Tok ... tok!Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar ketika baru saja hendak mengganti pakaian. Karena tak ingin tidur Diyara terganggu, aku bergegas cepat membuka pintu."Alina, didepan ada polisi, katanya ingin bertemu denganmu," ujar Mbak Lisa dari balik pintu."Polisi?" Aku mengerutkan kening.****"Iya, Alina. Polisi," ujar Mbak Lisa menegaskan."Apa ini ada hubungannya dengan Kania, mbak?" Aku mencoba menebak."Sepertinya begitu, Alina." Mbak Lisa mengendikkan bahunya.Aku mengangguk lemah membenarkan prasangka Mbak Lisa. "Sebaiknya kau temui saja dulu." "Iya, mbak. Tolong temani aku menemuinya sebentar." Pintaku lalu mulai melangkah menuju ruang tamu. Kami pun berjalan bersisian. Ditemani Mbak Lisa dan suaminya. Aku menemui polisi itu. Tampak disana seorang polisi sedang berdiri di depan pintu rumahku."Anda mencari saya?" "Iya, perkenalkan, saya Malik teman Alm. Pak Bayu, suami ibu." Jawabnya mengenalkan diri."Maaf, ada keperluan apa?" aku bertanya sopan padanya."Sebe
"Kau jangan khawatir, Alina. Kania akan mendapatkan balasan dari semua perbuatannya selama ini padamu dan suamimu.""Iya mbak. Semoga. Aku berharap yang terbaik." Jawabku.***Delapan bulan berlalu sejak kejadian di villa itu, sebulan setelah kematian Mas Bayu, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, dan memilih untuk merintis bisnis sendiri. Hal ini kulakukan hanya demi bisa memiliki cukup waktu bersama Diyara. Kematian Mas Bayu cukup membuat kondisi psikologis ku menurun, hatiku selalu dipenuhi oleh perasaan bersalah. Untunglah, aku mampu melawan rasa depresi karena kehilangannya, meski akhirnya harus berkonsultasi dengan seorang psikolog.Berbekal uang asuransi Mas Bayu, aku memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan Maklon yang memproduksi produk produk kosmetik. Aku mulai merintis bisnis kosmetik dengan brandku sendiri. Meski diawal cukup berat. Alhamdulillah, perlahan bisnisku mulai menunjukkan hasilnya.Mbak Sita, masih setia menemaniku. Aku beruntung me
"Oh ya, Alina. Apa kau tahu kabar terakhir tentang Kania?" Tanya Bu Maryam setelah kami duduk di sofa."Apa?" Aku mengerutkan kening."Kania? Ada apa dengannya? bukankah ia sudah berada di penjara?" Aku balik bertanya***"Persis seperti yang kuduga, kau belum mengetahuinya Alina." Desis Bu Maryam."Apa yang terjadi, bu? Setelah sidang putusan hakim, aku tak pernah mendengar kabar apapun darinya. Kupikir ia akan berada disana untuk menjalani vonis hukuman yang dijatuhkan padanya." Jelasku."Kania dipindahkan ke Rumah sakit jiwa, Alina." Ucapan Bu Maryam sangat mengejutkan, aku tak menyangka akan mendengar kabar berita ini darinya. Apakah ini alasannya beliau memintaku untuk menyambangi rumahnya?"Rumah sakit jiwa?" Bisikku tak mengerti."Iya, Alina. Ibu tak sengaja bertemu dengan Bu Delia kemarin. Saat check up bulanan di rumah sakit. Jujur ibu juga terkejut mendengarnya.""Apa Bu Delia yang menceritakan alasannya pada ibu?" Tanyaku penasaran."Iya nak. Tadinya ibu hanya berbasa-basi
"Aku masih menunggumu, Alina."Ucapan Mas Reyhan sontak mengejutkanku. Aku tercekat tak mengira jika pria yang duduk tak jauh dariku ini masih mengharap dan menyimpan perasaannya untukku. Aku menunduk, memalingkan wajahku darinya. menjaga pandanganku untuk tidak menatapnya. Sungguh aku masih tak menyangka jika ia kembali mengungkapkan perasaannya padaku. Apa yang dilihatnya dariku? Seorang janda satu anak. Haruskah kali ini aku mematahkan harapannya lagi?***Tubuhku masih terasa gemetar, meski aku sudah menduganya tetap saja mendengar ucapannya membuatku gugup. Kedatangan Bu Maryam yang menemani putranya ke sini seolah menjadi satu persetujuan atas keseriusan Mas Reyhan untuk meminangku.Aku tak tahu apakah harus merasa gembira atau sedih karena hal ini. Sebuah lamaran adalah kabar yang baik, namun sekarang, aku tak bisa memutuskan apakah harus menerimanya atau tidak, karena ada perasaan Diyara yang harus kujaga. Sejak kecil Diyara memang sudah begitu dekat dengan Mas Reyhan, bahka
SEASON KEDUAEnam bulan kemudian."Hati hati sayang, Jangan lari," teriakku pada Diyara yang berlari tergesa-gesa menyambut kepulanganku.Gadis kecilku tersenyum dan memanggilku, sambil memamerkan sebuah gambar yang baru saja diwarnai olehnya."Ma-ma lihat, bagus kan?" Lapornya padaku sambil memperlihatkan hasil karyanya. "Iya, bagus banget, nak. Pintar!" Aku memuji gambar sebuah Disney Princess yang diperlihatkannya."Diyara yang buat?" tanyaku lembut."Iya. sama Mbak," jawabnya. Sungguh ia terlihat sangat menggemaskan, membuatku menjawil Pipinya yang chubby."Diyara sayang, sini gendong sama Mbak dulu yuk, mama capek baru pulang kerja." Mbak Sita datang menghampiri. "Ngga apa apa mbak. Sini sayang, mau mama gendong, ngga?." Tanyaku lalu merentangkan tangan.Tanpa membuang waktu, Diyara langsung mengangkat kedua tangannya, isyarat bahwa ia menginginkannya, sambil menggendong Diyara, aku menyeret langkah ke kamar lalu meletakkan tas dan ponselku di atas tempat tidur."Kesorean bu?"
"Oh, maaf. Mungkin aku salah mengenali orang. Kupikir kau wanita yang bernama Alina." Deg. Jantungku berdegup kencang begitu mendengarnya, untuk sesaat aku mengerutkan kening, bertanya dalam hati, siapa wanita ini dan mengapa ia seakan telah mengenalku sebelumnya? karena aku sangat yakin belum pernah bertemu dengannya apalagi mengenalnya. "Iya, saya Alina. Maaf, jika saya boleh tahu siapa anda?" Jawabku balik bertanya.****"Benarkah? Jadi kau benar Alina?" Ia terlihat senang."Iya, saya Alina. Maaf, apakah ada yang perlu apa dengan saya?" Aku mencoba mencari tahu."Tidak, aku hanya menebak, karena pernah melihat anda sekali." Jawabnya."Oh ya, dimana?" Aku menyipitkan mata."Iya, waktu itu saya tak sengaja melihat anda di rumah salah seorang kerabat." Ujarnya beralasan."Maaf, anda siapa?" Tanyaku penasaran."Oh maaf, perkenalkan, saya Erika." Ucapnya dengan tersenyum lalu mengulurkan tangannya."Alina," sahutku menerima tangannya.Wanita yang cantik, dengan tubuh yang ramping da
Aku mengambil ponselku yang sejak tadi kuabaikan. Nampak banyak sekali notifikasi yang masuk. Satu persatu ku baca pesan yang masuk, salah satunya pesan WA dari Mas Reyhan.[Alina, apa aku bisa bicara denganmu?]***Deg.Entah mengapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang, dari kalimat yang dalam pesannya, Mas Reyhan mengisyaratkan sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan denganku. Apakah ini berkaitan dengan lamarannya padaku?"Meski beberapa pertanyaan melintas di benakku, kucoba untuk berprasangka baik. Segera saja ku ketik balasan pesannya. Malam semakin larut, aku melirik Diyara yang mulai tertidur, kelihatannya ia cukup kelelahan. Ku matikan lampu kamar hanya tinggal menyisakan satu lampu saja yang masih menyala. Aku meletakkan ponselku di atas nakas, lalu mengganti chanel televisi, mencari acara menarik yang bisa kunikmati. Beberapa saat kemudian, terdengar ponselku berdering dengan nama Mas Reyhan tertera di layar.Apakah begitu penting hal yang ingin dibicarakan denganku,
Rasa penasaran masih ada dalam benakku. Sosok Aisyah yang dikatakan Erika benar-benar mengacaukan pikiranku. Sudah kuputuskan untuk segera menanyakannya pada Mas Reyhan. Semoga saja, ini bukan suatu alasan untuk menghalangi hubungan kami, hubungan yang baru beberapa jam lalu terjalin.***Jam Tujuh malam akhirnya kami tiba kembali di rumah, lampu rumah terlihat menyala, kelihatannya Mbak Sita sudah pulang kerumah. Aku memang memberikan duplikat kunci rumah padanya sebelum ia pulang, karena khawatir ia akan kembali lebih dulu daripada kami.Begitu mendengar suara mobil. Mbak Sita bergegas keluar, dan membukakan pagar, melihat penampilannya yang sedikit berbeda membuatku pangling melihatnya. Ia memotong rambut panjang sepinggang miliknya menjadi sebatas bahu, terlihat lebih segar dan cantik.Aku mengeluarkan semua barang dari mobil, dan memintanya untuk membawanya masuk ke dalam rumah, nampak Diyara yang terbangun dari tidur, bergegas mengulurkan tangannya untuk masuk ke dalam gendonga