"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa."
"Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan semua orang. Mendengar kedekatan mereka berdua, Lara menyimpulkan, Aksa lebih banyak bicara jika bersama Savira. Tawanya sering kali terdengar, dan suara bariton renyah itu terdengar ramah. Tidak seperti ketika mereka berdua, tapi tentu saja, Lara dan Savira adalah dua orang yang menempati posisi berbeda di dalam hidup Aksa. Tumpukan laporan dan buku miliknya sendiri banyak yang harus dibawa dengan dua tangan Lara. Ia sedikit kesulitan, hingga mungkin karena kurangnya kehati-hatian, kaki Lara terselip karpet yang ada di ruangan itu dan jatuh. "Aduh." Bukunya berserakan di lantai, dia merutuki kesialannya yang terlalu gugup. "Maaf," ucapnya malu. Tangannya mengambil buku dan barang-barang yang berserakan, lalu tiba-tiba satu tangan putih bersih terawat menjulur membantunya. Savira tersenyum cantik ke arah Lara, yang justru semakin membuat hatinya tersudut. Kulit bersih dengan bentuk wajah oval dan satu lesung pipi di kiri. Savira adalah bentuk kesempurnaan, cantik dan pintar. "Te-terima kasih, dr. Savi." "Sama-sama, mau dibantu bawanya? Sepertinya kamu terlihat kesulitan membawa barang," tawar wanita itu. Lara dan Savi kembali berdiri, saling bertemu tapi mata Lara tak berani mengambil lebih. Ujung matanya mencuri pandang ke arah laki-laki di belakangnya, seperti biasa, Aksa menatap dirinya datar tanpa ekspresi. "Biar nanti dia dibantu security, kita ke ruanganku aja, Sav." Tangan Aksa menarik Savi untuk kembali berdiri di hadapannya. "Mau makan siang di luar? Aku ada warung gado-gado enak dekat rumah sakit." "Ah, kamu masih inget sama makanan favoritku?" "Ck, tentu ..." Pembicaraan hangat itu tak putus, Lara hanya mengangguk pelan sebagai tanda sopan saat keduanya keluar dari ruang meeting. Aku juga tiba-tiba laper, batinnya sendiri. Lara menunggu petugas cleaning service untuk membantunya, sampai di jam makan siang, Lara masih berkutat dengan mesin kotak yang sedang menampilkan komunikasi Lara dengan seketaris lainnya di luar sana. Mereka sedang mengatur jadwal bertemu, saling mencari waktu yang tepat di sela kesibukan pada direksi. Me : Ko, kamu nggak mau ngucapin 'jangan lupa makan siang', gitu? Tiba-tiba, Lara merasa hidupnya sepi. Jika lebih terbuka dan mau bersosialisasi, mungkin, bisa saja Lara punya pacar. Dia tidak jelek, hanya mungkin kurang terawat. Tubuhnya juga tidak kurus, hanya mungkin Aksa saja yang lebih suka wanita berisi. Tapi, apa ada laki-laki yang mau dengan wanita yang sudah tidak perawan? Apalagi, keperawanan yang dibeli. Koko : Ngapeee? Bosen? Udah nggak usah neko-neko, gawe sono. Sahabatnya itu memang tidak peka. Lara mendengus sebal, kembali membalas pesan Koko. Ia memastikan tempat kerjanya dulu, sepi, setidaknya dia punya kesempatan mencuri waktu sebelum jam makan siang. Me : Ngucapin aja sih, ribet banget deh. Koko : Jangan lupa makan, jangan lupa baca doa takut kesedak kodok. Kedua ujung bibir Lara naik tinggi, melebarkan senyum saat Koko mengirimkan potret dirinya yang sedang bekerja di sebuah pabrik otomotif. Jangan berfikir gajinya besar, Koko hanya lulusan SMK yang kebetulan langsung bisa kerja di sana. Koko lebih dahulu datang ke Jakarta dibanding Lara yang masih mengejar gelar sarjana. "Cieee, chatingan