“Cinta tidak hanya berasal dari mata, tapi kadang datang dari perut.”Angel mengingat baik-baik pesan Tatiana saat mereka berpelukan. Setelah itu Tatiana dan yang lainnya pulang. Hal itulah salah satu alasan Angel berada di dapur pagi ini. Hanya menggoreng frozen food, namun ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Berkali-kali Angel meniup tangannya yang kena cipratan minyak panas dari penggorengan. Berulang-ulang pula embusan napas panjang lolos keluar dari mulutnya.Angel terkesiap ketika tubuhnya dipeluk dari belakang. Dia hampir saja berteriak kalau tidak ingat di rumah ini hanya ada mereka berdua. Jadi pasti yang memeluknya adalah Davin.“Lagi masak apa, Sayang?” Belum sempat Angel berkata, Davin sudah bertanya.“Lagi goreng ayam, tapi kayaknya aku nggak bisa deh,” keluh Angel sambil terus meniup-niup jemarinya.Davin memutar badan Angel menghadap padanya. Diraihnya telunjuk Angel yang kena cipratan minyak panas dan mendekatkan ke mulut lantas menghisapnya.“Kalo kayak gini,
Angel sedang memerhatikan kalender. Matanya menelusuri dengan teliti angka demi angka yang tertera di sana. Perempuan itu hampir saja bersorak saat mengetahui tanggal menstruasinya sudah lewat namun tamu bulanannya tak kunjung datang.Ya Tuhan, apa itu artinya? Angel memegang perutnya dan mengusap perlahan. Harapannya begitu besar untuk memiliki seorang anak, tapi Angel takut berangan-angan terlalu berlebihan, jatuhnya pasti kecewa kalau tidak sesuai ekspektasi. Matanya kemudian tertuju pada tanggal dua hari dari hari ini. Tanggal 19 atau lusa adalah hari ulang tahun Davin. menyadari hal itu, sebuah ide cemerlang melintas di benak Angel. Andai saja dia beneran hamil maka hal itu pasti akan menjadi kado yang sangat istimewa bagi Davin. Sayangnya di bulan ketiga mereka menikah belum ada tanda-tanda kalau dirinya akan berbadan dua. Malahan bulan lalu masa period-nya terasa lebih lama dan berat. Angel sangat tersiksa oleh sakit pada perut, pinggang serta panggulnya. “Ngeliatin apa, De
Angel terjaga dari tidur saat merasa lilitan dari dalam perutnya. Bukan hanya itu, bagian bawah tubuhnya juga terasa basah. Diedarkannya mata ke seisi kamar. Gelap di sekeliling. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari lampu tidur. Di sebelahnya, Davin masih terlelap. Melihat tidurnya yang pulas, Angel tidak tega untuk membangunkannya. Apalagi seharian ini Davin sepertinya terlalu lelah.Dengan hati-hati, Angel turun dari tempat tidur lalu berjalan tertatih ke kamar mandi. Mukanya meringis menahan sakit. Dia hampir saja tergelincir karena gagal menjaga keseimbangan badan. Beruntung, tangannya masih berpegangan ke dinding sehingga tidak jadi jatuh. Menekan saklar, Angel masuk ke kamar mandi yang seketika terang benderang. Angel terkesiap saat membuka celananya yang sejak tadi terasa basah. Rasa kecewa seketika melingkupinya saat melihat cairan merah kecoklatan yang menodai celananya.“Gagal lagi,” desisnya kecewa. Padahal dia sudah berencana akan mengunjungi dokter sore nanti. “
“Aaa…” Bibir mungil itu mengerang pelan. Terdengar kesakitan atau seperti menahan sesuatu. “Ngel, kamu sudah sadar?” Suara itu merasuki gendang telinga Angel. Jelas dan dekat.Digerakkannya kepala pelan-pelan mencari sumber suara. Dan sosok yang ada di sebelahnya membuat Angel kecewa. Kenapa harus dia?“Aku lagi di mana?” Suara Angel yang diucapkan dengan penuh usaha terdengar lirih dan lemah.“Kamu di rumah sakit sekarang, Ngel.”Angel terdiam, seolah sedang berpikir apa yang sudah menimpanya. Belum sampai pikirannya ke sana, lelaki yang mendampinginya segera memberitahu.“Ngel, tadi kamu pingsan di kantor. Aku nggak tahu berapa lama kamu pingsan, tadi pas aku masuk ke ruangan kamu, tahu-tahu kamu udah di lantai.”Angel memperhatikan muka Eriq yang sedang menceritakan kronologi kejadian itu padanya. Dia baru ingat sekarang. Ya, tadi saat akan men-charge ponsel, selain sakit di perut, tiba-tiba saja kepalanya pusing, tubuhnya lalu kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh tak sadark
Tatiana masih mendekap Angel dan menghiburnya. Sedangkan Bian berdiri dengan masygul. Berdiri tidak jauh darinya Eriq ikut kebingungan. “Ini suaminya ke mana sih?” Bian mulai sadar setelah menetralisir perasaannya. Lelaki itu mengeluarkan handphone dan mencari nama menantunya di daftar kontak.Bian mulai tidak sabar ketika Davin tak kunjung menjawab telepon darinya. “Suami kayak apa sih dia, istri sakit masih aja ngurusin kerjaan,” omelnya dari balik gawai.“Sabar, Bi, mungkin dia sedang ada di jalan.” Satu-satunya yang tidak panik dan bisa berpikir jernih di sana adalah Tatiana. “Alasan klasik!” sergah Bian tidak peduli. Dengan kasar disimpannya kembali handphone ke dalam saku celana.“Pak Bian, tadi saya juga sudah telepon Davin, tapi kata operator nomornya nggak aktif. Davin nggak bisa dihubungi, Pak,” sela Eriq melaporkan apa yang tadi dialaminya.“Apa maksudnya coba pake matiin handphone segala?” Bian memandangi Tatiana.“Kita akan tahu jawabannya nanti, Bi, kalo Davin sudah pu
“Kita cari second opinion aja, Dek,” kata Davin setelah mereka keluar dari ruangan dokter. Tadi mereka kembali menemui dokter agar Davin mendengar langsung penjelasan dari pakarnya.“Cari second opinion di mana lagi, Dave?” tanya Bian kurang setuju. Menurutnya semakin cepat Angel dioperasi maka akan semakin bagus karena semua penyakitnya pasti akan tuntas.“Pi, kita coba di Sintesa dulu ya? Dulu ada teman mami kena endometriosis juga, tapi nggak dioperasi, Pi, cuma menjalani terapi pengobatan tapi bisa sembuh.”“Yakin kamu, Dave? Jangan-jangan sifatnya cuma sementara, ntar kambuh lagi.” Bian masih kurang percaya.“Yakin, Pi, makanya kita coba dulu ya…”“Iya, Pi, aku takut dioperasi, kalo ada jalan selain operasi, mendingan itu aja. Aku mau deh minum obat sekarung dari pada harus operasi.” Angel mengeluarkan isi hatinya.“Iya, Bi, menurutku juga gitu. Kalo ada cara lain kenapa harus operasi?” Tatiana menimpali.“Ya udah.” Bian pun menyetujui karena tidak ada yang mendukung pendapatnya.
“Sudah rapi?” tanya Davin pada Angel sambil mematut diri di depan cermin.Angel menolehkan kepala dan membantu membetulkan kerah kemeja Davin yang agak miring. Sesuai permintaan Adizty tadi siang, malam itu mereka akan datang ke sana memenuhi undangan makan malam sang mertua.“Tumben-tumbenan ya mami papi ngajak kita makan di sana padahal nggak ada acara apa-apa,” heran Davin. Bahkan dia tidak menyadari kalau hari ini adalah hari pertambahan usianya. Angel juga sejak tadi tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada ucapan selamat atau apa pun yang memberi clue pada Davin bahwa ini adalah hari bahagianya. Semua berlangsung biasa-biasa saja. Wajar dan menurut semestinya. Tidak ada yang aneh atau pun janggal.“Mungkin mami baru habis eksperimen makanya kita dijadikan kelinci percobaan,” ujar Angel mengutip kata-kata yang pernah diucapkan Davin.Davin tertawa. Dia memang pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Tapi apapun eksperimen Adizty sebelumnya tidak pern
“Dave, Ngel, kalian nginap di sini aja ya malam ini,” kata Adizty setelah mereka selesai makan.Angel melirik Davin meminta pendapat. Yang dilirik memberi kode dengan mata dan menyerahkan keputusan pada istrinya.“Tapi aku nggak bawa baju, Mi.” Angel beralasan. Malam ini dia ingin pulang ke rumah dan merayakan hari istimewa Davin hanya berdua dengan caranya sendiri.“Pake baju Gendiz aja dulu, Ngel, banyak kok di lemari.”“Sekali-kali tidur di sini apa salahnya? Lagian nanti kalian kan cuma berdua di kamar. Papi mami nggak ikut tidur bareng kalian kok.” Kiano ikut bicara yang membuat Angel dan Davin tidak bisa menolak lagi.“Ya udah, Pi, malam ini kita nginap di sini,” putus Davin.Keduanya lalu naik ke lantai tiga, di mana kamar Davin dan Gendiz berada.Davin membuka gagang pintu kamar Gendiz pelan-pelan untuk mengambil baju yang akan dipakai Angel. Saat itu juga aroma lemon nan segar yang berasal dari pewangi ruangan langsung m
Clara keluar dari kamar Lala dan bertemu dengan Rei di ruang tengah.“Sudah mau pulang?” tanya Rei pada Clara melihat tas yang tersampir di pundak kanan perempuan itu.“Iya, aku pikir tugasku sudah selesai di sini. Boleh kan aku pulang sekarang?”“Boleh, aku juga akan pergi ke kantor polisi,” kata Rei memberitahu.“Kantor polisi? Untuk apa? Apa yang akan kamu lakukan di sana?” Kerutan dalam tercipta di dahi Clara.“Aku pikir mungkin sebaiknya melaporkan tentang masalah Flo. Aku sudah mencoba mencarinya dengan menggunakan caraku sendiri, namun tidak berhasil. Siapa tahu akan berhasil jika diserahkan pada ahlinya.”Clara terdiam selama beberapa detik seakan sedang memikirkan sesuatu. Begitu merasa yakin, gadis itu kemudian mengungkapkan pikirannya yang tersimpan pada Rei.“Rei, aku punya kerabat yang kebetulan kerja di sana. Mungkin dia bisa membantumu dan prosesnya pun akan lebih cepat. Kalau kamu setuju aku bersedia mengenalkannya padamu. Gimana?”“Tentu saja aku mau. Berapa bayarann
Rei membuka pintu rumah dan menemukan Clara ada di rumah bersama anak perempuannya.“Rei, kamu akhirnya pulang juga.” Clara yang sedang membantu Lala mengerjakan PR sontak berdiri menyambut kedatangan Rei.“Astaga, Clara, ternyata kamu yang membawa Lala pulang, Aku sudah khawatir karena tidak menemukannya di sekolah,” ucap Rei memberitahu. Tadi dia sudah menjemput Lala ke sekolah tapi gurunya mengatakan kalau Lala sudah dijemput oleh tantenya. “Sorry, Rei, aku lupa memberitahumu, tapi aku hanya ingin membantumu,” jawab Clara sedikit merasa bersalah saat melihat raut khawatir lelaki itu.“Lain kali tolong beritahu aku dulu kalau ingin menjemput Lala atau ingin membawanya ke mana pun,” kesal Rei.“Iya, Rei, baik.”Rei mengembuskan napas lantas duduk di sofa. Dia ingin beristirahat sejenak. Diambilnya remot lantas menyalakan televisi dan memilih-milih saluran. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang berhasil menarik minatnya. Pada akhirnya Rei mematikan kembali televisinya. Matanya lantas
“Jenis kelaminnya laki-laki. Kondisinya sehat dan normal.”Flo melebarkan bibirnya mendengar keterangan dari dokter. Matanya ikut memindai monitor USG yang menampilkan hasil gerakan serta kondisi janin di dalam rahimnya. Tanpa terasa ini adalah bulan kelima Flo mengandung buah cintanya bersama Rei. Dan selama itu dia benar-benar putus komunikasi dengan sang suami. Flo tidak ingin berharap lagi untuk kembali. Apalagi dari kabar yang dia dengar hubungan Rei dan Clara semakin menjadi.Flo keluar dari ruangan dokter setelah dibekali nasehat-nasehat mengenai kesehatan dia dan calon bayinya. Selanjutnya langkah Flo tertuju ke arah apotik. Dia harus menebus obat-obatan ataupun vitamin yang diresepkan untuknya. Kali ini Flo datang sendiri karena ibu dan adik tirinya tidak bisa menemani.Sambil menunggu namanya dipanggil, Flo duduk di kursi tunggu apotik sembari mengelus-elus perutnya. Di dalam sana sedang tumbuh buah cintanya dengan lelaki yang dia sayangi. Andai saja Rei tahu pasti dia akan
“Hal ini biasa saja terjadi pada wanita hamil. Namanya juga hamil muda, nanti mual dan muntahnya akan hilang setelah lewat bulan ketiga,” jelas dokter yang memeriksa Flo sore itu. “Tapi kandungan saya baik-baik saja kan, Dok?” tanya Flo khawatir. Seluruh badannya terasa lemas karena sejak tadi sudah muntah berkali-kali. Dan dia rasa hari ini adalah puncaknya. Rasanya Flo tidak kuat.Dokter mengangguk meyakinkan. “Kandungannya sehat dan ibu tidak perlu khawatir. Setelah ini saya beri resep obat yang harus ditebus di apotik. Nanti petugas di sana akan menerangkan aturan dan cara pakainya.”Anne yang menemani Flo sore itu ke dokter kandungan menerima resep dari dokter lalu menuntun Flo keluar dari ruangan dokter. Sedikit pun adik tirinya itu tidak melepaskan pegangan tangannya dari Flo. Dia khawatir kalau sekali saja melepaskan tangannya maka Flo akan jatuh saking lemasnya. Padahal dalam keadaan normal sebenarnya Flo adalah seorang wanita yang kuat.“Tunggu di sini dulu, Flo, biar aku u
Sudah hari kelima Flo menghilang. Rei sudah mencarinya ke mana saja, tapi nihil. Istrinya itu tidak ada di mana-mana. Rei sempat berpikir untuk melapor ke kantor polisi atas kasus orang hilang. Tapi setelah dipikir lagi, rasanya itu tidak perlu. Rei rasa Flo pasti berada di suatu tempat dan dia bersembunyi di sana. Mungkin pada saatnya nanti Flo akan menunjukkan diri.“Mommy Flo mana, Pa?” tanya Lala keheranan saat Rei yang menjemputnya ke sekolah setelah summer camp selesai.Rei terbatuk. Seharusnya dia sudah memperkirakan kemungkinan ini sebelumnya dan menyiapkan jawabannya. Putrinya itu pasti tidak akan tinggal diam. Nyatanya Rei malah gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa.“Mommy, mommy pergi, La,” jawabnya kemudian.“Pergi ke mana, Pa?” tanya Lala ingin tahu.“Mommy ke luar kota.”“Ke luar kota? Mommy kerja ya, Pa?” Kening Lala berkerut dalam.Rei terpaksa berbohong lagi. “Iya, Sayang. Mommy diutus kantornya dan harus melaksanakannya.”“Sayang sekali ya, Pa, padahal aku ingin
Pagi hari saat Rei terbangun dia tidak menemukan Flo di sebelahnya. Diedarkannya pandangan melalui matanya yang berat dan belum terbuka sempurna ke setiap penjuru ruangan, tapi tetap tidak ada Flo di sana. Begitu pun saat dia melongok ke kamar mandi, hasilnya sama saja.Lantas Rei teringat apa yang terjadi semalam. Saat itu dia terlibat pertengkaran kecil dengan Flo. Dan… dia teringat akan kalimat terakhirnya.Astaga! Jangan-jangan Flo benar-benar pergi.Rei membuka lemari dan tidak menemukan baju-baju Flo di sana. Begitu dia melihat tempat penyimpanan tas, koper Flo juga sudah lenyap. Jadi benar dugaannya. Flo sudah pergi. Rei membatu di tempatnya. Ternyata begitu cara Flo menghadapi masalah. Flo childish. Bisanya main kabur, kecam Rei kecewa. Maunya Rei, apapun masalah mereka, Flo tetap bertahan di rumah. Karena dirinya pun tidak kemana-mana saat mereka terlibat perselisihan seperti ini.Lama Rei termangu sendiri sambil memikirkan apa yang terjadi. Sebelah tangannya menggenggam han
Flo dan Kyle sama-sama terkejut saat melihat kedatangan Rei yang tiba-tiba dan tidak pernah disangka seperti ini. Naasnya lagi apa yang tengah terjadi sekarang bisa saja membuat Rei atau siapa pun menjadi salah paham. Itu bisa dipastikan. Terlebih saat melihat muka Rei yang menegang dan matanya yang memerah menahan emosi.“Rei…,” panggil Flo lirih setelah napasnya kembali normal.Rei menggelengkan kepalanya tidak percaya pada apa yang baru saja disaksikannya. Flo yang katanya cinta dan sangat menyayanginya bisa berbuat sehina ini? For god's sake, Rei tidak akan memaafkannya.“Lanjutkan saja.” Rei memutar tubuh meninggalkan Flo dan Kyle yang tidak siap menanggapi kejadian barusan.“Rei tunggu dulu, aku bisa jelaskan!” Flo berteriak dan berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Sehingga dia tetap berada di tempatnya.“Rei, aku bisa menjelaskannya padamu, semua tidak seperti yang kamu lihat!” Kyle segera mengejar Rei yang melangkah cepat meninggalkan ruangan Flo.“Aku tidak bu
Seharian ini Rei dan Flo menghabiskan waktu di kamar. Mereka bercerita tentang apa saja dan berusaha mengenal satu sama lain. Ternyata selama ini mereka memang tidak saling mengenal sepenuhnya. Mereka mengambil keputusan kilat tuntuk menikah hanya atas dasar emosi sesaat. Keputusan bodoh, gila namun penuh hikmah.‘’Aku minta maaf atas sikapku yang dulu,” ujar Flo penuh rasa bersalah kala mengingat tingkahnya yang mengabaikan Rei sebagai suaminya.“Aku juga, Flo, aku minta maaf atas semua kesalahanku,” ucap Rei sambil membelai mesra rambut Flo. “aku sudah menciptakan jarak yang membuat kamu berpikir yang macam-macam.”Rei menyadari sekarang kalau kehadiran Clara sedikit banyak pasti menimbulkan dugaan negatif di antara mereka. Flo tidak berkata apa-apa dan memilih menyembunyikan mukanya di dada Rei. Flo bisa mendengar dengan jelas detak jantung Rei yang berpacu dengan degup jantungnya sendiri. Andai saja bisa Flo ingin begini selamanya. Berada dalam hubungan yang harmonis bersama Rei,
“Papa… Mommy… Bangun….!” Lala mengetuk pintu kamar Rei karena tidak ada tanda-tanda papanya itu akan keluar kamar. “Papa… Mommy… Bangun, ini sudah pagi!” Lala menaikkan suaranya disertai dengan ketukan keras di pintu kamar Rei.Di dalam kamar, Rei dan Flo sama-sama menggeliatkan badan. Suara Lala membuat keduanya merasa terusik.“Astaga, sudah pagi!” Rei terkejut saat melihat sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Bagaimana bisa dia terlambat seperti ini? Seingat Rei, ini adalah pertama kalinya dia terlambat bangun pagi dalam enam bulan terakhir.“Papa… sudah pagi, Pa!!! Papa tidak kerja?” Suara Lala terdengar lagi memanggil Rei.“Iya, La! Papa sudah bangun!” Rei menyahut dari dalam kamar. Rei menepis selimutnya sambil menutup mulut yang terus menguap. Dan sama seperti sebelumnya tidak ada kain lain yang melapisinya selain selimut itu sendiri. Rei ingat, dirinya dan Flo tertidur setelah serangan fajar yang entah siapa yang memulai duluan.“Rei, apa kita terlambat?”