“Kamu yakin mau ngajak mama sama Sandra ketemu sama pak tua bangke itu?” tanya Bian kurang percaya kalau Tatiana benar-benar akan membawa ibu dan adiknya menemui sang ayah.“Kalau mama dan Sandra mau sih. Kalau nggak mau aku juga nggak akan maksa,” sahut Tatiana seraya mencomot selembar tisu dari dalam kotak yang berada di atas dashboard.“Mudah-mudahan aja mereka nggak mau,” harap Bian. Wiryawan pasti akan tersiksa penyesalan saat tahu anak dan mantan istrinya tidak mau bertemu apalagi memaafkannya.“Bi, nggak boleh kayak gitu ah!” “Dasar manusia nggak punya otak, giliran udah susah baru minta maaf sana sini.” Bian mengomel sendiri.“Justru itu, Bi, sebagai sesama manusia kita harus bisa saling memaafkan.”“Kamu itu ya ngejawab mulu.”Tatiana tersenyum kecil melihat muka frustrasi Bian.***“Enak aja minta maaf, emang dia pikir dia siapa?” komentar Sandra saat hari itu Tatiana datang menemuinya dengan tujuan mengajaknya dan Alya mengunjungi Wiryawan.“Dia papa kita, Ra. Kesalahan d
“Wah, kapalnya besar banget, Pi!” Angel berputar-putar di depan Bian dan Tatiana. Dari tadi tak henti-henti anak itu mengagumi kemegahan Heaven Carribean—nama kapal pesiar yang akan membawa mereka berlayar.Berangkat dengan pesawat pagi, pukul sebelas siang, Bian, Tatiana, Angelica serta Sandra tiba di Changi Airport, Singapura. Pelayaran kali ini adalah dalam rangka mengganti honeymoon mereka yang batal dan tidak jadi terlaksana. Tadinya mereka hanya ingin pergi berdua tanpa membawa anak. Tapi Tatiana bersikeras ingin membawa Angel. Tatiana bilang Angel belum pernah liburan sehingga Bian pun menyetujui keinginan Tatiana dengan satu syarat, membawa seseorang yang bisa menjaga anak mereka saat hanya ingin berdua nanti. Keduanya akhirnya menjatuhkan pilihan pada Sandra yang dianggap sebagai orang yang paling tepat.Di dalam kapal dengan kapasitas penumpang lebih dari 3000 orang serta kru kapal yang lebih dari 1000 orang, mereka mendapatkan kamar dengan balkon yang menghadap ke laut.“S
Kapal yang membawa mereka berlabuh di Penang. Mereka diberikan waktu untuk jalan-jalan di sana sampai sore. Dengan didampingi guide, mereka menuju beberapa tempat wisata di Penang. Kalau di Jakarta ada monas sebagai menara tertinggi, Penang juga memiliki menara top Tun Abdul Razak sebagai menara tertinggi. Tingginya ditaksir mencapai 251.438 meter.Sama seperti jembatan kaca Zhangjiajie Glass Bridge di Cina. Ternyata di Penang juga ada jembatan kaca bernama Rainbow Skywalk. Bedanya, jembatan ini hanya melingkar saja dan tidak sepanjang di Cina. Dari Rainbow Skywalk, mereka melihat pemandangan George Town yang indah. Di sini juga tersedia beberapa paket aktivitas yang menantang adrenalin, seperti selfie dari ketinggian, flyfox, dan lain-lain. Angelica terlihat kurang menikmati suasana dan kegiatan yang dilakukan di sana. Dia lebih tertarik untuk menghabiskan waktu di dalam kapal yang sudah sangat lengkap tanpa perlu keluar lagi.“Pi, balik ke kapal aja, yuk!” Setelah merengek ingin di
Lelaki muda nan gagah itu itu lantas duduk sembari meletakkan cangkir kopi dan croissant di atas meja yang sama dengan Tatiana.“Kamu mau ke Thailand juga?” Tatiana tersenyum simpul mendengar pertanyaan bodoh yang meluncur keluar dari mulut pria itu. Begitu kontras dengan muka baby face-nya. Bukankah tujuan akhir semua makhluk hidup yang ada di kapal ini adalah Thailand? Dan destinasi mereka di negeri gajah putih itu adalah Phuket.Tatiana lantas berpikir, mungkin pria itu tidak menemukan kata-kata yang pas untuk mengawali percakapan sehingga mengucapkan apa yang saat itu melintas di kepalanya.“Iya, saya mau ke sana. Kamu juga kan?”“Iya, tentunya tujuan kita sama. Bukankah kita menumpang kapal yang sama?” Pria itu tertawa dan membalikkan fakta bahwa Tatianalah yang bodoh. “Saya Michael, kamu siapa?” Pria itu mengulurkan tangan untuk mengenalkan diri.“Saya Tia.” Tatiana balas menyebutkan namanya tanpa menyambut uluran tangan pria itu.Michael melirik tangannya kemudian menariknya
Ting tong...Dari tadi tidak henti-hentinya bel pintu berdenting dan menggema ke seisi rumah. Dengan terpaksa Bian beranjak malas dari posisi enaknya di sofa depan televisi. Masalahnya hanya dirinya sendiri di rumah. Istri dan anak perempuannya pergi ke sebuah acara. Entah acara apa. Yang jelas Tatiana bilang ke acara perempuan.Bian membuka pintu, dan detik itu juga penampakan seorang remaja laki-laki tanggung berusia lima belas tahun terpampang nyata di hadapannya. “Malam, Om, saya Erik, Angel-nya ada?” remaja laki-laki itu tersenyum pada Bian. Sebelah tangannya dia sembunyikan di belakang punggung. Entah apa yang ada di baliknya.“Angel pergi, kamu mau apa?” tanya Bian galak.“Masa sih, Om?” Erik tidak serta merta percaya. Dia mencondongkan kepalanya guna melihat ke dalam rumah. “Om nggak bohong kan?” sambungnya lagi.“Memangnya saya seperti orang pembohong?”“Hehe… kali aja kan. Masa iya tiap saya ke sini Angel-nya pergi terus. Bohong itu dosa lho, Om. Percuma kan ganteng-ganteng
Seorang gadis cantik dengan tinggi tubuh nyaris mencapai 180 sentimeter melenggang santai sambil menggenggam gelas styrofoam berisi minuman kekinian di tangannya. Angin sepoi-sepoi yang berembus pelan menggoyangkan rambut pirangnya.Tiba-tiba seseorang yang muncul dari belakang menyenggolnya hingga tanpa sengaja menjatuhkan minuman yang bahkan baru diseruputnya beberapa teguk.“Oh, shit! Minumanku!” Angelica--gadis berambut pirang itu mengangkat muka setelah ternganga melihat minumannya yang tumpah.“Heh bangke! Tunggu dulu!”Pria muda yang tadi tanpa sengaja menyenggol Angel menoleh ke belakang. Dia terperanjat.‘Kenapa ada yang berbahasa Indonesia di sini?’Sepasang mata coklatnya lantas beradu dengan wajah cantik seorang gadis dengan rambut blonde. Davin—lelaki itu untuk sepersekian detik tak berkedip menatap si gadis blonde yang cantik tapi tampak jutek.‘Cantiknya beda.’ Itu yang terbersit dalam hati Davin untuk pertama kalinya setelah bertemu Angel.Eh, apa tadi dia bilang? Ban
Angel melengos ketika Dylan memandangnya sekilas. Hanya beberapa detik karena detik berikutnya lelaki itu ikut melengos dan memandang ke arah lain. Mereka sama-sama menghindari kontak mata.Angel memaki di dalam hati saat Tatiana mengambil piring dan menyendokkan nasi putih ke piring Dylan.Menjijikkan! Angel tidak rela berbagi kasih sayang orang tuanya dengan anak tidak jelas itu. Tapi apa daya, orang tuanya begitu baik pada Dylan. Bahkan Bian yang dulu mati-matian membencinya malah mempekerjakan Dylan di perusahaannya dan lebih gilanya lagi malah menjadikannya sebagai tangan kanan atau orang kepercayaan. Angel tidak habis pikir entah bagaimana caranya si robot itu mengambil hati dan kepercayaan orang tuanya.Iya. Angel menyebutnya robot. Selain kaku, otak lelaki itu juga terprogram untuk melakukan semua tanpa melakukan kesalahan. Apa pun yang dilakukannya selalu benar dan terstruktur. Dylan seperti orang yang tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri kalau sampai sekali saja melaku
Di hari pertamanya bekerja Angel sudah menyandang status sebagai marketing manager yang membawahi beberapa orang pegawai. Seharusnya dia bekerja sebagai staff biasa dan berada di balik kubikel. Tapi stereotipe lama rupanya masih berlaku di zaman sekarang. Anak maupun keluarga dari pemilik perusahaan tidak akan mungkin mengisi posisi selain top management.Sudah pasti orang-orang di kantor ini akan membicarakan privilege yang dia dapat di belakang punggungnya. Sebagai putri tunggal pengusaha properti ternama, Angelica sudah sangat terbiasa dengan anggapan bahwa dia adalah tuan putri yang selalu dimanja, yang segala keinginannya selalu dituruti oleh kedua orang tuanya, apa pun itu. Berada di bawah bayang-bayang orang tuanya yang kaya-raya membuat Angel juga dicap tidak mampu melakukan apa-apa . Orang-orang yang iri dengan keberuntungannya selalu ingin membuatnya terlihat buruk. Malah ada yang memutuskan untuk membencinya bahkan sebelum mengenalnya. Nama besar Fabian Cannavaro memang me
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa