Rei dan Franda sudah pergi. Mereka kembali ke kantor. Rei berjanji akan kembali lagi nanti sore. Dan sekarang Alya yang menjaga Tatiana di rumah sakit. “Bian sudah dikasih tahu apa belum?” tanya Alya karena tidak menemukan siapa-siapa di sana selain Tatiana. Tadi Rei yang meneleponnya dan meminta untuk datang.Tatiana menggeleng pelan. “Belum, Ma."“Kenapa belum datang?” Alya bertanya heran. Menurutnya Bian harus segera diberitahu. Bukankah ini kabar bahagia?“Dia lagi kerja, Ma. Aku nggak mau ganggu dia.” Tatiana beralasan dan berharap ibunya itu tidak akan bertanya lagi.“Mengganggu gimana? Apa pun yang terjadi pada kalian, Bian tetap harus tahu kalau kamu sedang mengandung anaknya.”Tatiana menghela napas. Tidak ada yang mengerti perasaannya. Andai saja Alya tahu fakta sesungguhnya, Tatiana jamin responnya akan berbeda.Alya menyentuh lengan Tatiana dan memberinya nasihat. "Tia, Mama nggak tau apa masalah kalian sebenarnya. Tapi Mama rasa kalian hanya salah paham dan misskomunika
Sepanjang perjalanan pulang Tatiana lebih banyak diam. Dia lebih memilih berbicara dengan hatinya sendiri. Pertemuan tanpa sengaja dengan Bian tadi mau tidak mau sudah mengusiknya. Andai saja tidak ada Gladys, meskipun sikap Bian dingin padanya, tapi pasti Tatiana sudah mengajak Bian bicara. Tapi biarlah, toh sudah terjadi. Tidak ada gunanya disesali.Rei langsung pergi setelah mengantar Tatiana. Dia sudah berjanji pada Lala akan pulang sebelum malam.“Kalau masih belum pulih betul besok nggak usah ngantor dulu.” Rei berpesan sebelum pergi.“Iya, makasih,” jawab Tatiana, lalu menunggu sampai Rei menghilang dari pandangan. Setelahnya dia masuk ke dalam rumah.Alya mengikuti Tatiana sampai ke kamar. Perasaannya tidak enak. Sudah lebih dari tiga minggu Tatiana tinggal di rumahnya, padahal waktu itu Tatiana bilang cuma satu malam. Kalau tidak ada masalah yang besar tidak mungkin putrinya itu masih terus berada di rumahnya dan tidak pulang-pulang. Duduk di tepi ranjang, Alya mulai bicara
“Tia, kamu nggak apa-apa?” Franda yang baru saja masuk ke toilet mengkhawatirkan kondisi Tatiana yang kini membungkuk di atas wastafel. Dadanya berguncang kencang, bahunya juga naik turun. Suara-suara muntahan mencuri keluar dari mulutnya.Saat ini Tatiana sedang berjuang melawan mual yang terus mendera. Hari ini tepat satu minggu setelah dia mengetahui mengenai kehamilannya. Hal itu juga berarti sudah satu bulan dia berpisah dengan Bian. Ya, sudah selama itu. Dan hingga saat ini tidak satu pun dari mereka memulai komunikasi. Baik Bian maupun Tatiana.Hueekk…Tatiana kembali memuntahkan isi perutnya ke wastafel hingga tidak ada yang tersisa kecuali cairan berwarna kekuningan. Sudah sejak tadi dia melakukan hal yang sama. Mungkin lebih dari sepuluh menit yang lalu.Franda mendekat, lalu mengusap-usap pundak dan punggung Tatiana. Tatiana merasa sedikit lebih baik dengan tindakan itu mesti tidak sepenuhnya membuat dirinya nyaman.“Aku antar ke klinik ya?” Franda menawarkan diri. Dia sung
“Tia ...” Sekali lagi Bian memanggil Tatiana yang mematung di hadapannya.“Iya.” Tatiana menjawab sama seperti tadi.“Gimana kabar kamu?” Bian mengulangi kembali pertanyaannya.“Baik,” sahut Tia singkat dengan nada biasa. Sepenting itukah bagi Bian untuk mengetahui keadaannya? Terus setelah dia tahu keadaannya apa dia akan peduli?“Tapi kamu kayak lagi sakit.”“Iya, sakit hati.” Bian langsung terdiam. Dia merasa tersentil oleh jawaban Tatiana barusan.Tatiana lalu menarik langkah melintasi Bian. Dia tidak ingin lebih lama lagi berada di sana. “Tia, tunggu!” Bian menjangkau lengan Tatiana sehingga menghentikan langkah kakinya. “Aku mau bicara sebentar.”“Aku nggak punya banyak waktu, aku harus kerja.” Tatiana mencoba membebaskan tangan dari cekalan Bian.“Hanya sebentar, nggak akan lama.”“Kalau gitu bilang aja sekarang,” ujar Tatiana agar Bian segera mengatakannya. “Nggak di sini tapi. Bisa kan kita ngobrolnya di coffee shop bawah?”Tatiana melirik jam tangannya seraya mempertimba
Meninggalkan coffee shop, Tatiana menarik langkah panjang menuju lantai dua puluh lima. Bukan ke kantornya, tapi dia mampir di toilet. Tatiana rasa dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Ucapan dan sikap Bian tadi membuatnya sakit, bahkan teramat sakit.Di depan kaca wastafel Tatiana berdiri sambil memandangi wajahnya sendiri. Berkali-kali dia mengerjap, menahan air matanya yang hampir saja tumpah. ‘Aku nggak boleh nangis, aku nggak boleh lemah. It’s okay, i’m fine.’ Tatiana mensugesti dirinya sendiri sama seperti sebelum-sebelumnya setiap kali dia merasa jatuh. Ini adalah fase paling terendah dalam hidupnya. Tapi sejauh ini Tatiana mampu bertahan. Dan dia yakin kali ini pun pasti bisa. ‘Aku nggak butuh dia. Aku bisa sendiri menjaga anak ini, sampai dia lahir, sampai dia besar, sampai dia dewasa.’Tatiana menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Dia mencoba berpikir positif dan membuang segala pikiran negatif. Ada atau tidak ada Bian hasilnya akan sama saja. Sekarang
Dua hari berlalu sejak pertemuan terakhir Bian dengan Tatiana. Namun hingga detik ini semua kata-kata Tatiana masih terngiang olehnya. Berdenging seperti lebah yang terus mengelilingi telinganya.“Aku hamil anak kamu. Anak kita berdua.”Nggak mungkin. Itu nggak mungkin terjadi. Bagaimana bisa? Sedangkan banyak orang yang sudah menunggu bertahun-tahun atau mungkin belasan tahun namun tak jua dianugerahi keturunan. Lalu apa kabar dengan dirinya dan Tatiana? Kenapa bisa seekspres itu? Melakukannya juga hanya dua kali. Rasanya agak sulit diterima logika Bian.Semakin keras Bian berusaha untuk mengenyahkan pikirannya tentang Tatiana, maka semakin kuat pula bertahta di ingatannya. Kenapa bisa seperti ini? Bian rasa dia butuh seseorang untuk bicara. Seseorang yang bisa mendengar uneg-unegnya lalu memberinya pencerahan. Bukan seseorang yang akan mencecar dan menghakiminya. Tapi siapa? Tora? Meskipun Bian kerap memperlakukan Tora seperti tempat sampah, dalam artian tempat dia membuang seg
“Tia, tolong maafkan aku.” Suara Bian terdengar lagi, menghalau lamunan singkat Tatiana.“Maaf untuk apa?” Tatiana akhirnya bersuara setelah sedari tadi menyimpan kata.“Karena waktu itu aku meragukan kamu dan anak kita.”Tatiana tersenyum miring. “Anak kita? Memangnya sekarang kamu udah yakin kalau dia anak kita? Kita kan baru melakukannya dua kali. Jadi gimana mungkin? Sedangkan orang yang sudah menikah bertahun-tahun saja banyak yang nggak punya anak. Iya kan?”Bian tak berkutik saat Tatiana membalikkan semua argumennya dulu. Sekarang dia merasa seperti menjilat air ludahnya sendiri.“Pulanglah! Sudah malam. Aku rasa kamu perlu beristirahat agar pikiranmu jernih. Oh iya, sekarang kamu nggak lagi mabuk kan? Maaf, aku tutup pintunya dulu.”Terdengar suara pintu yang ditutup setelahnya. Tatiana sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bian yang berdiri sendiri, terpaku dalam sepi.Sepertinya Bian harus mengapresiasi dirinya sendiri karena kali ini mampu membendung emosi. Hebatnya lagi
Pagi ini Bian tiba di kantor dengan kepala berat. Dia sudah terlambat, bahkan sangat terlambat. Tapi dia tidak peduli. Memangnya siapa yang akan menyalahkannya? Bian langsung menghempaskan tubuh ke atas kursi kerjanya yang empuk dan besar setelah masuk ke ruangannya. Mungkin tubuhnya jauh lebih ringan setelah pelepasan solo tadi pagi. Tapi rasa pusing di kepala sisa hangover semalam masih membekas. Sepasang matanya pun memandang nanar pada tumpukan dokumen di atas meja yang harus dia periksa. Tapi ada yang lebih menarik perhatiannya. Selembar amplop coklat yang tergeletak pasrah di sebelah dokumen-dokumen itu. Paling surat penawaran kerja sama, pikir Bian.Malas-malasan Bian mengambilnya. Mata lelaki itu kemudian melebar saat melihat nama pengirimnya. Dari Pengadilan Agama. Detak jantungnya mengencang saat itu juga. Dengan tidak sabaran Bian segera membuka amplop itu, atau lebih tepatnya merobek. Begitu terbuka Bian segera membacanya. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala tidak pe