Di awal hari, di ujung malam. Lara terbangun, menemukan tangan besar melingkar di perutnya yang rata, lengan kokoh ditumbuhi bulu halus tipis tertangkap tak tahu diri. Biasanya, mereka berdua tidak pernah sedekat ini, tidur dalam satu ranjang setelah malam panas yang dihabiskan bersama. Suasana dingin malam dan pendingin ruangan yang berpadu meninabobokkan keduanya, tidak sampai menit ke lima, Lara sudah bermain di alam mimpi. Lara tertidur, sial memang sedang berpihak padanya. Pekerjaan melelahkan yang menguras seluruh tenaga Lara, belum lagi ibunya yang masuk ICU membuatnya tak mendapat istirahat cukup. Lara benar-benar lelah, dan setelah Aksa menguras hampir seluruh sisa tenaganya membuat tubuhnya menyerah, ia tertidur setelah Aksa juga lebih dulu terlelap. Namun Tuhan masih berbaik hati, membiarkan Lara terbangun dan memberi kesempatan padanya untuk pergi dari situasi yang bisa membuatnya mendapat amukan Aksa esok hari. Tangan mungil Lara bergerak mencoba melepaskan diri,
Rasanya kesal, bangun seorang diri, sedangkan malam tadi ada Lara yang menemani tidurnya. Dia bahkan sempat memanggil nama wanita itu dua kali, berharap Lara ada di bathroom, atau mungkin wanita itu hanya sedang berjalan-jalan ke luar membeli roti. Tapi sayangnya, panggilannya tak terjawab, Aksa memang ditinggal sendiri di kamar hotel ini. Melepaskan kekesalan dengan kembali memejamkan kedua mata, nyatanya pilihan itu sama sekali tak sedikitpun mengusir gundah. Matanya kembali terbuka, menatap kosong ke atap hotel berwarna putih. Rasanya kosong, hatinya hampa di tengah harta dan kekuasaan yang berlimpah. Aksa mencoba mengalihkan perhatiannya, tangannya bergerak mengambil ponsel di nakas, membuka beberapa pesan yang sempat terabaikan karena ia disibukan menjahili tubuh Lara. Salah satu pesan dari orang suruhan yang memberikan informasi perihal keluarga kedua papanya. Setelah cukup lama diam, tak bertindak, Aksa memutuskan mencari tahu. Berusaha menjauhkan keluarga itu dari Tuan Asad,
Detik berjalan, waktu pun berlalu begitu cepat. Perjalanan hidup yang tak sempat terekam, terlalu sibuk dengan dunia yang hendak dikejar. Waktu seperti dipecut hilang, tiba-tiba kamu merasa asing dengan lingkungan sekitar, sendiri dan tak ada teman. Di tengah gelapnya malam, seorang wanita duduk terpaku di atas ranjang, dengan kedua tangan menggenggam ponselnya erat-erat, tak ada pergerakan sedikitpun dari wanita itu. Hening, hanya suara jarum jam dinding yang bergerak detik demi detik. Kondisi ibu semakin kritis. Pesan yang baru saja Lara terima sekian menit yang lalu, di ujung malam yang senyap ketika tiba-tiba matanya terjaga. Kabar yang paling tidak ingin didengar, kondisi yang paling Lara takuti. Ibunya ... sedang berjuang melawan maut. Dengan tangan bergetar Lara mengusap wajah, melepas ketegangan dan berakhir di bibir. Tangannya menekan di sana, agar tangis tak lepas. Beragam rencana terangkai di kepala Lara, pengajuan cuti dan pulang ke kampung halaman. Satu minggu yang lal
Mungkin sudah lebih dari dua tahun, Lara tidak menginjakan kakinya di kampung halaman. Bahkan saat hari lebaran tiba pun Lara juga tidak pulang. Rumah sakit termasuk ke dalam bisnis yang tak pernah libur, meskipun di tanggal merah, pelayanan tetap beroperasi dua puluh empat jam. Selain karena harga tiket yang semakin mahal di hari lebaran, juga karena karyawan yang datang lembur di hari keagamaan bisa mendapatkan ganti dalam jumlah yang cukup besar. Lara memutuskan untuk tetap bertahan di Jakarta di hari lebaran tiba. Dan setelah sekian ratus hari ia lalui, akhirnya Lara bisa mendapatkan kesempatan untuk pulang. Tersenyum riang keluar dari ruangan dr. Alina, Lara menunjukan satu form cuti yang sudah ditandatangani. Lima hari, menjadi satu minggu dengan hari sabtu dan minggu. "Monggo, Kakakku tersayang, Lara cuti dulu, yaaa," ucapnya pongah. Wajahnya berseri, matanya berbinar senang. "Yoo, jangan lupa balik ke Jakarta kao, susah gue kalau kerja cuma sama Siska doang," keluh Kak Dewi.
Mas Aksa nggak boleh lari dari tanggung jawab seperti ini. Aku butuh Mas Aksa! Pesan-pesan singkat yang banyak dikirim Alina untuk Aksa. Dari puluhan pesan itu, Aksa sedikitpun tidak berniat membalas. Dia hanya membaca singkat, jarinya cepat membawa layar ke bagian paling akhir. Mata hazel Aksa kembali terpejam, setelah denyut ngilu ia rasakan di sudut kepala. Frustasi semakin tidak terbendung, ketika malam kemarin, Aksa mendengar niat papanya yang hendak membuka perselingkuhannya sendiri. Tuan Asad ingin keluarga keduanya diakui, ingin menunjukan pada dunia keberadaan wanita itu di sisi Asad adalah nyata. Apa yang laki-laki itu kejar? Sedang dia sudah memiliki segalanya. Seorang wanita cantik dari keluarga terpandang yang sudah memberikan dua keturunan, yang sudah menemaninya hingga berada di level atas kasta kehidupan. Apa lagi yang laki-laki itu cari? Aksa menyerah, ia menghentakan pukulan keras di meja kerja. Orang pertama yang akan menentang keinginan papanya adalah dir
Aksa pergi meninggalkan kamar orangtuanya, kembali berjalan melewati lorong berlantai marmer dan sebuah lukisan besar keluarga yang dipasang di dinding. Aksa menghentikan langkah di depan lukisan itu, menelisik satu persatu coretan kanvas yang terlihat begitu nyata. Semua anggota keluarga tersenyum bahagia, kedua orangtuanya duduk di sofa dengan kedua tangan saling menggenggam, sedang Aksa dan Alina remaja berdiri di samping kanan dan kiri dengan tawa yang teramat lepas. Aksa berjanji akan melindungi keluarga ini. "Mas ..." Suara panggilan dari wanita terpenting di dalam hidup Aksa menarik perhatiannya. Aksa mengalihkan wajah untuk menghapus air mata yang tadi sempat lepas, dia tidak ingin mamanya melihat kesedihannya. "Kenapa melihat lukisannya begitu banget?" "Begitu, gimana, Ma?" tanya Aksa, ia menarik mamanya untuk berdiri di samping tubuhnya, melingkarkan pelukan. "Kita semua terlihat bahagia banget di lukisan ini ya, Ma?” "Heem, sekarang pun sama. Alina sudah hamil,
Beberapa waktu ke depan berjalan seperti biasa, Aksa bekerja dan beberapa kali Savi pun datang menemuinya, ataupun sebaliknya. Aksa pernah memberi kejutan datang ke ruang poli wanita itu membawa minuman kesukaan Savi. Bekerja di rumah sakit yang sama justru menjadi jalan pintas keduanya untuk memperkuat ikatan, semakin dekat. Savi sudah banyak mengenal beberapa karyawan di rumah sakit, wanita itu mudah bergaul, sangat mudah mengambil hati orang lain. "Selamat pagi, dr. Aksa," sapa para karyawan, sepanjang jalan menuju ruang kerjanya. "Pagi." Jakarta masih saja hujan di mana-mana, Aksa sempat mengumpat kesal, ketika ujung celananya basah terkena cipratan air. Duduk di kursi kerja, Aksa membersihkan ujung celananya dengan tissue. Ada banyak meeting yang harus ia pimpin hari ini, rentetan pekerjaan menunggu untuk segera diselesaikan. "Selamat pagi, dok. Mau kopi, atau teh?" Suara itu terdengar tak asing, gerakan tangan Aksa berhenti membersihkan ujung celana. Laki-laki itu men
Lara pernah bermimpi ingin menjadi seorang dokter, menjadi manusia bermanfaat yang bisa menolong nyawa manusia, memperlama harapan hidup, atau mungkin ... dia juga bisa punya uang banyak untuk membantu sesama. Mimpi yang sangat mulia, bukan? Tapi jangankan untuk mengejar, melangkah ke arah sana saja dia tertahan. Lara tidak pintar, dia juga bukan terlahir dari keluarga kaya. Sejak remaja, Lara dihadapkan dengan kesulitan ekonomi yang tak biasa. Jangankan bisa belajar dengan tenang, bahkan hampir setiap hari, si Lara muda selalu mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. "Hasilnya disimpan, banyak-banyakin makan yang sehat-sehat ya, Ra." Satu amplop berwarna putih berisi hasil pemeriksaan lab diletakan di meja, seorang wanita mendorong benda itu mendekat ke arah Lara. Sempat lama mendapatkan attensi wanita berjaket tebal yang malam ini memutuskan menemui salah seorang dokter kenalannya, Lara mengambil amplop itu lalu memasukannya ke dalam tas. "Makasih, dok." "Kita coba cek la