Proses peradilan terhadap Bian akhirnya pun diselenggarakan. Pada persidangan sebelumnya turut menghadirkan Feli sebagai saksi. Dan sekarang adalah persidangan terakhir yang menentukan keputusan hakim atas kasus Bian.Banyak yang menghadiri dan ikut menyaksikan persidangan yang akan menentukan nasib Bian selanjutnya. Mulai dari keluarga hingga teman-teman. Semua terlihat tegang dan mengikuti dengan hati harap-harap cemas.Sebagai saksi kunci, Feli sudah memberikan keterangan yang sebenar dan sejujurnya. Bahwa Gladys pernah mengakui padanya telah membunuh Darren karena tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Hanya saja Feli tidak tahu apakah Dylan adalah anak hasil hubungan Gladys bersama Darren, Willy or someone else.Akhirnya kesaksian Feli lah yang menyelamatkan Bian dari tuntutan apa pun. Bian terbukti secara konkrit dan meyakinkan tidak terlibat dalam kasus pembunuhan Darren. Hal itu membuatnya terbebas dari segala macam tuduhan dan tuntutan.Suasana di dalam ruang sidang p
“Bi, aku rasa kamu terlalu kejam,” komentar Tatiana saat Bian menyampaikan keinginannya melaporkan Camila pada pihak yang berwajib atas kejahatannya malam itu.“Lebih kejam mana aku atau mami? Andai saja mami nggak melakukannya, sudah pasti sejak lama aku sudah bebas. Mungkin aku hanya akan ditahan sebulan dua bulan karena faktanya aku memang nggak salah. Coba kamu bayangkan, anakku sendiri bahkan nggak kenal siapa aku,” ungkit Bian mengungkap dosa-dosa Camila. Mengingat itu semua dia kembali merasa sakit.“Tapi walau bagaimanapun mami tetap ibu kamu, Bi. Anggap saja dia khilaf. Kamu nggak usah jeblosin dia ke penjara. Kasihan, Bi, nggak boleh gitu sama orang tua.”“Mami harus tahu kesalahannya, Yang. Kalau nggak gitu mami nggak akan pernah sadar. Malah sampai sekarang mami masih sering nyepelein kamu kan? Aku nggak terima mami masih saja menganggap kamu rendahan dan kaum tipis.”“Nggak apa-apa, Bi, biarin aja. Asalnya aku memang orang tipis kok. Tapi aku nggak mau kamu jadi anak yang
“Kok hasilnya begini?” Rei memprotes hasil rekrutmen dan assessment karyawan baru yang disodorkan Franda padanya. Nama-nama kandidat yang menurutnya oke, ternyata berdasarkan hasil psikotes dinyatakan tidak qualified. Semua jauh di luar ekspektasinya.“Iya, Pak. Memang begitu hasil yang saya terima,” kata Franda menimpali.“Apa nggak salah? Nggak benar ini.” Rei merasa kurang yakin.“Nggak, Pak, sudah benar kok. Biro psikologi milik kakak saya sudah kredibel, Pak. Bapak nggak usah ragu lagi.” Franda mencoba meyakinkan Rei yang terlihat bimbang. Keningnya berkerut tapi tetap saja tidak mengurangi kadar ketampanannya.Rei memerhatikan lagi hasil psikotes karyawan barunya lantas mencocokkan dengan curriculum vitae mereka satu per satu. Lama laki-laki itu termenung hingga akhirnya mengucapkan kata, “Bisa saya bertemu dengan owner biro psikologi itu atau minimal penanggung jawabnya?”“Bisa banget, Pak. Ketemu sama sepupu saya saja langsung, dia owner-nya.”“Ayo kalau begitu!”Sepuluh meni
Lima belas menit sudah Bian bengong sendiri di luar kelas Angelica. Sama seperti tadi pagi, siang ini Bian kembali ke sekolah anaknya itu untuk menjemputnya. Karena khawatir akan terlambat, maka Bian pun gerak cepat. Tidak tahunya Angel masih belum keluar dari kelas.Setelah kejadian malam kemarin Angel melunak padanya. Buktinya dia mau Bian antar sekolah tadi pagi dan jemput siang ini.Bian membuang puntung rokoknya jauh-jauh bersamaan dengan seorang perempuan yang berjalan menghampirinya. Dari pakaian yang dia gunakan sepertinya dia adalah salah seorang pengajar di sekolah ini.“Selamat siang, Pak. Sedang menunggu siapa?” sapanya ramah pada Bian.“Saya sedang menunggu anak saya, namanya Angelica. Apa pulangnya masih lama?”Perempuan itu seperti tersentak, mulutnya setengah terbuka tapi tidak membulat sempurna. “Jadi Bapak orang tuanya Angel? Maksud saya suami ibu Tatiana?” Respon perempuan itu memberi keyakinan pada Bian pasti dia sedang memikirkan yang macam-macam mengenai diriny
Sepanjang perjalanan pulang, Angel terus memerhatikan rambutnya melalui kaca kecil yang selalu dia bawa dan berada di dalam tas. Sejak tadi senyum tipis begitu betah berada di bibirnya. Anak itu merasa senang hari ini karena apa yang sudah lama diimpikannya akhirnya dikabulkan Bian. Kalau dengan Tatiana mana bisa dia begini. “Kamu senyum terus dari tadi,” ujar Bian memerhatikan dari balik kacamata hitamnya.“Aku senang banget soalnya, Pi, tapi nanti Amy bakal marah nggak ya?” “Kamu tenang aja. Ada Papi, Amy kamu nggak akan berani marah-marah. Kamu nggak usah khawatir, okay?”“Okay, Pi!” Angel tersenyum senang. Baginya Bian adalah sumber lain kebahagiaannya. Andai saja dari dulu mereka bisa bersama.Angel tidak sabar ingin menunjukkan penampilan barunya pada Tatiana. Begitu turun dari mobil anak itu langsung berlari masuk ke dalam rumah.“Amy…! Amy…!” Suaranya menggema ke setiap penjuru ruangan.Tidak ada sahutan apa pu
Bian menggendong Angel yang ketiduran di mobil. Mungkin anaknya itu lelah berceloteh hingga ngantuk sendiri. Tadi dia bercerita mengenai banyak hal. Mulai dari teman-teman sekolahnya sampai kebiasaannya waktu masih tinggal berdua dengan Tatiana.Tatiana masih cemberut ketika Bian dan Angel akhirnya pulang. Sebenarnya ngambek-ngambekan atau pun merajuk bukanlah dirinya. Tapi kali ini dia benar-benar kecewa dengan sikap Bian.“Yang, tolong ambilin minum,” pinta Bian setelah membaringkan Angel di atas tempat tidur.Tatiana bergerak malas mengambil air mineral di dalam kulkas kemudian memberikannya pada Bian yang duduk di tepi ranjang. Baru saja Tatiana hendak beranjak Bian menahan dan menarik tubuhnya hingga jatuh terduduk di sebelahnya.“Kamu nggak usah ngambek-ngambekan kayak gitu.”“Aku nggak ngambek.”“Kalau bukan ngambek apa dong namanya?”“Aku cuma nggak suka sama cara kamu. Kamu nggak bilang-bilang dulu kalau mau mewarnai rambutnya Angel.”“Iya deh, aku minta maaf, aku salah. Tapi
Bian mengesah pelan. Dia baru saja keluar dari ruang rapat. Pertemuan yang diharapkan menemui solusi itu nyatanya berlangsung alot dan belum mencapai titik terang. Di sebelahnya Jamie juga menunjukkan muka lesu. Mereka sudah habis-habisan tapi malah merugi. Bukannya untung tapi malah buntung.Seperti dugaan Bian tadi, ternyata Wiryawan juga ada di sana. Tapi pria tua itu terlihat biasa-biasa saja. Padahal dia juga terlihat proyek sejenis dengan Bian dan kerugiannya pasti juga tidak sedikit. Mereka memang sempat beradu mata, tapi Bian segera memalingkan wajah. Menjijikkan, pikirnya.“Nggak usah terlalu di pikirin, Pi,” komentar Bian saat melihat Jamie termenung di sebelahnya. Sedangkan dirinya sendiri sedang fokus menyetir.“Tapi kita sudah rugi banyak, Bi. Papi belum pernah menggelontorkan dana sebesar ini.”“Tenang aja, Pi, itu semua nggak bakalan bikin kita collapse kok. Toh proyek kita bukan itu satu-satunya kan?”Helaan napas Jamie terdengar lagi. Meskipun berat mungkin lebih bai
Berita tentang penangkapan Wiryawan sudah menyebar di mana-mana. Banyak orang yang tidak menyangka kalau pengusaha sekelas Wiryawan yang selama ini terlihat baik ternyata sangat culas. Semua aset yang dimilikinya disita. Seluruh dana yang dipunyainya di berbagai lembaga keuangan dibekukan. Hingga tidak menyisakan apa pun selain rasa malu dan merasa terhina.Kejadian yang begitu mendadak itu membuat Amelia shock berat. Jiwanya terguncang hebat. Selama ini biasa hidup senang dan dimanjakan dengan kemewahan, sekalinya ditimpa ujian bertubi-tubi seperti ini membuatnya tidak sanggup. Bukan hanya hatinya yang sakit, tapi juga fisik dan mentalnya.Tidak kuat menanggung beban sendiri akhirnya Amelia kehilangan kewarasan dan akal sehatnya. Pada akhirnya perempuan itu pun ikut mendekam di rumah sakit jiwa seperti anak kesayangannya.“Kasihan Dylan, Bi,” kata Tatiana pada Bian begitu mendapat informasi bahwa saat ini anak itu dititip pada tetangganya karena tidak seorang pun dari keluarga Amelia