Suara bariton yang terdengar tak asing, bernada lemah yang serak. Cukup lama Lara diam tak bergerak, sendi-sendinya kaku. Di saat langkah kaki di belakangnya berjalan mendekat, Lara pun akhirnya memaksa kakinya bergerak maju, sedikit mempercepat langkah saat suara di belakang mengikutinya. "Aaw." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahu-nya, sedikit menarik mundur tubuh Lara. "Maaf," ucap Lara buru-buru. "Tidak seharusnya saya datang ke sini. Maafkan saya." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahunya semakin kuat, memacu degup jantungnya bergerak lebih cepat. Apa yang akan terjadi? Membayangkannya saja mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Aksa pasti marah. "Saya akan pulang, dok. Saya tidak—." Dua tangan besar tiba-tiba melingkari tubuh Lara, memeluk wanita itu dari belakang. "Aku yakin kamu pasti datang," ucap laki-laki itu, mengeratkan pelukan posesif di sekitar dada Lara. Aksa meletakan kepalanya di bahu Lara, mengecup pelan leher wanita itu. "Aku merind
Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa kacaunya Aksa, menjadi satu-satunya laki-laki penerus keluarga Al-Fayaadh, seorang dokter muda terpandang yang sudah menduduki posisi terpenting di sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta. Laki-laki yang selalu mengagungkan nama baik keluarga itu ternyata tak jauh lebih berharga dari apa yang selama ini ia pegang teguh. Keluarga yang selama ini ia lindungi, ternyata tidak benar-benar ada. Isinya kosong, mungkin hancur berantakan namun tak terlihat. Kamu bukan anak kandung Asad Al-Fayaadh. Kembali teringat jelas di kepala Aksa, kalimat-kalimat yang terdengar menyakitkan di telinganya, diucap oleh satu-satunya wanita yang selama ini ia percaya. Fakta itu menyayat dalam, memberi bekas luka yang menganga lebar. Bahkan sosok tubuh dan garis wajah yang sama pun tak cukup membuatnya memilik darah yang sama dengan laki-laki itu. Jika bukan Asad Al-Fayaadh, laki-laki yang sudah memberi nama besar di belakang namanya. Lalu, siapa ayah kandungny
Tumpukan berkas di meja masih tetap menggunung, meskipun sudah lebih dari sembilan jam Lara bekerja, dikurangi satu jam untuk mengistirahatkan badan. Lara duduk terpaku di kursi kerja, sedang matanya tak pernah lepas mengamati tumpukan kertas yang meminta untuk segera diselesaikan. Inginnya Lara masih melanjutkan, tetapi jam kerja-nya menuntut untuk segera diakhiri. "Sepertinya cukup," putusnya kemudian. Masih ada hari esok untuk kembali mengurangi tumpukan berkas di meja. Dia harus tetap waras, ditengah tuntutan beban kerja yang bisa membuatnya sakit kepala. Kalimat haram yang tidak boleh diucapkan seorang karyawan seperti dirinya adalah; pekerjaan sedikit, dia lebih banyak nganggur. Seperti yang beberapa hari Lara sampaikan pada Aksa. Tepat di hari ini, pekerjaan yang harus segera ia selesaikan membentuk tumpukan rapi setinggi layar komputer. Meja yang biasanya kosong, terlihat berantakan. Penampilan yang biasanya rapi, terlihat kusut. Lara bahkan membutuhkan kadar kafein lebih
"Takut sama Aksa?" "Bukan, saya hanya tidak mau diganggu." Bagas kembali mengikis jarak, memaksa Lara mundur satu langkah untuk menghindari tabrakan. Wanita itu melihat sekitar, lalu lalang pasien di sekitarnya cukup membuat Lara tak nyaman. Bahkan sepasang mata satpam yang berdiri di depan pintu masuk lobby cukup membuat nyalinya mengendur. Dia tidak siap menjadi bahan pembicaraan, terlebih, mungkin ada satu atau beberapa karyawan yang mengenal Bagas sebagai sahabat salah satu petinggi di rumah sakit ini. "Aku sedang kesepian, aku hanya ingin mengantarkanmu pulang, mampir makan malam jika memungkinkan." "Dok—." "Aku tidak memberi pilihan Lara," geram Bagas pelan. Tangannya yang sedang menggenggam semakin mencengkeram kuat. "Masuk ke mobil, kita memiliki keinginan yang sama; jangan membuat gaduh ruang publik," bisik Bagas tepat di depan wajah Lara. Kenapa, Lara selalu dihadapkan dengan manusia-manusia pemaksa? Makan malam yang terlalu mahal bagi seorang Lara. Di sebuah
Menjadi pasien ternyata sama sekali tidak menyenangkan. Pergerakan dibatasi karena selang infus menempel di tangan kiri, sesekali darah naik jika Aksa banyak bergerak. Aktivitasnya pun terganggu, bahkan untuk sekedar mandi atau hanya mengeluarkan sisa-sisa metabolisme di dalam tubuhnya pun sulit. Dua hari Aksa dirawat di rumah sakit, ketika mendengar kata; BLPL, Aksa pun lega. Malam itu juga Aksa meminta dipulangkan. Setelah dibantu Savira menyelesaikan proses administrasi, laki-laki itu diantar pulang menggunakan mobil Savira. Sepanjang perjalanan yang dingin, karena Aksa lebih banyak diam, meskipun beberapa kali Savira menawarkan beberapa hal yang mungkin dibutuhkan, seperti; makan. "Aku masih kenyang.” "Terakhir kamu makan waktu siang tadi, Sa. Itu pun nggak habis. Kamu harus banyak-banyak makan biar cepet sehat, kamu dokter, harusnya paham." Savira banyak bicara, suara yang dua hari ini selalu meramaikan suasana di sekitarnya. "Nanti aku bisa makan, gampang tinggal pesan
"Tap—." "Jangan menciptakan alasan untuk kembali membuatku marah, Laraa," geram Aksa rendah, tapi terdengar menakutkan. Aksa berjalan mengambil ponsel yang sejak tadi berdenting, memfokuskan otaknya menjawab pesan mamanya. Ia bersyukur, meskipun terlihat terpaksa, Lara kembali mendudukan tubuhnya di sofa ruang tengah, tempat di mana tadi rapat digelar. Wanita itu menyibukan diri dengan tugas, membuat rangkuman hasil rapat dengan keahlian sepuluh jari yang sudah terasah. Me : Aku usahakan datang ke rumah, setelah urusan pekerjaan selesai. Dia sendiri sadar, jawaban itu terlalu sulit untuk direalisasikan. Aksa masih membutuhkan waktu untuk datang menemui kedua orangtuanya. Selesai menjawab pesan, Aksa mengunci pandangan lurus ke arah Lara, wanita yang justru menjadi pusat perhatiannya sejak masuk ke ruangan ini. Bunyi tombol kunci pintu diaktifkan terdengar jelas ditengah sepi, merubah suasana menjadi lebih mencekam, lebih menakutkan daripada pembahasan kasus hukum rumah s
"Jelaskan," tuntut Aksa. Laki-laki itu melempar ponsel dalam genggamannya ke sofa. Tak takut jika lemparan itu meleset, ponsel Lara bisa hancur menjadi kepingan. Lara berjengit kaget, matanya membulat ketika tiba-tiba Aksa kembali berjalan mendekat, dengan manik mata tajam mengunci netranya. "Jangan mendekat," cegah Lara. Kedua tangan berada di depan tubuh. Tetapi bukannya mendengar, laki-laki itu justru semakin geram. Aksa menarik tubuh Lara, melingkarkan tangannya di sekitar pinggang wanita itu. Aksa melekatkan tubuh keduanya, memaksa Lara menatap ke bola mata hazel miliknya yang tengah menggelap. "Apa saja yang kamu lakukan bersama laki-laki itu?" tanya Aksa, tangan besarnya mengunci wajah Lara. "Tidak ada." "Jangan berani berbohong padaku, Laraa!" Jemari Aksa bergerak menyusur turun, melingkari leher Lara yang terbuka, menyapa kulit yang lama tak tersentuh. Tangan Aksa menekan memberi siksaan. "Katakan, ceritakan semuanya, sedetail-detailnya. Aku mau tau semuanya." Wajah Lar
"Dokter Aksa, bagian legal ingin bertemu, apa dokter ada waktu?" Suara Dewi di intercom membawa harap. Aksa sempat teralihkan, sebentar, sebelum akhirnya kembali mengunci pandang ke arahnya. Wanita itu beranjak dari sofa, memperbaiki penampilannya yang sempat kusut di beberapa sisi. "Dokter mau saya bagaimana?" tanya Lara memberanikan diri. Otaknya terlalu rumit mengurai pemikiran Aksa yang membingungkan. Apa yang laki-laki itu inginkan darinya? Apa yang harus ia lakukan? "Dokter, maaf, bagian legal ingin bertemu untuk konsultasi sebelum bertemu pasien yang berkasus hukum." Kedua mata Aksa terpejam pekat. "Pergilah," usir Aksa. Ia memutar badan dan berjalan ke arah meja kerja-nya. Aksa menekan tombol kunci, menjawab pesan Dewi dan meminta bagian legal masuk ke ruangan. Aksa mendudukkan tubuhnya, memutar kursi membelakangi Lara. "Pergilah, sebelum kita berdua kembali mengacau." Menekan gemuruh di dada, Lara menjalankan perintah Aksa, mengambil ponsel dan laptop di sofa. "