Sesaat setelah mendengar pengakuan Gidan, godam besar telak menghantam hati Lara. Kedua mata wanita itu terpejam kuat, dia menikmati setiap desiran ngilu yang muncul di hatinya. Seperti janjinya pada Aksa, dia akan bertanggung jawab pada rasanya sendiri. Saat sesi dansa pasangan dimulai, Lara pun akhirnya menyerah. Ia memutuskan menghindar, lebih tepatnya melarikan diri. "Aku ke toilet dulu ya, Kak," pamit Lara. "Okee." Kakinya melangkah menjauh, menaiki tangga yang membawanya menuju balkon di lantai lima tempat acara digelar. Balkon yang sepi, dengan penerangan minimal. Pusat acara ada di tengah ruangan, balkon ini terlihat tidak dipersiapkan untuk menyambut tamu undangan. Tempat yang sangat tepat untuk menenangkan diri, sepi, tidak akan ada yang menemukannya di tempat ini. Lara membutuhkan oksigen sebanyak mungkin, menikmati angin kencang yang menyambutnya di tempat ini. Lara juga membutuhkan sepi, karena otaknya sudah terlalu banyak berisik. Iri? Mungkin, iya. Tapi La
"Cinta?" Alis dihadapannya mengerut bingung. "Sejak kapan kamu merasakan cinta, Aksa?" Satu senyum tersungging tanpa makna. Setelah rentetan ucapan romantis di hadapan semua orang, Savi bukannya bahagia, justru pertanyaan besar menyusup di otaknya menuntut jawab. Sejak kapan Aksa mengakui cintanya? "Cinta karena terbiasa." "You don't love me," ucap Savira tegas. Berdiri memperhatikan Aksa yang sedang melepas jas hitam yang melekat ditubuhnya sepanjang acara. "I do, suatu saat nanti, entah kapan, aku yakin itu pasti akan terjadi." Helaan nafas terdengar frustasi, Savira mengisi dadanya dengan oksigen sebanyak mungkin, menatap kosong ke arah lampu yang menggantung di tengah ruangan. "Tapi untuk malam ini, kamu berbohong dihadapan semua orang." "Tidak ada yang aneh dari cinta diantara dua manusia yang sebentar lagi akan menikah." Mereka berdua sedang berada di ruang ganti, setelah acara pertunangan dan makan malam selesai. Gurat wajah tak percaya mulai dari acara dimulai, s
Suara berisik di luar terpaksa menghentikan percakapan keduanya, baik Aksa dan Savira bergerak melepaskan diri ketika tiba-tiba bunyi pintu dibuka dari luar. "Ciee ciee, pasangan baruuu, sukanya berdua-dua'an, deh." Alina tiba-tiba masuk ke dalam ruang make up, membawa satu kotak kado cukup besar di kedua tangannya lalu meletakannya di sofa. "Kado dari aku, sama dari Mama." Wanita yang tengah hamil muda itu mencubit pelan lengan Savira yang terbuka, tak lupa kedua matanya pun ikut bergerak naik turun menggoda. "Meskipun tadi aku sudah ngucapin, pokoknya, selamat untuk kalian berdua." Alina memberi pelukan singkat untuk Savira. "Thank's, Lin." "Nggak sia-sia Mas Aksa mepet Papa sama Om Gibran buat ngejodohin kalian berdua. Akhirnya, berhasil!" Wajah Alina tersenyum puas, satu tangannya pun mengepal ke udara yang semakin menegaskan suasana hatinya yang sedang gembira. "Alinaa ..." geram Aksa. "Ups, oke, nggak ngomong lagi." Alina menarik jarinya dari ujung bibir ke ujung la
Memilih mengusir gundah, Aksa memutuskan untuk kembali meneruskan tujuannya datang ke ruangan ini. Ia berganti pakaian, menunggu Savira yang masih ada di luar bersama keluarganya. "Kita pulang lewat lobby belakang ya, sopir jemput di sana." "Oke." Aksa dan Savi sudah berganti pakaian santai, berjalan bersisihan menuju lobby. Setelah acara selesai, Aksa memaksa untuk mengantar Savi pulang sebelum pulang ke rumahnya sendiri. Seluruh keluarga sudah pulang terlebih dahulu, mereka datang dan pergi membawa mobil masing-masing. "Itu, Pak Lukman." Keduanya berlari kecil ketika menemukan sosok Pak Lukman yang sudah menunggu di samping mobil. Malam ini, Aksa memutuskan meminjam Pak Lukman, sopir keluarga Al-Fayaadh untuk mengantar keduanya pulang. Acara pertunangan yang cukup panjang dan melelahkan menjadi pertimbangan Aksa. Meskipun acara malam ini lebih banyak ditangani EO mulai dari persiapan hingga akhir acara, tetap saja keduanya tak memiliki tenaga ekstra hanya untuk sekedar men
Perjalanan panjang ditengah gelapnya malam. Sepanjang perjalanan yang canggung ditemani suara radio dan degup jantungnya sendiri. Dua manusia yang tidak saling mengenal, tiba-tiba disatukan dalam satu frame yang asing. Lara enggan membuka percakapan, sejak paksaan Bagas untuk pulang bersama, wanita itu hanya menurut dan setidaknya ... dia hanya ingin segera sampai ke kos-nya tanpa ada lagi drama. "Kos-mu masih sama, kan?" tanya Bagas, sedang keduanya sudah menghabiskan hampir sepertiga jarak dalam diam. Masing-masing disibukan dengan pikiran sendiri. "Masih," jawab Lara, seakan mengakui bahwa tujuan Bagas mengantar Aksa ke kos waktu itu memang benar tempatnya. "Seharusnya dr. Bagas tidak perlu mengantar saya pulang, saya tidak mau merepotkan." "Aku mau, dan ... sepertinya aku sudah pernah bilang, Ra. Jangan panggil aku dengan embel-embel dokter, kalau di rumah sakit aku dokter, kalau di luar ... aku hanya Bagas Ganendra." Lara tidak menanggapi, memilih mengambil ponselnya yang tib
Lara bisa merasakan desir hatinya yang melompat jatuh dari tempat. Mulai tak nyaman dalam situasi yang sama sekali tidak berada di dalam kendalinya. Lara membasahi bibir, menelan ludah berkali-kali ketika kerongkongannya terasa kering. "Benar yang dokter katakan," jawab Lara, setelah menguras otak mencari jawaban dari pertanyaan Bagas.Laki-laki itu tak menanggapi, masih memberikan waktu sepenuhnya pada Lara."Saya tidak mungkin bisa menarik perhatian dr. Aksa. Artinya, apa yang dokter sangkakan pada kami berdua jelas tidak terbukti."Lara memberanikan diri, menatap lawan bicara, menaikan sudut bibirnya ke atas. "Apa ada lagi yang belum jelas? Akan saya jawab, anggap saja untuk memuaskan rasa ingin tahu dr. Bagas, sekaligus sebagai ganti rasa terima kasih saya karena dr. Bagas sudah mengantar saya pulang."Lara hanya ingin segera pulang, sampai di kos dan tidur. Tetapi kenapa sulit bagi Bagas untuk melepaskannya?"Mana ponselmu?" Tangan Bagas menengadah diantara keduanya. Senyum simpu
Aksa berjalan mendekat, sedang Lara hanya berdiri kaku tak bergerak dengan senyum mengembang. Ia menunggu Aksa yang berhenti di jarak yang masih tersisa. Keduanya masih berdiri tegas di batasan masing-masing. "Bisa lebih cepat, kalau dokter mempercepat persetujuan. Mungkin bisa karena alasan keluarga, saya rasa jawaban itu cukup meyakinkan." Seharusnya kalimat Lara sudah benar-benar bisa meyakinkan laki-laki itu, mengurangi kekhawatiran Aksa. "Komite tidak terlalu membutuhkan bantuan seketaris, dok. Saya banyak nganggur kok di sana. Niat dokter untuk menyingkirkan saya terlalu percuma, justru saya jadi enak karena nggak banyak kerjaan.” Aksa sudah berdiri menjulang tinggi di hadapan Lara, dengan manik mata yang tak pernah redup. "Diam," hardik Aksa pelan, lebih mirip seperti bisikan. Lara pun menurut, dia menjadi banyak bicara karena terlalu semangat dengan keputusan yang ia ambil. "Kamu ... masih berada di dalam kendaliku, Lara," ucap Aksa, bernada geram, manik matanya me
"Kenalkan, keluarga baru kita. Namanya Lastri, dan anak perempuanku, Prita." Tangan Aksa mencengkeram kuat ujung sendok, menatap tajam ke arah wanita yang sedang tersenyum lebar ke arah semua orang yang ada di tempat ini. Sontak Aksa melempar piringnya ke lantai begitu saja. Bunyi suara gaduh membuat semua mata tertuju pada Aksa. "Mas!" Teriakan Alina sama sekali tak digubris. Laki-laki itu bahkan berjalan cepat ke arah Asad, mencengkeram kerah baju laki-laki itu. Aksa menusuk Asad dengan tatapan mata tajam, urat disekitar wajahnya menonjol, berdiri dengan garis rahang bergetar menahan amarah. "Aku sudah pernah memperingatkanmu ... jangan berani menghancurkan keluargaku!!" Satu pukulan Aksa layangkan ke sisi wajah papanya. Suara pekikan semua orang di ruangan ini sama sekali tidak dihiraukan. Aksa puas melihat papanya yang tersungkur jatuh ke belakang. "Mas Aksaaa!" Alina yang hendak berlari melerai keduanya terpaksa ditahan Aryo. Wanita itu sedang hamil muda, suaminya