudah bunyi. Kasih aku pinjam uang satu juta saja Ita, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti langsung aku ganti,” jawab Novi.“Oh, mau pinjam uang Nov? Pagi-pagi begini memang ada minimarket buka,” tanyaku lagi.“Ya, enggak, ada sih, Ta, tapi kan, setelah ini aku mau langsung ke minimarket mau beli susu sekalian mau beli token listrik. Kamu tahu kan, Ta, rumahku itu besar pemakainya banyak jadi boros sekali listriknya,” jawab Novi.“Kalau gitu
“Barusan ada kok. Cepat sekali mereka pergi. Kenapa kalau pulang tidak pamitan? Dasar manusia hutan tidak punya etika!” gerutu Mbak Wulan.“Sebentar, ya, aku lihat ke depan, barangkali dia ngobrol dengan Mas Danu dan yang lainnya," kataku seraya menghampiri suamiku yang sedang duduk di depan.Loh, kok tidak ada juga, ke mana, ya? Di sana hanya ada suaminya yang ikut ngobrol dengan Mas Danu. Apa Novi pulang mengantarkan anak-anak, ya?“Ti—dak kok, Nyah, semuanya aman terkendali, Nyonya di sana baik-baik, ya, pokoknya nanti pas pulang ke sini semuanya sudah beres dan nyonya pasti terkejut sama rumah barunya.” Aku mendengar suara Novi di teras, aku tengok rupanya dia sedang menerima telepon. Pantas saja aku cari ke mana-mana tidak ada. “Oh, yang taman depan rumah tenang saja, Nyah, itu juga sedang dikerjain sama suamiku. Pokoknya beres terkendali. Nyonya di sana jaga kesehatan, baik-baik pokoknya. Aku di sini akan menjaga amanah Nyonya,” ucap Novi lagi.Aku sedikit terkejut dengar ob
Kata Rasulullah saudara yang terdekat dengan kita adalah tetangga kita. Itu artinya kita harus bersikap baik kepada tetangga kita agar berikatan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong satu sama lain, tidak mungkin kan kita mati dikubur sendiri? Tidak mungkin juga kita dalam keadaan sakit pergi ke rumah sakit sendiri itu sebabnya kita diwajibkan selalu berbuat baik kepada orang lain terutama tetangga kita.Kalau kasusnya seperti Novi ini aku bisa apa? Dibaikin seenaknya sendiri, tidak dibaikin juga seenaknya sendiri, jadi serba salah.Jadi satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan adalah jika dia tanya aku jawab, jika tidak, ya, sudah diam saja yang penting jika, Novi memiliki kesusahan aku harus pasang badan untuk menolong walaupun dia sangat menyebalkan, tapi Novi tetangga dekatku dan juga temanku dari kecil.Aku mengamati Novi sejak tadi terus saja berbicara mengeluarkan unek-uneknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Salahku
“Nov, langit itu tidak perlu memberitahukan bahwa dirinya tinggi karena tanpa diberitahu semua orang pun sudah tahu. Begitu juga dengan kehidupan kita, tak perlu lagi kita memberitahu kebahagiaan kita, harta-harta kita, kalau memang itu ada pasti nampak, kalau memang itu benar semua orang akan tahu dengan sendirinya, Nov.” Nasihatku kepadanya.“Alah kamu itu, Ta, sok, bijak! Padahal aslinya kamu juga kepo kan, sama kehidupanku? Kamu, kan, dari kecil dulu memang sudah terbiasa di bawahku, jadi ketika kamu hidup kaya, kamu terus mengepoin aku karena merasa tersaingi, ya, kan? Jujur aja, Ta. Enggak apa-apa kok, kita kan memang sudah teman sejak kecil jadi aku tahu betul loh, gimana sifat kamu," jawab Novi lagi.“Ita, ngepoin hidup kamu? Noh, kalau menurutku sih, kebalikannya. Kamu yang selalu mengepoin hidupnya Ita, kalau Ita mah udah mode kalem, mode tidak pernah memamerkan hartanya, dan juga mode dermawan sedangkan kamu kebalikannya," sahut Wulan kesal.“Iya, deh iya, Nov, memang aku
“Sebenarnya ada acara apa sih, kalian makan-makan begini? Soalnya Mbak Fitri sama Mbak Wulan update status enggak ada captionnya, jadi, aku bingung acara apa. Lagi pula aku belum makan malam, nih jadi kami ke sini. Ita ada acara apa sih?" tanya Novi.“Acara makan-makan biasa aja, Nov, kumpul-kumpul biasa. Karena kan, sudah lama juga kita enggak kumpul-kumpul,” jawabku.“Kok, kamu kumpul-kumpul enggak ngajakin aku sih, Ta, pelit banget!" jawab Novi kesal.“Bukan pelit, Nov, tadi kita itu mau ngajakin kamu, tapi kamu kan, jalannya duluan sudah gitu kamu jatuh ke comberan masa kita mau teriak-teriak ngajakin kamu," jawabku beralasan.Sebenarnya memang tadi mau ngajakin Novi, tapi karena dia sudah kesal duluan pada kami dan acara kami juga dadakan, jadi ya, terpaksa dia terlewatkan walaupun rumahnya persis di samping rumahku.“Halah, alasan saja kamu itu, Ita, kan, ada HP. Kamu bisa loh telpon aku. Novi ke sini, ya, sebentar kita makan-makan gitu, ah dasar aja, kamu, Ta, pelit," ucap
“Iya, Mbak, aku juga sudah memaafkan. Alhamdulillah kalian mau memaafkanku," ucap Mbak Asih, dia beranjak dari duduknya, menyalami dan memeluk Mbak Fitri dan Mbak Wulan secara bergantian. Mereka pun menangis sesenggukan, ya, Tuhan, ini benar-benar melebihi hari raya Idul Fitri. Kami sungguh-sungguh dalam bermaaf-maafan.“Alhamdulillah kalau kita sudah saling memaafkan semuanya. Berarti malam ini lebih baik makan seruitnya ini kita khususkan untuk menyambut kebahagiaan kita atas hijrahnya Mbak Asih. Kita pimpin doa. Siapa ini yang memimpin doa, Mas Taufik, Mas Dayat atau Mas Danu?” sahut Mamah Atik.“Monggo, silakan Mas Danu atau Mas Dayat, kalau saya enggak bisa baca doa apalagi mendoakan bersama-sama begini, bisanya makan," canda Mas Taufik.“Saya juga jadi jamaah saja, silakan Mas Danu untuk memimpin doa," jawab Mas Danu.“Lah, gimana ini orang-orang di suruh mengimami doa makan tuh paling gampang tinggal baca doa mau makan allahumma bariklana sampai selesai. Ya, sudah baiklah ak
Tiba-tiba Mbak Asih beranjak dari duduknya dan bersujud di kaki ibu, dia menangis sejadi-jadinya sampai tidak terdengar suaranya lagi. Kami semua yang ada di sini menyaksikan adegan ini pun ikut terharu dalam suasana yang begitu menyentuh hati. Ibu mertuaku pun ikut menangis. Beliau tidak mengucapkan satu kata pun kepada Mbak Asih. Beliau hanya mengusap kepala dan bahu Mbak Asih, sesekali tangan kirinya mengusap air matanya. Mas Danu pun terlihat berkali-kali mengusap ke dua matanya. Aku yakin dia pun menahan tangis. Ini baru terjadi sepanjang aku menjadi menantu Ibu. Ini adalah kali pertamanya Mbak Asih sujud di kaki Ibu.Dulu, waktu masih sama Mas Roni, sama sekali tidak pernah sungkem. Lebaran saja hanya salaman biasa lalu pergi dengan Mas Roni ke rumah mertuanya yang lebih menyedihkan lagi adalah sebelum pergi ke rumah mertuanya dia akan membawa berbagai makanan dan meminta uang saku untuk pergi ke sana.Duhai Allah sungguh indah semua rencanaMu pada kami. Ternyata di balik ujia
"Oh, iya, Mas, baik nanti akan aku terapkan itu baca ayat kursi kemarin juga aku sudah di ruqyah kata ustaznya juga gitu hanya saja kemarin aku masih bolong-bolong tidak menerapkan itu, makanya tadi sempat kerasukan walaupun hanya sebentar," jawab Mbak Asih."Syukurlah Asih, aku tuh sebenarnya sebagai tetangga prihatin sekali dengan kamu dan juga ibumu, tapi sekali lagi aku pribadi tidak berani ikut campur masalah keluarga orang lain,” ucap Mas topik lagi.“Assalamualaikum ...." Akhirnya Mama Atik dan ibu mertuaku datang. Wajah ibu mertuaku sudah masam. Aku yakin sekali dia marah dengan Mbak Asih karena tadi sudah menge-prank lagi pergi dari rumah tanpa pamit.“Asih, ih, kamu ke rumah Ita enggak bilng-bilang sama Ibu. Kamu tahu ibu, capek nyariin kamu keliling kampung karena tadi ibu dapat laporan dari Wak Jum, bahwa kamu sedang bertemu dengan Roni di ujung gang sana benar atau tidak?” omel ibu memarahi Mbak Asih.“Iya Bu, betul tadi sore aku ketemu dengan Mas Roni tuh dikasih coklat