Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.
Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.
Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar.
"Kak Lara, coba ajarkan lagi gerakan seblak sampur, Sasa belum ahli." Gadis kecil berkepang dua yang selalu rajin mengikuti kelas tari di sanggar ini, gadis keturunan Bali tapi sangat antusias belajar tarian jawa. "Gini, kan ya?" tanya Sasa sambil memposisikan gerakan.
Sasa menyusul Lara di ruang ganti, padahal jam latihan sudah habis.
Lara mengambil selendang yang ada di dekatnya, menggantungkan di leher Sasa, dan membenarkan posisi tangan dan kaki gadis kecil itu dengan telaten. "Begini, tangannya jangan kaku-kaku, coba dilemesin."
"Gini, Kak?" tanya gadis kecil itu sambil mengubah posisi tangan.
"Agak ditekuk lagi."
"Begini?"
"Sedikit lagi."
"Ah susah." Desah pasrah dengan garis wajah menyerah.
Lara mengambil selendang yang menggantung di leher gadis kecil itu, lalu melipatnya. "Sasa sudah belajar banyak hari ini, besok kita coba lagi ya."
"Aku pengen bisa kaya Kak Lara, tapi susah." Si gadis kecil mendudukan tubuhnya di kursi ruang ganti, terlihat dari kerut di wajahnya, ia kecewa dengan dirinya sendiri.
"Coba buka video dari Kakak, di rumah sambil belajar di depan kaca, bagaimana?"
Sasa mengangguk lemah.
"Suatu saat, Sasa pasti bisa jadi penari hebat."
"Oke, deh, besok coba lagi. See you, Kak Lara." Memaksakan diri untuk kembali berdiri, Sasa keluar dari ruang ganti meninggalkan Lara yang masih ada di sana seorang diri.
Latihan tari selesai pukul lima sore, ia masih memiliki waktu beberapa jam untuk belanja ke pasar sore untuk masak besok, lalu beristirahat dengan tenang di kamar kos kecil miliknya. Meskipun hidup dalam kesulitan, Lara selalu bisa bersyukur dengan semua yang ia miliki. Tubuh sehat, bisa melakukan hal yang ia sukai, dan juga ... memiliki sahabat yang baik.
"Udah lama nunggu?"
"Belum, baru setengah jam."
"Haha, itu namanya lamaaa."
"Ooh," jawab laki-laki itu datar.
Sahabatnya bernama Joko Susilo, Lara biasa memanggilnya Koko, atau lebih tepatnya laki-laki itu yang meminta dipanggil Koko. Katanya, supaya lebih keren, dan sebagai sahabat yang baik, Lara mengikuti kemauan Koko.
Koko adalah sahabat yang ia miliki sejak SMA, keduanya sekolah di tempat yang sama. Karena Koko juga-lah Lara memberanikan diri datang ke Jakarta, menyusul Koko untuk mencari rezeki. Dia punya sahabat yang bisa menjadi tempatnya berkeluh di sini.
"Aku laper." Koko memegangi perutnya, mengerutkan wajah yang dilebih-lebihkan. "Makan yuk."
"Mau makan apa?"
"Lele?"
"Boleh."
Seperti biasa, Koko membawakan helm untuk Lara. Jika tidak sedang lembur atau sibuk, keduanya pasti menyempatkan diri untuk bertemu. Hanya untuk makan bersama, ataupun sekedar duduk di kursi taman dekat kos Lara sambil makan cilok.
"Ayo naik, Kajol sudah bersih." Koko menamai motornya sendiri dengan sebutan 'kajol', karena merasa motornya cantik setelah banyak dipoles sana-sini. Koko menepuk jok belakang motornya untuk mempersilahkan Lara naik. "Pegangan ya, Ra. Aku sudah lapar soal e."
"Iyoo." Sesuai instruksi, kedua tangan Lara berpegangan di kaos Koko.
Motor matic berwarna hitam itu mulai berjalan, meskipun motor tua, tapi 'kajol' benar-benar terawat. Koko rajin service, dan oli samping pun sering diganti.
"Tumben nggak lembur hari Minggu, Ko?" Di sela panasnya kota Jakarta meskipun sudah sore, Lara membuka percakapan. Biasanya, Koko sering mengambil lembur di hari Minggu, alasan pertama karena dia tidak punya pacar, dan alasan kedua karena tunjangan lembur di tanggal merah lebih besar ketimbang hari biasa.
"Kangen toh sama kamu, bosen kerja teros, duitku masih banyak," ucapnya sarkas. Koko sama seperti dirinya, kalau jaman sekarang disebut sebagai 'generasi sandwich'. Selain untuk biaya hidup kedua orangtuanya yang sudah tua, Koko juga rajin mengirim uang adiknya untuk sekolah. Itu-lah yang membuat keduanya cukup dekat, mungkin karena senasib sepenanggungan.
"Aku amin-in sajalah, biar kamu senang."
Perhatian Lara terpecah. Saat motor masih berjalan, ponsel Lara berbunyi, cukup lama, hingga akhirnya wanita itu menyimpulkan bahwa panggilan itu benar-benar penting. Tidak jarang, meskipun libur, Lara masih disibukan dengan urusan pekerjaan. Biasanya, Kak Dewi ataupun Kak Siska meminta laporan yang memang bagian Lara.
Tetapi panggilan sekarang bukan dari kedua seniornya, melainkan dari pemegang tahta tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
**dr. Aksa calling**
"Siapa, Ra? Penting? Aku bisa minggir dulu kalau penting," tawar Koko.
"Nggak, nggak usah, tetap jalan saja."
Jika Aksa sendiri yang menghubunginya, tentu itu bukan untuk urusan pekerjaan. Aksa menghubunginya tidak akan jauh-jauh dari urusan nafsu. Lara kembali memasukan ponselnya ke tas, sebelum akhirnya dering itu berhenti dan sebuah pesan ia terima.
dr. Aksa
Nanti malam aku jemput, jam delapan.
Jemput? Tidak biasanya laki-laki itu membawanya pergi. Pernah, sesekali keduanya bertemu di luar kos Lara, tapi sangat jarang, bisa dihitung dengan jari padahal hubungan keduanya sudah berjalan lebih dari setahun.Me :
Baik.
Lara tak pernah menolak jika Aksa menginginkanya. Dia butuh uang, dan ya ... anggap saja Lara rakus, dia juga senang jika bisa bersama Aksa.
"Nanti aku nggak sampai malem ya, Ko. Mau lembur, jam tujuh dah sampai kos ya?" Lara berkata sambil sedikit berteriak, karena angin jalanan yang kencang dan suara motor yang berisik.
"Nggak mau makan cilok dulu di taman?" Suara Koko pun tak kalah kuat.
"Nggak, besok-besok aja."
"Okee deh."
Seperti jam yang disepakati, jam tujuh lewat lima belas menit, Lara dan Koko sudah sampai di kos Lara. Motornya berhenti tepat di depan gerbang, tepat di depan sebuah mobil yang Lara kenali. Mata Lara mampir sebentar ke arah mobil porsche berwarna putih yang terlihat mencolok, tapi sayang, ia tak menemukan apa pun karena kacanya yang gelap.
"Selamat lembur, yee."
"Heem, makasih ya sudah diantar."
"Okee, aku langsung pulang."
"Hati-hati."
Lara memastikan sosok Koko dan kajol menghilang di tikungan. Melihat waktu dengan jam di tangan kirinya, sedikit sangsi sudah menemukan mobil Aksa di pelataran kos miliknya. Bukankah laki-laki itu tadi mengatakan akan datang di jam delapan?
Jika Lara yang salah, suasana hati Aksa pasti berubah tidak mengenakan.
Kaki Lara berjalan menuju mobil Aksa, sambil mengeratkan genggaman tangannya di tali tas yang menggantung. Ia mengetuk jendela gelap yang terus turun menunjukan wajah pemiliknya.
"Langsung masuk aja," titah laki-laki itu.
Belum sampai menyapa, Lara sudah harus mengikuti kemauan Aksa. Malam ini, penampilan Aksa terlihat lebih santai. Memakai sweater turtle neck berwarna hitam dan celana jeans yang pas.
"Bukannya dokter tadi bilang jam delapan?" tanya Lara, ia sudah duduk di samping kemudi, berusaha duduk sejauh mungkin dekat pintu.
Aksa perfeksionis, tidak suka bau tidak sedap. Sedangkan penampakan dirinya saat ini sangat jauh dari kriteria laki-laki itu. Lara belum mandi, selepas latihan tari sejak siang tadi.
"Kamu pergi sama siapa tadi?" Tidak menjawab pertanyaan Lara, tapi Aksa justru melempar pertanyaan lainnya.
Akan terdengar indah jika laki-laki itu cemburu, tapi Lara yakin, bukan rasa itu yang ada di hati Aksa saat ini.
"Teman."
"Yakin?"
"Iya."
Aksa terdiam, membiarkan suara lagu dari radio di mobilnya mendominasi. Matanya fokus ke arah jalan, mulai keluar dari jalan gang yang menghubungkan langsung ke jalan raya.
"Aku cuma nggak suka, kalau sampai ada yang 'pakai' kamu selain aku. Aku suka sesuatu yang bersih, ngerti kan, Ra?"
Nah, mungkin akan lebih baik jika laki-laki itu diam, dibanding berbicara tapi terdengar menyakitkan seperti sekarang. Lara tak memutuskan menjawab, lebih mudah baginya melempar pandangan ke arah jalanan kota Jakarta yang ramai. Lebih bisa dinikmati ditengah malam yang pekat dan dada yang sesak.
"Ra, aku ngomong."
"Tenang, dok. Kalau sudah mulai jual diri untuk banyak pria, aku pasti bilang ke dr. Aksa. Biar kalau penyakitan, aku nggak nularin ke dokter," sindirnya lembut. Nada yang ia ucapkan sama sekali tidak terdengar marah, bahkan senyuman tipis sempat bertengger di wajahnya yang redup.
Lalu setelahnya, tidak ada lagi perbincangan. Lara pun juga tidak bertanya kemana laki-laki itu membawanya pergi. Akan sangat mudah bagi wanita itu untuk hanya sekedar mengikuti kemauan Aksa, pulang lalu mendapatkan uang.
Karena seharusnya, memang hanya seperti itu hubungan keduanya.
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti
"Gila, lo 'pakai' seketaris sendiri, Sa?" "Diam. Jangan pernah bahas masalah itu di sini." Telunjuk Aksa tepat berada di depan wajah Bagas, menunjukan keseriusan. Laki-laki berpakaian necis dan rambut ber-pomade itu menggeleng-gelengkan kepala, duduk di sofa ruang kerja Aksa tanpa dipersilahkan. Satu kakinya bersila di paha, sedang satu tangannya bertengger di bahu sofa. Seperti biasa, Bagas selalu menunjukan kekuasaan, tidak pernah merasa takut meskipun mungkin kalimatnya bisa menyakiti orang lain. Aksa berpura-pura acuh, mengabaikan sahabat yang lebih mirip disebut detektif jika dihadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar. "Kenapa bisa wanita itu?" tanya laki-laki itu lagi. Matanya tak pernah lepas memperhatikan Aksa yang sudah kembali duduk di meja kerjanya. "Ini terjadi begitu saja, anggap saja kelepasan, udah," jawabnya ambigu. Dia sendiri tak yakin dengan jawaban yang keluar dari bibirnya. "Kelepasan mana yang jadi kebiasaan, Aksaa?" Tawa sumbang terdengar menyebalk
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa