Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.
Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.
Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar.
"Kak Lara, coba ajarkan lagi gerakan seblak sampur, Sasa belum ahli." Gadis kecil berkepang dua yang selalu rajin mengikuti kelas tari di sanggar ini, gadis keturunan Bali tapi sangat antusias belajar tarian jawa. "Gini, kan ya?" tanya Sasa sambil memposisikan gerakan.
Sasa menyusul Lara di ruang ganti, padahal jam latihan sudah habis.
Lara mengambil selendang yang ada di dekatnya, menggantungkan di leher Sasa, dan membenarkan posisi tangan dan kaki gadis kecil itu dengan telaten. "Begini, tangannya jangan kaku-kaku, coba dilemesin."
"Gini, Kak?" tanya gadis kecil itu sambil mengubah posisi tangan.
"Agak ditekuk lagi."
"Begini?"
"Sedikit lagi."
"Ah susah." Desah pasrah dengan garis wajah menyerah.
Lara mengambil selendang yang menggantung di leher gadis kecil itu, lalu melipatnya. "Sasa sudah belajar banyak hari ini, besok kita coba lagi ya."
"Aku pengen bisa kaya Kak Lara, tapi susah." Si gadis kecil mendudukan tubuhnya di kursi ruang ganti, terlihat dari kerut di wajahnya, ia kecewa dengan dirinya sendiri.
"Coba buka video dari Kakak, di rumah sambil belajar di depan kaca, bagaimana?"
Sasa mengangguk lemah.
"Suatu saat, Sasa pasti bisa jadi penari hebat."
"Oke, deh, besok coba lagi. See you, Kak Lara." Memaksakan diri untuk kembali berdiri, Sasa keluar dari ruang ganti meninggalkan Lara yang masih ada di sana seorang diri.
Latihan tari selesai pukul lima sore, ia masih memiliki waktu beberapa jam untuk belanja ke pasar sore untuk masak besok, lalu beristirahat dengan tenang di kamar kos kecil miliknya. Meskipun hidup dalam kesulitan, Lara selalu bisa bersyukur dengan semua yang ia miliki. Tubuh sehat, bisa melakukan hal yang ia sukai, dan juga ... memiliki sahabat yang baik.
"Udah lama nunggu?"
"Belum, baru setengah jam."
"Haha, itu namanya lamaaa."
"Ooh," jawab laki-laki itu datar.
Sahabatnya bernama Joko Susilo, Lara biasa memanggilnya Koko, atau lebih tepatnya laki-laki itu yang meminta dipanggil Koko. Katanya, supaya lebih keren, dan sebagai sahabat yang baik, Lara mengikuti kemauan Koko.
Koko adalah sahabat yang ia miliki sejak SMA, keduanya sekolah di tempat yang sama. Karena Koko juga-lah Lara memberanikan diri datang ke Jakarta, menyusul Koko untuk mencari rezeki. Dia punya sahabat yang bisa menjadi tempatnya berkeluh di sini.
"Aku laper." Koko memegangi perutnya, mengerutkan wajah yang dilebih-lebihkan. "Makan yuk."
"Mau makan apa?"
"Lele?"
"Boleh."
Seperti biasa, Koko membawakan helm untuk Lara. Jika tidak sedang lembur atau sibuk, keduanya pasti menyempatkan diri untuk bertemu. Hanya untuk makan bersama, ataupun sekedar duduk di kursi taman dekat kos Lara sambil makan cilok.
"Ayo naik, Kajol sudah bersih." Koko menamai motornya sendiri dengan sebutan 'kajol', karena merasa motornya cantik setelah banyak dipoles sana-sini. Koko menepuk jok belakang motornya untuk mempersilahkan Lara naik. "Pegangan ya, Ra. Aku sudah lapar soal e."
"Iyoo." Sesuai instruksi, kedua tangan Lara berpegangan di kaos Koko.
Motor matic berwarna hitam itu mulai berjalan, meskipun motor tua, tapi 'kajol' benar-benar terawat. Koko rajin service, dan oli samping pun sering diganti.
"Tumben nggak lembur hari Minggu, Ko?" Di sela panasnya kota Jakarta meskipun sudah sore, Lara membuka percakapan. Biasanya, Koko sering mengambil lembur di hari Minggu, alasan pertama karena dia tidak punya pacar, dan alasan kedua karena tunjangan lembur di tanggal merah lebih besar ketimbang hari biasa.
"Kangen toh sama kamu, bosen kerja teros, duitku masih banyak," ucapnya sarkas. Koko sama seperti dirinya, kalau jaman sekarang disebut sebagai 'generasi sandwich'. Selain untuk biaya hidup kedua orangtuanya yang sudah tua, Koko juga rajin mengirim uang adiknya untuk sekolah. Itu-lah yang membuat keduanya cukup dekat, mungkin karena senasib sepenanggungan.
"Aku amin-in sajalah, biar kamu senang."
Perhatian Lara terpecah. Saat motor masih berjalan, ponsel Lara berbunyi, cukup lama, hingga akhirnya wanita itu menyimpulkan bahwa panggilan itu benar-benar penting. Tidak jarang, meskipun libur, Lara masih disibukan dengan urusan pekerjaan. Biasanya, Kak Dewi ataupun Kak Siska meminta laporan yang memang bagian Lara.
Tetapi panggilan sekarang bukan dari kedua seniornya, melainkan dari pemegang tahta tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
**dr. Aksa calling**
"Siapa, Ra? Penting? Aku bisa minggir dulu kalau penting," tawar Koko.
"Nggak, nggak usah, tetap jalan saja."
Jika Aksa sendiri yang menghubunginya, tentu itu bukan untuk urusan pekerjaan. Aksa menghubunginya tidak akan jauh-jauh dari urusan nafsu. Lara kembali memasukan ponselnya ke tas, sebelum akhirnya dering itu berhenti dan sebuah pesan ia terima.
dr. Aksa
Nanti malam aku jemput, jam delapan.
Jemput? Tidak biasanya laki-laki itu membawanya pergi. Pernah, sesekali keduanya bertemu di luar kos Lara, tapi sangat jarang, bisa dihitung dengan jari padahal hubungan keduanya sudah berjalan lebih dari setahun.Me :
Baik.
Lara tak pernah menolak jika Aksa menginginkanya. Dia butuh uang, dan ya ... anggap saja Lara rakus, dia juga senang jika bisa bersama Aksa.
"Nanti aku nggak sampai malem ya, Ko. Mau lembur, jam tujuh dah sampai kos ya?" Lara berkata sambil sedikit berteriak, karena angin jalanan yang kencang dan suara motor yang berisik.
"Nggak mau makan cilok dulu di taman?" Suara Koko pun tak kalah kuat.
"Nggak, besok-besok aja."
"Okee deh."
Seperti jam yang disepakati, jam tujuh lewat lima belas menit, Lara dan Koko sudah sampai di kos Lara. Motornya berhenti tepat di depan gerbang, tepat di depan sebuah mobil yang Lara kenali. Mata Lara mampir sebentar ke arah mobil porsche berwarna putih yang terlihat mencolok, tapi sayang, ia tak menemukan apa pun karena kacanya yang gelap.
"Selamat lembur, yee."
"Heem, makasih ya sudah diantar."
"Okee, aku langsung pulang."
"Hati-hati."
Lara memastikan sosok Koko dan kajol menghilang di tikungan. Melihat waktu dengan jam di tangan kirinya, sedikit sangsi sudah menemukan mobil Aksa di pelataran kos miliknya. Bukankah laki-laki itu tadi mengatakan akan datang di jam delapan?
Jika Lara yang salah, suasana hati Aksa pasti berubah tidak mengenakan.
Kaki Lara berjalan menuju mobil Aksa, sambil mengeratkan genggaman tangannya di tali tas yang menggantung. Ia mengetuk jendela gelap yang terus turun menunjukan wajah pemiliknya.
"Langsung masuk aja," titah laki-laki itu.
Belum sampai menyapa, Lara sudah harus mengikuti kemauan Aksa. Malam ini, penampilan Aksa terlihat lebih santai. Memakai sweater turtle neck berwarna hitam dan celana jeans yang pas.
"Bukannya dokter tadi bilang jam delapan?" tanya Lara, ia sudah duduk di samping kemudi, berusaha duduk sejauh mungkin dekat pintu.
Aksa perfeksionis, tidak suka bau tidak sedap. Sedangkan penampakan dirinya saat ini sangat jauh dari kriteria laki-laki itu. Lara belum mandi, selepas latihan tari sejak siang tadi.
"Kamu pergi sama siapa tadi?" Tidak menjawab pertanyaan Lara, tapi Aksa justru melempar pertanyaan lainnya.
Akan terdengar indah jika laki-laki itu cemburu, tapi Lara yakin, bukan rasa itu yang ada di hati Aksa saat ini.
"Teman."
"Yakin?"
"Iya."
Aksa terdiam, membiarkan suara lagu dari radio di mobilnya mendominasi. Matanya fokus ke arah jalan, mulai keluar dari jalan gang yang menghubungkan langsung ke jalan raya.
"Aku cuma nggak suka, kalau sampai ada yang 'pakai' kamu selain aku. Aku suka sesuatu yang bersih, ngerti kan, Ra?"
Nah, mungkin akan lebih baik jika laki-laki itu diam, dibanding berbicara tapi terdengar menyakitkan seperti sekarang. Lara tak memutuskan menjawab, lebih mudah baginya melempar pandangan ke arah jalanan kota Jakarta yang ramai. Lebih bisa dinikmati ditengah malam yang pekat dan dada yang sesak.
"Ra, aku ngomong."
"Tenang, dok. Kalau sudah mulai jual diri untuk banyak pria, aku pasti bilang ke dr. Aksa. Biar kalau penyakitan, aku nggak nularin ke dokter," sindirnya lembut. Nada yang ia ucapkan sama sekali tidak terdengar marah, bahkan senyuman tipis sempat bertengger di wajahnya yang redup.
Lalu setelahnya, tidak ada lagi perbincangan. Lara pun juga tidak bertanya kemana laki-laki itu membawanya pergi. Akan sangat mudah bagi wanita itu untuk hanya sekedar mengikuti kemauan Aksa, pulang lalu mendapatkan uang.
Karena seharusnya, memang hanya seperti itu hubungan keduanya.
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti
"Gila, lo 'pakai' seketaris sendiri, Sa?" "Diam. Jangan pernah bahas masalah itu di sini." Telunjuk Aksa tepat berada di depan wajah Bagas, menunjukan keseriusan. Laki-laki berpakaian necis dan rambut ber-pomade itu menggeleng-gelengkan kepala, duduk di sofa ruang kerja Aksa tanpa dipersilahkan. Satu kakinya bersila di paha, sedang satu tangannya bertengger di bahu sofa. Seperti biasa, Bagas selalu menunjukan kekuasaan, tidak pernah merasa takut meskipun mungkin kalimatnya bisa menyakiti orang lain. Aksa berpura-pura acuh, mengabaikan sahabat yang lebih mirip disebut detektif jika dihadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar. "Kenapa bisa wanita itu?" tanya laki-laki itu lagi. Matanya tak pernah lepas memperhatikan Aksa yang sudah kembali duduk di meja kerjanya. "Ini terjadi begitu saja, anggap saja kelepasan, udah," jawabnya ambigu. Dia sendiri tak yakin dengan jawaban yang keluar dari bibirnya. "Kelepasan mana yang jadi kebiasaan, Aksaa?" Tawa sumbang terdengar menyebalk