Rasa penasaran masih ada dalam benakku. Sosok Aisyah yang dikatakan Erika benar-benar mengacaukan pikiranku. Sudah kuputuskan untuk segera menanyakannya pada Mas Reyhan. Semoga saja, ini bukan suatu alasan untuk menghalangi hubungan kami, hubungan yang baru beberapa jam lalu terjalin.***Jam Tujuh malam akhirnya kami tiba kembali di rumah, lampu rumah terlihat menyala, kelihatannya Mbak Sita sudah pulang kerumah. Aku memang memberikan duplikat kunci rumah padanya sebelum ia pulang, karena khawatir ia akan kembali lebih dulu daripada kami.Begitu mendengar suara mobil. Mbak Sita bergegas keluar, dan membukakan pagar, melihat penampilannya yang sedikit berbeda membuatku pangling melihatnya. Ia memotong rambut panjang sepinggang miliknya menjadi sebatas bahu, terlihat lebih segar dan cantik.Aku mengeluarkan semua barang dari mobil, dan memintanya untuk membawanya masuk ke dalam rumah, nampak Diyara yang terbangun dari tidur, bergegas mengulurkan tangannya untuk masuk ke dalam gendonga
Aku kembali menatap kantong keresek hitam itu dengan penuh tanya, pikiranku kini dipenuhi prasangka. Mungkinkah ada seseorang yang begitu tidak menyukaiku selama ini. Tapi siapa?"Siapa yang sengaja ingin menerorku seperti ini?" Batinku mulai bertanya****Kejadian semalam membuat tidurku tak begitu pulas. Aku bermimpi buruk. Dalam mimpiku semalam, nampak ada seseorang yang hendak mendorongku ke dalam jurang, ketika hendak menoleh, mencari tahu wajah pelakunya. Mendadak kulihat wajah Mas Reyhan berdiri diam tak jauh dari tempatku berada.Orang bilang mimpi adalah bunga tidur. Mungkin ungkapan itu tidak sepenuhnya salah. Tapi, ada perasaan aneh yang kurasakan ketika mengingat mimpi itu kembali. Semoga bukan suara pertanda buruk atau bahaya, karena trauma atas tragedi Kania masih membekas dalam diriku.Aku masih menyisir rambutku, seperti biasa, pagi pagi aku akan ke ruko, mengecek beberapa laporan. Ruko itu sebenarnya adalah kantor milikku. Tempat dimana semua kegiatan bisnis kosmetikk
"Bu, apa kau kenal seorang wanita bernama Erika?"Pertanyaanku sontak membuat mereka berdua menyipitkan mata padaku, senyum yang selalu menghiasi wajah Bu Maryam menghilang dan berganti dengan rahang wajahnya yang mengeras.***"Erika?" "Darimana kau tahu nama itu? Apa kau mengenalnya?" Tanya Bu Maryam, manik matanya masih fokus menatapku.Aku menggeleng pelan." Tidak.""Aku tak sengaja bertemu dengannya di sebuah hotel di Bandung. Sewaktu aku dan Diyara pergi untuk berlibur kesana minggu lalu," Jawabku."Siapa dia, bu? Apakah wanita itu masih ada hubungan keluarga dengan kalian? Karena wanita itu bilang jika dia mengenal keluarga ibu," Aku kembali bertanya hati-hati."Bisa dibilang begitu, Alina. Kerabat jauh." Mas Reyhan menjawabnya."Apa dia mengganggumu?" Tanya Bu Maryam kembali.Aku kembali menggeleng," tidak, kami hanya berkenalan saja. Tepatnya ia yang mengenaliku dan mengajakku berkenalan lebih dulu.""Begitukah?" Mata Bu Maryam kembali menyipit menatapku "Iya, kami hanya be
"Wanita akan bersikap berbeda jika mencintai seseorang, mas. Rasanya aku mulai bisa mengerti mengapa Kania begitu terobsesi pada Mas Bayu dulu." Aku mencibir."Bolehkah aku bertanya satu hal saja padamu, Mas?" "Apapun itu, Alina." Sahutnya cepat"Apa kau masih mencintainya?"***Raut wajah Mas Reyhan nampak berubah, helaan nafasnya terdengar berat. Aku sudah menduganya jika ia tidak nyaman membicarakan hal ini. Hanya saja rasa penasaran membawaku untuk mengetahuinya.Sesekali ia menunduk lalu memalingkan wajahnya dariku, entahlah, mungkin ingin mencoba menutupi perasaannya saat ini. "Maaf mas, aku tak bermaksud untuk mengorek masa lalumu atau ...""Aku bisa mengerti, Alina." Ia memotong perkataanku.Mas Reyhan diam, nampak seperti sedang mengumpulkan kata-kata untuk menjelaskannya padaku, aku masih bergeming, menunggu ia bicara."Aku menunggu penjelasanmu," ujarku memberanikan diri menatapnya.Kali ini Mas Reyhan tersenyum. Entah apa makna dibalik senyuman itu karena aku merasa ada
Kembali ponselku berdering, kupelankan laju mobilku untuk melihat siapa yang menelpon. Nama Mbak Sita tertera dilayar, ada apa pengasuhnya Diyara menelpon, karena tak biasanya mengubungiku.Segera saja aku menepi dan berhenti sejenak menerima panggilan teleponnya, suara cemas Mbak Sita terdengar, membuatku sedikit panik."Bu, tolong cepat pulang, Diyara ...""Ada apa dengan Diyara Mbak?"***"Ada apa dengan Diyara Mbak?" Aku menyela ucapannya cepat."Badannya tiba tiba panas. Sudah saya kasih obat penurun panas tapi panasnya tidak turun. Ibu cepat pulang, saya takut bu," suaranya terdengar begitu cemas."Lima belas menit lagi aku akan tiba dirumah, siapkan semua keperluan Diyara, begitu aku sampai kita segera kerumah sakit" pintaku."Baik bu."Aku menutup teleponnya dan berusaha untuk tenang, ini pertama kalinya Mbak Sita sepanik ini. Ku putar kembali kemudi mobilku, menekan pedal gas, berharap segera tiba dirumah. Sepanjang perjalanan ke rumah, Pikiranku tidak fokus, rasanya ingin
Kami bicara tak begitu jauh dari pintu masuk IGD. Entah mengapa rasanya ada yang aneh, tapi aku tak tahu apa itu. Hanya saja ada perkataannya yang begitu mengganjal di dalam benakku.Pintu ruang IGD tiba tiba berderit. Seraut wajah menyembul begitu pintunya terbuka sempurna. Sosok pria kini tengah berdiri di hadapan kami, menatap Erika dengan tajam."Erika, kau disini?" Tanya Mas Reyhan dengan raut wajah terkejut.***"Mas Reyhan?!" Wanita itu balas menyapa, tak kalah terkejutnya.Aku menyeringai, sesuatu yang mengganjal di hati yang kurasakan sedari tadi seolah terjawab sudah. Jika dugaanku benar, mengapa ia melakukannya? Aku sungguh tak mengerti apa maksud dan tujuan wanita ini sebenarnya."Ada apa kesini? Apa ada anggota keluargamu yang sakit?" Mas Reyhan bertanya sambil melirik padaku.Erika menggeleng," tidak, mama dan papa, baik baik saja. Aku kesini karena menjenguk teman."Jawab Erika kemudian melangkah ke sisi kanan Mas Reyhan. Tanpa rasa canggung, wanita itu langsung memegan
Mas Reyhan diam, menungguku bicara. Kuhela nafas panjang, kuberanikan diri untuk menanyakannya langsung padanya, menanyakan tentang masa lalunya, karena aku sangat yakin jika si pengirim kiriman misterius masih ada kaitan dengannya.Kurasa ini waktu yang tepat untuk menanyakannya. "Mas, bisakah aku mengetahui bagaimana hubunganmu dan Aisyah berakhir?***Mas Reyhan memandangku tanpa berkedip. Seakan pertanyaanku begitu melukainya. Sesaat, aku merasa jika dirinya mengetahui apa yang ada dalam pikiranku saat ini. Aku tahu, rasanya tak sopan untuk mengorek masa lalu seseorang. Hanya saja, aku merasa teror kiriman misterius itu ada hubungannya dengan masa lalu Mas Reyhan.Pengakuan tak sadar yang di ungkapkan oleh Erika tadi, semakin menyadarkanku akan hal itu. Karena, sebelumnya tidak pernah ada yang mengirim sesuatu yang aneh kerumahku, sampai aku mengenal wanita itu.Mungkinkah dugaanku ini benar? "Apa sebenarnya yang ingin kau ketahui, Alina?" Tanya Mas Reyhan membuyarkan lamunanku.
Lagi, sebuah panggilan telepon tanpa nama membuat pikiranku seketika mengingat kiriman misterius itu, ada rasa ingin mengabaikan panggilan ini, tetapi rasa penasaran akhirnya mengalahkannya, tanganku kini bergerak menggeser tombol hijau dilayar."Assalamualaikum, halo?" Aku menyapanya lebih dulu.****Tak terdengar balasan dari lawan bicaraku, hingga tiga kali aku menyapanya, seseorang di sana tetap diam."Siapa ini?" Tanyaku untuk yang terakhir kalinya."Batalkan pernikahanmu!" Suara berat seseorang menjawabnya. Suara yang sengaja disamarkan, tak jelas apakah suara laki laki atau perempuan."Apa maksudmu?" Aku balas bertanya."Turuti saja, jika kau ingin hidupmu tenang."Klik.Sambungan telepon terputus. Aku menghela nafas panjang, entah apa kali ini maksud si peneror itu. Mbak Sita melirik dengan tatapan tanya, aku memaksa diri untuk tersenyum agar ia tidak khawatir. Bagaimanapun aku juga harus memastikan pengasuh anakku itu merasa aman berada di rumahku. Aku tak ingin karena teror
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R