Di hari pertamanya kembali kerja setelah menikah, Davin pulang agak malam karena harus menyelesaikan pekerjaannya yang terbengkalai selama cuti kemarin.Pukul delapan malam lewat sepuluh menit. Itu yang dinyatakan penunjuk waktu digital di gawainya. Sementara tumpukan berkas di atas meja yang harus dianalisa dan membutuhkan approval masih menggunung tinggi.“Dave, masih lama ya pulangnya? Aku kangen, Dave!”Davin tersenyum saat membaca deret demi deret kata di gawainya. Ini entah sudah pesan ke berapa yang dikirim Angel padanya. Tadi Davin memang sudah mengabari pada istrinya itu kalau akan terlambat pulang. Tapi Davin belum mengatakan tentang perintah Kiano padanya.“Sebentar lagi ya, Dek, tapi aku mampir ke rumah papi dulu. Mami lagi sakit.” Davin segera membalas pesan itu agar Angel tidak terus-terusan merisaukannya.“Jangan-jangan lama ya, Dave, aku kangen…” Senyum Davin terkembang lagi. Dalam waktu kurang dari dua menit sudah dua kali Angel bilang kangen.“Iya, Sayang, i’ll be th
Masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, Davin tidak langsung pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Davin mengambil gawai dan mencari nama Dylan di daftar kontak. Begitu menemukannya Davin segera men-dial. Setelah mengetahui perasaan Gendiz tadi Davin merasa ingin bicara dengan Dylan. Siapa tahu dia bisa membantu.Tapi percuma. Meski sudah meredial beberapa kali, Dylan tidak bisa dihubungi. Mungkin dia sudah mengganti nomornya dan memutus komunikasi dengan siapapun yang mengenalnya.Dengan rasa kecewa, Davin menyimpan kembali gawainya lalu pergi. Dia harus pulang sekarang.Ingatan tentang Dylan dan perasaan kasihannya pada Gendiz terus menghantui Davin. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya selain berharap sang adik akan segera bertemu jodoh yang jauh lebih baik.Dari dalam mobil, Davin melihat Angel sedang duduk menunggunya di beranda. Wajahnya yang resah tersorot jelas oleh cahaya lampu mobil. Saat mengetahui Davin yang datang, senyumnya merekah. Angel lalu bangkit dari dudukn
Setelah menempuh penerbangan sekitar dua jam empat puluh menit, akhirnya Davin dan Angel mendarat dengan selamat di Delta Island. Pulau milik pribadi yang masih perawan itu hanya bisa ditempuh dengan pesawat pribadi serta kapal. Tidak ada transportasi publik yang disengaja ke sana maupun sekitarnya kecuali carteran yang biasanya digunakan oleh wisatawan maupun penduduk lokal.Di sekitar Delta Island masih banyak pulau kecil dan terluar lain yang rata-rata adalah kepunyaan pribadi dan dijadikan sebagai destinasi wisata.Pembangunan resort di Delta Island baru mencapai 80%. Meskipun begitu sudah terlihat geliatnya. Kalau sudah rampung nanti pulau ini akan menjadi destinasi wisata para kaum borjuis atau setidaknya bagi mereka yang ingin menikmati indahnya surga dunia.Hamparan pasir putih di sepanjang pesisir pantai serta air laut berwarna biru cenderung turquoise menyapa dan memenuhi ruang mata keduanya begitu mereka menginjakkan kaki setelah turun dari pesawat.“Ya ampun, Dave, ini sih
Davin mendominasi dan memenjarakan Angel di bawahnya. Tubuh mereka yang bersimbah peluh melebur menjadi satu. Semilir angin yang berembus dan menerobos masuk melalui jendela kamar yang dibiarkan terbuka tidak akan berpengaruh apa-apa bagi keduanya karena tubuh mereka jauh lebih panas.Davin yang bergerak liar perlahan melambat dan membalikkan Angel yang tadi berada di bawah dan memosisikan di atasnya tanpa melepas penyatuan.Baru saja Angel akan mengambil alih dominasi Davin, terdengar pintu diketuk dari luar. Angel dan Davin saling berpandangan, mengira-ngira siapa yang datang.“Lanjutin aja, Dek,” desis Davin dan meminta Angel agar tidak memedulikan gangguan dari setan manapun di luar sana.Angel mencengkram pinggul Davin, membentuk pertahanan dan mengembalikan ritme seperti semula. Gerakan aestheticnya seperti berpacu dengan ketukan di depan pintu yang tak kunjung berhenti.“Mas Davin, ini saya, Mas, Nilam.”Raut keduanya mencetak kesal karena merasa terganggu. “Mas Davin, bisa b
Keluar dari bungalow, Davin dan Angel mendatangi bungalow di sebelahnya untuk menemui Ganda dan mengajaknya pergi.Di sebelah Davin, Angel bergayut erat dan tidak melepaskannya sedikit pun. Davin sih senang-senang saja. Tapi mungkin orang yang melihat mereka yang akan merasa risih.Seorang perempuan separuh baya yang Davin kira istri Ganda membuka pintu. Senyumnya terkembang lebar saat melihat tamunya adalah atasan sang suami.“Eh, Mas Davin, ayo silakan masuk dulu!”“Makasih, Bu, Pak Ganda ada?”“Ada, tapi sedang mandi, ditunggu sebentar ya!” Amira—istri Ganda memberi jalan agar Davin dan Angel bisa lewat.Davin pun mengayun langkah ke dalam. Angel mengekor di belakangnya.“Bu, ini tempat makanannya, terima kasih ya,” ucap Angel sambil meletakkan kotak makanan di atas meja.“Gimana rasanya, Mbak Angel? Apa enak?”“Enak, Bu, saya suka.”“Eh, ada Mas Davin.“ Sosok Nilam tiba-tiba muncul dari arah dalam.Wajah Angel seketika berubah. Perempuan itu kembali mengaitkan tangannya yang semp
Malam itu Angel berbaring di pangkuan Davin yang mengusap-usapnya serta menelusupkan jari ke tiap helai rambutnya. Sejak sore tadi tidak ada yang mereka lakukan selain mengurung diri di dalam bungalow. Seharusnya mereka bisa menikmati sunset, tapi mood keduanya terlanjur memburuk.“Aku bosan di kamar terus, Dave,” keluh Angel lantas bangun dari paha Davin yang dijadikannya bantal. Ini baru hari pertama dan mereka akan berada di sana empat hari lagi. Semestinya pulau itu menjadi tempat yang menyenangkan bagi keduanya. Tapi Nilam si pengacau membuat semua berantakan. Angel rasa tidak ada yang lebih menyebalkan dari perempuan itu. Mungkin Nilam tidak jahat tapi tingkah dan kelakuannya nggak banget.“Ayo, Dek!” Davin lalu berdiri mengikuti Angel. Mereka berjalan berangkulan menuju pantai. Malam itu lumayan cerah. Bintang-bintang bertaburan indah di langit.Keduanya duduk beralaskan sandal di atas hamparan pasir putih. Suasana pulau itu benar-benar pas bagi pengantin baru seperti mereka.
Angel masih bermalas-malasan di bawah selimut. Sedangkan Davin sudah keluar dari bungalow sejak tadi. Seperti yang sudah dijanjikannya pada Angel kemarin malam, hari ini Davin mengurus segala sesuatunya agar besok sudah bisa pulang.Sambil menutup mulut yang menguap, Angel menjangkau gawainya. Dia mengesah kecewa saat tidak melihat sebaris pun garis sinyal di sana. Memang iya, hanya ada satu provider di sana dan itu pun sering hilang timbul seperti saat ini.Angel tersenyum sendiri saat membayangkan pasti nan jauh di sana kedua orang tuanya mengkhawatirkan keadaannya karena Angel tidak bisa dihubungi. Apalagi Bian. Angel bisa membayangkan seperti apa raut wajah sang ayah serta kerutan di dahinya saat memikirkan dirinya.Angel bangkit dari tempat tidur. Dilihatnya isi kotak makanan yang tidak lagi utuh, mungkin karena Davin sudah memakannya sebagian.Nasi goreng dengan taburan aneka seafood membuat perutnya yang keroncongan semakin lapar. Selama di sini setiap hari mereka mengonsumsi m
Angel yang memeluk Davin perlahan melepaskan dekapannya saat menyadari ada orang selain mereka berdua di sana. Perasaannya yang tadi mengharu biru sontak berubah saat melihat Nilam. Perempuan itu sudah keterlaluan. Angel ingin memberi pelajaran pada mulutnya yang sepertinya tidak tamat sekolah.“Nilam, kayaknya kamu butuh piknik deh. Saya khawatir lama-lama di sini bukan hanya pikiran kamu yang mumet, tapi hati kamu juga busuk.” Kata-kata Angel memang diucapkan dengan nada biasa dan teramat santai, tapi jelas terasa sangat menusuk. Nilam hanya diam memandangi punggung Angel dan Davin yang menjauh. “Benar kan apa yang aku bilang? Dia itu suka sama kamu, jadinya pas ada kesempatan dia nyuri-nyuri buat narik perhatian kamu,” oceh Angel saat mereka sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan Nilam.“Biarin aja, Dek, yang penting aku nggak suka sama dia,” balas Davin ringan merespon kata-kata Angel.“Sekali lagi dia godain kamu, aku tarik-tarik rambutnya sampe botak, aku cakar mukanya