Memilih mengusir gundah, Aksa memutuskan untuk kembali meneruskan tujuannya datang ke ruangan ini. Ia berganti pakaian, menunggu Savira yang masih ada di luar bersama keluarganya. "Kita pulang lewat lobby belakang ya, sopir jemput di sana." "Oke." Aksa dan Savi sudah berganti pakaian santai, berjalan bersisihan menuju lobby. Setelah acara selesai, Aksa memaksa untuk mengantar Savi pulang sebelum pulang ke rumahnya sendiri. Seluruh keluarga sudah pulang terlebih dahulu, mereka datang dan pergi membawa mobil masing-masing. "Itu, Pak Lukman." Keduanya berlari kecil ketika menemukan sosok Pak Lukman yang sudah menunggu di samping mobil. Malam ini, Aksa memutuskan meminjam Pak Lukman, sopir keluarga Al-Fayaadh untuk mengantar keduanya pulang. Acara pertunangan yang cukup panjang dan melelahkan menjadi pertimbangan Aksa. Meskipun acara malam ini lebih banyak ditangani EO mulai dari persiapan hingga akhir acara, tetap saja keduanya tak memiliki tenaga ekstra hanya untuk sekedar men
Perjalanan panjang ditengah gelapnya malam. Sepanjang perjalanan yang canggung ditemani suara radio dan degup jantungnya sendiri. Dua manusia yang tidak saling mengenal, tiba-tiba disatukan dalam satu frame yang asing. Lara enggan membuka percakapan, sejak paksaan Bagas untuk pulang bersama, wanita itu hanya menurut dan setidaknya ... dia hanya ingin segera sampai ke kos-nya tanpa ada lagi drama. "Kos-mu masih sama, kan?" tanya Bagas, sedang keduanya sudah menghabiskan hampir sepertiga jarak dalam diam. Masing-masing disibukan dengan pikiran sendiri. "Masih," jawab Lara, seakan mengakui bahwa tujuan Bagas mengantar Aksa ke kos waktu itu memang benar tempatnya. "Seharusnya dr. Bagas tidak perlu mengantar saya pulang, saya tidak mau merepotkan." "Aku mau, dan ... sepertinya aku sudah pernah bilang, Ra. Jangan panggil aku dengan embel-embel dokter, kalau di rumah sakit aku dokter, kalau di luar ... aku hanya Bagas Ganendra." Lara tidak menanggapi, memilih mengambil ponselnya yang tib
Lara bisa merasakan desir hatinya yang melompat jatuh dari tempat. Mulai tak nyaman dalam situasi yang sama sekali tidak berada di dalam kendalinya. Lara membasahi bibir, menelan ludah berkali-kali ketika kerongkongannya terasa kering. "Benar yang dokter katakan," jawab Lara, setelah menguras otak mencari jawaban dari pertanyaan Bagas.Laki-laki itu tak menanggapi, masih memberikan waktu sepenuhnya pada Lara."Saya tidak mungkin bisa menarik perhatian dr. Aksa. Artinya, apa yang dokter sangkakan pada kami berdua jelas tidak terbukti."Lara memberanikan diri, menatap lawan bicara, menaikan sudut bibirnya ke atas. "Apa ada lagi yang belum jelas? Akan saya jawab, anggap saja untuk memuaskan rasa ingin tahu dr. Bagas, sekaligus sebagai ganti rasa terima kasih saya karena dr. Bagas sudah mengantar saya pulang."Lara hanya ingin segera pulang, sampai di kos dan tidur. Tetapi kenapa sulit bagi Bagas untuk melepaskannya?"Mana ponselmu?" Tangan Bagas menengadah diantara keduanya. Senyum simpu
Aksa berjalan mendekat, sedang Lara hanya berdiri kaku tak bergerak dengan senyum mengembang. Ia menunggu Aksa yang berhenti di jarak yang masih tersisa. Keduanya masih berdiri tegas di batasan masing-masing. "Bisa lebih cepat, kalau dokter mempercepat persetujuan. Mungkin bisa karena alasan keluarga, saya rasa jawaban itu cukup meyakinkan." Seharusnya kalimat Lara sudah benar-benar bisa meyakinkan laki-laki itu, mengurangi kekhawatiran Aksa. "Komite tidak terlalu membutuhkan bantuan seketaris, dok. Saya banyak nganggur kok di sana. Niat dokter untuk menyingkirkan saya terlalu percuma, justru saya jadi enak karena nggak banyak kerjaan.” Aksa sudah berdiri menjulang tinggi di hadapan Lara, dengan manik mata yang tak pernah redup. "Diam," hardik Aksa pelan, lebih mirip seperti bisikan. Lara pun menurut, dia menjadi banyak bicara karena terlalu semangat dengan keputusan yang ia ambil. "Kamu ... masih berada di dalam kendaliku, Lara," ucap Aksa, bernada geram, manik matanya me
"Kenalkan, keluarga baru kita. Namanya Lastri, dan anak perempuanku, Prita." Tangan Aksa mencengkeram kuat ujung sendok, menatap tajam ke arah wanita yang sedang tersenyum lebar ke arah semua orang yang ada di tempat ini. Sontak Aksa melempar piringnya ke lantai begitu saja. Bunyi suara gaduh membuat semua mata tertuju pada Aksa. "Mas!" Teriakan Alina sama sekali tak digubris. Laki-laki itu bahkan berjalan cepat ke arah Asad, mencengkeram kerah baju laki-laki itu. Aksa menusuk Asad dengan tatapan mata tajam, urat disekitar wajahnya menonjol, berdiri dengan garis rahang bergetar menahan amarah. "Aku sudah pernah memperingatkanmu ... jangan berani menghancurkan keluargaku!!" Satu pukulan Aksa layangkan ke sisi wajah papanya. Suara pekikan semua orang di ruangan ini sama sekali tidak dihiraukan. Aksa puas melihat papanya yang tersungkur jatuh ke belakang. "Mas Aksaaa!" Alina yang hendak berlari melerai keduanya terpaksa ditahan Aryo. Wanita itu sedang hamil muda, suaminya
Langit biru terhampar luas di atas, bersenada bersama awan-awan putih yang cantik. Keindahan yang tak selamanya terekam, ketika manusia banyak disibukan dengan dunia sekitar yang berisik. Kamu harus banyak istirahat, Lara. Jangan kelelahan. Masih teringat jelas di kepala Lara, anjuran dr. Putri yang memintanya untuk tidak terlalu berlebihan dalam beraktivitas. Tetapi lelahnya bekerja kadang tak cukup mampu mengalihkan perhatiannya dari masalah, Lara masih sering menghabiskan waktunya di sanggar untuk menari sampai malam menjelang. Seperti malam ini, di akhir minggu yang selalu ia habiskan seorang sendiri. Koko sedang sibuk, laki-laki itu berkabar baru saja bertemu dengan seorang wanita dan mulai menjalin hubungan. Lara pun tak berniat mengganggu kehidupan pribadi Koko. Toh, menari bukan kegiatan membosankan untuk menghabiskan akhir minggu-nya. Tidak ada satupun aktivitas yang ada di to do list wanita itu, dan Lara hanya berakhir di sanggar tari luas dengan pantulan-pantulan ba
"What?!! No waaay, nggak mungkin! Serius, Kak?" Dewi menunjukan wajah penuh keoptimisan. Berita yang ia terima ini sudah divalidasi kebenarannya, karena dia yang mendengar dengan telinganya sendiri. "Gue pernah ketemu wanita itu, soalnya dulu waktu gue masuk ke rumah sakit ini sebagai junior, Mbak Lastri sudah lebih dulu jadi seketarisnya Prof. Asad. Setelah Prof. Asad pensiun, Mbak Lastri juga ikut ke luar." Semua perbincangan dua seniornya terdengar jelas di pendengaran Lara. Wanita yang sedari tadi sama sekali tidak berniat dengan lotek yang ia pesan pun ikut terkejut dengan kabar yang ia terima. Merasa hal yang lumrah jika Aksa memutuskan untuk melarikan diri. Sesuatu yang selama ini selalu Aksa banggakan, keluarga dan nama terpandang di hadapan Lara, nyatanya tak jauh lebih busuk di dalamnya. "Kasihan baby bear, pasti dia shock berat mendengar kabar ini." Siska bahkan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menghembuskan nafas kasar berkali-kali. "Mana dia baru aja tunangan,
Suara bariton yang terdengar tak asing, bernada lemah yang serak. Cukup lama Lara diam tak bergerak, sendi-sendinya kaku. Di saat langkah kaki di belakangnya berjalan mendekat, Lara pun akhirnya memaksa kakinya bergerak maju, sedikit mempercepat langkah saat suara di belakang mengikutinya. "Aaw." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahu-nya, sedikit menarik mundur tubuh Lara. "Maaf," ucap Lara buru-buru. "Tidak seharusnya saya datang ke sini. Maafkan saya." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahunya semakin kuat, memacu degup jantungnya bergerak lebih cepat. Apa yang akan terjadi? Membayangkannya saja mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Aksa pasti marah. "Saya akan pulang, dok. Saya tidak—." Dua tangan besar tiba-tiba melingkari tubuh Lara, memeluk wanita itu dari belakang. "Aku yakin kamu pasti datang," ucap laki-laki itu, mengeratkan pelukan posesif di sekitar dada Lara. Aksa meletakan kepalanya di bahu Lara, mengecup pelan leher wanita itu. "Aku merind
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa