Beberapa waktu ke depan berjalan seperti biasa, Aksa bekerja dan beberapa kali Savi pun datang menemuinya, ataupun sebaliknya. Aksa pernah memberi kejutan datang ke ruang poli wanita itu membawa minuman kesukaan Savi. Bekerja di rumah sakit yang sama justru menjadi jalan pintas keduanya untuk memperkuat ikatan, semakin dekat. Savi sudah banyak mengenal beberapa karyawan di rumah sakit, wanita itu mudah bergaul, sangat mudah mengambil hati orang lain. "Selamat pagi, dr. Aksa," sapa para karyawan, sepanjang jalan menuju ruang kerjanya. "Pagi." Jakarta masih saja hujan di mana-mana, Aksa sempat mengumpat kesal, ketika ujung celananya basah terkena cipratan air. Duduk di kursi kerja, Aksa membersihkan ujung celananya dengan tissue. Ada banyak meeting yang harus ia pimpin hari ini, rentetan pekerjaan menunggu untuk segera diselesaikan. "Selamat pagi, dok. Mau kopi, atau teh?" Suara itu terdengar tak asing, gerakan tangan Aksa berhenti membersihkan ujung celana. Laki-laki itu men
Lara pernah bermimpi ingin menjadi seorang dokter, menjadi manusia bermanfaat yang bisa menolong nyawa manusia, memperlama harapan hidup, atau mungkin ... dia juga bisa punya uang banyak untuk membantu sesama. Mimpi yang sangat mulia, bukan? Tapi jangankan untuk mengejar, melangkah ke arah sana saja dia tertahan. Lara tidak pintar, dia juga bukan terlahir dari keluarga kaya. Sejak remaja, Lara dihadapkan dengan kesulitan ekonomi yang tak biasa. Jangankan bisa belajar dengan tenang, bahkan hampir setiap hari, si Lara muda selalu mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. "Hasilnya disimpan, banyak-banyakin makan yang sehat-sehat ya, Ra." Satu amplop berwarna putih berisi hasil pemeriksaan lab diletakan di meja, seorang wanita mendorong benda itu mendekat ke arah Lara. Sempat lama mendapatkan attensi wanita berjaket tebal yang malam ini memutuskan menemui salah seorang dokter kenalannya, Lara mengambil amplop itu lalu memasukannya ke dalam tas. "Makasih, dok." "Kita coba cek la
"Semuanya bisa berjalan mudah kalau kamu tidak melawan," ucap Aksa, setelah keduanya berada di dalam mobil. Tidak ada lagi suara, Lara membiarkan keheningan sebagai teman, dan dinginnya malam memeluk tubuhnya. Sesekali ia melihat Aksa melalui ekor mata, menemukan laki-laki itu sedang melakukan hal yang sama dengan dirinya, diam, fokus dengan kemudi. "Kita mau ke mana?" Terlalu jauh berjalan ke arah yang tak Lara pahami, akhirnya wanita itu pun bersuara. "Duduk saja dan jangan banyak bertanya." Hampir tiga puluh menit, mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah apartement yang tak Lara kenali. Selama mengenal Aksa, baru kali ini laki-laki itu membawanya ke tempat ini. "Ini di mana?" "Apartementku." Jawaban ketus Aksa membuat Lara memilih bungkam. Ia tak lagi berniat bertanya, matanya mengekori Aksa yang keluar mobil, berjalan memutar lalu membuka pintu di sisi sebelahnya. "Ke luar." Lara menurut, karena melawan pun baginya terasa sulit. Tangannya ditarik, jemari besa
"Kamu tidak pantas memiliki rasa itu," ucap Aksa tepat di depan mata Lara. Laki-laki itu menarik tubuhnya menjauh, berdiri membelakangi Lara. Tubuh Aksa berdiri tegak, menutupi lampu temaram satu-satunya pencahayaan di ruangan ini. "Kamu gila, Lara!" hardik Aksa kesal. Suaranya menggelegar, menyiksa pendengaran siapapun yang mendengarnya. Dada Aksa bergerak naik turun, mengisi kekosongan oksigen yang tiba-tiba menyusut di sekitarnya. Mendengar Lara menyimpan rasa, Aksa merasa jijik pada dirinya sendiri. Berani-beraninya Lara jatuh cinta? Seorang pelacur tidak akan pernah mendapatkan hati tuannya, seharusnya seperti itu hubungan keduanya berjalan. "Maaf," ucap wanita itu pada akhirnya. Aksa mendengar suara pergerakan di belakang tubuhnya, Lara sedang membenahi pakaiannya yang sudah koyak bagian atas. ”Enyahkan perasaan tololmu itu," titah Aksa, masih dengan intonasi suara rendah yang syarat akan kemarahan. "Perasaan ini ... tidak dalam kendali saya." "Bulshit! Setidaknya,
Mata Lara terpaku pada tetes air hujan yang menggenang di jalanan aspal. Hujan datang lalu meninggalkan tanah basah di mana-mana. Seperti Aksa, datang dalam kehidupannya, lalu meninggalkan bekas luka di mana-mana. "Buu," panggilnya lirih. Lara merindukan ibunya. Bertahan dalam fase hidup yang tak sepenuhnya mudah, terkadang membuat Lara hampir menyerah. Titik di mana Lara mengingat wajah ayah dan adiknya, hatinya pun kembali menghangat. Lara menghapus bekas air mata di pipi, lalu senyum terbit seketika di wajah oval wanita itu. Lara memaksa dirinya berdiri. Ia pun mulai berjalan mencari taksi. Beruntungnya, tidak perlu sampai berjalan jauh, Lara menemukan sebuah taksi berhenti di pinggir jalan menunggu penumpang. "Bisa antar saya ke daerah Jakarta Barat, Pak?" tanya Lara. "Siap, Non. Mangga, silahkan masuk." "Terima kasih." Sepanjang jalan yang indah, Lara meminta izin membuka jendela, menghirup aroma bekas hujan yang membasahi tanah. Petrichor, bau khas yang muncul sete
Beberapa hari berlalu, surat keputusan (SK) direktur pun keluar. Lara dipindah tugaskan, fokus menjadi seketaris komite medis rumah sakit Al-Fayaadh. Jangan ditanya, Lara tahu apa alasan dirinya dipindah tugaskan. "Sedih gue." Dewi mendudukan tubuhnya di samping Lara. "Kenapa tiba-tiba gini, padahal sebelum-sebelumnya nggak ada omongan mau nyari seketaris baru." "Mungkin sudah menjadi topik pembahasan direksi, Kak," jawab Lara, tak ada sedikitpun kesedihan di hatinya mendengar kabar ini. Justru, wanita itu bersyukur. Setidaknya, dia tidak harus memendam rasa sakit saat bertemu laki-laki itu. "Kita cuma nggak tau aja, kan." "Ck, kenapa orang baru-nya bukan malah buat komite? Susah lho, ngajarin seketaris baru buat direksi, ngasih tau seluk beluk-nya, ngasih tau kebiasaan-kebiasaan direksi yang banyak ragamnya ngalahin budaya Indonesia." Lara yang sebelumnya fokus dengan pekerjaan memilih memutar kursi, lalu berhadapan dengan Dewi yang siang ini masih terlihat kesal. Surat keput
Sesaat setelah mendengar pengakuan Gidan, godam besar telak menghantam hati Lara. Kedua mata wanita itu terpejam kuat, dia menikmati setiap desiran ngilu yang muncul di hatinya. Seperti janjinya pada Aksa, dia akan bertanggung jawab pada rasanya sendiri. Saat sesi dansa pasangan dimulai, Lara pun akhirnya menyerah. Ia memutuskan menghindar, lebih tepatnya melarikan diri. "Aku ke toilet dulu ya, Kak," pamit Lara. "Okee." Kakinya melangkah menjauh, menaiki tangga yang membawanya menuju balkon di lantai lima tempat acara digelar. Balkon yang sepi, dengan penerangan minimal. Pusat acara ada di tengah ruangan, balkon ini terlihat tidak dipersiapkan untuk menyambut tamu undangan. Tempat yang sangat tepat untuk menenangkan diri, sepi, tidak akan ada yang menemukannya di tempat ini. Lara membutuhkan oksigen sebanyak mungkin, menikmati angin kencang yang menyambutnya di tempat ini. Lara juga membutuhkan sepi, karena otaknya sudah terlalu banyak berisik. Iri? Mungkin, iya. Tapi La
"Cinta?" Alis dihadapannya mengerut bingung. "Sejak kapan kamu merasakan cinta, Aksa?" Satu senyum tersungging tanpa makna. Setelah rentetan ucapan romantis di hadapan semua orang, Savi bukannya bahagia, justru pertanyaan besar menyusup di otaknya menuntut jawab. Sejak kapan Aksa mengakui cintanya? "Cinta karena terbiasa." "You don't love me," ucap Savira tegas. Berdiri memperhatikan Aksa yang sedang melepas jas hitam yang melekat ditubuhnya sepanjang acara. "I do, suatu saat nanti, entah kapan, aku yakin itu pasti akan terjadi." Helaan nafas terdengar frustasi, Savira mengisi dadanya dengan oksigen sebanyak mungkin, menatap kosong ke arah lampu yang menggantung di tengah ruangan. "Tapi untuk malam ini, kamu berbohong dihadapan semua orang." "Tidak ada yang aneh dari cinta diantara dua manusia yang sebentar lagi akan menikah." Mereka berdua sedang berada di ruang ganti, setelah acara pertunangan dan makan malam selesai. Gurat wajah tak percaya mulai dari acara dimulai, s