Warna putih asap rokok mengepul,terlepas dari bibir laki-laki yang duduk di ujung ranjang. Tangan laki-laki itu bertumpu di paha, dengan satu kaki bersila. Di belakangnya, seorang wanita terjaga, bersandar di ujung ranjang sambil mengamati dalam diam gambaran siluet tubuh besar itu di tengah lampu temaram kamar.
Isi otaknya berisik, menuntut perhatian.
Keheningan malam menemani dua manusia berbeda kasta itu, saling mendiamkan padahal ratusan menit sebelumnya saling menyebut nama dalam geraman penuh dosa. Tidak ada yang berbicara, seakan keduanya memberi waktu agar sepi mendominasi. Hanya ada suara lirih kipas angin yang terpasang di plafon kamar, dan lalu lalang kendaraan yang tak cukup ramai di luar sana.
"Mau … menginap?" tanya si wanita ragu. Terlihat dari manik matanya, ia menyesali kalimat itu setelah mengucapkannya. Tak sampai satu hela nafas, wanita itu menekuk wajah merutuki kebodohannya sendiri.
Pertanyaannya terlalu berani.
Laki-laki yang memiliki warna rambut tembaga itu tak memberi jawaban, sedang menikmati batang rokoknya yang sudah hampir habis dimakan api, sambil tetap memperhatikan malam gelap dari jendela kamar yang terbuka. Tubuhnya ada di sini, tapi entah dengan pikirannya yang berada di mana.
"Aku di sini cuma 'pakai', bukan untuk menginap apalagi tinggal," jawab laki-laki itu singkat, tanpa berniat memperlembut kalimat yang ditujukan untuk perempuan di belakangnya.
Lara kembali menurunkan arah bola mata, ke selimut bermotif hello kitty yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Jawaban laki-laki tadi menamparnya telak, menegaskan di mana tempatnya berada. Rasanya sakit, ngilu, meskipun sebenarnya, sakit itu dia sendiri yang menggali.
Matanya kembali naik saat mendengar pergerakan di ujung ranjang. Laki-laki itu berdiri, masih dengan tanpa busana, di balik cahaya bulan yang menggambarkan siluet hitam itu berjalan ke tengah ruangan. Tepat berdiri di depan Lara, di tempat dimana tadi mereka melepas pakaian secara tergesa. Gerak tubuh elegan laki-laki itu mengenakan kembali pakaiannya, celana bahan dan kemeja navy yang sama saat keduanya berada di kantor tadi pagi.
Melihat pemandangan itu dengan seksama, Lara menguatkan genggaman di selimut yang menutupi dada. Hampir setiap hari saat mereka bersama, Lara tak pernah luput mengagumi laki-laki itu. Tidak ada yang sulit, mengagumi sosok sempurna seperti dr. Aksa Al Fayaadh, seorang dokter yang menjabat sebagai direktur utama di rumah sakit tempat Lara bekerja. Laki-laki yang memiliki darah timur tengah, jambang tegas yang rapi di sekitar dagu. Ketika tidak sengaja bagian itu menyentuh kulit sensitifnya, Lara seakan dibawa melayang.
"Aku sudah transfer, aku tambah dari biasanya. Rawat tubuh dan belilah pakaian yang bagus, kamu semakin kurus, dan aku tidak suka."
Tapi sayang, laki-laki itu bukan kekasih Lara, melainkan seorang laki-laki yang melabeli dirinya sendiri sebagai 'pemakai' tubuh Lara.
Senyum tipis dipaksa lepas, meskipun siur ngilu mendesak di dada. "Terima kasih, dr. Aksa."
"Hem."
Tanpa pamit, ataupun ciuman singkat di puncak kepala, laki-laki itu pergi begitu saja. Keluar dari kamar kos Lara yang terletak di lantai dua, kamar kos sempit yang ia sewa sebagai tempat tinggalnya di Jakarta.
Sosok itu sudah tak ada lagi, meskipun bekasnya masih menempel di setiap jengkal tubuh Lara. Aroma parfum musk yang mahal pun berangsur-angsur menghilang, bersamaan dengan sepi yang datang menjadi teman.
Larasati, biasa dipanggil Lara oleh orangtua dan teman-temannya. Seorang wanita yang memberanikan diri merantau ke Jakarta seorang diri, karena himpitan biaya untuk mengobati ibunya yang sedang melawan penyakit leukemia, dan untuk biaya kuliah adik perempuan satu-satunya yang ia miliki. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh pabrik tak cukup menyediakan uang untuk pengobatan ibu, sedang Lara yang memiliki gelar sarjana dengan beasiswa terpaksa memberanikan diri datang ke Jakarta demi gaji yang lebih layak dibanding di desa.
Lara memaksakan kakinya turun bertemu lantai keramik yang dingin, berjalan memunguti pakaiannya yang berserakan. Sambil melangkahkan kakinya ke dispenser, ia memakai kembali daster rumahan bermotif ditzy yang tergeletak di lantai, dan jaket tipis sebagai pelapis ketika dinginnya malam semakin terasa menusuk.
