Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.
Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup. Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa. "Lima puluh juta, untuk karyawan yang baru saja kontrak satu tahun bulan lalu. Itu tidak mungkin kami proses, Laaraa." Nada bicara Aksa terdengar rendah, tapi penuh penekanan. Laki-laki yang sama sekali tidak melihat ke arahnya itu masih duduk di depan meja kerja, ketika Lara sebagai seketaris yang menemaninya lembur, berdiri tak jauh dari tempat laki-laki itu berada. "Saya benar-benar sangat membutuhkannya, dok." Lara jujur, berdiri dengan dua tangan bertaut cemas. Rambutnya tak lagi rapi, setelah seharian dia bekerja, ditambah tiga jam waktu tambahan lembur menemani Aksa. Tubuhnya lelah, begitupun otaknya yang butuh istirahat. "Ekonomi itu memang menjadi satu-satunya hal yang dibutuhkan semua karyawan di tempat ini, oleh sebabnya mereka bekerja. Artinya, semua masalah orang itu sama." Lara memutar otak, mencoba mencari-cari alasan untuk mempermudah proses pengajuan hutang di kantor. Rumah sakit Al Fayaadh bisa memberikan pinjaman pada karyawan, tanpa bunga, karena fungsi pinjaman ini bukan untuk mencari untung, tapi membantu karyawan yang sedang kesulitan, seperti dirinya. "Ibu saya sakit." Tawa sumbang terdengar dari bibir laki-laki di hadapannya. Aksa menyeruput kopi hitam di mejanya yang sudah mendingin, berhenti mengerjakan pekerjaan yang Lara ketahui tidak ada. Aksa mengatakan sudah selesai, ketika Lara memberanikan diri menemui laki-laki itu sepuluh menit lalu. "Bulan lalu juga ada yang mengajukan hutang seratus juta, katanya ibunya sakit. Tapi tiba-tiba beli mobil baru." Tubuh Aksa bersandar di punggung kursi, menutupi senyum miringnya dengan tangan. "Saya tidak lagi menerima alasan itu." Laki-laki itu kembali menegakan tubuh, menutup laptop yang masih standby display di hadapannya. "Mentang-mentang pinjaman di kantor itu cicilannya kecil, bukan berarti fasilitas bisa dimanfaatkan untuk hal-hal konsumtif begitu." "Tapi saya jujur, dok." "Sudahlah, ini sudah malam, lebih baik kita pulang. Besok ada rapat pagi, kan?" Aksa memasukan laptop ke dalam tas kerja miliknya, memakai jasnya kembali dan berniat pergi ketika Lara tiba-tiba berdiri menghalangi langkahnya. "Saya tidak bisa approve ajuanmu, Ra. Kamu baru di masa kontrak satu tahun, dan gajimu tidak akan cukup untuk membayar cicilannya." "Saya akan melakukan apapun untuk mendapatkan uang itu. Perusahaan bisa langsung kontrak saya sepuluh tahun jika perlu." "Tidak bisa." Jawaban Aksa tegas, dengan manik mata tajam yang mengikat. Mata laki-laki itu bergerak mengamati Lara, memaksa wanita itu menundukan kepalanya ketika mata keduanya bertemu. "Kita pulang," putus laki-laki itu. Aksa kembali mengambil jalan di samping Lara, tetapi dengan cepat wanita itu kembali menutupi jalannya. "Kalau begitu, saya hutang ke dr. Aksa saja." Lara bersimpuh di depan Aksa, meletakan kedua tangannya di paha sambil memejamkan kedua mata. Rasa malunya sudah dikubur dalam, bagi Lara yang terpenting adalah kesehatan ibu. "Saya membutuhkan uang itu." Mata Aksa menatap Lara dalam, lama. Seakan otaknya sedang merangkai berbagai macam jalan cerita. "Kamu mau bayar pakai apa?" Pertanyaan yang diucap dengan nada rendah, mendengarnya saja bulu halus disekitar tubuh Lara menegang. Lara takut, berharap Aksa tidak marah atau justru bisa jadi laki-laki itu memecatnya karena terlalu berani. "Gaji." "Gajimu tidak seberapa." Lara mengangkat kepala, kali ini, ia memberanikan diri masuk ke bola mata hazel milik Aksa, indah namun mematikan dalam waktu yang sama. Lara mencoba merangkai jawaban yang bisa meluluhkan hati atasannya. Namun pada akhirnya, bibirnya tetap mengatup rapat. Tidak ada alasan yang ia berikan untuk meyakinkan Aksa. "Kamu masih perawan, Ra?" Sontak Lara berdiri, membawa matanya menantang Aksa. Kedua mata itu bertaut dalam waktu yang cukup lama, Lara mencoba membaca arah pertanyaan Aksa yang ambigu. Perawan? Lara masih perawan, tapi menebak maksud pertanyaan Aksa membuat Lara kebingungan. Lara menemukan manik mata hazel itu teramat dekat di hadapannya. Jambang yang sudah mulai panjang, dan bibir tebal yang bergerak membasahi miliknya sendiri. "Aku hanya menawarimu, tapi tidak harus kamu terima. Aku bisa membeli keperawananmu, lima puluh juta tidak masalah." Deg. "Yang penting, masih perawan." Aksa masih menunggu jawaban Lara, setelah lima menit pertanyaan itu dilontar tanpa jawaban. Lara kalah, ia berakhir dengan kembali menundukan kepalanya. Mata Lara menatap kosong ke arah sepatu pantofel hitam mengkilat milik Aksa, yang kemudian pergi meninggalkan Lara tanpa jawaban. Suara pintu ditutup dari luar melepaskan ketegangan yang menggantung di seluruh tubuh Lara. Wanita itu bernafas lega, mendudukan tubuhnya di sofa yang terletak di tengah ruangan. Selama bekerja, Lara tidak pernah mendengar tentang kehidupan pribadi atasannya. Aksa juga tidak pernah membawa teman wanitanya ke kantor, ataupun terdengar sedang sibuk bersama kekasihnya di akhir pekan. Aksa hanya datang, bekerja dan pulang. Itu saja. Tawaran itu sangat mempengaruhi Lara. Cara tercepat dan termudah untuk bisa mendapatkan uang. Tetapi dia harus mengorbankan keperawanan? Tapi bukankah itu sama sekali tidak sebanding dengan nyawa ibu dan pendidikan Lira. Keesokan paginya, mereka berdua bekerja seperti biasa. Keduanya sama-sama profesional, tidak membahas sedikitpun masalah di luar pekerjaan. Sore menjelang, sekitar pukul lima sore, Lara memberanikan diri kembali menemui Aksa sebelum laki-laki itu pulang. Lara masuk ke ruangan Aksa saat laki-laki itu sibuk memasukan barang ke dalam tas kerja. "Dok." "Heem." "Saya ... ingin … membahas —tawaran yang kemarin." Lama Lara berfikir, nyatanya hidup tidak memberikan pilihan lain. Jika bisa dia memilih menjual ginjal untuk mendapatkan uang, dia pasti akan melakukannya. Tapi sayang, dia tidak tahu cara menawarkan ginjalnya. Aktivitas Aksa berhenti mendengar kalimat Lara yang diucap terbata, laki-laki itu memaksakan senyumnya, sambil melihat sekilas ke arah Lara. "Lupakan, Ra. Sepertinya saya sedang aneh malam kemarin." "Tapi, dok—." "Sudah ya, saya tidak mau bahas lagi." Barang bawaan Aksa sudah siap, ia hendak berjalan ke luar ruangan sebelum tiba-tiba Lara kembali menutupi jalannya. Tubuh keduanya nyaris berbenturan. Terlihat kesal, tapi Aksa tetap kembali menahan diri untuk meladeni anak buahnya. "Tawaran sudah tidak berlaku." "Kalau begitu, malam ini saya yang menawarkan diri pada dr. Aksa. Saya masih perawan, tidak pernah pacaran. Apa dokter mau membeli keperawanan saya?" "Kamu ... bukan tipe saya." "Bukankah ini hanya tentang keperawanan?" "Saya tidak nyaman kamu bahas seperti ini di kantor, ngerti, Ra?!" Kalimat Aksa bernada tinggi, laki-laki itu mulai terlihat tidak suka dengan Lara yang berusaha menerobos masuk. "Saya serius, saya butuh uang." Intinya itu. Lara tidak akan menyampaikan lagi alasannya, Lara tidak ingin Aksa merasa kembali ditipu. Sudahlah, biar alasan dia sendiri yang menyimpan. "Ra ..." "Saya mohon, dok." "Saya tunggu kamu di basement. Langsung masuk ke mobil, jangan sampai orang tau." Aksa pergi mendahuluinya. Sempat kehilangan logika mendengar permintaan Aksa, tapi Lara bergegas membereskan barang milik pribadinya yang akan di bawa pulang, lalu menyusul Aksa ke basement rumah sakit. Dia tahu mobil Aksa, di mana parkiran khusus direksi. Lara pernah dibawa meeting luar bersama Kak Dewi waktu di masa percobaan. Entah apa yang akan terjadi di depan, Lara tidak peduli. Karena yang dia butuhkan adalah uang, hal yang paling sulit dicari untuk manusia miskin seperti dirinya. Lara memastikan keadaan basement aman, bola matanya penuh waspada melihat ke kanan dan ke kiri, seperti hendak ingin menyeberang jalan besar. Ada beberapa karyawan yang lalu lalang, Lara dengan sabar menunggu sampai basement benar-benar sepi. Setelah merasa aman, Lara segera masuk ke mobil sedan hitam yang terparkir di dekat lift khusus direksi. "Kok di belakang?" Aksa bertanya dengan kedua alis menyatu. "Biasanya saya duduk di sini, dok." "Kamu pikir saya sopir?" Lara tidak mau suasana hati Aksa berubah suram, sepertinya dia harus pindah ke depan. Sebelum Aksa meminta, Lara pindah ke samping laki-laki itu. "Lama banget," keluh Aksa sekali lagi. "Jam pulang karyawan, dok. Ramai." Lara menyampaikan alasan satu-satunya yang membuatnya lama sampai di mobil. Lara melihat Aksa mengenakan sabuk pengamannya, lalu ikut melakukan hal yang sama. "Kita mau ke mana?" "Saya antar kamu pulang." "Hah?" "Kamu ngarepnya apa?" "Ti-tidak ada, dok. Saya ikut saja." Apa Aksa menolaknya? Lara kembali bersedih, harus di mana ia mencari uang sebanyak itu dalam waktu yang cepat? "Saya mau membuat peraturan untuk hal ini, kamu tidak bisa menambah dan mengurangi." Eh, Aksa menerima tawarannya? Antara senang dan takut, Lara mendengar penjelasan Aksa dengan seksama. "Saya transfer lima puluh juta untuk keperawananmu, tapi jika suatu saat saya butuh, saya bisa datang kapanpun saya mau, saya bayar setiap 'pakai'. Intinya, f*e for service gitu." Lara mendengar, hatinya tercubit kecil, tapi ia memilih abai. "Tidak boleh ada yang tau tentang rahasia ini, tidak boleh melibatkan perasaan. Jujur ya, Ra. Saya cuma laki-laki dewasa yang mau bersenang-senang dengan cari aman dan harus bersih. Kamu tidak boleh melakukan dengan orang lain selain saya, sampai saya bilang selesai.” Aksa menyampaikan peraturan-peraturan yang sepertinya sudah terangkai rapi. Sambil memegang kemudi, sesekali ia melihat ke arah Lara untuk memastikan wanita itu mendengarnya. "Kamu dengar, Ra?" "Dengar, dok." "Kalau denger itu ya jawab." "Baik, dok." "Sekarang arahkan saya ke kos-mu." Lara memberi alamat kos-nya, cukup jauh dari tempat kerja karena Lara mencari kos yang termurah. Perjalanan panjang yang biasanya membosankan berubah mendebarkan. Lara merasa waktu untuk sampai ke kos-nya semakin panjang, karena debar cemas di hatinya yang tak karuan. Dia? Aksa? Bagaimana bisa? “Kirim nomer rekeningmu,” titah Aksa, begitu mobilnya berhenti di depan gerbang tempat tujuan. Laki-laki itu berkutat dengan ponsel ketika sudah menerima pesan dari Lara. “Saya sudah transfer, saya tambah lima juta. Kamu pakai untuk cek kesehatan, dan perawatan. Saya mau barang yang saya mau beli bersih dan wangi, jangan gunakan untuk yang lain uang lima juta itu." "Baik, dok. Sekarang—, saya boleh turun?" "Hem." "Terima kasih, dr. Aksa." Tangan Lara memutar handle, lalu kakinya bergerak cepat ke luar mobil. Berada di dalam tempat yang sama dengan Aksa dalam waktu yang cukup lama membuat dadanya sesak. Lara masuk ke dalam kamar lalu mendudukan tubuhnya di ranjang. Ia bergegas membuka ponsel, memastikan uang yang dikirim Aksa sudah sampai. Senyumnya terbentuk alami, membaca deretan angka yang terjejer rapi. Lara mengirim uang itu untuk kedua orangtuanya. Tugasnya setelah ini adalah menghabiskan uang lima juta sesuai instruksi Aksa, sebelum tugas besar menantinya di depan sana. Sebelum, takdir memainkan kuasanya.Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti
"Gila, lo 'pakai' seketaris sendiri, Sa?" "Diam. Jangan pernah bahas masalah itu di sini." Telunjuk Aksa tepat berada di depan wajah Bagas, menunjukan keseriusan. Laki-laki berpakaian necis dan rambut ber-pomade itu menggeleng-gelengkan kepala, duduk di sofa ruang kerja Aksa tanpa dipersilahkan. Satu kakinya bersila di paha, sedang satu tangannya bertengger di bahu sofa. Seperti biasa, Bagas selalu menunjukan kekuasaan, tidak pernah merasa takut meskipun mungkin kalimatnya bisa menyakiti orang lain. Aksa berpura-pura acuh, mengabaikan sahabat yang lebih mirip disebut detektif jika dihadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar. "Kenapa bisa wanita itu?" tanya laki-laki itu lagi. Matanya tak pernah lepas memperhatikan Aksa yang sudah kembali duduk di meja kerjanya. "Ini terjadi begitu saja, anggap saja kelepasan, udah," jawabnya ambigu. Dia sendiri tak yakin dengan jawaban yang keluar dari bibirnya. "Kelepasan mana yang jadi kebiasaan, Aksaa?" Tawa sumbang terdengar menyebalk
Hujan meramaikan malam yang hening, suara berisik air jatuh, lalu petir menyambar-nyambar. Sama seperti suasana di dalam mobil hitam milik Aksa yang sedang membelah jalanan kota Jakarta, meskipun sudah hampir sepuluh menit mobil ini berjalan, tidak ada yang berniat membuka percakapan, membiarkan dingin mendominasi, seperti orang asing yang baru saja saling mengenal.Tapi, bukankah keduanya memang orang asing? Kedekatan keduanya hanya terjalin karena kerjasama—, saling membutuhkan.Lara menepati janji, pulang bersama Aksa setelah uang dengan nominal yang cukup besar masuk ke dalam rekeningnya. Uang yang menjanjikan kesengsaraan, karena dia akan kembali tersakiti ketika bersama Aksa. Ada secuil perasaan rendah, Lara menemani laki-laki yang sudah memiliki calon tunangan, laki-laki yang mencintai wanita lain. Tetapi demi uang, Lara tetap menguatkan langkah.Mulai detik ini, Lara harus mulai mencari cara lain untuk mendapatkan uang, karena ketika Aksa sudah berada di dalam ikatan, keduanya
Di awal hari, di ujung malam. Lara terbangun, menemukan tangan besar melingkar di perutnya yang rata, lengan kokoh ditumbuhi bulu halus tipis tertangkap tak tahu diri. Biasanya, mereka berdua tidak pernah sedekat ini, tidur dalam satu ranjang setelah malam panas yang dihabiskan bersama. Suasana dingin malam dan pendingin ruangan yang berpadu meninabobokkan keduanya, tidak sampai menit ke lima, Lara sudah bermain di alam mimpi. Lara tertidur, sial memang sedang berpihak padanya. Pekerjaan melelahkan yang menguras seluruh tenaga Lara, belum lagi ibunya yang masuk ICU membuatnya tak mendapat istirahat cukup. Lara benar-benar lelah, dan setelah Aksa menguras hampir seluruh sisa tenaganya membuat tubuhnya menyerah, ia tertidur setelah Aksa juga lebih dulu terlelap. Namun Tuhan masih berbaik hati, membiarkan Lara terbangun dan memberi kesempatan padanya untuk pergi dari situasi yang bisa membuatnya mendapat amukan Aksa esok hari. Tangan mungil Lara bergerak mencoba melepaskan diri,
Rasanya kesal, bangun seorang diri, sedangkan malam tadi ada Lara yang menemani tidurnya. Dia bahkan sempat memanggil nama wanita itu dua kali, berharap Lara ada di bathroom, atau mungkin wanita itu hanya sedang berjalan-jalan ke luar membeli roti. Tapi sayangnya, panggilannya tak terjawab, Aksa memang ditinggal sendiri di kamar hotel ini. Melepaskan kekesalan dengan kembali memejamkan kedua mata, nyatanya pilihan itu sama sekali tak sedikitpun mengusir gundah. Matanya kembali terbuka, menatap kosong ke atap hotel berwarna putih. Rasanya kosong, hatinya hampa di tengah harta dan kekuasaan yang berlimpah. Aksa mencoba mengalihkan perhatiannya, tangannya bergerak mengambil ponsel di nakas, membuka beberapa pesan yang sempat terabaikan karena ia disibukan menjahili tubuh Lara. Salah satu pesan dari orang suruhan yang memberikan informasi perihal keluarga kedua papanya. Setelah cukup lama diam, tak bertindak, Aksa memutuskan mencari tahu. Berusaha menjauhkan keluarga itu dari Tuan Asad,
Detik berjalan, waktu pun berlalu begitu cepat. Perjalanan hidup yang tak sempat terekam, terlalu sibuk dengan dunia yang hendak dikejar. Waktu seperti dipecut hilang, tiba-tiba kamu merasa asing dengan lingkungan sekitar, sendiri dan tak ada teman. Di tengah gelapnya malam, seorang wanita duduk terpaku di atas ranjang, dengan kedua tangan menggenggam ponselnya erat-erat, tak ada pergerakan sedikitpun dari wanita itu. Hening, hanya suara jarum jam dinding yang bergerak detik demi detik. Kondisi ibu semakin kritis. Pesan yang baru saja Lara terima sekian menit yang lalu, di ujung malam yang senyap ketika tiba-tiba matanya terjaga. Kabar yang paling tidak ingin didengar, kondisi yang paling Lara takuti. Ibunya ... sedang berjuang melawan maut. Dengan tangan bergetar Lara mengusap wajah, melepas ketegangan dan berakhir di bibir. Tangannya menekan di sana, agar tangis tak lepas. Beragam rencana terangkai di kepala Lara, pengajuan cuti dan pulang ke kampung halaman. Satu minggu yang lal
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa