Di hari pertamanya bekerja Angel sudah menyandang status sebagai marketing manager yang membawahi beberapa orang pegawai. Seharusnya dia bekerja sebagai staff biasa dan berada di balik kubikel. Tapi stereotipe lama rupanya masih berlaku di zaman sekarang. Anak maupun keluarga dari pemilik perusahaan tidak akan mungkin mengisi posisi selain top management.Sudah pasti orang-orang di kantor ini akan membicarakan privilege yang dia dapat di belakang punggungnya. Sebagai putri tunggal pengusaha properti ternama, Angelica sudah sangat terbiasa dengan anggapan bahwa dia adalah tuan putri yang selalu dimanja, yang segala keinginannya selalu dituruti oleh kedua orang tuanya, apa pun itu. Berada di bawah bayang-bayang orang tuanya yang kaya-raya membuat Angel juga dicap tidak mampu melakukan apa-apa . Orang-orang yang iri dengan keberuntungannya selalu ingin membuatnya terlihat buruk. Malah ada yang memutuskan untuk membencinya bahkan sebelum mengenalnya. Nama besar Fabian Cannavaro memang me
Angel menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya. Kursi itu besar, berwarna hitam, tebal dan empuk. Kalau saja tubuhnya mungil dan tinggi badannya sedikit lebih rendah, mungkin kursi itu akan menenggelamkannya. Beruntung gadis itu mewarisi fisik kedua orang tuanya. Tinggi, postur tubuh ideal serta memiliki paras rupawan.Dari tempat duduknya Angel menekan remote. Televisi layar lebar lantas menyala. Siaran pertama yang ditangkap oleh matanya adalah tayangan olahraga. Angel tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Tidak ada yang memberinya petunjuk atau pengarahan. Termasuk si robot bangke yang pergi tiba-tiba karena ada janji dengan siapa namanya tadi? Da-Da apa? Dave or something like that. Angel tidak peduli. Angel baru menyadari bahwa ada yang kurang dari ruangannya yang sudah sangat sempurna ini. Tidak ada toilet di sana. Ya. Itu dia. Padahal saat ini dia sedang ingin buang air. Terpaksa gadis itu meninggalkan ruangannya.Melenggang santai bak super model, Angel melewati deret
Dari toilet, Angel menuju ruangan Dylan yang masih berada di lantai yang sama dengannya. Pintu ruangan sepupunya itu tertutup rapat, tapi Angel merasa tidak perlu mengetuknya. Tidak ada gunanya bersopan santun dengan pria itu. Dengan cekatan Angel memutar gagang pintu dan dia langsung menemukan dua pasang mata yang langsung tertuju padanya.‘Ternyata dia lagi. Si muka fakboi.’Tidak hanya Dylan, tapi ada Davin juga di sana. Davin yang mengetahui kehadiran Angel melempar senyum menyambut kedatangannya. Sungguh kebetulan yang sangat kebetulan. Tadi mereka bertemu di toilet, sekarang di sini. Namun tidak ada yang berubah dari Angel. Ekspresinya masih sama seperti tadi. Masam dan tidak bersahabat.“Ada apa, Ngel?” Dylan bertanya setelah gadis itu berjalan mendekat. Nada suaranya seperti biasa. Datar dengan raut tanpa ekspresi. “Aku minta kamu pecat karyawan finance,” ucap Angel tanpa basa-basi. Tak dipedulikannya keberadaan Davin yang akan mendengar percakapan mereka.Dylan yang tadi be
“Lama-lama muka kamu ngalahin baju belum disetrika.”Angel mengangkat muka mendengar komentar Tere. Sejak tadi yang dilakukannya hanya mengaduk-ngaduk mocca float-nya dengan sedotan dan memandanginya tanpa selera. Seperti janji mereka sebelumnya, sore ini Angel dan temannya itu janji ketemuan di Coffeholic—coffee shop yang berada di dekat kantor Tere. “Bad day!” celetuk Angel kemudian.“Apa yang salah? Ada masalah sama Dylan?”“Memangnya kapan aku nggak punya masalah sama dia?”Tere mengambil jeda dengan menyeruput minuman yang sama dengan Angel. Tentang apa dan bagaimana hubungan Angel dan Dylan, Tere tahu sangat banyak. Bahkan mungkin lebih mengetahui dari pada mengenal dirinya sendiri. Dia dan gadis manis di hadapannya sudah saling kenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kedekatan mereka berlanjut hingga keduanya sama-sama memakai seragam putih abu-abu. Dan ketika Angel melanjutkan pendidikannya di luar negeri saat itu
Angel memandang lurus ke depan, sedangkan Davin fokus menyetir di sebelahnya. Keduanya sama-sama membungkam mulut dan tidak membiarkan suara sekecil apa pun lolos keluar dari mulut mereka. Merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, Davin lantas menoleh pada gadis di sebelahnya. Meski dilihat dari samping seperti ini tapi Angel tetap terlihat menarik.Davin mencoba mencari bahan pembuka obrolan. Tapi sayangnya dia tidak menemukakan apa pun yang bisa memancing pembicaraan. Davin memang tidak sehandal papinya dalam urusan rayu-merayu perempuan. Davin jauh lebih kalem dari pria yang katanya lebih mirip kakaknya ketimbang ayahnya. Cukup menggelikan mengingat dia yang baru berumur dua puluhan disandingkan dengan lelaki yang terhitung tidak lagi muda dari segi usia.Davin berdeham, mencoba menarik perhatian Angel agar melirik padanya. Akan tetapi gadis itu seperti tidak terpengaruh. Apa mungkin dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri? Atau saat ini sedang larut dalam lamunan yang dalam?Sek
Angel memberengut saat pagi itu Dylan datang menjemputnya dan mengajak berangkat bareng ke kantor. Malahan lelaki itu juga sarapan pagi bersama mereka layaknya dua pasang pasangan harmonis.“Ngel, mulai hari ini Dylan yang akan mengantar jemput kamu kemana-mana.” Bian membuka obrolan sebelum keempatnya memulai sarapan.“Maksud Papi apa?” Angel yang sedang menyesap susunya tiba-tiba berhenti mendengar kata-kata Bian.“Dari pada berangkat sendiri mendingan kamu sama Dylan. Lagian kamu juga nggak mau disupirin kan?”“Pi, please, aku bukan anak kecil lagi. Aku nggak perlu diantar siapa-siapa, Pi.”“Mengertilah, Ngel, kamu itu perempuan. Nanti kalau kamu sudah jadi orang tua pasti akan tahu gimana rasanya jadi Papi dan amy.” Bian memberikan pengertian.Tatiana yang duduk di dekat putrinya ikut mendukung pernyataan sang suami. “Iya, Sayang, terima aja ya… Yang Amy dan papi lakukan itu semuanya untuk kebaikan kamu kok.”Angel merasa kesal, tapi sulit baginya untuk membantah kalau sudah Tatia
Entah kenapa sepanjang hari itu mood Angel memburuk. Sejak pagi hingga siang gadis itu terus memasang tampang cemberut. Apa pun yang dilihat dan didengarnya hari itu tidak satu pun yang membuatnya merasa jauh lebaih baik. Semua serba salah. Angel memang moody-an, tapi rasanya belum pernah sampai separah ini. Entah kenapa. Lagi pula ini bukan jadwal tamu bulanannya yang membuatnya PMS.Dylan yang masuk ke ruangannya membuat Angel semakin jengkel.“Nggak bisa ya sebelum masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu?”“Aku mau ajak kamu makan siang.” Lelaki itu berucap ringan tanpa menanggapi Angel yang cemberut dan memprotes ulahnya.“Aku bisa makan siang sendiri.” Angel menolak. “Tapi papi yang menyuruh biar kita selalu bareng-bareng.”“Oh, jadi ternyata kamu beneran robot yang mau-maunya didikte sama papi? Jangan-jangan kalo papi suruh kamu mati sekarang kamu juga nggak akan menolak. Dasar kacung!” Angel memutar bola matanya sembari bersedekap. Dylan sama sekali tidak terpancing meskipun
“Ngel, kenapa cuma minum?” tegur Tere yang melihat Angel tidak menyentuh makanannya.“Aku udah kenyang, Ter.”“Kenyang? Cuma minum air doang bisa kenyang?” Tere terlihat heran. Angel mana pernah begini sebelumnya. “Kamu nggak lagi diet kan, Ngel?” tanyanya lagi. Dari dulu sampai sekarang badan Angel memang ramping tanpa perlu usaha ekstra. Dia tidak pernah membatasi porsi makannya dan mengatur polanya.“Nggak, memang pernah ya aku diet?” “Ya, siapa tahu kan?” Tere mengangkat bahu. “Nggak perlu disuapin sama Davin kan makannya?”“Apa sih?” Angel kemudian buru-buru menyentuh sendok dan menyuap nasi agar Tere tidak semakin curiga dan terus-terusan bertanya.Davin tersenyum di sela-sela kunyahan. Dari dulu sampai sekarang, Tere selalu saja menyodor-nyodorkannya dengan cewek mana pun. Hingga saat ini Davin memang masih sendiri. Dia masih betah dengan kesendiriannya itu karena belum menemukan yang benar-benar pas di hatinya.