Jam dinding menunjuk ke pukul dua belas malam, entah Lara bisa kembali tidur atau tidak. Dia sudah bergelung dalam mimpi ketika ketukan pintu di kamar kos-nya membangunkan Lara secara tiba-tiba, tidak perlu mencari tahu siapa yang bertamu. Dari suata ketukan pelan yang berubah menjadi gedoran tak sabar, Lara tahu, dia tak akan lagi bisa tidur nyenyak mungkin sampai pagi menjelang.
"Lelet banget buka pintunya? Aku sudah lebih dari lima menit di depan pintu." Laki-laki itu mendengus sebal, tidak melihat waktu bertamu yang memang sewajarnya waktu untuk manusia pekerja seperti dirinya beristirahat.
Aksa masuk tanpa dipersilahkan, mendudukan tubuhnya di ujung ranjang, tempat favoritnya, atau karena memang tempat itu-lah satu-satunya tempat yang layak. Di kamar ini tidak ada kursi, apalagi sofa, tidak mungkin Aksa duduk di lantai tanpa karpet.
"Aku sudan kirim pesan, kamu tidak balas."
"Maaf, saya sudah tidur."
"Ck," decakan kecewa, Aksa menatap sinis ke arah Lara yang masih berdiri kaku di balik pintu. "Aku sudah terlanjur di sini, kamu juga sudah bangun kan."
Ada aroma alkohol yang tersentak hebat di penciuman Lara, hal yang sudah terbiasa menyapa indera penciumannya ketika Aksa sedang singgah di kamarnya. Laki-laki itu dalam pengaruh alkohol, meskipun tidak sepenuhnya kehilangan akal.
"Sini, Raa. Deketan." Aksa menarik tangan Lara, mempersingkat jarak. Melepas ciuman-ciuman ringan di perutnya. "Aku pengen, boleh ya?" Nada sinis tadi berubah menjadi lembut.
Dokter Aksa, laki-laki cerdas berwibawa yang memiliki tatapan tajam dan bibir tebal yang irit bicara ketika bekerja. Memiliki mood berubah-ubah, kadang galak, kadang jutek, dan sangat kadang bersikap baik. Meskipun seperti itu, dr. Aksa adalah salah satu direksi yang paling tidak banyak mau-nya, walaupun terkadang bisa meminta laporan mendadak dan titahnya selalu menjadi sebuah keharusan.
Tampan, tentu saja, tipe-tipe laki-laki misterius yang langka melepas senyum.
"Raa..."
Tetapi jika berada dikendali nafsu, laki-laki itu bisa berubah seperti bocah kecil yang merengek manja, meskipun terkadang tetap dominan dan penuh kendali.
"Laraa..." Panggilan yang diucap dengan penuh kelembutan.
Lara melihat, bagaimana bola mata hazel itu menatapnya penuh permohonan. Hal yang tidak mungkin dilakukan laki-laki itu ketika sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Aksa membimbing tubuh Lara untuk berlutut di hadapannya, jarinya bermain di sekitar wajah, lalu melesat masuk membelah bibir Lara yang setengah terbuka.
"Pakai ini dulu." Suara serak terdengar menuntut. Tidak ada yang bisa Lara lakukan selain menurut.
Lara menarik nafas dalam, mengambil segelas air putih dingin dari dispenser lalu menenggaknya sekali tandas. Rasanya segar, saat air itu melewati tenggorokannya yang kering. Hampir dua puluh menit ia bekerja keras, wajar, jika ia membutuhkan cairan yang cukup banyak setelah aktivitas menguras tenaga yang baru saja ia selesaikan.
Dekat jendela adalah pilihan tempat terbaiknya, berdiri sambil melihat jalanan yang sepi diselingi gerimis hujan yang mulai turun. Lara suka hujan, dan suasana dingin selepasnya.
Jarinya bergerak membuka beberapa pesan yang sejak tadi menghiasi layar notifikasi ponsel. Ada pesan dari Aksa, bukti transfer yang ia terima setiap selesai menjalankan tugasnya sebagai pemuas nafsu laki-laki itu, pesan di grup kantor yang banyak berisi stiker ucapan semangat mengingat esok adalah hari yang berat, lalu pesan dari Lira-, adiknya di desa yang hidup bersama kedua orangtuanya.
Lira :
Mbak, bulan ini terakhir bayar semesteran ya.
Tanpa ragu, Lara mengirim sejumlah nominal uang yang baru saja ia dapatkan dari Aksa, membubuhkan kalimat penyemangat di akhir pesan yang sebenarnya dia sendiri pun membutuhkannya. Tapi tak apa, hampir setiap waktu di dalam hidupnya, Lara tak pernah menjeda ucapan semangat untuk dirinya, dari dirinya sendiri.
Setelah merasa cukup memberi ruang untuk bernafas lega, Lara beranjak tidur. Esok, dia masih harus bekerja, sebagai seketaris direksi rumah sakit keluarga Al-Fayaadh.
"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk memb
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar."Kak Lara, coba ajarkan lagi gera
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha