Ting tong...Dari tadi tidak henti-hentinya bel pintu berdenting dan menggema ke seisi rumah. Dengan terpaksa Bian beranjak malas dari posisi enaknya di sofa depan televisi. Masalahnya hanya dirinya sendiri di rumah. Istri dan anak perempuannya pergi ke sebuah acara. Entah acara apa. Yang jelas Tatiana bilang ke acara perempuan.Bian membuka pintu, dan detik itu juga penampakan seorang remaja laki-laki tanggung berusia lima belas tahun terpampang nyata di hadapannya. “Malam, Om, saya Erik, Angel-nya ada?” remaja laki-laki itu tersenyum pada Bian. Sebelah tangannya dia sembunyikan di belakang punggung. Entah apa yang ada di baliknya.“Angel pergi, kamu mau apa?” tanya Bian galak.“Masa sih, Om?” Erik tidak serta merta percaya. Dia mencondongkan kepalanya guna melihat ke dalam rumah. “Om nggak bohong kan?” sambungnya lagi.“Memangnya saya seperti orang pembohong?”“Hehe… kali aja kan. Masa iya tiap saya ke sini Angel-nya pergi terus. Bohong itu dosa lho, Om. Percuma kan ganteng-ganteng
Seorang gadis cantik dengan tinggi tubuh nyaris mencapai 180 sentimeter melenggang santai sambil menggenggam gelas styrofoam berisi minuman kekinian di tangannya. Angin sepoi-sepoi yang berembus pelan menggoyangkan rambut pirangnya.Tiba-tiba seseorang yang muncul dari belakang menyenggolnya hingga tanpa sengaja menjatuhkan minuman yang bahkan baru diseruputnya beberapa teguk.“Oh, shit! Minumanku!” Angelica--gadis berambut pirang itu mengangkat muka setelah ternganga melihat minumannya yang tumpah.“Heh bangke! Tunggu dulu!”Pria muda yang tadi tanpa sengaja menyenggol Angel menoleh ke belakang. Dia terperanjat.‘Kenapa ada yang berbahasa Indonesia di sini?’Sepasang mata coklatnya lantas beradu dengan wajah cantik seorang gadis dengan rambut blonde. Davin—lelaki itu untuk sepersekian detik tak berkedip menatap si gadis blonde yang cantik tapi tampak jutek.‘Cantiknya beda.’ Itu yang terbersit dalam hati Davin untuk pertama kalinya setelah bertemu Angel.Eh, apa tadi dia bilang? Ban
Angel melengos ketika Dylan memandangnya sekilas. Hanya beberapa detik karena detik berikutnya lelaki itu ikut melengos dan memandang ke arah lain. Mereka sama-sama menghindari kontak mata.Angel memaki di dalam hati saat Tatiana mengambil piring dan menyendokkan nasi putih ke piring Dylan.Menjijikkan! Angel tidak rela berbagi kasih sayang orang tuanya dengan anak tidak jelas itu. Tapi apa daya, orang tuanya begitu baik pada Dylan. Bahkan Bian yang dulu mati-matian membencinya malah mempekerjakan Dylan di perusahaannya dan lebih gilanya lagi malah menjadikannya sebagai tangan kanan atau orang kepercayaan. Angel tidak habis pikir entah bagaimana caranya si robot itu mengambil hati dan kepercayaan orang tuanya.Iya. Angel menyebutnya robot. Selain kaku, otak lelaki itu juga terprogram untuk melakukan semua tanpa melakukan kesalahan. Apa pun yang dilakukannya selalu benar dan terstruktur. Dylan seperti orang yang tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri kalau sampai sekali saja melaku
Di hari pertamanya bekerja Angel sudah menyandang status sebagai marketing manager yang membawahi beberapa orang pegawai. Seharusnya dia bekerja sebagai staff biasa dan berada di balik kubikel. Tapi stereotipe lama rupanya masih berlaku di zaman sekarang. Anak maupun keluarga dari pemilik perusahaan tidak akan mungkin mengisi posisi selain top management.Sudah pasti orang-orang di kantor ini akan membicarakan privilege yang dia dapat di belakang punggungnya. Sebagai putri tunggal pengusaha properti ternama, Angelica sudah sangat terbiasa dengan anggapan bahwa dia adalah tuan putri yang selalu dimanja, yang segala keinginannya selalu dituruti oleh kedua orang tuanya, apa pun itu. Berada di bawah bayang-bayang orang tuanya yang kaya-raya membuat Angel juga dicap tidak mampu melakukan apa-apa . Orang-orang yang iri dengan keberuntungannya selalu ingin membuatnya terlihat buruk. Malah ada yang memutuskan untuk membencinya bahkan sebelum mengenalnya. Nama besar Fabian Cannavaro memang me
Angel menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya. Kursi itu besar, berwarna hitam, tebal dan empuk. Kalau saja tubuhnya mungil dan tinggi badannya sedikit lebih rendah, mungkin kursi itu akan menenggelamkannya. Beruntung gadis itu mewarisi fisik kedua orang tuanya. Tinggi, postur tubuh ideal serta memiliki paras rupawan.Dari tempat duduknya Angel menekan remote. Televisi layar lebar lantas menyala. Siaran pertama yang ditangkap oleh matanya adalah tayangan olahraga. Angel tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Tidak ada yang memberinya petunjuk atau pengarahan. Termasuk si robot bangke yang pergi tiba-tiba karena ada janji dengan siapa namanya tadi? Da-Da apa? Dave or something like that. Angel tidak peduli. Angel baru menyadari bahwa ada yang kurang dari ruangannya yang sudah sangat sempurna ini. Tidak ada toilet di sana. Ya. Itu dia. Padahal saat ini dia sedang ingin buang air. Terpaksa gadis itu meninggalkan ruangannya.Melenggang santai bak super model, Angel melewati deret
Dari toilet, Angel menuju ruangan Dylan yang masih berada di lantai yang sama dengannya. Pintu ruangan sepupunya itu tertutup rapat, tapi Angel merasa tidak perlu mengetuknya. Tidak ada gunanya bersopan santun dengan pria itu. Dengan cekatan Angel memutar gagang pintu dan dia langsung menemukan dua pasang mata yang langsung tertuju padanya.‘Ternyata dia lagi. Si muka fakboi.’Tidak hanya Dylan, tapi ada Davin juga di sana. Davin yang mengetahui kehadiran Angel melempar senyum menyambut kedatangannya. Sungguh kebetulan yang sangat kebetulan. Tadi mereka bertemu di toilet, sekarang di sini. Namun tidak ada yang berubah dari Angel. Ekspresinya masih sama seperti tadi. Masam dan tidak bersahabat.“Ada apa, Ngel?” Dylan bertanya setelah gadis itu berjalan mendekat. Nada suaranya seperti biasa. Datar dengan raut tanpa ekspresi. “Aku minta kamu pecat karyawan finance,” ucap Angel tanpa basa-basi. Tak dipedulikannya keberadaan Davin yang akan mendengar percakapan mereka.Dylan yang tadi be
“Lama-lama muka kamu ngalahin baju belum disetrika.”Angel mengangkat muka mendengar komentar Tere. Sejak tadi yang dilakukannya hanya mengaduk-ngaduk mocca float-nya dengan sedotan dan memandanginya tanpa selera. Seperti janji mereka sebelumnya, sore ini Angel dan temannya itu janji ketemuan di Coffeholic—coffee shop yang berada di dekat kantor Tere. “Bad day!” celetuk Angel kemudian.“Apa yang salah? Ada masalah sama Dylan?”“Memangnya kapan aku nggak punya masalah sama dia?”Tere mengambil jeda dengan menyeruput minuman yang sama dengan Angel. Tentang apa dan bagaimana hubungan Angel dan Dylan, Tere tahu sangat banyak. Bahkan mungkin lebih mengetahui dari pada mengenal dirinya sendiri. Dia dan gadis manis di hadapannya sudah saling kenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kedekatan mereka berlanjut hingga keduanya sama-sama memakai seragam putih abu-abu. Dan ketika Angel melanjutkan pendidikannya di luar negeri saat itu
Angel memandang lurus ke depan, sedangkan Davin fokus menyetir di sebelahnya. Keduanya sama-sama membungkam mulut dan tidak membiarkan suara sekecil apa pun lolos keluar dari mulut mereka. Merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, Davin lantas menoleh pada gadis di sebelahnya. Meski dilihat dari samping seperti ini tapi Angel tetap terlihat menarik.Davin mencoba mencari bahan pembuka obrolan. Tapi sayangnya dia tidak menemukakan apa pun yang bisa memancing pembicaraan. Davin memang tidak sehandal papinya dalam urusan rayu-merayu perempuan. Davin jauh lebih kalem dari pria yang katanya lebih mirip kakaknya ketimbang ayahnya. Cukup menggelikan mengingat dia yang baru berumur dua puluhan disandingkan dengan lelaki yang terhitung tidak lagi muda dari segi usia.Davin berdeham, mencoba menarik perhatian Angel agar melirik padanya. Akan tetapi gadis itu seperti tidak terpengaruh. Apa mungkin dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri? Atau saat ini sedang larut dalam lamunan yang dalam?Sek