Angel dan Davin tiba di rumah keluarga Mahendra dua puluh menit kemudian. Saat mereka sampai di sana, Kiano ternyata juga sudah berada di rumah.“Gimana, Dave, lancar?” Kiano membuka obrolan.“Lancar, Pi, so far so good, nggak ada masalah,” jawab Davin memberikan gambaran singkat hasil tinjauannya kemarin.“Nggak terlalu baik juga sih, Pi,” sela Angel menyangkal.“Kenapa, Ngel? Ada masalah?” Kiano beralih memandang menantunya.“Ada pengacau kecil, Pi.”“Pengacau?” ulang Kiano. Matanya berlarian menatap Angel dan Davin bergantian dengan tatapan minta penjelasan.Angel melirik Davin sekilas seolah ingin meminta izin bahwa dia boleh menceritakannya. Melihat Davin yang diam, Angel yakin bahwa sang suami memberinya izin untuk mengatakannya.“Pengacau gimana maksudnya, Ngel?” Adizty yang juga berada di tengah-tengah mereka sudah tidak sabar ingin tahu cerita lengkapnya.“Itu lho, Mi, Pi, anaknya Pak Ganda suka menggoda Davin. Dia nggak menghargai aku sebagai istri Davin, Mi, Pi,” kata Angel
“Cinta tidak hanya berasal dari mata, tapi kadang datang dari perut.”Angel mengingat baik-baik pesan Tatiana saat mereka berpelukan. Setelah itu Tatiana dan yang lainnya pulang. Hal itulah salah satu alasan Angel berada di dapur pagi ini. Hanya menggoreng frozen food, namun ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Berkali-kali Angel meniup tangannya yang kena cipratan minyak panas dari penggorengan. Berulang-ulang pula embusan napas panjang lolos keluar dari mulutnya.Angel terkesiap ketika tubuhnya dipeluk dari belakang. Dia hampir saja berteriak kalau tidak ingat di rumah ini hanya ada mereka berdua. Jadi pasti yang memeluknya adalah Davin.“Lagi masak apa, Sayang?” Belum sempat Angel berkata, Davin sudah bertanya.“Lagi goreng ayam, tapi kayaknya aku nggak bisa deh,” keluh Angel sambil terus meniup-niup jemarinya.Davin memutar badan Angel menghadap padanya. Diraihnya telunjuk Angel yang kena cipratan minyak panas dan mendekatkan ke mulut lantas menghisapnya.“Kalo kayak gini,
Angel sedang memerhatikan kalender. Matanya menelusuri dengan teliti angka demi angka yang tertera di sana. Perempuan itu hampir saja bersorak saat mengetahui tanggal menstruasinya sudah lewat namun tamu bulanannya tak kunjung datang.Ya Tuhan, apa itu artinya? Angel memegang perutnya dan mengusap perlahan. Harapannya begitu besar untuk memiliki seorang anak, tapi Angel takut berangan-angan terlalu berlebihan, jatuhnya pasti kecewa kalau tidak sesuai ekspektasi. Matanya kemudian tertuju pada tanggal dua hari dari hari ini. Tanggal 19 atau lusa adalah hari ulang tahun Davin. menyadari hal itu, sebuah ide cemerlang melintas di benak Angel. Andai saja dia beneran hamil maka hal itu pasti akan menjadi kado yang sangat istimewa bagi Davin. Sayangnya di bulan ketiga mereka menikah belum ada tanda-tanda kalau dirinya akan berbadan dua. Malahan bulan lalu masa period-nya terasa lebih lama dan berat. Angel sangat tersiksa oleh sakit pada perut, pinggang serta panggulnya. “Ngeliatin apa, De
Angel terjaga dari tidur saat merasa lilitan dari dalam perutnya. Bukan hanya itu, bagian bawah tubuhnya juga terasa basah. Diedarkannya mata ke seisi kamar. Gelap di sekeliling. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari lampu tidur. Di sebelahnya, Davin masih terlelap. Melihat tidurnya yang pulas, Angel tidak tega untuk membangunkannya. Apalagi seharian ini Davin sepertinya terlalu lelah.Dengan hati-hati, Angel turun dari tempat tidur lalu berjalan tertatih ke kamar mandi. Mukanya meringis menahan sakit. Dia hampir saja tergelincir karena gagal menjaga keseimbangan badan. Beruntung, tangannya masih berpegangan ke dinding sehingga tidak jadi jatuh. Menekan saklar, Angel masuk ke kamar mandi yang seketika terang benderang. Angel terkesiap saat membuka celananya yang sejak tadi terasa basah. Rasa kecewa seketika melingkupinya saat melihat cairan merah kecoklatan yang menodai celananya.“Gagal lagi,” desisnya kecewa. Padahal dia sudah berencana akan mengunjungi dokter sore nanti. “
“Aaa…” Bibir mungil itu mengerang pelan. Terdengar kesakitan atau seperti menahan sesuatu. “Ngel, kamu sudah sadar?” Suara itu merasuki gendang telinga Angel. Jelas dan dekat.Digerakkannya kepala pelan-pelan mencari sumber suara. Dan sosok yang ada di sebelahnya membuat Angel kecewa. Kenapa harus dia?“Aku lagi di mana?” Suara Angel yang diucapkan dengan penuh usaha terdengar lirih dan lemah.“Kamu di rumah sakit sekarang, Ngel.”Angel terdiam, seolah sedang berpikir apa yang sudah menimpanya. Belum sampai pikirannya ke sana, lelaki yang mendampinginya segera memberitahu.“Ngel, tadi kamu pingsan di kantor. Aku nggak tahu berapa lama kamu pingsan, tadi pas aku masuk ke ruangan kamu, tahu-tahu kamu udah di lantai.”Angel memperhatikan muka Eriq yang sedang menceritakan kronologi kejadian itu padanya. Dia baru ingat sekarang. Ya, tadi saat akan men-charge ponsel, selain sakit di perut, tiba-tiba saja kepalanya pusing, tubuhnya lalu kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh tak sadark
Tatiana masih mendekap Angel dan menghiburnya. Sedangkan Bian berdiri dengan masygul. Berdiri tidak jauh darinya Eriq ikut kebingungan. “Ini suaminya ke mana sih?” Bian mulai sadar setelah menetralisir perasaannya. Lelaki itu mengeluarkan handphone dan mencari nama menantunya di daftar kontak.Bian mulai tidak sabar ketika Davin tak kunjung menjawab telepon darinya. “Suami kayak apa sih dia, istri sakit masih aja ngurusin kerjaan,” omelnya dari balik gawai.“Sabar, Bi, mungkin dia sedang ada di jalan.” Satu-satunya yang tidak panik dan bisa berpikir jernih di sana adalah Tatiana. “Alasan klasik!” sergah Bian tidak peduli. Dengan kasar disimpannya kembali handphone ke dalam saku celana.“Pak Bian, tadi saya juga sudah telepon Davin, tapi kata operator nomornya nggak aktif. Davin nggak bisa dihubungi, Pak,” sela Eriq melaporkan apa yang tadi dialaminya.“Apa maksudnya coba pake matiin handphone segala?” Bian memandangi Tatiana.“Kita akan tahu jawabannya nanti, Bi, kalo Davin sudah pu
“Kita cari second opinion aja, Dek,” kata Davin setelah mereka keluar dari ruangan dokter. Tadi mereka kembali menemui dokter agar Davin mendengar langsung penjelasan dari pakarnya.“Cari second opinion di mana lagi, Dave?” tanya Bian kurang setuju. Menurutnya semakin cepat Angel dioperasi maka akan semakin bagus karena semua penyakitnya pasti akan tuntas.“Pi, kita coba di Sintesa dulu ya? Dulu ada teman mami kena endometriosis juga, tapi nggak dioperasi, Pi, cuma menjalani terapi pengobatan tapi bisa sembuh.”“Yakin kamu, Dave? Jangan-jangan sifatnya cuma sementara, ntar kambuh lagi.” Bian masih kurang percaya.“Yakin, Pi, makanya kita coba dulu ya…”“Iya, Pi, aku takut dioperasi, kalo ada jalan selain operasi, mendingan itu aja. Aku mau deh minum obat sekarung dari pada harus operasi.” Angel mengeluarkan isi hatinya.“Iya, Bi, menurutku juga gitu. Kalo ada cara lain kenapa harus operasi?” Tatiana menimpali.“Ya udah.” Bian pun menyetujui karena tidak ada yang mendukung pendapatnya.
“Sudah rapi?” tanya Davin pada Angel sambil mematut diri di depan cermin.Angel menolehkan kepala dan membantu membetulkan kerah kemeja Davin yang agak miring. Sesuai permintaan Adizty tadi siang, malam itu mereka akan datang ke sana memenuhi undangan makan malam sang mertua.“Tumben-tumbenan ya mami papi ngajak kita makan di sana padahal nggak ada acara apa-apa,” heran Davin. Bahkan dia tidak menyadari kalau hari ini adalah hari pertambahan usianya. Angel juga sejak tadi tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada ucapan selamat atau apa pun yang memberi clue pada Davin bahwa ini adalah hari bahagianya. Semua berlangsung biasa-biasa saja. Wajar dan menurut semestinya. Tidak ada yang aneh atau pun janggal.“Mungkin mami baru habis eksperimen makanya kita dijadikan kelinci percobaan,” ujar Angel mengutip kata-kata yang pernah diucapkan Davin.Davin tertawa. Dia memang pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Tapi apapun eksperimen Adizty sebelumnya tidak pern