Perjalanan panjang ditengah gelapnya malam. Sepanjang perjalanan yang canggung ditemani suara radio dan degup jantungnya sendiri. Dua manusia yang tidak saling mengenal, tiba-tiba disatukan dalam satu frame yang asing. Lara enggan membuka percakapan, sejak paksaan Bagas untuk pulang bersama, wanita itu hanya menurut dan setidaknya ... dia hanya ingin segera sampai ke kos-nya tanpa ada lagi drama. "Kos-mu masih sama, kan?" tanya Bagas, sedang keduanya sudah menghabiskan hampir sepertiga jarak dalam diam. Masing-masing disibukan dengan pikiran sendiri. "Masih," jawab Lara, seakan mengakui bahwa tujuan Bagas mengantar Aksa ke kos waktu itu memang benar tempatnya. "Seharusnya dr. Bagas tidak perlu mengantar saya pulang, saya tidak mau merepotkan." "Aku mau, dan ... sepertinya aku sudah pernah bilang, Ra. Jangan panggil aku dengan embel-embel dokter, kalau di rumah sakit aku dokter, kalau di luar ... aku hanya Bagas Ganendra." Lara tidak menanggapi, memilih mengambil ponselnya yang tib
Lara bisa merasakan desir hatinya yang melompat jatuh dari tempat. Mulai tak nyaman dalam situasi yang sama sekali tidak berada di dalam kendalinya. Lara membasahi bibir, menelan ludah berkali-kali ketika kerongkongannya terasa kering. "Benar yang dokter katakan," jawab Lara, setelah menguras otak mencari jawaban dari pertanyaan Bagas.Laki-laki itu tak menanggapi, masih memberikan waktu sepenuhnya pada Lara."Saya tidak mungkin bisa menarik perhatian dr. Aksa. Artinya, apa yang dokter sangkakan pada kami berdua jelas tidak terbukti."Lara memberanikan diri, menatap lawan bicara, menaikan sudut bibirnya ke atas. "Apa ada lagi yang belum jelas? Akan saya jawab, anggap saja untuk memuaskan rasa ingin tahu dr. Bagas, sekaligus sebagai ganti rasa terima kasih saya karena dr. Bagas sudah mengantar saya pulang."Lara hanya ingin segera pulang, sampai di kos dan tidur. Tetapi kenapa sulit bagi Bagas untuk melepaskannya?"Mana ponselmu?" Tangan Bagas menengadah diantara keduanya. Senyum simpu
Aksa berjalan mendekat, sedang Lara hanya berdiri kaku tak bergerak dengan senyum mengembang. Ia menunggu Aksa yang berhenti di jarak yang masih tersisa. Keduanya masih berdiri tegas di batasan masing-masing. "Bisa lebih cepat, kalau dokter mempercepat persetujuan. Mungkin bisa karena alasan keluarga, saya rasa jawaban itu cukup meyakinkan." Seharusnya kalimat Lara sudah benar-benar bisa meyakinkan laki-laki itu, mengurangi kekhawatiran Aksa. "Komite tidak terlalu membutuhkan bantuan seketaris, dok. Saya banyak nganggur kok di sana. Niat dokter untuk menyingkirkan saya terlalu percuma, justru saya jadi enak karena nggak banyak kerjaan.” Aksa sudah berdiri menjulang tinggi di hadapan Lara, dengan manik mata yang tak pernah redup. "Diam," hardik Aksa pelan, lebih mirip seperti bisikan. Lara pun menurut, dia menjadi banyak bicara karena terlalu semangat dengan keputusan yang ia ambil. "Kamu ... masih berada di dalam kendaliku, Lara," ucap Aksa, bernada geram, manik matanya me
"Kenalkan, keluarga baru kita. Namanya Lastri, dan anak perempuanku, Prita." Tangan Aksa mencengkeram kuat ujung sendok, menatap tajam ke arah wanita yang sedang tersenyum lebar ke arah semua orang yang ada di tempat ini. Sontak Aksa melempar piringnya ke lantai begitu saja. Bunyi suara gaduh membuat semua mata tertuju pada Aksa. "Mas!" Teriakan Alina sama sekali tak digubris. Laki-laki itu bahkan berjalan cepat ke arah Asad, mencengkeram kerah baju laki-laki itu. Aksa menusuk Asad dengan tatapan mata tajam, urat disekitar wajahnya menonjol, berdiri dengan garis rahang bergetar menahan amarah. "Aku sudah pernah memperingatkanmu ... jangan berani menghancurkan keluargaku!!" Satu pukulan Aksa layangkan ke sisi wajah papanya. Suara pekikan semua orang di ruangan ini sama sekali tidak dihiraukan. Aksa puas melihat papanya yang tersungkur jatuh ke belakang. "Mas Aksaaa!" Alina yang hendak berlari melerai keduanya terpaksa ditahan Aryo. Wanita itu sedang hamil muda, suaminya
Langit biru terhampar luas di atas, bersenada bersama awan-awan putih yang cantik. Keindahan yang tak selamanya terekam, ketika manusia banyak disibukan dengan dunia sekitar yang berisik. Kamu harus banyak istirahat, Lara. Jangan kelelahan. Masih teringat jelas di kepala Lara, anjuran dr. Putri yang memintanya untuk tidak terlalu berlebihan dalam beraktivitas. Tetapi lelahnya bekerja kadang tak cukup mampu mengalihkan perhatiannya dari masalah, Lara masih sering menghabiskan waktunya di sanggar untuk menari sampai malam menjelang. Seperti malam ini, di akhir minggu yang selalu ia habiskan seorang sendiri. Koko sedang sibuk, laki-laki itu berkabar baru saja bertemu dengan seorang wanita dan mulai menjalin hubungan. Lara pun tak berniat mengganggu kehidupan pribadi Koko. Toh, menari bukan kegiatan membosankan untuk menghabiskan akhir minggu-nya. Tidak ada satupun aktivitas yang ada di to do list wanita itu, dan Lara hanya berakhir di sanggar tari luas dengan pantulan-pantulan ba
"What?!! No waaay, nggak mungkin! Serius, Kak?" Dewi menunjukan wajah penuh keoptimisan. Berita yang ia terima ini sudah divalidasi kebenarannya, karena dia yang mendengar dengan telinganya sendiri. "Gue pernah ketemu wanita itu, soalnya dulu waktu gue masuk ke rumah sakit ini sebagai junior, Mbak Lastri sudah lebih dulu jadi seketarisnya Prof. Asad. Setelah Prof. Asad pensiun, Mbak Lastri juga ikut ke luar." Semua perbincangan dua seniornya terdengar jelas di pendengaran Lara. Wanita yang sedari tadi sama sekali tidak berniat dengan lotek yang ia pesan pun ikut terkejut dengan kabar yang ia terima. Merasa hal yang lumrah jika Aksa memutuskan untuk melarikan diri. Sesuatu yang selama ini selalu Aksa banggakan, keluarga dan nama terpandang di hadapan Lara, nyatanya tak jauh lebih busuk di dalamnya. "Kasihan baby bear, pasti dia shock berat mendengar kabar ini." Siska bahkan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menghembuskan nafas kasar berkali-kali. "Mana dia baru aja tunangan,
Suara bariton yang terdengar tak asing, bernada lemah yang serak. Cukup lama Lara diam tak bergerak, sendi-sendinya kaku. Di saat langkah kaki di belakangnya berjalan mendekat, Lara pun akhirnya memaksa kakinya bergerak maju, sedikit mempercepat langkah saat suara di belakang mengikutinya. "Aaw." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahu-nya, sedikit menarik mundur tubuh Lara. "Maaf," ucap Lara buru-buru. "Tidak seharusnya saya datang ke sini. Maafkan saya." Lara merasakan cengkeraman tangan di kedua bahunya semakin kuat, memacu degup jantungnya bergerak lebih cepat. Apa yang akan terjadi? Membayangkannya saja mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Aksa pasti marah. "Saya akan pulang, dok. Saya tidak—." Dua tangan besar tiba-tiba melingkari tubuh Lara, memeluk wanita itu dari belakang. "Aku yakin kamu pasti datang," ucap laki-laki itu, mengeratkan pelukan posesif di sekitar dada Lara. Aksa meletakan kepalanya di bahu Lara, mengecup pelan leher wanita itu. "Aku merind
Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa kacaunya Aksa, menjadi satu-satunya laki-laki penerus keluarga Al-Fayaadh, seorang dokter muda terpandang yang sudah menduduki posisi terpenting di sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta. Laki-laki yang selalu mengagungkan nama baik keluarga itu ternyata tak jauh lebih berharga dari apa yang selama ini ia pegang teguh. Keluarga yang selama ini ia lindungi, ternyata tidak benar-benar ada. Isinya kosong, mungkin hancur berantakan namun tak terlihat. Kamu bukan anak kandung Asad Al-Fayaadh. Kembali teringat jelas di kepala Aksa, kalimat-kalimat yang terdengar menyakitkan di telinganya, diucap oleh satu-satunya wanita yang selama ini ia percaya. Fakta itu menyayat dalam, memberi bekas luka yang menganga lebar. Bahkan sosok tubuh dan garis wajah yang sama pun tak cukup membuatnya memilik darah yang sama dengan laki-laki itu. Jika bukan Asad Al-Fayaadh, laki-laki yang sudah memberi nama besar di belakang namanya. Lalu, siapa ayah kandungny