sama pacar lo, Ra." "Ciee ciee, Lara punya pacar." Kedua seniornya sudah berdiri di samping meja, dengan mata genit yang dibuat-buat, dan nada manja yang menjengkelkan. "Ayaaang, temenin aku nonton doong. Ape gini? Ayaaang, aku capek kerja." Kak Dewi mulai mengganggu Lara, memeluk tubuh wanita itu sambil memparodikan bayangan orang kasmaran di kepalanya. "Nggak, Kaak. Cuma temen." "Dih, nggak mungkin cuma temen sampai senyum-senyum gitu. Ak—." "Ekheem, kaya-nya lagi asik banget ngobrolnya." Savi dan Aksa berdiri di depan meja kerja seketaris, Savi yang datang mendekat sambil menyapa mereka bertiga. "Kira-kira apa sih yang dibahas?" "Ini, dok—, aduuh sakit, Ra!" Kak Dewi mendapat sikutan ringan di pinggangnya, tidak sampai sakit seharusnya, hanya sebagai pengingat untuk tidak berbicara berlebihan. "Lara punya pacar baru." Riuh sudah, Kak Siska dan Kak Dewi semakin semangat menggoda Lara dihadapan Savi. "Waah, selamat, Lara. Semoga langgeng yaa. Kalau nikah kabar-kabar.” Savi membubuhkan senyum ramah di akhir kalimatnya. Aksa menarik Savi untuk kembali berjalan di sampingnya. "Ayo, tempat gado-gadonya ramai kalau di jam makan siang." "Aku pinjem dr. Aksa dulu ya teman-teman, nggak lama kok, jam satu sudah kembali kerja." Mungkin itu sebagai kalimat pengingat, agar teman-teman seketaris tidak mengganggu keduanya ketika mereka makan siang bersama. "Baik, dok. Selamat makan siaang," jawab Kak Dewi. Setelah Aksa dan Savi tak lagi ada di tempat yang sama, Lara mencubit satu persatu seniornya. "Iiih, Kakaak. Kan malu." "Haha, nggak apa-apa. Dr Savi sepertinya ramah banget ya gais ya, cocok-lah sama baby bear yang wajahnya jutek terus gitu." Ada banyak lagi perbincangan setelah itu, bekerja dengan Kak Dewi dan Kak Siska memang harus sabar. Mereka berdua banyak bicara, berbanding terbalik dengan Lara yang lebih banyak diam. Sepulang kerja, Lara tak lagi menjadikan kos sebagai tujuan. Dia berada di sanggar senam, menari hingga malam menjelang. Lara kesakitan, tubuhnya lelah, tapi dia tidak peduli, ketika sakit di hatinya semakin menjadi-jadi. Lara ingin mengusir rasa sakit itu dengan rasa sakit lainnya. Lara ingin mengusir rasa sesak di dadanya dengan bahagia menari. Jika bisa Lara pergi, mungkin dia akan memutuskan resign dari tempat kerjanya saat ini. Tapi Lara butuh uang, hal yang mungkin tidak ia dapatkan di tempat lainnya. Sebagai seorang seketaris, pengalamannya belum terlalu mumpuni. Dia juga bukan wanita cerdas yang bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Bisa bekerja di rumah sakit Al Fayaadh itu saja karena keberuntungan. Perusahaan itu sedang mencari seketaris secepatnya ketika Kak Dewi tiba-tiba hamil. Dan Lara masuk ketika benar-benar dibutuhkan. Lara masih berputar-putar di tengah aula lantai yang dingin. Keringat menetes di dahi, bibir kering dan rambut yang berserakan di sekitar wajah. Dia masih terus berputar, dengan mata terpejam sampai tiba-tiba tubuhnya ambruk menabrak dinding kaca. Terduduk di ujung ruangan dengan kepala menunduk, nafasnya hilang timbul, dengan keringat yang menetes satu persatu ke lantai. Tuhan, jika rasa ini salah. Maka ajari aku untuk membunuhnya. Meskipun tak ada yang berubah, tetapi setidaknya Lara bisa tidur dengan lelap karena kelelahan setelah menari sampai malam. Jam sembilan malam, Lara baru sampai di kamar kosnya. Ia bergegas mandi dan tidur. Ponselnya mati, dan Lara tidak berniat menghidupkannya. Lara sedang tidak ingin diganggu, ia memilih menghubungkan daya ponsel dengan charger dalam posisi tidak aktif. Tidurnya masih belum lelap, mungkin belum lama, tapi kenapa suara berisik di luar sudah mengganggunya? Lara bergerak mengubah posisi, menutup telinga dengan bantal. Suara mengganggu yang membangunkan Lara membuatnya kesal. Ia kembali memejamkan mata di bawah bantal sebelum ... "Laraa..." Suara berisik di luar sana memanggilnya. Bantal di kepalanya tak lagi di menutupi telinga, Lara menguatkan insting pendengarannya ketika suara itu semakin terdengar jelas. "Buka pintunya, Raa." Benar, memang namanya yang dipanggil. Kaki Lara bergegas turun, ia memakai outer jaket yang digantung asal di belakang pintu. Matanya menemukan Aksa, dalam kondisi mabuk parah. Matanya sembab, bau alkohol menyengat. Entah apa yang terjadi pada laki-laki itu. Dia datang diantar seorang sopir berpakaian serba hitam. "Laraa..." Aksa bergerak memeluk tubuh Lara, menyusupkan kepalanya di leher wanita itu. "Saya security club malam, tadi Bapak ini berbuat onar karena mabuk, dan terpaksa harus kami pulangkan." "Tapi ... di sini bukan rumahnya." "Bapak ini memberi alamat ini ketika ditanya." Bibir Lara terbuka, ingin meminta tolong pada security untuk membawa Aksa pulang ke rumahnya sendiri. Tapi dia lupa, dia sendiri pun tak tahu di mana tempat tinggal Aksa. Dia tidak pernah mengetahui kehidupan pribadi atasannya, mungkin kalau Kak Dewi tahu, dia yang paling senior di rumah sakit. Tapi jika bertanya ke wanita itu, dengan posisi Aksa yang ada di kamar kos-nya, tentu itu bisa menimbulkan kecurigaan. Apalagi, Kak Dewi belum tentu fast respon di jam malam seperti sekarang. "Bagaimana, Mbak?" tanya si security memastikan. "Nggak apa-apa, biar di sini saja." "Baik, kami tinggal." Lara menutup pintu, membantu tubuh besar Aksa sampai di ranjang. "Pusiiing, Raa. Sakit mataku." Keluhan dan celotehan Aksa masih saja terdengar. Lara menidurkan Aksa di ranjang, membantu laki-laki itu melepas pakaian dan membersihkan tubuhnya menggunakan tissue basah. Lara mulai membersihkan wajah Aksa, leher laki-laki itu, lalu berakhir di tangan dan kaki. Lara menyisakan boxer dan menutup tubuh besar Aksa dengan selimut. Entah laki-laki itu bisa tidur nyenyak atau tidak. Tubuhnya terlihat sama sekali tidak proporsional dengan ranjang yang ada. Atau mungkin, bisa jadi Aksa marah padanya esok pagi. Laki-laki itu selalu mengatakan tak pernah mau menginap, apalagi tinggal di tempat ini. Terserah apa yang akan terjadi esok, Lara sendiri pun sudah lelah. Ia menggelar karpet yang tak cukup tebal di lantai, melapisi dengan selimut lain yang ia miliki. Lara sadar, Aksa tidak mungkin mau berbagi ranjang, apalagi, ranjang miliknya juga sempit. Tidak akan nyaman jika mereka berdua tidur di tempat yang sama. Beruntungnya, Lara dapat jadwal shift tanggung. Dia bisa datang jam sepuluh pagi, jadi dia masih memiliki banyak waktu untuk beristirahat. Tapi sayangnya, Aksa tak kunjung bangun. Padahal waktu sudah menunjukkan jam delapan pagi. Lara memberanikan diri duduk di ranjang samping tubuh Aksa yang masih saja lelap. Mengamati dalam diam, pahatan tegas laki-laki di hadapannya. Bibir tebal dan jambang yang mulai tumbuh, mungkin sekitar dua hari lalu Aksa mencukurnya, tapi bulu-bulu itu sudah mulai menghiasi rahang kuat laki-laki itu. Alis Aksa tebal, hidungnya mancung. Bibir yang biasa mengatup datar itu pagi ini terlihat sedikit terbuka. Meskipun keduanya sering berbagi peluh, tapi Aksa tidak pernah menciumnya. Jangankan mencium, sangat jarang Aksa menatap ke matanya langsung ketika mereka sedang bersama. Pergerakan ringan di tubuh Aksa membuat Lara meloncat dari tempatnya. Ia bergegas memundurkan tubuhnya sampai di ujung pintu, berdiri kaku ketika melihat mata laki-laki itu pelan-pelan terbuka. Aksa memegangi kepalanya, sambil berusaha mendudukan tubuhnya sendiri. "Dokter semalam datang ke sini dalam keadaan mabuk, diantar security club malam. Saya mau meminta untuk diantar pulang, tapi saya tidak tahu rumah dokter ada di mana. Nanya ke Kak Dewi atau Kak Siska pun sepertinya tidak berguna, mereka tentu sudah tidur di jam satu pagi." Aksa tak menjawab, masih terlihat berusaha menetralkan rasa sakit di kepalanya. "Dokter mau apa? Kopi? At—." Tangan Aksa bergerak di udara, meminta Lara untuk diam. Wanita itu menurut, berdiri di ujung pintu tanpa pergerakan. "Ini jam berapa?" Suara serak terdengar, Aksa sudah mulai bicara. "Delapan, lebih lima belas menit." "Kamu masuk kerja jam berapa?" "Sepuluh, dok. Jam setengah sepuluh saya berangkat." "Mana ponsel saya?" Lara mengedarkan pandangan menuju meja rias di lantai. Dia mengambil ponsel Aksa yang semalam ia temukan di kantong celananya, lalu menyerahkan pada laki-laki itu. Aksa bermain dengan ponselnya sebentar, lalu turun dari ranjang. "Buatkan aku kopi, Ra." "Baik, dok." "Eh, Ra.." panggil Aksa. Lara yang hendak membuka handle pintu mengurungkan niatnya. "Kalau besok saya mabuk dan ke sini lagi, kamu antar ke alamat yang baru saja saya kirim ke kamu. Saya juga sudah transfer kamu, untuk ganti biaya menginap di sini malam ini." Sudah? "Ada lagi, dok?" "Tidak." Lara keluar kamar, menuju dapur kos-nya yang ada di lantai satu. Sebenarnya, Lara punya dispenser, tapi untuk urusan kopi, Aksa selalu lebih suka air yang benar-benar mendidih. Cukup lama ia mengambil waktunya di dapur, memanaskan air, bahkan dia yang tidak suka kopi terpaksa harus membeli kopi di warung terdekat. Saat kopi sudah siap, Lara membawanya ke lantai dua. Tapi tidak ada Aksa di sana, dari depan pintu kamar kos-nya, Lara menemukan Aksa sedang berjalan menuju taksi yang sedang menunggunya. Tanpa pamit, tanpa ucapan terima kasih.Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti
"Gila, lo 'pakai' seketaris sendiri, Sa?" "Diam. Jangan pernah bahas masalah itu di sini." Telunjuk Aksa tepat berada di depan wajah Bagas, menunjukan keseriusan. Laki-laki berpakaian necis dan rambut ber-pomade itu menggeleng-gelengkan kepala, duduk di sofa ruang kerja Aksa tanpa dipersilahkan. Satu kakinya bersila di paha, sedang satu tangannya bertengger di bahu sofa. Seperti biasa, Bagas selalu menunjukan kekuasaan, tidak pernah merasa takut meskipun mungkin kalimatnya bisa menyakiti orang lain. Aksa berpura-pura acuh, mengabaikan sahabat yang lebih mirip disebut detektif jika dihadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar. "Kenapa bisa wanita itu?" tanya laki-laki itu lagi. Matanya tak pernah lepas memperhatikan Aksa yang sudah kembali duduk di meja kerjanya. "Ini terjadi begitu saja, anggap saja kelepasan, udah," jawabnya ambigu. Dia sendiri tak yakin dengan jawaban yang keluar dari bibirnya. "Kelepasan mana yang jadi kebiasaan, Aksaa?" Tawa sumbang terdengar menyebalk
Hujan meramaikan malam yang hening, suara berisik air jatuh, lalu petir menyambar-nyambar. Sama seperti suasana di dalam mobil hitam milik Aksa yang sedang membelah jalanan kota Jakarta, meskipun sudah hampir sepuluh menit mobil ini berjalan, tidak ada yang berniat membuka percakapan, membiarkan dingin mendominasi, seperti orang asing yang baru saja saling mengenal.Tapi, bukankah keduanya memang orang asing? Kedekatan keduanya hanya terjalin karena kerjasama—, saling membutuhkan.Lara menepati janji, pulang bersama Aksa setelah uang dengan nominal yang cukup besar masuk ke dalam rekeningnya. Uang yang menjanjikan kesengsaraan, karena dia akan kembali tersakiti ketika bersama Aksa. Ada secuil perasaan rendah, Lara menemani laki-laki yang sudah memiliki calon tunangan, laki-laki yang mencintai wanita lain. Tetapi demi uang, Lara tetap menguatkan langkah.Mulai detik ini, Lara harus mulai mencari cara lain untuk mendapatkan uang, karena ketika Aksa sudah berada di dalam ikatan, keduanya
Di awal hari, di ujung malam. Lara terbangun, menemukan tangan besar melingkar di perutnya yang rata, lengan kokoh ditumbuhi bulu halus tipis tertangkap tak tahu diri. Biasanya, mereka berdua tidak pernah sedekat ini, tidur dalam satu ranjang setelah malam panas yang dihabiskan bersama. Suasana dingin malam dan pendingin ruangan yang berpadu meninabobokkan keduanya, tidak sampai menit ke lima, Lara sudah bermain di alam mimpi. Lara tertidur, sial memang sedang berpihak padanya. Pekerjaan melelahkan yang menguras seluruh tenaga Lara, belum lagi ibunya yang masuk ICU membuatnya tak mendapat istirahat cukup. Lara benar-benar lelah, dan setelah Aksa menguras hampir seluruh sisa tenaganya membuat tubuhnya menyerah, ia tertidur setelah Aksa juga lebih dulu terlelap. Namun Tuhan masih berbaik hati, membiarkan Lara terbangun dan memberi kesempatan padanya untuk pergi dari situasi yang bisa membuatnya mendapat amukan Aksa esok hari. Tangan mungil Lara bergerak mencoba melepaskan diri,
Rasanya kesal, bangun seorang diri, sedangkan malam tadi ada Lara yang menemani tidurnya. Dia bahkan sempat memanggil nama wanita itu dua kali, berharap Lara ada di bathroom, atau mungkin wanita itu hanya sedang berjalan-jalan ke luar membeli roti. Tapi sayangnya, panggilannya tak terjawab, Aksa memang ditinggal sendiri di kamar hotel ini. Melepaskan kekesalan dengan kembali memejamkan kedua mata, nyatanya pilihan itu sama sekali tak sedikitpun mengusir gundah. Matanya kembali terbuka, menatap kosong ke atap hotel berwarna putih. Rasanya kosong, hatinya hampa di tengah harta dan kekuasaan yang berlimpah. Aksa mencoba mengalihkan perhatiannya, tangannya bergerak mengambil ponsel di nakas, membuka beberapa pesan yang sempat terabaikan karena ia disibukan menjahili tubuh Lara. Salah satu pesan dari orang suruhan yang memberikan informasi perihal keluarga kedua papanya. Setelah cukup lama diam, tak bertindak, Aksa memutuskan mencari tahu. Berusaha menjauhkan keluarga itu dari Tuan Asad,
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa