Mungkin sudah lebih dari dua tahun, Lara tidak menginjakan kakinya di kampung halaman. Bahkan saat hari lebaran tiba pun Lara juga tidak pulang. Rumah sakit termasuk ke dalam bisnis yang tak pernah libur, meskipun di tanggal merah, pelayanan tetap beroperasi dua puluh empat jam. Selain karena harga tiket yang semakin mahal di hari lebaran, juga karena karyawan yang datang lembur di hari keagamaan bisa mendapatkan ganti dalam jumlah yang cukup besar. Lara memutuskan untuk tetap bertahan di Jakarta di hari lebaran tiba. Dan setelah sekian ratus hari ia lalui, akhirnya Lara bisa mendapatkan kesempatan untuk pulang. Tersenyum riang keluar dari ruangan dr. Alina, Lara menunjukan satu form cuti yang sudah ditandatangani. Lima hari, menjadi satu minggu dengan hari sabtu dan minggu. "Monggo, Kakakku tersayang, Lara cuti dulu, yaaa," ucapnya pongah. Wajahnya berseri, matanya berbinar senang. "Yoo, jangan lupa balik ke Jakarta kao, susah gue kalau kerja cuma sama Siska doang," keluh Kak Dewi.
Mas Aksa nggak boleh lari dari tanggung jawab seperti ini. Aku butuh Mas Aksa! Pesan-pesan singkat yang banyak dikirim Alina untuk Aksa. Dari puluhan pesan itu, Aksa sedikitpun tidak berniat membalas. Dia hanya membaca singkat, jarinya cepat membawa layar ke bagian paling akhir. Mata hazel Aksa kembali terpejam, setelah denyut ngilu ia rasakan di sudut kepala. Frustasi semakin tidak terbendung, ketika malam kemarin, Aksa mendengar niat papanya yang hendak membuka perselingkuhannya sendiri. Tuan Asad ingin keluarga keduanya diakui, ingin menunjukan pada dunia keberadaan wanita itu di sisi Asad adalah nyata. Apa yang laki-laki itu kejar? Sedang dia sudah memiliki segalanya. Seorang wanita cantik dari keluarga terpandang yang sudah memberikan dua keturunan, yang sudah menemaninya hingga berada di level atas kasta kehidupan. Apa lagi yang laki-laki itu cari? Aksa menyerah, ia menghentakan pukulan keras di meja kerja. Orang pertama yang akan menentang keinginan papanya adalah dir
Aksa pergi meninggalkan kamar orangtuanya, kembali berjalan melewati lorong berlantai marmer dan sebuah lukisan besar keluarga yang dipasang di dinding. Aksa menghentikan langkah di depan lukisan itu, menelisik satu persatu coretan kanvas yang terlihat begitu nyata. Semua anggota keluarga tersenyum bahagia, kedua orangtuanya duduk di sofa dengan kedua tangan saling menggenggam, sedang Aksa dan Alina remaja berdiri di samping kanan dan kiri dengan tawa yang teramat lepas. Aksa berjanji akan melindungi keluarga ini. "Mas ..." Suara panggilan dari wanita terpenting di dalam hidup Aksa menarik perhatiannya. Aksa mengalihkan wajah untuk menghapus air mata yang tadi sempat lepas, dia tidak ingin mamanya melihat kesedihannya. "Kenapa melihat lukisannya begitu banget?" "Begitu, gimana, Ma?" tanya Aksa, ia menarik mamanya untuk berdiri di samping tubuhnya, melingkarkan pelukan. "Kita semua terlihat bahagia banget di lukisan ini ya, Ma?” "Heem, sekarang pun sama. Alina sudah hamil,
Beberapa waktu ke depan berjalan seperti biasa, Aksa bekerja dan beberapa kali Savi pun datang menemuinya, ataupun sebaliknya. Aksa pernah memberi kejutan datang ke ruang poli wanita itu membawa minuman kesukaan Savi. Bekerja di rumah sakit yang sama justru menjadi jalan pintas keduanya untuk memperkuat ikatan, semakin dekat. Savi sudah banyak mengenal beberapa karyawan di rumah sakit, wanita itu mudah bergaul, sangat mudah mengambil hati orang lain. "Selamat pagi, dr. Aksa," sapa para karyawan, sepanjang jalan menuju ruang kerjanya. "Pagi." Jakarta masih saja hujan di mana-mana, Aksa sempat mengumpat kesal, ketika ujung celananya basah terkena cipratan air. Duduk di kursi kerja, Aksa membersihkan ujung celananya dengan tissue. Ada banyak meeting yang harus ia pimpin hari ini, rentetan pekerjaan menunggu untuk segera diselesaikan. "Selamat pagi, dok. Mau kopi, atau teh?" Suara itu terdengar tak asing, gerakan tangan Aksa berhenti membersihkan ujung celana. Laki-laki itu men
Lara pernah bermimpi ingin menjadi seorang dokter, menjadi manusia bermanfaat yang bisa menolong nyawa manusia, memperlama harapan hidup, atau mungkin ... dia juga bisa punya uang banyak untuk membantu sesama. Mimpi yang sangat mulia, bukan? Tapi jangankan untuk mengejar, melangkah ke arah sana saja dia tertahan. Lara tidak pintar, dia juga bukan terlahir dari keluarga kaya. Sejak remaja, Lara dihadapkan dengan kesulitan ekonomi yang tak biasa. Jangankan bisa belajar dengan tenang, bahkan hampir setiap hari, si Lara muda selalu mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. "Hasilnya disimpan, banyak-banyakin makan yang sehat-sehat ya, Ra." Satu amplop berwarna putih berisi hasil pemeriksaan lab diletakan di meja, seorang wanita mendorong benda itu mendekat ke arah Lara. Sempat lama mendapatkan attensi wanita berjaket tebal yang malam ini memutuskan menemui salah seorang dokter kenalannya, Lara mengambil amplop itu lalu memasukannya ke dalam tas. "Makasih, dok." "Kita coba cek la
"Semuanya bisa berjalan mudah kalau kamu tidak melawan," ucap Aksa, setelah keduanya berada di dalam mobil. Tidak ada lagi suara, Lara membiarkan keheningan sebagai teman, dan dinginnya malam memeluk tubuhnya. Sesekali ia melihat Aksa melalui ekor mata, menemukan laki-laki itu sedang melakukan hal yang sama dengan dirinya, diam, fokus dengan kemudi. "Kita mau ke mana?" Terlalu jauh berjalan ke arah yang tak Lara pahami, akhirnya wanita itu pun bersuara. "Duduk saja dan jangan banyak bertanya." Hampir tiga puluh menit, mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah apartement yang tak Lara kenali. Selama mengenal Aksa, baru kali ini laki-laki itu membawanya ke tempat ini. "Ini di mana?" "Apartementku." Jawaban ketus Aksa membuat Lara memilih bungkam. Ia tak lagi berniat bertanya, matanya mengekori Aksa yang keluar mobil, berjalan memutar lalu membuka pintu di sisi sebelahnya. "Ke luar." Lara menurut, karena melawan pun baginya terasa sulit. Tangannya ditarik, jemari besa
"Kamu tidak pantas memiliki rasa itu," ucap Aksa tepat di depan mata Lara. Laki-laki itu menarik tubuhnya menjauh, berdiri membelakangi Lara. Tubuh Aksa berdiri tegak, menutupi lampu temaram satu-satunya pencahayaan di ruangan ini. "Kamu gila, Lara!" hardik Aksa kesal. Suaranya menggelegar, menyiksa pendengaran siapapun yang mendengarnya. Dada Aksa bergerak naik turun, mengisi kekosongan oksigen yang tiba-tiba menyusut di sekitarnya. Mendengar Lara menyimpan rasa, Aksa merasa jijik pada dirinya sendiri. Berani-beraninya Lara jatuh cinta? Seorang pelacur tidak akan pernah mendapatkan hati tuannya, seharusnya seperti itu hubungan keduanya berjalan. "Maaf," ucap wanita itu pada akhirnya. Aksa mendengar suara pergerakan di belakang tubuhnya, Lara sedang membenahi pakaiannya yang sudah koyak bagian atas. ”Enyahkan perasaan tololmu itu," titah Aksa, masih dengan intonasi suara rendah yang syarat akan kemarahan. "Perasaan ini ... tidak dalam kendali saya." "Bulshit! Setidaknya,
Mata Lara terpaku pada tetes air hujan yang menggenang di jalanan aspal. Hujan datang lalu meninggalkan tanah basah di mana-mana. Seperti Aksa, datang dalam kehidupannya, lalu meninggalkan bekas luka di mana-mana. "Buu," panggilnya lirih. Lara merindukan ibunya. Bertahan dalam fase hidup yang tak sepenuhnya mudah, terkadang membuat Lara hampir menyerah. Titik di mana Lara mengingat wajah ayah dan adiknya, hatinya pun kembali menghangat. Lara menghapus bekas air mata di pipi, lalu senyum terbit seketika di wajah oval wanita itu. Lara memaksa dirinya berdiri. Ia pun mulai berjalan mencari taksi. Beruntungnya, tidak perlu sampai berjalan jauh, Lara menemukan sebuah taksi berhenti di pinggir jalan menunggu penumpang. "Bisa antar saya ke daerah Jakarta Barat, Pak?" tanya Lara. "Siap, Non. Mangga, silahkan masuk." "Terima kasih." Sepanjang jalan yang indah, Lara meminta izin membuka jendela, menghirup aroma bekas hujan yang membasahi tanah. Petrichor, bau khas yang muncul sete