Bian mengesah pelan. Dia baru saja keluar dari ruang rapat. Pertemuan yang diharapkan menemui solusi itu nyatanya berlangsung alot dan belum mencapai titik terang. Di sebelahnya Jamie juga menunjukkan muka lesu. Mereka sudah habis-habisan tapi malah merugi. Bukannya untung tapi malah buntung.Seperti dugaan Bian tadi, ternyata Wiryawan juga ada di sana. Tapi pria tua itu terlihat biasa-biasa saja. Padahal dia juga terlihat proyek sejenis dengan Bian dan kerugiannya pasti juga tidak sedikit. Mereka memang sempat beradu mata, tapi Bian segera memalingkan wajah. Menjijikkan, pikirnya.“Nggak usah terlalu di pikirin, Pi,” komentar Bian saat melihat Jamie termenung di sebelahnya. Sedangkan dirinya sendiri sedang fokus menyetir.“Tapi kita sudah rugi banyak, Bi. Papi belum pernah menggelontorkan dana sebesar ini.”“Tenang aja, Pi, itu semua nggak bakalan bikin kita collapse kok. Toh proyek kita bukan itu satu-satunya kan?”Helaan napas Jamie terdengar lagi. Meskipun berat mungkin lebih bai
Berita tentang penangkapan Wiryawan sudah menyebar di mana-mana. Banyak orang yang tidak menyangka kalau pengusaha sekelas Wiryawan yang selama ini terlihat baik ternyata sangat culas. Semua aset yang dimilikinya disita. Seluruh dana yang dipunyainya di berbagai lembaga keuangan dibekukan. Hingga tidak menyisakan apa pun selain rasa malu dan merasa terhina.Kejadian yang begitu mendadak itu membuat Amelia shock berat. Jiwanya terguncang hebat. Selama ini biasa hidup senang dan dimanjakan dengan kemewahan, sekalinya ditimpa ujian bertubi-tubi seperti ini membuatnya tidak sanggup. Bukan hanya hatinya yang sakit, tapi juga fisik dan mentalnya.Tidak kuat menanggung beban sendiri akhirnya Amelia kehilangan kewarasan dan akal sehatnya. Pada akhirnya perempuan itu pun ikut mendekam di rumah sakit jiwa seperti anak kesayangannya.“Kasihan Dylan, Bi,” kata Tatiana pada Bian begitu mendapat informasi bahwa saat ini anak itu dititip pada tetangganya karena tidak seorang pun dari keluarga Amelia
“Kamu yakin mau ngajak mama sama Sandra ketemu sama pak tua bangke itu?” tanya Bian kurang percaya kalau Tatiana benar-benar akan membawa ibu dan adiknya menemui sang ayah.“Kalau mama dan Sandra mau sih. Kalau nggak mau aku juga nggak akan maksa,” sahut Tatiana seraya mencomot selembar tisu dari dalam kotak yang berada di atas dashboard.“Mudah-mudahan aja mereka nggak mau,” harap Bian. Wiryawan pasti akan tersiksa penyesalan saat tahu anak dan mantan istrinya tidak mau bertemu apalagi memaafkannya.“Bi, nggak boleh kayak gitu ah!” “Dasar manusia nggak punya otak, giliran udah susah baru minta maaf sana sini.” Bian mengomel sendiri.“Justru itu, Bi, sebagai sesama manusia kita harus bisa saling memaafkan.”“Kamu itu ya ngejawab mulu.”Tatiana tersenyum kecil melihat muka frustrasi Bian.***“Enak aja minta maaf, emang dia pikir dia siapa?” komentar Sandra saat hari itu Tatiana datang menemuinya dengan tujuan mengajaknya dan Alya mengunjungi Wiryawan.“Dia papa kita, Ra. Kesalahan d
“Wah, kapalnya besar banget, Pi!” Angel berputar-putar di depan Bian dan Tatiana. Dari tadi tak henti-henti anak itu mengagumi kemegahan Heaven Carribean—nama kapal pesiar yang akan membawa mereka berlayar.Berangkat dengan pesawat pagi, pukul sebelas siang, Bian, Tatiana, Angelica serta Sandra tiba di Changi Airport, Singapura. Pelayaran kali ini adalah dalam rangka mengganti honeymoon mereka yang batal dan tidak jadi terlaksana. Tadinya mereka hanya ingin pergi berdua tanpa membawa anak. Tapi Tatiana bersikeras ingin membawa Angel. Tatiana bilang Angel belum pernah liburan sehingga Bian pun menyetujui keinginan Tatiana dengan satu syarat, membawa seseorang yang bisa menjaga anak mereka saat hanya ingin berdua nanti. Keduanya akhirnya menjatuhkan pilihan pada Sandra yang dianggap sebagai orang yang paling tepat.Di dalam kapal dengan kapasitas penumpang lebih dari 3000 orang serta kru kapal yang lebih dari 1000 orang, mereka mendapatkan kamar dengan balkon yang menghadap ke laut.“S
Kapal yang membawa mereka berlabuh di Penang. Mereka diberikan waktu untuk jalan-jalan di sana sampai sore. Dengan didampingi guide, mereka menuju beberapa tempat wisata di Penang. Kalau di Jakarta ada monas sebagai menara tertinggi, Penang juga memiliki menara top Tun Abdul Razak sebagai menara tertinggi. Tingginya ditaksir mencapai 251.438 meter.Sama seperti jembatan kaca Zhangjiajie Glass Bridge di Cina. Ternyata di Penang juga ada jembatan kaca bernama Rainbow Skywalk. Bedanya, jembatan ini hanya melingkar saja dan tidak sepanjang di Cina. Dari Rainbow Skywalk, mereka melihat pemandangan George Town yang indah. Di sini juga tersedia beberapa paket aktivitas yang menantang adrenalin, seperti selfie dari ketinggian, flyfox, dan lain-lain. Angelica terlihat kurang menikmati suasana dan kegiatan yang dilakukan di sana. Dia lebih tertarik untuk menghabiskan waktu di dalam kapal yang sudah sangat lengkap tanpa perlu keluar lagi.“Pi, balik ke kapal aja, yuk!” Setelah merengek ingin di
Lelaki muda nan gagah itu itu lantas duduk sembari meletakkan cangkir kopi dan croissant di atas meja yang sama dengan Tatiana.“Kamu mau ke Thailand juga?” Tatiana tersenyum simpul mendengar pertanyaan bodoh yang meluncur keluar dari mulut pria itu. Begitu kontras dengan muka baby face-nya. Bukankah tujuan akhir semua makhluk hidup yang ada di kapal ini adalah Thailand? Dan destinasi mereka di negeri gajah putih itu adalah Phuket.Tatiana lantas berpikir, mungkin pria itu tidak menemukan kata-kata yang pas untuk mengawali percakapan sehingga mengucapkan apa yang saat itu melintas di kepalanya.“Iya, saya mau ke sana. Kamu juga kan?”“Iya, tentunya tujuan kita sama. Bukankah kita menumpang kapal yang sama?” Pria itu tertawa dan membalikkan fakta bahwa Tatianalah yang bodoh. “Saya Michael, kamu siapa?” Pria itu mengulurkan tangan untuk mengenalkan diri.“Saya Tia.” Tatiana balas menyebutkan namanya tanpa menyambut uluran tangan pria itu.Michael melirik tangannya kemudian menariknya
Ting tong...Dari tadi tidak henti-hentinya bel pintu berdenting dan menggema ke seisi rumah. Dengan terpaksa Bian beranjak malas dari posisi enaknya di sofa depan televisi. Masalahnya hanya dirinya sendiri di rumah. Istri dan anak perempuannya pergi ke sebuah acara. Entah acara apa. Yang jelas Tatiana bilang ke acara perempuan.Bian membuka pintu, dan detik itu juga penampakan seorang remaja laki-laki tanggung berusia lima belas tahun terpampang nyata di hadapannya. “Malam, Om, saya Erik, Angel-nya ada?” remaja laki-laki itu tersenyum pada Bian. Sebelah tangannya dia sembunyikan di belakang punggung. Entah apa yang ada di baliknya.“Angel pergi, kamu mau apa?” tanya Bian galak.“Masa sih, Om?” Erik tidak serta merta percaya. Dia mencondongkan kepalanya guna melihat ke dalam rumah. “Om nggak bohong kan?” sambungnya lagi.“Memangnya saya seperti orang pembohong?”“Hehe… kali aja kan. Masa iya tiap saya ke sini Angel-nya pergi terus. Bohong itu dosa lho, Om. Percuma kan ganteng-ganteng
Seorang gadis cantik dengan tinggi tubuh nyaris mencapai 180 sentimeter melenggang santai sambil menggenggam gelas styrofoam berisi minuman kekinian di tangannya. Angin sepoi-sepoi yang berembus pelan menggoyangkan rambut pirangnya.Tiba-tiba seseorang yang muncul dari belakang menyenggolnya hingga tanpa sengaja menjatuhkan minuman yang bahkan baru diseruputnya beberapa teguk.“Oh, shit! Minumanku!” Angelica--gadis berambut pirang itu mengangkat muka setelah ternganga melihat minumannya yang tumpah.“Heh bangke! Tunggu dulu!”Pria muda yang tadi tanpa sengaja menyenggol Angel menoleh ke belakang. Dia terperanjat.‘Kenapa ada yang berbahasa Indonesia di sini?’Sepasang mata coklatnya lantas beradu dengan wajah cantik seorang gadis dengan rambut blonde. Davin—lelaki itu untuk sepersekian detik tak berkedip menatap si gadis blonde yang cantik tapi tampak jutek.‘Cantiknya beda.’ Itu yang terbersit dalam hati Davin untuk pertama kalinya setelah bertemu Angel.Eh, apa tadi dia bilang? Ban