Natasya menghampiri anak-anak panti asuhan yang masih makan nasi kotak. Dengan entengnya ia merampas beberapa nasi kotak tersebut dengan paksa. Sontak beberapa anak-anak kebingungan dan ada yang ketakutan melihat aksi Natasya yang seperti itu.Mendengar suara kegaduhan, Bu Susi dan beberapa pengurus panti asuhan pun datang mendekati Natasya. Alih-alih terpancing, Bu Susi malah masih bertanya baik-baik kepada Natasya.“Maaf, ada apa anda tiba-tiba membuat keonaran di tempat ini?” tanya Bu Susi dengan nada rendah. Menunjukkan jati diri sebagai ketua yayasan yang bergerak sebagai dermawan tentu harus bersikap tenang dan tegas.“Eh nenek peot! Jangan berani-berani ya anda memanfaatkan calon suami saya! Saya tidak suka kalau kalian para orang asing memoroti harta kekayaan dari calon suami saya!” bentak Natasya dengan menggebu-gebu sambil matanya menatap tajam ke arah anak-anak.Anak-anak yang ada disana ketakutan dan tidak berani mendekati Natasya. Bu Susi masih belum mengerti maksud dari
Di tengah teriknya matahari tak membuat Dirga goyah pada keteguhan hatinya. Selama beberapa hari ini berbagai cara ia lakukan demi bisa mengumpulkan uang yang tak seberapa. Saat ini ia tengah berjualan ember dengan keliling jalan. Berharap akan ada orang yang membeli barang jualannya tersebut.“Uh... Terik matahari ini serasa membakar tubuhku. Tapi aku tidak boleh menyerah! Aku harus kuat demi mendapatkan rezeki” gumamnya.Keringat dingin mulai mengucur. Rasa haus dan lapar tak luput menyerang. Dirga memutuskan untuk mencari tempat berteduh sambil makan siang ditempat yang dituju. Sambil berjualan dan mencari tempat untuk beristirahat, Dirga mencoba menghubungi Anya. Bukan tanpa alasan, ia ingin memastikan keadaan Anya.“Sayang... Ayolah angkat telepon aku” Namun Anya tak mengangkat teleponnya sampai Dirga menemukan pohon besar untuk tempat ia berteduh. Terlihat Dirga menghela nafas agar tidak merasa gelisah. Ia hanya tidak ingin pikirannya akan mengacaukan pekerjaannya tersebut. Terl
“Sayang, aku berangkat dulu. Kamu jaga diri kamu dan tutup pintu bila aku tidak ada di rumah” ujar Dirga.“Iya, Sayang... Kamu juga hati-hati ya. Jangan kecapean” Anya memeluk tubuh Dirga dengan hangat. Tak lupa ia juga memberikan bekal makan malam untuk suaminya agar tidak kelaparan saat bekerja.Dirga merasa senang dan bersyukur karena memiliki istri seperti Anya. Yang tetap sabar meskipun badai setiap saat bisa menggoyangkan prahara rumah tangga mereka. Dirga mengecup kening istrinya lalu pergi meninggalkan Anya seorang diri.Dirga datang ke tempat kerjanya dengan menggunakan motor baru. Hasil dari kerja ngebut semalam yang dilakukan oleh Anya satu hari yang lalu. Tak terbesit rasa curiga yang Dirga pikirkan pada Anya. Yang ia percayai adalah Yeng tersebut hasil dari meminjam di kedua mertuanya. Motor yang ia kendarai pun bukan kaleng-kaleng. Sebab Dirga saat ini tengah merasakan betapa gagahnya motor gede yang ia kendarai tersebut.“Apa disana tempat kuriner nya Rafael?” gumamnya
Broto tengah duduk di sofa ruang tamu sambil sesekali matanya melirik istrinya yang tengah sibuk merias meja. Meja bundar dengan dihiasi lilin yang akan membawakan kesan mewah di malam hari. Broto dapat melihat raut wajah istrinya yang terlihat begitu bahagia.”Ma, kira-kira Yuda sampai disini jam berapa?” tanya Broto ditengah keheningan. Tak seperti biasanya, Puji membalas pertanyaan Broto dengan lembut. Jarang-jarang istrinya bisa berkata selembut itu. “Kita tungguin saja dulu Pa... Oh iya! Daripada kamu hanya duduk manis doang mendingan kamu suruh Anya untuk datang ke rumah kita” ujar Puji.“Tapi ini sudah makan Ma... Papa tidak enak sama Dirga” ujar Broto.Puji yang tadinya mendadak lembut kini kembali menunjukkan taringnya yang sempat tertahan. Puji memaki-maki suaminya dan memaksanya untuk segera menghubungi Anya. Dengan perasaan ketakutan, Broto pun mengiyakan. Tak berselang lama Anya mengangkat teleponnya dan mengiyakan ajakan papanya tersebut.“Nah gitu dong!!!” gerutu Puji p
Anya pulang dalam keadaan berantakan dengan mata yang sembab. Ia masuk ke dalam kamar tidur dan langsung naik ke atas kasur yang saat ini kebetulan Dirga juga lagi tiduran di atas kasur. Awalnya Dirga tak mengetahui Anya yang pulang dalam keadaan marah namun ia menjadi tahu lantaran sikap Anya berubah.“Sayang tolong matikan lampunya dulu karena aku enggak bisa tidur gara-gara lampunya nyala” pinta Dirga.Anya tak bergeming dan malah menarik selimut sampai ke atas kepalanya. Melihat hal itu Dirga pun kembali mengajak istrinya berbicara. “Anya, kamu dengar atau tidak yang aku katakan barusan?” Dirga mencoba melihat reaksi Anya namun tetap saja Anya memilih diam.Dirga mulai merapatkan tubuhnya ke tubuh Anya dan mulai mengelus rambut panjang istrinya tersebut dengan lembut. Sambil mengelus rambut Anya, Dirga mencoba untuk menanyakan kondisi Anya.“Sayang, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya dan dibalas gelengan kepala dari Anya.“Sayang coba kamu perlihatkan wajah kamu ke aku? Aku ingin
Kehidupan tidak lagi berarti hanya asap kegelapan yang kini mengelilingi hati. Dalam ruangan yang gelap itu Anya menangis sesenggukan. Tangisan yang tak akan dapat merubah waktu yang telah berlalu. Ia memegang sebuah alat yang biasa digunakan untuk mengukur kehamilan seseorang. Terlihat sangat jelas dari alat itu memunculkan garis dua.“Aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin memberitahukan hal ini pada suamiku” gumam Anya dalam hati.“Tapi... Aku juga tidak mungkin memberitahukan kehamilan ini pada bajingan itu! Aku tidak ingin berhadapan lagi dengan dia!” Seharian penuh ia menghabiskan waktu di dalam kamar tidur. Dirga yang masih bekerja tidak mengetahui kondisi istrinya yang saat ini tidak sedang baik-baik. Dalam penuh kepalsuan, Anya akan menceritakan kehamilannya itu pada suaminya dengan menjadikan Dirga sebagai ayah biologis pada janin tersebut. Saat malam hari telah tiba.... Dirga pun pulang dengan rasa lelah yang teramat sangat sakit. “Sayang, kamu pasti lelah sekali?” tanya
“Anya tunggu aku!” Rangga berteriak memanggil Anya saat Anya berusaha untuk menjauh darinya. Rangga yang telah berhasil meraih tangan Anya mencoba untuk mengajak wanita cantik itu berbicara empat mata. “Aku ingin berbicara sama kamu” ujarnya sambil terus memegang tangan Anya.“Lepasin!” seru Anya menatap tajam ke arah Rangga. Namun usahanya itu tak dapat menggoyahkan Rangga yang sudah kehilangan kesabaran.“Aku tidak akan melepaskan kamu kalau kamu menghindari aku seperti ini” ujar Rangga.Anya menolehkan kepalanya ke arah kiri dan kanan seakan tengah melihat situasi disekelilingnya. Melihat keadaan sepi, Anya pun angkat bicara.“Aku dan kamu sudah tidak ada lagi perjanjian. Aku sudah melayani kamu dan kamu juga sudah membayar ku. Jadi, mengapa kamu masih ingin berkomunikasi dengan diriku?” tanya Anya.“Aku... Aku tidak tahu tapi aku” Rangga yang kebingungan untuk menjawab membuat Anya sedikit kesal. Ditambah lagi Taher datang dihadapan mereka dengan raut wajah tak berdosa. Anya yang
Anya terus menerus merasa mual membuat Dirga merasa khawatir dengan kondisi Anya yang seperti itu. Tak ingin istrinya kenapa-kenapa Dirga pun memintanya untuk tidak bekerja. Namun Anya menolak dengan alasan bahwa ia mesti profesional dalam pemotretan. Dirga yang merasa khawatir meminta istrinya untuk berboncengan dengan dirinya.“Aku akan mengendarai mobilku dan kamu lanjut saja bekerja” ujar Anya.“Aku sudah berhenti bekerja menjadi satpam di pasar besar sejak aku teririt hutang. Sekarang aku hanya kerja serabutan dan sorenya aku jadi satpam di kedai rumah makan teman aku itu” ujar Dirga.“Terserah kamu... Aku harus segera ke kantor!” seru Anya.Dengan terpaksa Anya diantar oleh suaminya karena ia tak ingin ribut dengannya. Sepanjang perjalanan Anya terus saja merasa ingin muntah namun tak keluar-keluar. Hingga sampailah di depan pintu pagar kantor yang telah di buka. Saat itu Anya tak berpikir apa-apa dan meminta suaminya untuk pulang.“Kamu yakin bisa bekerja dalam kondisi lemas se