Share

BAB 4 - Pain.

Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.

Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.

Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.

Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba ditahan meskipun sudah banyak terlepas. Suara pertemuan dua tubuh manusia menjadi alunan melodi penuh gelora, bergerak dalam tempo cepat dan tak beraturan.

"Dok ..." Lara tak kuat, kakinya bergerak menutup diri, tapi tentu saja Aksa tak memudahkan keinginannya.

"Jangan bergerak," cegah Aksa. Tangannya kembali memperlebar jarak, membuatnya semakin lelusa bergerak. "Aku hampir sampai."

Lima menit yang lalu, Aksa sudah mengucapkan itu, tapi hingga detik ini, tidak ada yang selesai. Posisinya masih tetap sama, berada di dalam kuasa sang Maha. Lara merasakan tulangnya yang hampir remuk, malam ini, Aksa bukan hanya menggagahi, tetapi juga melepas segudang emosi yang seakan memuncak.

Lara nyaris menyerah, ketika himpitan dari tubuh di belakangnya semakin menyiksa. Detik di mana ia pasrah, Aksa bergerak semakin cepat, lalu mengeluarkan semuanya di dalam tubuhnya.

Aksa menarik diri, memungut celana dan memakainya sambil berjalan ke arah balkon. Di sana, ia kembali menghidupkan rokok. Batang ketiga yang Lara hitung sejak mereka bertemu malam tadi.

Lara masih membiarkan tubuhnya di ranjang, masih di posisi yang sama dengan tatapan nanar ke arah Aksa di balik pintu kaca besar gorden putih transparan. Lara mengambil banyak, sebanyak-banyaknya yang bisa ia rekam di kepalanya. Jika suatu saat nanti ia merindu, maka Lara bisa kembali memutar ingatan di kepalanya. Hanya begitu saja, itu sudah cukup. Lara tak berniat memiliki lebih selain kenangan.

Meskipun ironisnya, tidak ada yang pernah cukup di dunia ini.

Tangan Lara berangsur bergerak, tak berniat memperlama waktu temu. Ia menumpukan tubuhnya di ranjang sejenak, sebelum akhirnya memungut jubah mandi yang tadi ia pakai setelah mandi. Lara menutupi tubuh polosnya, berjalan dengan kaki telanjang menyusul Aksa di balkon.

Tempat ini indah, berada di ketinggian lantai sepuluh, di sebuah hotel mewah pusat kota Jakarta. Mata Lara sempat dimanjakan dengan pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, lampu kelap-kelip berjalan dari mobil yang sedang mengitari air mancur. Di desa, dia tidak akan menemukan pemandangan yang sama.

Geraman kasar menarik kembali Lara ke dunianya. Berdiri canggung, mencuri pandang ke arah laki-laki bertelanjang dada yang duduk di kursi kayu tak jauh dari tempatnya berdiri. "Apa malam ini sudah selesai, dok?"

"Hem."

"Aku ... akan pulang." Ada secuil harapan tipis di hati Lara, berharap laki-laki itu memintanya untuk tinggal, atau sekedar mengantarkannya pulang. Malam sudah larut, Lara sendiri sedikit takut pulang di jam malam seperti ini.

Tapi harapannya hanya sebatas mimpi, karena Aksa tak mencegahnya, bahkan melihat ke arahnya pun tidak.

Lara berganti pakaian di kamar mandi hotel, kembali mengenakan pakaian yang ia gunakan saat pulang dari sanggar tari. Saat keluar dari kamar mandi, sudah ada Aksa di sana. Duduk di sofa bench yang ada di dekat ranjang. Sudah tak ada lagi rokok di tangannya, hanya segelas minuman beralkohol yang tidak Lara ketahui namanya.

"Aku sudah transfer, aku lebihin buat naik taksi. Pakai taksi hotel aja, terlalu bahaya pulang di malam hari," ucapnya penuh penekanan.

Aksa mengkhawatirkannya?

"Aku hanya tidak ingin disalahkan jika sesuatu yang terjadi denganmu."

Ternyata bukan. Dia hanya mencari aman.

"Ya, dok." Lara tak lagi berniat lama tinggal, mengambil tas selempang miliknya lalu keluar dari kamar hotel.

Satu tarikan nafas dalam diambil ketika Lara menutup pintu dari luar, lalu melepasnya kasar. Kenapa bisa, interaksi diantara dua manusia serumit ini?

Lara mengikuti perintah Aksa, pulang menggunakan taksi yang tersedia di hotel. Sepanjang jalan, Lara berperang dengan otaknya sendiri. Perlukah ia mengakhiri hubungannya dengan Aksa? Karena tentu saja, ia sadar, siapa yang akan paling tersakiti dalam cerita ini. 

Tetapi bagaimana dengan ibunya? Bukankah Lara tidak boleh egois? Dia butuh uang, lebih tepatnya, ibunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit jika masih ingin bertahan. Biarkan dosa dan sakit dia sendiri yang merasakan, karena bagi Lara, keluarga itu di atas segalanya.

"Sudah sampai, Mbak."

Ucapan  sopir taksi menyadarkan Lara dari lamunan. Mengambil dua lembar uang ratusan, lalu menyerahkan ke sopir tua yang malam ini mengantarkannya. "Terima kasih, Pak."

"Mbak," panggil sopir itu lagi.

Lara yang hendak membuka handle pintu mobil menghentikan pergerakannya, ia kembali duduk, meletakan attensi-nya pada sopir. "Ya?"

"Tarifnya berapa semalam?"

Wajahnya berubah pias, menegang sesaat ketika jantungnya terasa jatuh dari tempatnya. Apakah dirinya sudah mirip dengan wanita murahan?

"Maaf, tapi say—."

"Bukan untuk saya kok, Mbak. Kalau saya mah nggak mungkin mampu 'pakai' punya orang-orang kaya. Hehe. Ini buat bos saya, biasanya suka 'pakai'."

Lara tak menanggapi, memilih berjalan cepat keluar taksi. Perjalanan yang biasanya singkat ke kamar kos-nya berubah lama, karena Lara disibukan menekan perasaan kacau di hati. Kakinya berjalan tergesa nyaris terjatuh di tangga. Satu tetes air mata ikut jatuh tanpa permisi, dengan cepat Lara menghapusnya. Tidak perlu! Seharusnya, Lara tidak berhak menangis. Karena pilihan ini, dia sendiri yang menentukan.

Sopir tadi pun tak salah, menilai seorang wanita yang datang bersama pria kaya, lalu pulang sendiri setelah tinggal beberapa jam. Apa namanya?

Lara menyalahkan dinginnya malam yang membuat tubuhnya menegang, bahkan hanya sekedar memasukan kunci ke dalam lubang pun Lara kesulitan. Tangannya bergetar, sambil menahan isak yang menggantung di ujung lidah.

"Sial," desisnya pelan. Lara mengumpat ketika ia kembali gagal. Beristirahat sejenak, ia menengadahkan kepala, mencoba mengisi oksigen sebanyak-banyaknya, menahan tangis, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali memasukan kunci.

Akhirnya berhasil. Pintu kamar Lara masih bagus, semuanya berfungsi dengan baik.

Tangan Lara menekan handle lalu tubuhnya masuk ke dalam kamar. Wanita itu menjatuhkan diri ke lantai begitu saja. Ia melepas tangis yang sedari tadi coba ditekan, menutupi wajahnya dengan tangan, berharap bisa kembali bernafas lega setelah tangisnya, tapi nyatanya, tangis tak kunjung berhenti. Lara masih saja kacau.

Bagaimana bisa takdirnya serumit ini?

Lara menidurkan tubuhnya di lantai, meringkuk seperti bayi kedinginan yang butuh kehangatan. Dunia sedang menunjuk ke arahnya. Jika ada pilihan yang lebih mudah, tentu dia tidak ingin memilih jalan ini sebagai pintu pintasan. Tetapi terkadang, hidup tidak memberikan pilihan.

Cukup lama, Lara tenggelam dalam kesedihan. Hingga akhirnya tertidur di gelap malam kamarnya. Jangan ditanya apa yang terjadi di hari esok, karena tentu saja dia tetap bekerja, dengan badan yang terasa remuk di sana sini.

"Kenapa sih lo, Ra?" Kak Dewi yang pagi ini berangkat pagi bersamanya mulai curiga. "Sakit?"

"Cuma pegel doang badannya."

"Habis ngapain, sih? Hari Minggu itu dipakai istirahaat, Beeeb. Jangan malah keluyuran mentang-mentang masih muda."

Tidak memberikan tanggapan, karena Lara tidak melakukan apa yang wanita itu tuduhkan. Lara masih melanjutkan aktivitasnya, memijat tengkuknya yang kaku karena tidur di lantai dalam waktu lama.

Kak Dewi meninggalkan Lara, lima menit kemudian datang membawakan segelas jahe hangat, lalu meletakan di meja Lara. "Buat lo, anak gadis. Jangan capek-capek, hari masih pagi, kita masih punya waktu delapan jam yang berat."

"Terima kasih, Kaaak." Lara menerima teh jahe buatan Kak Dewi, langsung menyeruput kehangatannya. Benar kata Kak Dewi, hari Senin pagi baru dimulai, artinya tidak boleh ada keluhan karena pekerjaan yang menunggu sudah mengantre panjang. "Ini enak," puji Lara.

"Yuhuu, kesukaan baby bear itu, doi demen banget kalau lagi capek dibuatin teh jahe hangat."

Ah, kenapa harus laki-laki itu kembali dibahas?

Lara tertegun, sekejap, sebelum dengan cepat kembali mengambil alih logika. Berniat kembali menyesap teh jahe sebelum tiba-tiba Aksa datang dari pintu masuk ruangan.

"Lara ke ruangan saya," titah laki-laki itu tanpa melihat ke arahnya.

"Ba-baik, dok." Matanya refleks melihat ke arah Kak Dewi yang berdiri di samping tubuhnya.

Wanita itu hanya menjawab kegundahan Lara dengan kedikan bahu. "Moodswing-nya beraasaaa banget. Sabar ya, semangat bestieee!"

Baiklah, sepertinya, hari ini tidak-lah mudah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status