Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.
Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.
Kak Dewi :
Ada gosip, yang digosok semakin siip.
Kak Siska :
Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.
Kak Dewi :
Jelas, dooong.
Kak Siska :
Apaan tuh?
Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu sama dengan dirinya, sedang lembur. Bedanya, Koko lembur di kantor, sedang Lara membawa pekerjaannya ke kos.
Lara kembali membuka grup pesan 'trio kece', karena notifikasinya mulai ramai, lebih dari sepuluh pesan. Mungkin saja ada pembahasan yang memang menggugah selera.
Kak Dewi :
Calon istri baby bear besok mau dateeeng.
Kak Siska :
Serius lo? Waaah baby bear gue akhirnya dapat pawaang.
Kak Dewi :
Gosip gue nggak pernah diragukan beeb.
Kak Siska :
Semoga moodswing-nya berkuraaang deh.
Lara terpaku, membaca baitan pesan yang membuat hati dan matanya terasa panas. Sempat berhenti, tak lagi berniat tahu, tapi pada akhirnya dia tetap membawa matanya ke pesan yang paling akhir di grup itu.
Calon istri? Bukankah seharusnya terdengar baik?
Otak di kepalanya tak lagi bisa diajak bekerja sama. Lara meletakan ponselnya dengan asal ke meja, lalu membuang nafas berkali-kali. Kenapa harus? Dia bersedih?
Bunyi notifikasi grup di ponsel kembali membuat Lara tertarik, ia menguatkan tekad sebelum akhirnya kembali memberanikan diri membuka pesan. Ada banyak pesan, semuanya berisi cerita yang hampir sama, kebahagiaan kedua seniornya yang mendengar atasan mereka hendak menikah. Kebahagiaan yang tidak menular, karena Lara justru merasakan sebaliknya. Dari puluhan pesan itu, hanya satu yang menarik perhatian Lara.
Kak Dewi :
Namanya Savira Andini, fotonya ada kok di i* baby bear, cek ajaaa. Cantiknya udah melebihi pevita pearce.
Lihat? Tidak? Lihat? Tidak? Lihat.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang tidak tahu diri. Lara membawa jarinya bergerak mencari aplikasi berlogo kamera di ponselnya, menuliskan nama Aksa di kolom pencarian, membuka satu persatu foto laki-laki itu yang dibagikan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Lara menemukan sosok wanita itu karena koleksi foto yang dimiliki Aksa tidak sebanyak manusia pada umumnya.
Dan benar, wanita itu cantik. Aksa membagikan potret keduanya yang masih berseragam abu-abu. Aksa duduk di samping wanita itu yang sedang memeluknya. Sebuah caption romantis Aksa bubuhkan di sana, the one and only. Caption yang benar-benar mempresentasikan keberadaan wanita itu di hati Aksa.
Bukannya tangis, tapi Lara justru menyunggingkan senyum tipis di wajahnya. Mungkin memang saatnya ia berhenti, karena Aksa akan segera mendapatkan wanita yang layak untuk dijadikan pendamping.
Bodoh, gumamnya dalam hati.
Jemari Lara kembali membuka pesan di grup yang sudah mulai sepi, mungkin kedua teman kerjanya itu sudah mulai bergelung dalam mimpi. Lara mengetik pesan, dan mengirimkan pesan itu sebelum ikut mulai memejamkan mata.
Me :
Waaah, ikuut seneng. Semoga bahagiaa dr. Aksa, nggak rewel lagi ❤️❤️ Akhirnya, baby bear-nya Kak Dewi sudah menemukan pawang yang tepat.
Keesokan harinya, Lara bekerja seperti biasa. Ada beberapa pekerjaan yang belum sempat terselesaikan karena Lara memilih tidur malam kemarin. Pagi ini, ia sudah dipusingkan dengan Aksa yang tak berhenti mengomeli keteledorannya, tidak membuat laporan yang ia butuhkan.
"Saya jelas banget lho, Ra. Ngasih tugasnya kemarin, saya rinci detail, terus kenapa bisa nggak selesai?"
Lara berdiri sambil menundukan kepala, menemukan lubang di ujung kiri sepatu pantofel hitam miliknya. Ingatkan dia untuk membawa sepatunya ke tukang tambal, bagaimanapun dia harus memperbaiki penampilannya, karena Lara adalah seorang seketaris direksi.
"Lara!"
"Eh—iya, dok?"
"Kamu dengar apa kata saya?" Mata Aksa menatapnya tajam, suara yang dia keluarkan pun meninggi satu oktaf.
"I—, tidak." Dia memang yang salah. "Tiga puluh menit lagi saya selesaikan, dok. Saya janji."
Aksa mengeratkan rahang, mengambil waktu cukup lama untuk menetralkan marah. "Undur saja rapatnya," putus laki-laki itu akhirnya. "Mundur empat puluh menit." Nada dari kalimatnya pun sudah kembali rendah.
"Ba-baik."
"Bilang sama bagian YANMED (pelayanan medis) kalau rapatnya diundur, meskipun kamu dikasih waktu cuma tiga puluh menit, jangan sampai ada yang salah lagi."
"Ba-baik, dok."
Lara bergegas keluar dari ruang kerja Aksa, segera menyelesaikan pekerjaannya dalam tempo waktu sesingkat-singkatnya. Dia tidak punya waktu merutuki kebodohannya sendiri, ia lebih membutuhkan otak yang jernih agar bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu dan minim kesalahan.
Keberuntungan sedang berpihak, Lara bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat di tiga puluh menit lebih dua detik. "Syukurlah, huuuft."
"Kelar, Ra?" tanya Kak Dewi. Meskipun mereka berdua duduk di meja berseberangan, wanita itu tidak mengganggu Lara sewaktu ia menyelesaikan pekerjannya.
"Selesai, Kak. Gilaa, kena marah aku."
"Wajaar, doi suka marah. Deg-deg an mungkin, nanti calon istrinya datang."
"Hah? Secepat itu?" Eh, Lara segera mengubah mimik wajah keterkejutannya. "Maksudku, kan baru semalam Kakak share, udah secepat itu dia datang?"
"Mereka udah kenal lama keleus, Raa. Udah temen dari SMA. Kaya Dilan Milea, sayangnya Dilan sama Milea nggak nikah, tapi ini Dilan versi beda."
Lara mengalihkan perhatiannya, berpura-pura abai dan sibuk menyiapkan buku untuk notulensi. "Aku ke ruang rapat dulu ya, Kak."
"Oke, good luck, Laraa."
Meskipun ada kekhawatiran di hatinya, Lara berusaha terlihat biasa saja. Ia mulai menyiapkan ruang rapat, menata air mineral dan snack ringan di meja, menyiapkan proyektor dan kursi-kursi. Sepuluh menit kemudian, peserta rapat sudah mulai banyak berdatangan, mulai dari bagian pelayanan, penunjang medis maupun non medis. Dan yang terakhir datang, tentu saja si pemegang tahta tertinggi hierarki rumah sakit Al-Fayaadh.
"Langsung saja dimulai."
"Baik, dok."
Beberapa pemaparan, mulai dari inovasi hingga laporan kendala pelayanan dibahas. Biasanya, rapat dengan bagian pelayanan itu paling lama menghabiskan waktu, karena kompleksitas masalah yang terjadi di sana. Banyak yang didiskusikan membuat rapat pagi ini terasa hidup. Dokter Aksa yang memimpin rapat selalu bisa berdiri sebagai pemimpin tegas yang bijaksana.
Tanpa sadar, Lara mengamati dalam diam. Laki-laki itu lebih bersih dari biasanya, jambangnya dicukur rapi, pakaiannya pun terlihat ... pas. Bukan berarti biasanya dr. Aksa berantakan, hanya saja, hari ini beliau lebih terlihat sangat berkelas.
Tetapi Lara lupa alasan dibalik penampilan Aksa pagi ini, tentu saja bukan untuk membuatnya terpukau, melainkan untuk menyambut seorang wanita yang paling berarti di dalam hidup laki-laki itu.
Sosok seorang wanita yang langsung bisa menarik perhatian Aksa di detik pertama wanita itu masuk ke ruangan ini. Seorang wanita yang berdiri di samping dr. Alina, yang diperkenalkan sebagai dokter anak baru yang mulai sekarang akan ikut meramaikan pelayanan.
Namanya dr. Savi, seorang wanita yang bisa menarik senyum Aksa dengan begitu mudah.
Lalu Lara mulai meraba perasaannya sendiri yang kerdil, bahkan dia merutuki dirinya sendiri yang iri melihat senyum dan tatapan Aksa yang tak pernah lepas dari wanita itu. Pancaran rasa yang tak mudah ditutupi.
Ya, Lara sadar sejak dulu, cintanya memang tidak mungkin pernah bersambut. Dan mulai detik ini, Lara semakin yakin, rumah Aksa sudah dihuni lama, oleh satu nama yang indah ketika di-eja.
Dokter Savira Andini spesialis Anak.
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti
"Gila, lo 'pakai' seketaris sendiri, Sa?" "Diam. Jangan pernah bahas masalah itu di sini." Telunjuk Aksa tepat berada di depan wajah Bagas, menunjukan keseriusan. Laki-laki berpakaian necis dan rambut ber-pomade itu menggeleng-gelengkan kepala, duduk di sofa ruang kerja Aksa tanpa dipersilahkan. Satu kakinya bersila di paha, sedang satu tangannya bertengger di bahu sofa. Seperti biasa, Bagas selalu menunjukan kekuasaan, tidak pernah merasa takut meskipun mungkin kalimatnya bisa menyakiti orang lain. Aksa berpura-pura acuh, mengabaikan sahabat yang lebih mirip disebut detektif jika dihadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar. "Kenapa bisa wanita itu?" tanya laki-laki itu lagi. Matanya tak pernah lepas memperhatikan Aksa yang sudah kembali duduk di meja kerjanya. "Ini terjadi begitu saja, anggap saja kelepasan, udah," jawabnya ambigu. Dia sendiri tak yakin dengan jawaban yang keluar dari bibirnya. "Kelepasan mana yang jadi kebiasaan, Aksaa?" Tawa sumbang terdengar menyebalk
Hujan meramaikan malam yang hening, suara berisik air jatuh, lalu petir menyambar-nyambar. Sama seperti suasana di dalam mobil hitam milik Aksa yang sedang membelah jalanan kota Jakarta, meskipun sudah hampir sepuluh menit mobil ini berjalan, tidak ada yang berniat membuka percakapan, membiarkan dingin mendominasi, seperti orang asing yang baru saja saling mengenal.Tapi, bukankah keduanya memang orang asing? Kedekatan keduanya hanya terjalin karena kerjasama—, saling membutuhkan.Lara menepati janji, pulang bersama Aksa setelah uang dengan nominal yang cukup besar masuk ke dalam rekeningnya. Uang yang menjanjikan kesengsaraan, karena dia akan kembali tersakiti ketika bersama Aksa. Ada secuil perasaan rendah, Lara menemani laki-laki yang sudah memiliki calon tunangan, laki-laki yang mencintai wanita lain. Tetapi demi uang, Lara tetap menguatkan langkah.Mulai detik ini, Lara harus mulai mencari cara lain untuk mendapatkan uang, karena ketika Aksa sudah berada di dalam ikatan, keduanya
Di awal hari, di ujung malam. Lara terbangun, menemukan tangan besar melingkar di perutnya yang rata, lengan kokoh ditumbuhi bulu halus tipis tertangkap tak tahu diri. Biasanya, mereka berdua tidak pernah sedekat ini, tidur dalam satu ranjang setelah malam panas yang dihabiskan bersama. Suasana dingin malam dan pendingin ruangan yang berpadu meninabobokkan keduanya, tidak sampai menit ke lima, Lara sudah bermain di alam mimpi. Lara tertidur, sial memang sedang berpihak padanya. Pekerjaan melelahkan yang menguras seluruh tenaga Lara, belum lagi ibunya yang masuk ICU membuatnya tak mendapat istirahat cukup. Lara benar-benar lelah, dan setelah Aksa menguras hampir seluruh sisa tenaganya membuat tubuhnya menyerah, ia tertidur setelah Aksa juga lebih dulu terlelap. Namun Tuhan masih berbaik hati, membiarkan Lara terbangun dan memberi kesempatan padanya untuk pergi dari situasi yang bisa membuatnya mendapat amukan Aksa esok hari. Tangan mungil Lara bergerak mencoba melepaskan diri,
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa