Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.
Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.
Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.
Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba ditahan meskipun sudah banyak terlepas. Suara pertemuan dua tubuh manusia menjadi alunan melodi penuh gelora, bergerak dalam tempo cepat dan tak beraturan.
"Dok ..." Lara tak kuat, kakinya bergerak menutup diri, tapi tentu saja Aksa tak memudahkan keinginannya.
"Jangan bergerak," cegah Aksa. Tangannya kembali memperlebar jarak, membuatnya semakin lelusa bergerak. "Aku hampir sampai."
Lima menit yang lalu, Aksa sudah mengucapkan itu, tapi hingga detik ini, tidak ada yang selesai. Posisinya masih tetap sama, berada di dalam kuasa sang Maha. Lara merasakan tulangnya yang hampir remuk, malam ini, Aksa bukan hanya menggagahi, tetapi juga melepas segudang emosi yang seakan memuncak.
Lara nyaris menyerah, ketika himpitan dari tubuh di belakangnya semakin menyiksa. Detik di mana ia pasrah, Aksa bergerak semakin cepat, lalu mengeluarkan semuanya di dalam tubuhnya.
Aksa menarik diri, memungut celana dan memakainya sambil berjalan ke arah balkon. Di sana, ia kembali menghidupkan rokok. Batang ketiga yang Lara hitung sejak mereka bertemu malam tadi.
Lara masih membiarkan tubuhnya di ranjang, masih di posisi yang sama dengan tatapan nanar ke arah Aksa di balik pintu kaca besar gorden putih transparan. Lara mengambil banyak, sebanyak-banyaknya yang bisa ia rekam di kepalanya. Jika suatu saat nanti ia merindu, maka Lara bisa kembali memutar ingatan di kepalanya. Hanya begitu saja, itu sudah cukup. Lara tak berniat memiliki lebih selain kenangan.
Meskipun ironisnya, tidak ada yang pernah cukup di dunia ini.
Tangan Lara berangsur bergerak, tak berniat memperlama waktu temu. Ia menumpukan tubuhnya di ranjang sejenak, sebelum akhirnya memungut jubah mandi yang tadi ia pakai setelah mandi. Lara menutupi tubuh polosnya, berjalan dengan kaki telanjang menyusul Aksa di balkon.
Tempat ini indah, berada di ketinggian lantai sepuluh, di sebuah hotel mewah pusat kota Jakarta. Mata Lara sempat dimanjakan dengan pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, lampu kelap-kelip berjalan dari mobil yang sedang mengitari air mancur. Di desa, dia tidak akan menemukan pemandangan yang sama.
Geraman kasar menarik kembali Lara ke dunianya. Berdiri canggung, mencuri pandang ke arah laki-laki bertelanjang dada yang duduk di kursi kayu tak jauh dari tempatnya berdiri. "Apa malam ini sudah selesai, dok?"
"Hem."
"Aku ... akan pulang." Ada secuil harapan tipis di hati Lara, berharap laki-laki itu memintanya untuk tinggal, atau sekedar mengantarkannya pulang. Malam sudah larut, Lara sendiri sedikit takut pulang di jam malam seperti ini.
Tapi harapannya hanya sebatas mimpi, karena Aksa tak mencegahnya, bahkan melihat ke arahnya pun tidak.
Lara berganti pakaian di kamar mandi hotel, kembali mengenakan pakaian yang ia gunakan saat pulang dari sanggar tari. Saat keluar dari kamar mandi, sudah ada Aksa di sana. Duduk di sofa bench yang ada di dekat ranjang. Sudah tak ada lagi rokok di tangannya, hanya segelas minuman beralkohol yang tidak Lara ketahui namanya.
"Aku sudah transfer, aku lebihin buat naik taksi. Pakai taksi hotel aja, terlalu bahaya pulang di malam hari," ucapnya penuh penekanan.
Aksa mengkhawatirkannya?
"Aku hanya tidak ingin disalahkan jika sesuatu yang terjadi denganmu."
Ternyata bukan. Dia hanya mencari aman.
"Ya, dok." Lara tak lagi berniat lama tinggal, mengambil tas selempang miliknya lalu keluar dari kamar hotel.
Satu tarikan nafas dalam diambil ketika Lara menutup pintu dari luar, lalu melepasnya kasar. Kenapa bisa, interaksi diantara dua manusia serumit ini?
Lara mengikuti perintah Aksa, pulang menggunakan taksi yang tersedia di hotel. Sepanjang jalan, Lara berperang dengan otaknya sendiri. Perlukah ia mengakhiri hubungannya dengan Aksa? Karena tentu saja, ia sadar, siapa yang akan paling tersakiti dalam cerita ini.
Tetapi bagaimana dengan ibunya? Bukankah Lara tidak boleh egois? Dia butuh uang, lebih tepatnya, ibunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit jika masih ingin bertahan. Biarkan dosa dan sakit dia sendiri yang merasakan, karena bagi Lara, keluarga itu di atas segalanya.
"Sudah sampai, Mbak."
Ucapan sopir taksi menyadarkan Lara dari lamunan. Mengambil dua lembar uang ratusan, lalu menyerahkan ke sopir tua yang malam ini mengantarkannya. "Terima kasih, Pak."
"Mbak," panggil sopir itu lagi.
Lara yang hendak membuka handle pintu mobil menghentikan pergerakannya, ia kembali duduk, meletakan attensi-nya pada sopir. "Ya?"
"Tarifnya berapa semalam?"
Wajahnya berubah pias, menegang sesaat ketika jantungnya terasa jatuh dari tempatnya. Apakah dirinya sudah mirip dengan wanita murahan?
"Maaf, tapi say—."
"Bukan untuk saya kok, Mbak. Kalau saya mah nggak mungkin mampu 'pakai' punya orang-orang kaya. Hehe. Ini buat bos saya, biasanya suka 'pakai'."
Lara tak menanggapi, memilih berjalan cepat keluar taksi. Perjalanan yang biasanya singkat ke kamar kos-nya berubah lama, karena Lara disibukan menekan perasaan kacau di hati. Kakinya berjalan tergesa nyaris terjatuh di tangga. Satu tetes air mata ikut jatuh tanpa permisi, dengan cepat Lara menghapusnya. Tidak perlu! Seharusnya, Lara tidak berhak menangis. Karena pilihan ini, dia sendiri yang menentukan.
Sopir tadi pun tak salah, menilai seorang wanita yang datang bersama pria kaya, lalu pulang sendiri setelah tinggal beberapa jam. Apa namanya?
Lara menyalahkan dinginnya malam yang membuat tubuhnya menegang, bahkan hanya sekedar memasukan kunci ke dalam lubang pun Lara kesulitan. Tangannya bergetar, sambil menahan isak yang menggantung di ujung lidah.
"Sial," desisnya pelan. Lara mengumpat ketika ia kembali gagal. Beristirahat sejenak, ia menengadahkan kepala, mencoba mengisi oksigen sebanyak-banyaknya, menahan tangis, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali memasukan kunci.
Akhirnya berhasil. Pintu kamar Lara masih bagus, semuanya berfungsi dengan baik.
Tangan Lara menekan handle lalu tubuhnya masuk ke dalam kamar. Wanita itu menjatuhkan diri ke lantai begitu saja. Ia melepas tangis yang sedari tadi coba ditekan, menutupi wajahnya dengan tangan, berharap bisa kembali bernafas lega setelah tangisnya, tapi nyatanya, tangis tak kunjung berhenti. Lara masih saja kacau.
Bagaimana bisa takdirnya serumit ini?
Lara menidurkan tubuhnya di lantai, meringkuk seperti bayi kedinginan yang butuh kehangatan. Dunia sedang menunjuk ke arahnya. Jika ada pilihan yang lebih mudah, tentu dia tidak ingin memilih jalan ini sebagai pintu pintasan. Tetapi terkadang, hidup tidak memberikan pilihan.
Cukup lama, Lara tenggelam dalam kesedihan. Hingga akhirnya tertidur di gelap malam kamarnya. Jangan ditanya apa yang terjadi di hari esok, karena tentu saja dia tetap bekerja, dengan badan yang terasa remuk di sana sini.
"Kenapa sih lo, Ra?" Kak Dewi yang pagi ini berangkat pagi bersamanya mulai curiga. "Sakit?"
"Cuma pegel doang badannya."
"Habis ngapain, sih? Hari Minggu itu dipakai istirahaat, Beeeb. Jangan malah keluyuran mentang-mentang masih muda."
Tidak memberikan tanggapan, karena Lara tidak melakukan apa yang wanita itu tuduhkan. Lara masih melanjutkan aktivitasnya, memijat tengkuknya yang kaku karena tidur di lantai dalam waktu lama.
Kak Dewi meninggalkan Lara, lima menit kemudian datang membawakan segelas jahe hangat, lalu meletakan di meja Lara. "Buat lo, anak gadis. Jangan capek-capek, hari masih pagi, kita masih punya waktu delapan jam yang berat."
"Terima kasih, Kaaak." Lara menerima teh jahe buatan Kak Dewi, langsung menyeruput kehangatannya. Benar kata Kak Dewi, hari Senin pagi baru dimulai, artinya tidak boleh ada keluhan karena pekerjaan yang menunggu sudah mengantre panjang. "Ini enak," puji Lara.
"Yuhuu, kesukaan baby bear itu, doi demen banget kalau lagi capek dibuatin teh jahe hangat."
Ah, kenapa harus laki-laki itu kembali dibahas?
Lara tertegun, sekejap, sebelum dengan cepat kembali mengambil alih logika. Berniat kembali menyesap teh jahe sebelum tiba-tiba Aksa datang dari pintu masuk ruangan.
"Lara ke ruangan saya," titah laki-laki itu tanpa melihat ke arahnya.
"Ba-baik, dok." Matanya refleks melihat ke arah Kak Dewi yang berdiri di samping tubuhnya.
Wanita itu hanya menjawab kegundahan Lara dengan kedikan bahu. "Moodswing-nya beraasaaa banget. Sabar ya, semangat bestieee!"
Baiklah, sepertinya, hari ini tidak-lah mudah.
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti
"Gila, lo 'pakai' seketaris sendiri, Sa?" "Diam. Jangan pernah bahas masalah itu di sini." Telunjuk Aksa tepat berada di depan wajah Bagas, menunjukan keseriusan. Laki-laki berpakaian necis dan rambut ber-pomade itu menggeleng-gelengkan kepala, duduk di sofa ruang kerja Aksa tanpa dipersilahkan. Satu kakinya bersila di paha, sedang satu tangannya bertengger di bahu sofa. Seperti biasa, Bagas selalu menunjukan kekuasaan, tidak pernah merasa takut meskipun mungkin kalimatnya bisa menyakiti orang lain. Aksa berpura-pura acuh, mengabaikan sahabat yang lebih mirip disebut detektif jika dihadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar. "Kenapa bisa wanita itu?" tanya laki-laki itu lagi. Matanya tak pernah lepas memperhatikan Aksa yang sudah kembali duduk di meja kerjanya. "Ini terjadi begitu saja, anggap saja kelepasan, udah," jawabnya ambigu. Dia sendiri tak yakin dengan jawaban yang keluar dari bibirnya. "Kelepasan mana yang jadi kebiasaan, Aksaa?" Tawa sumbang terdengar menyebalk
Hujan meramaikan malam yang hening, suara berisik air jatuh, lalu petir menyambar-nyambar. Sama seperti suasana di dalam mobil hitam milik Aksa yang sedang membelah jalanan kota Jakarta, meskipun sudah hampir sepuluh menit mobil ini berjalan, tidak ada yang berniat membuka percakapan, membiarkan dingin mendominasi, seperti orang asing yang baru saja saling mengenal.Tapi, bukankah keduanya memang orang asing? Kedekatan keduanya hanya terjalin karena kerjasama—, saling membutuhkan.Lara menepati janji, pulang bersama Aksa setelah uang dengan nominal yang cukup besar masuk ke dalam rekeningnya. Uang yang menjanjikan kesengsaraan, karena dia akan kembali tersakiti ketika bersama Aksa. Ada secuil perasaan rendah, Lara menemani laki-laki yang sudah memiliki calon tunangan, laki-laki yang mencintai wanita lain. Tetapi demi uang, Lara tetap menguatkan langkah.Mulai detik ini, Lara harus mulai mencari cara lain untuk mendapatkan uang, karena ketika Aksa sudah berada di dalam ikatan, keduanya
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa