Bu Delia berusaha membujuk putrinya. Tatapan matanya sendu dan penuh harap nampak ketika ia menatap putri sulungnya itu. Ironi memang, disaat banyak yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang dengan alasan kebutuhan keluarga. Tenyata ada yang lebih penting dari itu. Kasih sayang, cinta, dan kehangatan sebuah keluarga.Mata Kania masih mendelik tajam, tak lama kemudian ia terkekeh. Untuk sesaat aku merasa ada yang janggal, seperti ada sesuatu yang ia pikirkan, entahlah seperti ada sesuatu yang ia rencanakan dalam kepalanya. Tak lama, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku belakang celana jeans yang dipakainya dan secepat kilat menusukkannya pada seseorang yang berada sisi kanannya.***Shoot!Pisau itu menusuk tepat di bagian perut Mas Bayu. Setelah menusuknya, Kania langsung mencabut kembali pisaunya. Sekilas aku melihat salah satu bibirnya terangkat dengan mata yang nampak begitu berbinar. Seakan puas dengan apa yang baru saja dilakukannya.Kejadian itu berlangsung san
PoV. Kania.Aku melihat mereka menggotong tubuh Mas Bayu yang berlumuran darah, membawanya masuk ke dalam mobil. Mata Alina mendelik penuh kemarahan padaku, Namun, tak begitu kupedulikan. Aku meringis masih merasakan sakit di lenganku yang memerah akibat cengkeraman kuat tangan Mas Reyhan. Melihat Mas Bayu yang terkapar membuatku puas. Ada rasa kemenangan di dalam dadaku melihatnya. Setidaknya dengan begini, Mas Bayu tak akan menjadi milik Alina. aku tak akan pernah bisa melihat wanita lain ada di sisi Mas Bayu.Aku gila.mungkin benar. Akan lebih baik melihatnya mati saja daripada melihatnya tersenyum dan tertawa bersama wanita lain, membuat hatiku terasa sakit jika mengingatnya. Cinta dan kecemburuan ini akhirnya menarikku dalam kegelapan yang tak berujung."Apa yang sudah kau lakukan, Kania. Mengapa harus bertindak nekat seperti ini, nak?" Tanya mama begitu ia menghampiriku lalu menarikku dalam dekapannya."Sudahlah ma, aku sudah lelah. tolong jangan bersikap ingin menghakimiku."
Suasana di klinik ini entah mengapa auranya terasa begitu mencekam bagiku. Menakutkan dan tegang. Beberapa kali ku putar bola mata demi melirik jam yang tergantung di dinding klinik ini. Rasanya begitu kesal melihat jarum jam di sana seakan enggan berputar. Membuatku sangat gelisah.Aku masih duduk menunggu dokter yang memeriksa dengan perasaan cemas dan gelisah, yang bercampur aduk. Berkali kali ku panjatkan doa dalam hati memohon kepada tuhan agar menyelamatkan nyawa Mas Bayu, aku belum sanggup untuk kehilangan dirinya.Ponsel Mas Reyhan terus berdering. Pun sama pula dengan Mbak Lisa, aku bisa mendengar ia membagi kabar mengenai keadaan disini dan apa yang menimpa Mas Bayu, kepada Mas Adi, suaminya. Kuusap kasar wajahku dengan telapak tangan. Berharap akan datangnya sebuah keajaiban disini. Besar harapanku luka tusukan itu tidak dalam. Beberapa kali aku menepis pikiran buruk yang datang, sungguh, aku bahkan aku tak berani membayangkan hal buruk yang bisa saja menimpa Mas Bayu saat
Dengan cepat perawat yang mendampingi kami, langsung membuka pintu dan keluar, aku dan mbak lisa ikut turun. pelan pelan, tubuh mas bayu pun dibawa keluar dari mobil menuju instalasi gawat darurat rumah sakit umum daerah bogor ini.Aku hanya diam terpaku menatap wajah pucat itu, memandang nanar mereka yang tergesa mendorong brankar itu masuk kedalam. kakiku serasa berat melangkah. untuk ikut mendorong, atau sekedar memegang tangan mas bayu."Alina, kau baik-baik saja?" Mbak Lisa menepuk bahuku pelan.***Aku sedikit tersentak, lalu segera menoleh padanya, "iya, mbak. aku tak apa apa. Jangan terlalu mencemaskanku."Aku memandang Mbak Lisa sambil tersenyum, wajah kakak iparku itu terlihat lelah. Wajar saja, sebab begitu tiba dari surabaya ia langsung menemaniku ke cisarua hingga dirumah sakit ini. Mbak Lisa adalah orang pertama yang mendukungku dan meragukan niat poligami yang ingin dilakukan Mas Bayu. ia begitu memahami apa yang kurasakan, didukung dengan perbedaan usia kami yang tak
"Tak apa apa, mbak. Biar saja aku menggendongnya sebentar. Rasanya beban ini sedikit berkurang saat memeluknya." ucapku.Aku memeluk Diyara, mencium pucuk kepalanya dengan lembut, kehadirannya di sini sedikit banyak menenangkan emosiku, sungguh, hati kecilku masih sangat berharap Diyara akan tetap bersama papanya. ***Tangan kecilnya menggapai wajahku, mengelusnya lembut. Ada rasa haru menyeruak di dada saat merasakan sentuhannya, tak tahu mengapa rasanya begitu membuatku nyaman. Memeluk dirinya seperti ini seakan memberi kekuatan untukku.Berusaha tenang meski jantung ini berdegup kencang bukanlah hal yang mudah. Pikiran buruk kini bermain dibenakku, membuatku semakin gelisah. Menakutkan, kata itu sangat pas dengan hari yang kulalui saat ini. Senyum tipis mungkin bisa menyembunyikan lara namun, itulah yang sekarang sedang kulakukan. "Aku yakin ibu kuat dan sabar dengan cobaan ini." Ucap pengasuh anakku itu berusaha menghiburku. Aku menaikkan salah satu sudut bibir padanya. Menyungg
"Alina!"Bu Maryam mengguncang bahuku, seakan ingin membangunkanku, kupalingkan segera wajahku darinya lalu menatap nanar Diyara yang sedang tertidur pulas dalam gendongan pengasuhnya. Haruskah berakhir seperti ini, di saat kami baru memperbaikinya dan memulainya kembali dari awal? Sungguh, aku masih tak ingin percaya jika jodohku dan Mas Bayu telah berakhir hari ini. ***"Bu ..." bisikku lirih nyaris tak terdengar."Bersabarlah, Alina," ucap Bu Maryam terisak di telingaku."A-pa saya boleh melihatnya?" Mendengar ucapanku, Mas Reyhan langsung menghampiri. "Ayo Alina, lihatlah."Aku menoleh sebentar pada Mbak Sita, pengasuhnya Diyara itu membalas tatapanku dengan sorot mata sayu. Melihat wajah Diyara, membuat mataku akhirnya mengembun."Aku akan menjaga Diyara, bu." Ucap Mbak Sita seakan mengerti apa yang sedang kupikirkan.Aku mengikuti langkah Mas Reyhan di iringi oleh Bu Maryam yang berjalan selangkah di belakangku. Begitu hampir mendekati ranjang dimana tubuh Mas Bayu dibaringkan
Tok ... tok!Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar ketika baru saja hendak mengganti pakaian. Karena tak ingin tidur Diyara terganggu, aku bergegas cepat membuka pintu."Alina, didepan ada polisi, katanya ingin bertemu denganmu," ujar Mbak Lisa dari balik pintu."Polisi?" Aku mengerutkan kening.****"Iya, Alina. Polisi," ujar Mbak Lisa menegaskan."Apa ini ada hubungannya dengan Kania, mbak?" Aku mencoba menebak."Sepertinya begitu, Alina." Mbak Lisa mengendikkan bahunya.Aku mengangguk lemah membenarkan prasangka Mbak Lisa. "Sebaiknya kau temui saja dulu." "Iya, mbak. Tolong temani aku menemuinya sebentar." Pintaku lalu mulai melangkah menuju ruang tamu. Kami pun berjalan bersisian. Ditemani Mbak Lisa dan suaminya. Aku menemui polisi itu. Tampak disana seorang polisi sedang berdiri di depan pintu rumahku."Anda mencari saya?" "Iya, perkenalkan, saya Malik teman Alm. Pak Bayu, suami ibu." Jawabnya mengenalkan diri."Maaf, ada keperluan apa?" aku bertanya sopan padanya."Sebe
"Kau jangan khawatir, Alina. Kania akan mendapatkan balasan dari semua perbuatannya selama ini padamu dan suamimu.""Iya mbak. Semoga. Aku berharap yang terbaik." Jawabku.***Delapan bulan berlalu sejak kejadian di villa itu, sebulan setelah kematian Mas Bayu, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, dan memilih untuk merintis bisnis sendiri. Hal ini kulakukan hanya demi bisa memiliki cukup waktu bersama Diyara. Kematian Mas Bayu cukup membuat kondisi psikologis ku menurun, hatiku selalu dipenuhi oleh perasaan bersalah. Untunglah, aku mampu melawan rasa depresi karena kehilangannya, meski akhirnya harus berkonsultasi dengan seorang psikolog.Berbekal uang asuransi Mas Bayu, aku memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan Maklon yang memproduksi produk produk kosmetik. Aku mulai merintis bisnis kosmetik dengan brandku sendiri. Meski diawal cukup berat. Alhamdulillah, perlahan bisnisku mulai menunjukkan hasilnya.Mbak Sita, masih setia menemaniku. Aku beruntung me