Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.
Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.
Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.
Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.
‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.
Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.
Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu akan terus mentransfer pahala untuk diri kita sendiri. Kita tidak tahu bukan kebaikan kita yang mana yang akan mengantarkan kita masuk surga? Itulah kenapa selalu tertanam dalam hatiku sebuah konsep perjalanan hidup untuk selalu menebar kebaikan di mana pun dan dengan siapa pun.
Baik bukan berarti kita bodoh untuk tidak melihat cela dan keburukan orang lain. Jika kita diam saja itu namanya kita bunuh diri. Aku akan selalu waspada pada mereka yang selama ini selalu menganggapku bodoh dan mereka yang tidak tahu terima kasih.
Allah saja jika kita selalu bersyukur pada setiap keadaan akan menambah nikmat lebih banyak lagi. Begitu pun harusnya sesama manusia. Jika kita selalu menghargai dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang maka kita pun akan senang dan akan selalu berusaha untuk memberi lagi. Bukan bermaksud minta pujian.
“Kenapa, Nak?” Mamah Atik menghampiriku dan memberiku segelas jus Buah naga.“Ada yang mengganjal di hati, Mah. Nanti pasti aku cerita sama Mamah. Oh, iya, ke mana Paman dan juga Evi?” tanyaku penasaran. Tadi suara mereka masih terdengar lantang membicarakan apa saja yang mereka lihat di rumahku. Kok, ini tiba-tiba adem ayem.
“Mereka Mamah suruh beres-beres kebun belakang yang berbatasan dengan rumah Wak Batak. Biar olahraga, Ta. Jangan maunya enak-enakan di sini,” jawab Mamah Atik seraya tertawa geli.
“Ibu sudah pulang, Mah?”
“Belum, itu ikut ke kebun mandorin pamannya Danu.”
Duh, Mamah Atik dan ibu sengaja sekali mengerjai orang.
“Jusnya di minum, Mamah mau ke kebun, Kia biar sama Mamah.”
“Iya, Mah, makasih ya, ini aku bersihin ikan untuk lauk kita makan malam nanti.”
Ting!
Ada pesan masuk lagi ke ponsel Mas Danu. Mas Danu memang tidak telaten bawa HP apa lagi ada Joko yang mengahandle semuanya jadilah konsumen jika perlu apa-apa seringnya ke Joko.
[Yakin, enggak mau pertimbangin omongan, Paman?]Pesan masuk disertai foto lagi di mana Mas Danu memegang pundak wanita itu seraya tersenyum. Wanita itu rambutnya panjang sayangnya membelakangi kamera lagi.
[Cukup jelas kan, Danu?] Kata paman lagi.
Tak aku balas biar saja biar paman Mas Danu malah makin penasaran sendiri.
Siapa wanita berbaju orange itu. Mas Danu selama ini jujur padaku. Mungkinkah dia menyukai wanita lain selain aku? Mas Danu tipe suami yang sangat terbuka pada istri apa pun akan dia bicarakan padaku. Lalu foto tadi? Ah, rasanya sulit di percaya.
Mungkinkah jalan Mas Danu berbelok arah, tapi apa alasannya. Bukankah selama ini aku sudah mendampinginya sebagai istri yang baik.
Kuputuskan untuk ikut ke kebun belakang, aku penasaran sekali dengan mereka.
“Kamu bisa kerja enggak? Dari tadi main HP saja! Kalau enggak bersih ini parit bisa banjir turun hujan nanti!” bentak ibu mertuaku.
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.
“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.
“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.
“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.
“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.
“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.
Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.
[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]
Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.
“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun hujan!” bentak ibu lagi.
Paman hanya manut saja dia mengayunkan cangkul dengan ogah-ogahan.
“Vi, setelah ini daun singkongnya disiangi dan ditumbuk. Setelahnya biarin aja nanti aku yang masak,” titahku.
Evi memaju mundurkan bibirnya tidak terima.
“Sekalian cabenya yang di ujung sana!” Tunjukku.
“Bu, Mungkin tidak kalau Mas Danu selingkuh?” tanyaku pada ibu mertua pasalnya dia pun tahu persis bagaimana sifat Mas Danu.
“Enggak lah, Ta. Kamu jangan bicara yang bukan-bukan. Ibu tahu Danu sifatnya bagaimana,” jawab ibu sambil cari capung sama Kia.“Hati manusia tidak ada yang tahu, Nak. Jadi, kamu do’akan yang baik-baik untuk suamimu. Semakin tinggi pohon semakin kencang tertiup angin.” Mamah Atik ikut menasihatiku.
“Kenapa kamu tanya begitu, Ta? Adakah Danu selingkuh?” tanya ibu suaranya lumayan kencang hingga membuat Paman berhenti sejenak karena mendengar suara ibu.
“Namanya juga laki-laki normal. Wajahnya rupawan, harta banyak. Sah-sah saja kalau beristri lebih dari satu!” sahut paman.
Sebenarnya hatiku kesal, tapi aku tetap bertahan untuk diam saja dulu.
“Jangan ngawur!” Mamah Atik memukul pundak paman.
“Itulah kenapa kamu tidak dikasih harta banyak. Bisa-bisa kamu malah menyalah gunakan harta itu,” teriak ibu.
“Evi sudah belum cepat pulang dan tumbuk dulu itu daun singkongnya!” teriak Ibu.
Evi menurut lalu mengekor ibu masuk ke dalam.
“Apa Danu ada tingkahnya yang buat kamu tidak nyaman, Nak?” cecar Mamah Atik.
“Ini, Mah.” Kuberikan ponsel Mas Danu pada Mamah Atik biar beliau yang baca sendiri.
“Huuh, bikin tambah kesal ajah! Enggak usah dipikirin itu bisa saja akal-akalan pamannya Danu yang gendeng itu.” Mamah Atik mengembalikan ponselnya padaku.
Kami tinggalkan masuk paman Mas Danu. Di dapur sudah ada Evi yang sedang menumbuk daun singkong.
“Vi, kalau sudah beres numbuk kamu uleg bumbu ya, biar aku yang masak,” titahku. Evi mencebik kesal.
~k~u 🌸🌸🌸
“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.
Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.
“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.
“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”
“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.
“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.
“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”
“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.
Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas sering beri sedekah Jum’at dan setiap hari Jumat itu dia datang. Kadang dengan suaminya kadang sendiri.”
“Sudah berapa lama, Mas?
“Hampir tiga bulan ... tapi, sudah dua Jum’at ini dia datang sendirian katanya lagi proses perceraian dengan suaminya.” Meski Mas Danu bercerita tanpa beban dan juga terlihat jujur entah kenapa aku merasakan hal lain.
“Em ... itu, Dik, dia mau minta kerjaan sama kita. Di toko. Apa kamu kasih izin?” tanya Mas Danu ragu.
“Kalau aku tidak kasih izin gimana?”
“Kasihan, Dik, kalau tidak dikasih kerjaan. Anaknya ada dua masih kecil-kecil mana sebentar lagi tidak ada suami.”
“Kok, Mamas kayaknya peduli banget ya, sama dia siapa tadi namanya?”
“Maya, Dik, namanya Maya,” jawab Mas Danu semangat.
“Akan aku pikirkan. Sekarang aku ngantuk mau tidur!” jawabku ketus.
“Dik, jangan marah. Mas, hanya kasihan padanya tidak lebih,” ujar Mas Danu lagi. Aku diam saja.
*** Setelah aku berdiskusi dengan Mamah Atik kami memutuskan untuk mentraining teman Mas Danu terlebih dahulu. Kalau kerjanya bagus bisa lanjut kalau tidak maka akan aku jadikan Art saja di rumahku. Lagi pula kasihan kalau memang keadaannya benar seperti yang diceritakan Mas Danu.Gegas kukirim pesan pada Mas Danu kalau temannya akan aku wawancarai hari ini juga selepas Zuhur.
“Paman, jatah bertamu Paman tinggal dua hari lagi, aku harap paman bisa tahu diri,” kataku mengingatkan.
Pasalnya paman sudah seperti orang yang paling berjasa pada kehidupan Mas Danu. Beliau keliling kampung dengan banyak cerita ini dan itu. Bu RT yang mengadu pada Mamah Atik.
“Loh, aku dianggap bertamu, ya? Bukan keluarga?” tanyanya terkejut.
“Tentu saja! Kalau Paman dan Evi dalam kurun waktu tiga hari tidak mau pulang berarti bukan tamu, itu artinya kalian harus tahu diri membantu ini dan itu di rumah ini,” tegasku.
“Enggak bisa begitu, Mbak! Aku bukan pembantu!” bentak Evi.
“Terserah kamu saja, Vi. Mau ngomong sampai berbusa keputusan anakku tidak akan pernah bisa diganggu gugat,” bela Mamah Atik padaku.
“Aku mau pergi sebentar, nanti jika ada yang datang meminta sumbangan atau yang lain dari desa ini Paman bilang saja suruh kembali nanti sore.”
Paman mengiyakan saja dan kembali sibuk nonton TV sedang Evi sibuk dengan ponselnya cekrek sana cekrek sini dengan berbagai pose.
Sampai toko ternyata wanita yang bernama Maya sudah menungguku. Mas Danu sedang tidak ada kata Karim ikut belanja ke kota bersama Joko.
Seperti di foto dia menggunakan baju orange mungkin benar dia bukan orang punya makanya memakai baju yang sama.
“Silakan, mau belanja apa, Bu?” ucapnya padaku ramah. Tapi ada yang tidak aku senangi dandannya terlalu menor seperti artis panggung kausnya juga berleher V dengan belahan dada yang rendah.
“Tidak ada yang ingin aku beli. Aku mau mewawancarai Mbak. Silakan masuk ke dalam,” jawabku santai. Mamah Atik malah tertawa.“Sa—ya, Bu?” tanyanya memastikan.
“Iya, mau kerja tidak?” Meski bingung akhirnya dia mengikutiku masuk ke dalam.
“Istigfar Karim, ada istrimu di rumah!” Mamah Atik memukul pundak Karim yang sedang memperhatikan Maya.
“Silakan duduk,” kataku mempersilakan.
“Sa—ya kira yang mewawancarai Danu sendiri. Ternyata bukan,” selorohnya.
“Mas Danu sedang sibuk jadi aku yang menghadle semuanya.”
“Perkenalkan dirimu dan kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini, padahal kami sebenarnya tidak menerima pekerja wanita.”
“Iya, Bu, saya pernah bekerja selama dua tahun di tempat panti pijat khusus pijat refleksi. Lalu saya kerja jadi Art di Jakarta selama lima tahun dan terakhir saya kerja jaga toko di kota selama tiga tahun. Setelah itu saya menikah,” jelas Maya saat aku tanya adakah pengalaman kerjanya. Dia juga rapi menulis lamaran kerjanya dan menyertakan persyaratannya lengkap.Sepertinya memang sudah berpengalaman. Berbeda dengan pegawaiku yang lain mereka hanya datang saja meminta pekerjaan secara langsung tanpa surat lamaran kerja dan kawan-kawannya.“Baik, kalau begitu aku traning kamu dulu selama 1 bulan. Jika, kerja kamu bagus akan aku lanjut dan jika tidak, maaf terpaksa aku ganti yang lain.”“Training? Kenapa tidak sekalian jadi pekerja tetap saja, Bu? Saya sangat membutuhkan kerjaan ini,” tawarnya. Berani sekali!“Itu jika kamu mau? Aturan tetap harus dipenuhi kalau kamu memang sangat butuh kerjaan ini buktikan kalau kamu sungguh-sungguh.” “Ba—ik, Bu,” jawabnya lesu.“Satu lagi jangan ber
[Aku otewe sekarang ya, Dan]Kembali pesan singkat itu masuk.“Siapa, Sayang? Kok bete gitu?”“Temenmu!”“Loh, kok, marah? Teman yang mana?” Mas Danu mengambil ponselnya.“Oh, biarin aja lah, kan, di sana dia punya tetangga kenapa juga musti ke sini,” ujar Mas Danu lalu mematikan ponselnya.“Sudah makan lagi nanti nasinya nangis kalau enggak dihabisin. Apa mau Mas suapin?”“Iya, aku habisin. Mas, bisa tidak kalau enggak dekat-dekat lagi sama teman kamu itu?” pintaku.“Bisa, kalau itu yang minta istriku apa pun akan aku lakukan,” jawab Mas Danu. Hatiku lega. Setidaknya meski perempuan itu mepet terus, tapi suamiku menghindar.“Perempuan tadi siang, Ta?” Mamah Atik ikutan kepo.“Iya, Mah, ini pakai kirim pesan segala minta tolong minep di sini katanya diusir suami dan keluarga suaminya.”“Kasihan sih, tapi pasti ada alasannya kenapa begitu. Danu, apa orang tuanya tidak ada di sini?”“Ada sih, Mah. Setahuku dulu waktu kecil memang asli orang kampung sebelah sini, tapi enggak tahu kalau s
Karena kejadian semalam aku lebih memilih diam rasanya hatiku masih dongkol. Mas Danu sudah berkali-kali meminta maaf padaku, aku tetap bergeming.Mas Danu bilang dia bingung harus bagaimana apa lagi si Maya menyusulnya ke Masjid. Saat lewat Masjid masih ramai orang dan lihat suamiku ada di sana.Mas Danu tidak ada maksud lain hanya murni menolongnya. Sebenarnya aku percaya pada suamiku, tapi hatiku masih dongkol jadilah aku diam saja sampai pagi ini.Mas Danu paling tidak bisa jika istrinya merajuk. Dia akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Semalam saja kuperhatikan tidurnya tidak nyenyak.Aku memang marah, tapi aku tidak akan membiarkan suamiku untuk tidur sendiri apa lagi tidur di luar itu tidak ada dalam kamus hidupku. Pagi ini pun seperti biasa aku siapkan baju kerjanya juga sarapannya aku temani.Mas Danu menyesal dan bilang tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia berjanji akan meminta pendapatku apa pun itu.“Kia, Nenek takut loh ... kalau di rumah ini ada perang d
Mungkin paman tersinggung dengan ucapanku, beliau pergi sepagi ini entah ke mana tahu-tahu pulang bawa uang lembaran 50 ribu rupiah sebanyak 3 lembar. “Ta, lihat ini aku sudah dapat duitnya. Aku tadi ambil kopi coklat di sekitaran rumahmu langsung aku jual Alhamdulillah dapat 100 ribu rupiah. Ini yang 50 ribu rupiah lagi dapat dari bantu tetangga sebelah beres-beres berangnya mereka baru pindah dari Jakarta,” cerocos paman tanpa aku minta. Sebenarnya kesal. Kopi coklat dijual masih dalam keadaan basah, tapi semua sudah terjadi biar saja. Padahal kalau sudah kering harganya mahal.“Orangnya kaya, Ta. Rumahnya juga bagus dalamnya. Barangnya mewah-mewah. Sudah gitu baik dan tidak pelit,” ujar paman lagi. Aku diam saja malas menanggapi. Aku paham paman sedang menyindirku.“Paman, setelah ini tolong carikan daun singkong, daun pepaya yang muda untuk bikin urapan. Sekalian daun pisang untuk bikin kue lambang sari,” kataku lagi.“Dibayar, kan, Ta?”“Iya, tenang saja nanti aku bayar.” Paman
"Jangan coba-coba membangunkan singa tidur kalau kamu ingin selamat!” kataku seraya menatap tajam mata Maya.Maya mundur lalu dia bergabung dengan Joko dan yang lainnya untuk makan siang.“Mas, aku mau Maya pindah hari ini juga." Mas Danu menautkan ke dua alisnya lalu tersenyum.“Senangnya aku, ternyata istriku bisa secemburu ini padaku.“Mas, aku bukan sedang bercanda jadi, jangan senyum-senyum begitu,” rajukku.“Iya, Sayang. Aku akan menyuruh pindah si Maya.” Lega hatiku mendengar kepastian dari Mas Danu.Aku heran dengan perempuan seperti Maya. Dia katanya baru saja bercerai dengan suaminya, tapi kenapa dia tidak menghabiskan masa iddah di rumahnya. Jika seorang perempuan bercerai sebelum habis masa Iddah maka harus tetap berdiam diri di rumah. Dilarang keluar kecuali dengan alasan yang sangat penting.Apa lagi Maya masih proses perceraian. Surat cerai belum keluar artinya belum ketuk palu, maka dia pun tidak boleh ke luar dari rumah suaminya sebelum keputusan mutlak dari hakim.
Tak kuhiraukan paman. Terserah saja mau marah atau enggak. Nayata emang begitu. Udah numpang, maling pula!Sampai dalam aku dikejutkan dengan kehadiran ibu dan juga bapakku. Memang aku memberi tahu mereka tentang acara syukuran yang akan aku gelar, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan datang ke sini dan yang lebih mengejutkan lagi adalah kedatangan Wira dan Dina. Bukan aku tidak senang saudaraku datang, tapi aku masih trauma dan juga takut Wira akan berulah seperti dulu lagi. Mas Danu pun sama sepertiku terkejut melihat kedatangan Wira. Wira menyambut kami membawakan kardus berisi aneka jajanan yang kujinjing. Senyumnya terus mengembang. Dina pun demikian. Perutnya buncit Alhamdulillah Dina sudah hamil lagi. Ini merupakan kehamilannya yang ke dua karena yang pertama dulu keguguran.“Apa kabar Bu, Pak? Aku kangen,” kataku seraya kupeluk ibuku. Aku sengaja enggan menyapa Wira dan istrinya. Rasanya setiap melihat mereka kenangan buruk berkelebat di mataku.“Alhamdulillah Ibu baik, Bap
"Mbak, aku ada perlu sama Mbak, bisa kita bicara berdua saja?” Wira mencekal tanganku saat aku baru saja mau masuk kamar.Hari ini lelah sekali karena yang mengurus semuanya aku. Mas Danu selesai mengantar langsung ke toko.“Mbak capek Wir, nanti saja, ya?” tolakku.Aku memang sengaja menghindar dari Wira. Bukannya sombong, tapi entah kenapa hatiku belum sreg sama anak itu.Wira terlihat menahan marah, dia balik badan dan mengepalkan tangannya meninju ke udara. Ck, masih belum berubah.Kutidurkan Kia aku pun ikut rebahan. Enak sekali meluruskan pinggang.“Mbak, sudah belum ganti bajunya aku mau bicara sebentar saja,” tanya Wira tangannya sibuk mengetuk pintuku. Untung saja pintunya aku kunci kalau tidak mungkin dia akan nyelonong masuk begitu saja.Ting!Anda telah ditambahkan.Sebuah notifikasi dari grup WA baru."Kece. Kajian emak-emak colehah."Duh, ini grup apaan si, enggak nyambung sekali. Aku berniat keluar, tapi Ustazah Fatimah sedang mengetik pesan.Oh, ternyata ini grup dibuat
"Iya, ya ampun, aku sampai lupa! Ini Mbak aku mau minta uang, mau pergi main sebentar sama pacarku.” Evi menengadahkan tangannya padaku.“Tidak ada, Vi. Kamu ini minta uang kayak minta apa aja, kamu kira cari uang gampang apa!”“Pelit amat sih, Mbak! 50 ribu rupiah saja Mbak?” pinta Evi memelas.“Baik, tapi tolong kamu lap kaca jendela bagian depan sama samping rumah kalau enggak mau ya, udah,” kataku memberi pilihan.“Iya, baik!” jawab Evi kesal.Baguslah, aku sekarang punya beberapa orang yang bantu-bantu di rumah. Lumayan meringankan pekerjaanku.~k~u🌸🌸🌸Sore ini aku ke rumah Bu RT untuk menyerahkan donasi. Sebenarnya besok juga bisa, tapi aku menghindari kemungkinan yang akan terjadi. Bu Jum bersama gengnya pasti akan banyak mulut.Kata suamiku, jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak tahu, tapi kalau mau secara terang-terangan pun tidak apa-apa.“Ta, mau ke mana, sore-sore gini?” tanya Novi dia sedang di teras rumahnya bersama suaminya.“Ke rumah Bu RT, ada perl
"Ya, Allah, Asih memang benar-benar, ya, bikin orang tua khawatir! Semoga saja Ibumu baik-baik saja mau menerima maafnya Asih."“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ekspresi ibunya Asih pas tahu Asih sudah bertaubat,” sahut Mbak Wulan. “Yang pasti pertama kalinya adalah dia tidak percaya. Terus yang kedua bersyukur banget dan yang ketiga pasti Asih akan dicium-cium," kata Mbak Fitri.“Iya, semoga saja begitu. Ibunya nanti pasti akan terkejut sekali apalagi Asih sudah nge-prank sampai malam ini tidak pulang-pulang." “Iya, ya, sudah kita tinggalin dulu ya, Mbak, masakannya. Kita salat isya jamaah,” ucapku lagi kepada Mbak Fitri dan Mbak Wulan.Kami bergantian mengambil air wudu lalu melaksanakan salat Isya berjamaah. Ya, Tuhan, nikmat mana lagi yang pantas aku dustakan? Aku dikelilingi orang-orang baik dan juga memiliki tetangga yang baik, ipar yang baik, mertua yang baik, semoga tali persaudaraan kami sampai ke jannah-Mu.Setelah selesai salat Isya, kami menyaksikan Mbak Asih ke
Sebelum wudu aku bergegas menghampiri Mbak Wulan dan juga Mbak Fitri yang ternyata sedang sibuk meracik lalapan untuk diletakkan di dalam nampan panjang.“Mbak Fitri, Mbak Wulan, maaf, ya, aku jadi cuekin kalian berdua, loh. Bukan maksud hati mau mencuekin kalian berdua, cuman tadi Mbak Asih banyak curhat enggak enak juga kalau ditinggal. Maaf banget ya, Mbak,” ucapku tulus.“Tidak apa-apa, Ta. Kami happy-happy aja kok! Di sini enggak usah merasa dicuekin. Lagi pula kan, tuan rumahnya bukan cuma kamu. Ada ibumu, ada mama mertua kamu. Kami tadi asik ngobrol, tapi karena kamu memang kebetulan lama makanya mereka nyusul ke sana. Semua sudah selesai, kita tinggal bikin sambal terasi aja, bikinnya nanti kalau bapak-bapak sudah pada pulang. Kalau bikin sekarang nanti enggak seger," jawab Mbak Wulan.“Iya, betul! Apa yang dibilang Fitri. Kami enjoy aja kok, lagi pula mungkin Mbak Asih memang lagi merasa ingin didengarkan, tapi sepertinya happy ending, ya? Sebab tadi kelihatan dari sini kamu
"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Ta. Kamu sungguh berhati mulia. Aku menyesal sudah menyia-nyiakanmu selama ini."“Sama-sama, Mbak."“Oh, ya, Ita, nanti juga aku mau belajar ngaji Tahsin ikut kamu pengajian di rumah Ustazah, boleh?"“Boleh, pokoknya boleh semua kalau itu untuk kebaikan, Mbak Asih," jawabku semangat.“Sekali lagi, terima kasih atas kesabaranmu, aku jadi bisa begini. Karena kesabaran ibu dan doa ibu, aku jadi bisa memperbaiki diri seperti ini. Aku akan buktikan ke kamu dan orang-orang yang sudah menghinaku bahwa aku bisa jadi lebih baik lagi dari sebelumnya."“Nah, gitu dong, Mbak, semangat pokoknya! Mbak Asih harus tetap semangat dan istiqomah, bagaimana pun nanti rintangan dan ujiannya. Aku yakin, Mbak Asih, bisa karena aku tahu Mbak Asih ini Wonder Woman."“Wonder Woman sudah kayak lagunya Mulan Jameela aja. Makasih banyak, ya, adikku yang cantik. Alhamdulillah aku malam ini bahagia sekali, Ita."“Sama-sama, Mbakku yang cantik. Aku pun bahagia," jawabku.Kami
Sejatinya manusia itu memang berproses, dari yang tidak tahu apa-apa hingga tahu segalanya.Itulah sebabnya pendidikan sangat penting untuk kehidupan kita baik itu pendidikan agama, pendidikan di bangku sekolahan, ataupun pendidikan dari lingkungan sekitar. Itu semua yang akan menyebabkan kita jadi lebih baik, dewasa, dan bisa menyikapi segala sesuatu dengan adil sesuai porsinya.Aku percaya memang semuanya butuh proses, begitupun dengan Mbak Asih. Siapa yang akan menyangka dengan tiba-tiba di senja ini penuh dengan kejutan. Dia menyadari semua kesalahannya, dia menyadari semua kekhilafannya.Senja bahagia bagiku dan keluargaku, meskipun masih banyak kerikil yang menghalangi jalan hidup kami di depan. Salah satunya adalah teror yang ditujukan untuk keluarga kecilku. Tapi, itu semua tidak berarti apa-apa karena aku malam ini sungguh bahagia dengan perubahan Mbak Asih.Terima kasih ya, Allah ... Engkau telah kabulkan doa kami. Terima kasih ya, Allah, satu demi satu kehidupan yang aku j
Aku tersenyum menanggapi curhatan Mbak Asih. Dia memang benar-benar luar biasa bisa mengendalikan emosinya saat bertemu dengan orang yang dicintainya sekaligus orang yang membuat hidupnya berantakan dan hancur.“Alhamdulillah ... semoga Mbak Asih tetap istiqomah pada keputusan, Mbak Asih. Mbak Asih tidak goyah lagi. Aku doakan semoga suatu hari nanti akan dapat jodoh yang jauh lebih baik dari Mas Roni. Kalau Ibu tahu ini pasti Ibu senang banget, Mbak, nanti aku kasih tahu Ibu, ya?” ucapku.“Jangan, Ta, jangan dikasih tahu ibu, biar aku saja yang bilang sekaligus aku meminta maaf pada ibu,” jawab Mbak Asih.“Oh, gitu, Mbak. Ya, sudah baiklah ... semangat ya, Mbak, untuk hidup yang lebih baik lagi. Intinya aku hari ini senang sekali bisa melihat Mbak Asih begini. Oh, ya, lusa kita ada ruqyah lagi, Mbak Asih, mau kan, di ruqyah lagi?” tanyaku.“Mau, dong, Ta! Setelah ruqyah dua kali kemarin aku memang merasa lebih nyaman dan tenang gitu. Jadi, kalau besok aku di ruqyah lagi aku senang. T
“Mbak Asih, mau ikut masak-masak atau tetap di sini?” tanyaku padannya.“Aku, mau di sini saja, Ta, sambil menunggu waktu Isya Aku ingin ngaji,” jawab Mbak Asih.“Alhamdulillah ... aku senang sekali. Mbak Asih bisa begini. Akhirnya doa-doa tulus kami untuk Mbak Asih dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Kalau boleh tahu memang tadi Mbak Asih ketemu dengan Mas Roni, apa yang dibicarakan, kok sampai Mbak Asih bisa berubah sedrastis ini?” tanyaku padanya.Aku penasaran sekali karena setelah pertemuan tadi dengan Mas Roni Mbak Asih tiba-tiba saja langsung berubah. Aku percaya tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah dan Allah itu maha membolak-balikkan hati hambanya itu sebabnya Mbak Asih bisa berubah seperti ini.Aku hanya penasaran saja apa yang katakan dengan Mas Roni sampai membuatnya tersadar bahwa yang dilakukannya selama ini adalah salah.“Tadi itu, Ta, aku dan Mas Roni berantem hebat,” jawab Mbak Asih.“Berantem gimana maksudnya? Mas Roni tidak main fisik, kan, Mbak? Dia tidak
“Iya, ayo kita salat dulu, Ta! Nanti keburu waktu maghribnya habis!” ajak Mbak Asih.Aku, Mbak Wulan, Mbak Fitri, saling berpandangan heran melihat tingkah Mbak Asih yang tiba-tiba bisa senormal ini. Ya, Allah, semoga saja Mbak Asih tidak akan kumat lagi dan benar-benar menjadi orang normal seperti sebelumnya.“Ini coklat dari mana, Ta?" tanya Mama Atik.“Mbak Asih yang bawa. Itu katanya dikasih Mas Roni. Tadi mereka habis ketemuan di ujung gang sana.”“Ya, Allah, ketemuan sama istri cuma dikasih coklat!?” Mamah Atik pun heran dengan tingkah Mas Roni.“Iya, gitulah, Mah, namanya juga Mas Roni. Ya, sudah, aku salat dulu minta tolong itu kue cubitnya, ya, Mah? bentar lagi mateng.”“Iya, ya, sudah sana kalian salat dulu.”selesai salat aku bermunajat pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas segala nikmat yang telah diberikan padaku dan keluargaku hari ini. Semoga apa yang kami lakukan hari ini jika terdapat banyak kekhilafan Allah yang mengampuni dosa-dosa kami dan apabila terdapat banyak ke
"Ada apa, ya, Guccinya bisa jatuh sendiri, Ta?” tanya Mbak Wulan..“Setahu, aku, Mbak, biasanya sih, kesenggol kucing. Dia itu kan, punya kucing kecil. Dia tuh suka lari sana, lari sini dan suka merobohkan benda-benda gitu, tidak sengaja sih,” jawabku beralasan.“Ya, sudah enggak usah di perhatikan lebih baik kita sekarang masak sebentar lagi Magrib dan suami-suami kita pasti akan pulang," imbuhku.Kami menyiapkan bahan-bahan yang akan kami masak setelah Maghrib, meski sebenarnya hatiku gelisah karena memikirkan Gucci yang jatuh tadi, tapi aku berusaha bersikap biasa saja agar tetanggaku tidak mengetahui masalah yang kami hadapi saat ini.“Ita ... assalamualaikum lihat nih aku dapat coklat,” sapa Mbak Asih, dia masuk dari pintu samping.”“Coklat dari mana, Mbak, banyak sekali?” jawabku. Mbak Asih masih menenteng plastik berlogo minimarket terkenal seantero negeri ini.“Dapat, dari Mas Roni. Tadi aku ketemuan sama dia di ujung gang sana,” jawab Mbak Asih. Berarti benar apa yang diceri
“Wah, boleh itu nanti habis Maghrib. Kalu kita masak-masaknya sekarang kan, ini sudah mau Maghrib lebih baik kita persiapan untuk salat dulu.”Tak lama berselang Mbak Wulan dan Mbak Fitri datang.“Waalaikumsalam ... alhamdulillah ada tamu jauh silakan Mbak Fitri, Mbak Wulan, masuk. Ayo, kita langsung ke ruang tengah saja!” ajakku pada kedua temanku. Aku bahagia sekali kalau ada tamu yang datang ke rumah.“Masya Allah ... Ita, Mbak benar-benar baru kali ini masuk rumah kamu. Waktu pengajian itu kan, tidak sempat datang yang datang suami. Masya Allah rumahmu bagus sekali, ya. Doakan Mbak Fitri biar bisa punya juga rumah begini, ya, walaupun tidak sebagus punya kamu setidaknya mirip-mirip sedikit lah, Mbak seneng loh kalau main di rumah orang kaya, tapi orang kayanya baik hati,” ucap Mbak Fitri.“Alhamdulillah Mbak ... ini semua berkat doa orang tua dan kegigihan kerja keras suamiku. Mari silakan, aku ambilin minum dulu ya, Mbak Wulan sama Mbak Fitri mau minum apa, nih?”“Ya, Allah, sera