"Kau jangan khawatir, Alina. Kania akan mendapatkan balasan dari semua perbuatannya selama ini padamu dan suamimu.""Iya mbak. Semoga. Aku berharap yang terbaik." Jawabku.***Delapan bulan berlalu sejak kejadian di villa itu, sebulan setelah kematian Mas Bayu, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, dan memilih untuk merintis bisnis sendiri. Hal ini kulakukan hanya demi bisa memiliki cukup waktu bersama Diyara. Kematian Mas Bayu cukup membuat kondisi psikologis ku menurun, hatiku selalu dipenuhi oleh perasaan bersalah. Untunglah, aku mampu melawan rasa depresi karena kehilangannya, meski akhirnya harus berkonsultasi dengan seorang psikolog.Berbekal uang asuransi Mas Bayu, aku memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan Maklon yang memproduksi produk produk kosmetik. Aku mulai merintis bisnis kosmetik dengan brandku sendiri. Meski diawal cukup berat. Alhamdulillah, perlahan bisnisku mulai menunjukkan hasilnya.Mbak Sita, masih setia menemaniku. Aku beruntung me
"Oh ya, Alina. Apa kau tahu kabar terakhir tentang Kania?" Tanya Bu Maryam setelah kami duduk di sofa."Apa?" Aku mengerutkan kening."Kania? Ada apa dengannya? bukankah ia sudah berada di penjara?" Aku balik bertanya***"Persis seperti yang kuduga, kau belum mengetahuinya Alina." Desis Bu Maryam."Apa yang terjadi, bu? Setelah sidang putusan hakim, aku tak pernah mendengar kabar apapun darinya. Kupikir ia akan berada disana untuk menjalani vonis hukuman yang dijatuhkan padanya." Jelasku."Kania dipindahkan ke Rumah sakit jiwa, Alina." Ucapan Bu Maryam sangat mengejutkan, aku tak menyangka akan mendengar kabar berita ini darinya. Apakah ini alasannya beliau memintaku untuk menyambangi rumahnya?"Rumah sakit jiwa?" Bisikku tak mengerti."Iya, Alina. Ibu tak sengaja bertemu dengan Bu Delia kemarin. Saat check up bulanan di rumah sakit. Jujur ibu juga terkejut mendengarnya.""Apa Bu Delia yang menceritakan alasannya pada ibu?" Tanyaku penasaran."Iya nak. Tadinya ibu hanya berbasa-basi
"Aku masih menunggumu, Alina."Ucapan Mas Reyhan sontak mengejutkanku. Aku tercekat tak mengira jika pria yang duduk tak jauh dariku ini masih mengharap dan menyimpan perasaannya untukku. Aku menunduk, memalingkan wajahku darinya. menjaga pandanganku untuk tidak menatapnya. Sungguh aku masih tak menyangka jika ia kembali mengungkapkan perasaannya padaku. Apa yang dilihatnya dariku? Seorang janda satu anak. Haruskah kali ini aku mematahkan harapannya lagi?***Tubuhku masih terasa gemetar, meski aku sudah menduganya tetap saja mendengar ucapannya membuatku gugup. Kedatangan Bu Maryam yang menemani putranya ke sini seolah menjadi satu persetujuan atas keseriusan Mas Reyhan untuk meminangku.Aku tak tahu apakah harus merasa gembira atau sedih karena hal ini. Sebuah lamaran adalah kabar yang baik, namun sekarang, aku tak bisa memutuskan apakah harus menerimanya atau tidak, karena ada perasaan Diyara yang harus kujaga. Sejak kecil Diyara memang sudah begitu dekat dengan Mas Reyhan, bahka
SEASON KEDUAEnam bulan kemudian."Hati hati sayang, Jangan lari," teriakku pada Diyara yang berlari tergesa-gesa menyambut kepulanganku.Gadis kecilku tersenyum dan memanggilku, sambil memamerkan sebuah gambar yang baru saja diwarnai olehnya."Ma-ma lihat, bagus kan?" Lapornya padaku sambil memperlihatkan hasil karyanya. "Iya, bagus banget, nak. Pintar!" Aku memuji gambar sebuah Disney Princess yang diperlihatkannya."Diyara yang buat?" tanyaku lembut."Iya. sama Mbak," jawabnya. Sungguh ia terlihat sangat menggemaskan, membuatku menjawil Pipinya yang chubby."Diyara sayang, sini gendong sama Mbak dulu yuk, mama capek baru pulang kerja." Mbak Sita datang menghampiri. "Ngga apa apa mbak. Sini sayang, mau mama gendong, ngga?." Tanyaku lalu merentangkan tangan.Tanpa membuang waktu, Diyara langsung mengangkat kedua tangannya, isyarat bahwa ia menginginkannya, sambil menggendong Diyara, aku menyeret langkah ke kamar lalu meletakkan tas dan ponselku di atas tempat tidur."Kesorean bu?"
"Oh, maaf. Mungkin aku salah mengenali orang. Kupikir kau wanita yang bernama Alina." Deg. Jantungku berdegup kencang begitu mendengarnya, untuk sesaat aku mengerutkan kening, bertanya dalam hati, siapa wanita ini dan mengapa ia seakan telah mengenalku sebelumnya? karena aku sangat yakin belum pernah bertemu dengannya apalagi mengenalnya. "Iya, saya Alina. Maaf, jika saya boleh tahu siapa anda?" Jawabku balik bertanya.****"Benarkah? Jadi kau benar Alina?" Ia terlihat senang."Iya, saya Alina. Maaf, apakah ada yang perlu apa dengan saya?" Aku mencoba mencari tahu."Tidak, aku hanya menebak, karena pernah melihat anda sekali." Jawabnya."Oh ya, dimana?" Aku menyipitkan mata."Iya, waktu itu saya tak sengaja melihat anda di rumah salah seorang kerabat." Ujarnya beralasan."Maaf, anda siapa?" Tanyaku penasaran."Oh maaf, perkenalkan, saya Erika." Ucapnya dengan tersenyum lalu mengulurkan tangannya."Alina," sahutku menerima tangannya.Wanita yang cantik, dengan tubuh yang ramping da
Aku mengambil ponselku yang sejak tadi kuabaikan. Nampak banyak sekali notifikasi yang masuk. Satu persatu ku baca pesan yang masuk, salah satunya pesan WA dari Mas Reyhan.[Alina, apa aku bisa bicara denganmu?]***Deg.Entah mengapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang, dari kalimat yang dalam pesannya, Mas Reyhan mengisyaratkan sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan denganku. Apakah ini berkaitan dengan lamarannya padaku?"Meski beberapa pertanyaan melintas di benakku, kucoba untuk berprasangka baik. Segera saja ku ketik balasan pesannya. Malam semakin larut, aku melirik Diyara yang mulai tertidur, kelihatannya ia cukup kelelahan. Ku matikan lampu kamar hanya tinggal menyisakan satu lampu saja yang masih menyala. Aku meletakkan ponselku di atas nakas, lalu mengganti chanel televisi, mencari acara menarik yang bisa kunikmati. Beberapa saat kemudian, terdengar ponselku berdering dengan nama Mas Reyhan tertera di layar.Apakah begitu penting hal yang ingin dibicarakan denganku,
Rasa penasaran masih ada dalam benakku. Sosok Aisyah yang dikatakan Erika benar-benar mengacaukan pikiranku. Sudah kuputuskan untuk segera menanyakannya pada Mas Reyhan. Semoga saja, ini bukan suatu alasan untuk menghalangi hubungan kami, hubungan yang baru beberapa jam lalu terjalin.***Jam Tujuh malam akhirnya kami tiba kembali di rumah, lampu rumah terlihat menyala, kelihatannya Mbak Sita sudah pulang kerumah. Aku memang memberikan duplikat kunci rumah padanya sebelum ia pulang, karena khawatir ia akan kembali lebih dulu daripada kami.Begitu mendengar suara mobil. Mbak Sita bergegas keluar, dan membukakan pagar, melihat penampilannya yang sedikit berbeda membuatku pangling melihatnya. Ia memotong rambut panjang sepinggang miliknya menjadi sebatas bahu, terlihat lebih segar dan cantik.Aku mengeluarkan semua barang dari mobil, dan memintanya untuk membawanya masuk ke dalam rumah, nampak Diyara yang terbangun dari tidur, bergegas mengulurkan tangannya untuk masuk ke dalam gendonga
Aku kembali menatap kantong keresek hitam itu dengan penuh tanya, pikiranku kini dipenuhi prasangka. Mungkinkah ada seseorang yang begitu tidak menyukaiku selama ini. Tapi siapa?"Siapa yang sengaja ingin menerorku seperti ini?" Batinku mulai bertanya****Kejadian semalam membuat tidurku tak begitu pulas. Aku bermimpi buruk. Dalam mimpiku semalam, nampak ada seseorang yang hendak mendorongku ke dalam jurang, ketika hendak menoleh, mencari tahu wajah pelakunya. Mendadak kulihat wajah Mas Reyhan berdiri diam tak jauh dari tempatku berada.Orang bilang mimpi adalah bunga tidur. Mungkin ungkapan itu tidak sepenuhnya salah. Tapi, ada perasaan aneh yang kurasakan ketika mengingat mimpi itu kembali. Semoga bukan suara pertanda buruk atau bahaya, karena trauma atas tragedi Kania masih membekas dalam diriku.Aku masih menyisir rambutku, seperti biasa, pagi pagi aku akan ke ruko, mengecek beberapa laporan. Ruko itu sebenarnya adalah kantor milikku. Tempat dimana semua kegiatan bisnis kosmetikk
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R