Bian kembali masuk ke ballroom untuk menemui Gladys. Sementara Tatiana berjalan mengikuti di belakangnya. Tatiana ingin membuktikan sendiri apa Bian sanggup meninggalkan Gladys seperti yang dia katakan tadi.
Bian duduk di kursi di sebelah Gladys. Dia rasa perlu bicara baik-baik sebelum pergi.Gladys memandang tidak suka pada Tatiana yang berdiri seperti bodyguard seolah sedang mengawasinya. Dipandang seperti itu Tatiana membalas dengan melipat tangan di dada, kemudian memalingkan muka.Bian terbatuk-batuk kecil. Dia terpaksa berada lagi dalam situasi dilematis seperti ini. Seharusnya mudah saja bagi Bian. Dia tinggal mengajak Tatiana, lalu pulang. Nyatanya begitu sulit. Sejujurnya, satu sisi hatinya masih menyisakan rasa untuk Gladys. Sementara sisi hatinya yang lain masih abu-abu.“Kenapa, Bi?” tanya Gladys saat melihat muka Bian yang tegang.Bian menghela napas. Diliriknya Tatiana yang sedang berdiri sekilas, lalu kembali memindahkan mata p“Mama!” Lala berseru riang saat melihat Tatiana kembali muncul.“Lho, nggak jadi pulang?” tanya Rei heran. Seingatnya tadi Tatiana sudah berpamitan padanya. Tatiana menggeleng pelan. “Nggak jadi,” jawabnya sambil tersenyum lebar, seolah tidak terjadi apa-apa.“Kenapa?” Rei bertanya lagi.“Aku pulangnya sama kamu aja deh, nggak apa-apa kan?”“Bian mana?” Rei melongok ke arah pintu mencari sosok dimaksud.“Dia udah pulang sama Gladys.”“Terus kamu ditinggalin gitu aja?”Tatiana mengangakat bahu. Dia tidak ingn membahasnya.“Eh, La, pudingnya enak nggak?” Tatiana buru-buru bertanya saat melihat puding di atas meja. Bahkan punyanya tadi juga belum sempat dia cicipi.“Enak banget, Ma, cobain deh.”Tatiana langsung mengambil puding lapis cookies di meja dan mencicipinya.“Hmm… iya, beneran enak ternyata,” komentarnya setelah itu.Rei terus memandangi Tatiana yang terlihat biasa dan kini sedang menanggapi celotehan Lala dengan riang. Dia tidak terlihat sedih sama sekali. Apa memang dia sek
“Ma, ini di mana?” tanya Lala yang terbangun saat mobil Rei berhenti di depan rumah Tatiana. Sepasang mata bulatnya berlarian ke sana kemari.“Ini di rumah Mama, La,” jawab Tatiana. “Rei, mampir dulu yuk,” ajaknya kemudian.“Udah malam, nggak enak,” jawab Rei menolak.“Ayolah, Pa, kita turun, aku pengen lihat rumah Mama.” Lala menarik tangan Rei.Rei mengangguk pelan dan memenuhi keinginan anaknya. Rumah itu terlihat sepi seperti tidak ada penghuni.“Kayaknya mama sama Sandra belum pulang dari resto,” kata Tatiana, lantas mengeluarkan kunci cadangan dari dalam tas dan membuka pintu. “Masuk dulu, yuk, di luar banyak nyamuk,” ujarnya lagi. Semula Rei ingin duduk di beranda. Walau bagaimanapun dia hanya ingin mengantisipasi omongan dan pikiran buruk orang-orang. Apalagi tidak ada orang dewasa lain kecuali mereka berdua. Pada akhirnya Rei pun memilih masuk setelah Lala menarik-narik tangannya.“Jadi di sini cuma tinggal mama sama adek kamu?” tanya Rei setelah mereka duduk di sofa rua
Tanpa terasa tiga minggu berlalu. Tapi tidak ada yang ingin mengalah. Bian membiarkan Tatiana di rumah orang tuanya. Dan Tatiana pun tidak ingin pulang. Tidak ada kabar dari Bian. Dia tidak pernah menelepon atau mengutus Mario datang menemuinya dan meminta Tatiana untuk pulang. Mereka memilih untuk memanjakan ego masing-masing. Mungkin untuk sementara memang lebih baik begini. Dari pada berdekatan tapi terus bersiteru dan saling menyakiti satu sama lain. Iya kan?Hari ini sepeti biasa juga, Tatiana menjalani rutinitasnya bekerja sebagai sekretaris Rei. Pekerjaan yang sangat menyenangkan. Tidak hanya karena gajinya yang besar, tapi bekerja dengan Rei baginya sudah seperti bekerja dengan sahabat atau bahkan sudah melebihi saudara sendiri. Dan siang ini Tatiana sedang berada di lantai dasar kantornya bersama Franda. Ada coffee shop yang baru saja dibuka di sana. Tidak hanya menjual kopi dan sejenisnya. Tapi juga minuman kekinian lain yang sedang hits dimana-mana.Berdiri di depan pintu
Saat membuka mata, Tatiana mendapati dirinya sedang berada di ruang asing yang sama sekali tidak familiar dengannya. Aroma menusuk khas rumah sakitlah yang memanggil kesadaran Tatiana agar segera datang. Di ruangan yang sama dengannya, ada dua orang yang begitu dia kenali. Rei dan Franda. Sama seperti orang-orang pada umumnya, rona khawatir begitu kental menghiasi wajah mereka. Tatiana mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi dengan mengumpulkan serpihan ingatannya. Hal yang pertama berhasil diingatnya adalah saat dia sedang antri di coffee shop. Keluar dari sana dia jatuh saat sedang mengejar lift karena ditabrak seseorang. Tatiana kesulitan untuk berdiri hingga akhirnya seorang petugas cleaning service membantunya. Dan kemudian saat sedang menunggu di depan lift, tiba-tiba saja kepalanya menjadi pusing hingga gelap di sekelilingnya. Lantas Tatiana tidak tahu apa-apa lagi setelah itu.“Tia!” Franda yang sedang duduk di sofa rumah sakit langsung berseru begitu mendengar deheman
Rei dan Franda sudah pergi. Mereka kembali ke kantor. Rei berjanji akan kembali lagi nanti sore. Dan sekarang Alya yang menjaga Tatiana di rumah sakit. “Bian sudah dikasih tahu apa belum?” tanya Alya karena tidak menemukan siapa-siapa di sana selain Tatiana. Tadi Rei yang meneleponnya dan meminta untuk datang.Tatiana menggeleng pelan. “Belum, Ma."“Kenapa belum datang?” Alya bertanya heran. Menurutnya Bian harus segera diberitahu. Bukankah ini kabar bahagia?“Dia lagi kerja, Ma. Aku nggak mau ganggu dia.” Tatiana beralasan dan berharap ibunya itu tidak akan bertanya lagi.“Mengganggu gimana? Apa pun yang terjadi pada kalian, Bian tetap harus tahu kalau kamu sedang mengandung anaknya.”Tatiana menghela napas. Tidak ada yang mengerti perasaannya. Andai saja Alya tahu fakta sesungguhnya, Tatiana jamin responnya akan berbeda.Alya menyentuh lengan Tatiana dan memberinya nasihat. "Tia, Mama nggak tau apa masalah kalian sebenarnya. Tapi Mama rasa kalian hanya salah paham dan misskomunika
Sepanjang perjalanan pulang Tatiana lebih banyak diam. Dia lebih memilih berbicara dengan hatinya sendiri. Pertemuan tanpa sengaja dengan Bian tadi mau tidak mau sudah mengusiknya. Andai saja tidak ada Gladys, meskipun sikap Bian dingin padanya, tapi pasti Tatiana sudah mengajak Bian bicara. Tapi biarlah, toh sudah terjadi. Tidak ada gunanya disesali.Rei langsung pergi setelah mengantar Tatiana. Dia sudah berjanji pada Lala akan pulang sebelum malam.“Kalau masih belum pulih betul besok nggak usah ngantor dulu.” Rei berpesan sebelum pergi.“Iya, makasih,” jawab Tatiana, lalu menunggu sampai Rei menghilang dari pandangan. Setelahnya dia masuk ke dalam rumah.Alya mengikuti Tatiana sampai ke kamar. Perasaannya tidak enak. Sudah lebih dari tiga minggu Tatiana tinggal di rumahnya, padahal waktu itu Tatiana bilang cuma satu malam. Kalau tidak ada masalah yang besar tidak mungkin putrinya itu masih terus berada di rumahnya dan tidak pulang-pulang. Duduk di tepi ranjang, Alya mulai bicara
“Tia, kamu nggak apa-apa?” Franda yang baru saja masuk ke toilet mengkhawatirkan kondisi Tatiana yang kini membungkuk di atas wastafel. Dadanya berguncang kencang, bahunya juga naik turun. Suara-suara muntahan mencuri keluar dari mulutnya.Saat ini Tatiana sedang berjuang melawan mual yang terus mendera. Hari ini tepat satu minggu setelah dia mengetahui mengenai kehamilannya. Hal itu juga berarti sudah satu bulan dia berpisah dengan Bian. Ya, sudah selama itu. Dan hingga saat ini tidak satu pun dari mereka memulai komunikasi. Baik Bian maupun Tatiana.Hueekk…Tatiana kembali memuntahkan isi perutnya ke wastafel hingga tidak ada yang tersisa kecuali cairan berwarna kekuningan. Sudah sejak tadi dia melakukan hal yang sama. Mungkin lebih dari sepuluh menit yang lalu.Franda mendekat, lalu mengusap-usap pundak dan punggung Tatiana. Tatiana merasa sedikit lebih baik dengan tindakan itu mesti tidak sepenuhnya membuat dirinya nyaman.“Aku antar ke klinik ya?” Franda menawarkan diri. Dia sung
“Tia ...” Sekali lagi Bian memanggil Tatiana yang mematung di hadapannya.“Iya.” Tatiana menjawab sama seperti tadi.“Gimana kabar kamu?” Bian mengulangi kembali pertanyaannya.“Baik,” sahut Tia singkat dengan nada biasa. Sepenting itukah bagi Bian untuk mengetahui keadaannya? Terus setelah dia tahu keadaannya apa dia akan peduli?“Tapi kamu kayak lagi sakit.”“Iya, sakit hati.” Bian langsung terdiam. Dia merasa tersentil oleh jawaban Tatiana barusan.Tatiana lalu menarik langkah melintasi Bian. Dia tidak ingin lebih lama lagi berada di sana. “Tia, tunggu!” Bian menjangkau lengan Tatiana sehingga menghentikan langkah kakinya. “Aku mau bicara sebentar.”“Aku nggak punya banyak waktu, aku harus kerja.” Tatiana mencoba membebaskan tangan dari cekalan Bian.“Hanya sebentar, nggak akan lama.”“Kalau gitu bilang aja sekarang,” ujar Tatiana agar Bian segera mengatakannya. “Nggak di sini tapi. Bisa kan kita ngobrolnya di coffee shop bawah?”Tatiana melirik jam tangannya seraya mempertimba