"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.
Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.
Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."
Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk membantu pekerjaan semua direksi, termasuk salah satunya adalah Lara.
Lara adalah seketaris terbaru, dimana seniornya adalah Siska, dan Dewi yang pagi ini belum terlihat batang hidungnya.
"Dokter Aksa belom sampai, jangan lupa siapin air mineral dulu di mejanya daripada doi nyari nggak ada, bisa bikin badmood seharian."
"Siap, Kak."
Semua seketaris, harus memahami apa saja kebiasaan para direksi. Walaupun sebenarnya tugasnya lebih banyak tentang pengorganisasian kerja, tapi mereka juga harus tahu apa saja yang bisa membuat mood direksi tetap stabil dalam sehari. Jika sampai ada sesuatu yang mencetus mood buruk mereka, sudah dipastikan pekerjaan ketiga seketaris itu akan semakin lebih berat.
Mereka biasa menyebutnya dengan 'S3', Semua Serba Salah.
Lara baru saja meletakan air mineral di meja Aksa ketika laki-laki itu masuk ke dalam ruangan. Melihat sekilas ke arah Lara, lalu dengan cepat mengabaikan wanita itu. Aneh bukan? Semalam mereka berdua berbagai ranjang dan kenikmatan, sedang paginya, mereka berperan seperti dua manusia asing. Itu adalah salah satu peraturan mengikat dari Aksa yang harus dijalankan mereka berdua, yaitu : tidak ada pembahasan terkait hubungan di kantor dan bekerja secara profesional, Aksa adalah atasan dan Lara adalah seketarisnya. Tidak lebih.
"Mau kopi, dok?" Sebagai seketaris yang baik, Lara menawarkan minuman kesukaan atasannya. Tidak hanya dia, semua seketaris pasti melakukan hal yang sama.
Aksa hanya memberikan lambaian tangan sebagai jawaban, dan gerakan mengusir halus yang bisa Lara tangkap. Seperti yang diinstruksikan, Lara keluar dari ruangan Aksa. Berjalan menuju meja-nya sendiri. Pekerjaannya sudah menumpuk banyak, dia tidak ingin kembali mendapatkan murka jika pekerjaannya tidak selesai di waktu yang tepat.
"Mood Baby Bear sepertinya lagi jelek, gue sapa nggak jawab tau," celetuk Kak Siska tiba-tiba. Wanita itu memulai pembicaraan, sedang tangannya masih disibukkan membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja. Kita bertiga biasa menyebut dr. Aksa dengan sebutan baby bear, kata Kak Dewi karena tubuhnya yang besar seperti beruang. Sejujurnya, Lara tidak setuju jika postur laki-laki itu disamakan dengan beruang, dr. Aksa tidak gendut, tubuhnya atletis dan ... sudahlah, seharusnya pembahasan itu tidak boleh dibahas ketika baru mulai bekerja.
"Kak Dewi mana, Kak? Masuk pagi juga kan dia?"
"Sama dr. Alina, lagi muter kaya-nya."
"Oh."
Lara memulai pekerjaan, menyiapkan berkas dan data yang akan digunakan untuk rapat nanti jam satu siang. Duduk di depan layar dengan kacamata anti radiasi yang selalu tersedia di kantor. Tangannya bergerak lihai di atas keyboard, bermain dengan angka dan huruf. Menit kesekian, telepon di mejanya berdering. Tangannya bergerak mengangkat horne lalu mendekatkan ke telinga.
"Ha—."
"Siska suruh ke ruangan saya."
"Ba—."
Telepon diputus sepihak meskipun belum ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. "Kak, diminta ke ruangan dr. Aksa."
"Yassh, kenapa lagi itu si Baby Bear. Gue lagi ngehindar malah dipanggil." Ada kekhawatiran yang nampak di wajah Kak Siska, mengingat fakta yang disampaikan wanita itu tadi sebelumnya, mood dr. Aksa sedang tidak baik-baik saja. Sebenarnya bukan cuma hari ini, tapi sudah lebih dari seminggu ini, dr. Aksa dicap lebih 'susah' dari biasanya.
Kak Siska membawa kedua tangannya menengadah di depan dada sambil memejamkan kedua mata.
"Ngapain, Kak?" Lara menelisik dalam.
Siska mengusap kedua telapak tangan di wajah sebelum menjawab pertanyaan Lara. "Berdoa, semoga diberi keselamatan."
"Haha, ngawur."
Kak Siska terlihat berjalan ke ruangan dr. Aksa, membawa setumpuk berkas yang mungkin saja dibutuhkan laki-laki itu. Tak lama berselang, seketaris satu-nya datang. Kak Dewi berjalan di belakang dr. Alina yang disibukan dengan telepon genggam di telinga.
"Masuk temenin dr. Alina dulu, Ra. Gue mau siapin notulen inspeksi pagi ini," titah Kak Dewi.
"Baik, Kak."
Kak Dewi adalah seketaris ter-lama, sudah berkeluarga dan memiliki dua anak. Lara direkrut saat Kak Dewi cuti hamil dua tahun yang lalu. Karena memiliki kinerja yang bagus, dan rumah sakit pun berkembang semakin besar, Lara tetap dipertahankan.
"Dokter mau teh?" tawar Lara saat masuk ke dalam ruangan dr. Alina. Terlihat wanita itu sudah tak lagi menerima panggilan, tapi masih disibukan dengan ponsel.
"Boleh, Ra. Dua ya, sebentar lagi Mama mau ke sini."
"Baik, dok."
Dr. Alina adalah tipe atasan baik, pengertian dan yang jelas ... cantik, tidak perlu diperdebatkan. Garis keturunan timur tengah dengan hidung mancung dan mata berwarna coklat yang indah. Dr. Alina sudah bersuami, tetapi belum memiliki keturunan. Wanita itu sedang disibukan dengan program bayi tabung yang sering menyita perhatiannya akhir-akhir ini.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Nah, si ibu suri sudah datang. Biasa, dipanggil Ibu Halimah. Ibu dari dr. Alina dan dr. Aksa. Bu Halimah tinggal terpisah dari kedua anaknya yang sudah dewasa, hanya hidup berdua bersama dr. Asad Al Fayaadh di rumah besar kediaman keduanya.
Lara bergegas menyelesaikan teh seduhannya, menyiapkan dua cangkir teh hangat dan camilan yang sudah tersedia di meja pantry kecil di sudut ruangan. Dengan sopan, Lara menyajikan minuman di meja tengah diantara dr. Alina dan Bu Halimah.
"Ra, teh buat ibu manis, nggak?" tanya Bu Halimah, menghentikan langkah Lara yang berniat pergi.
"Manis, Bu."
"Yah, Ibu lupa bilang, saya sedang diet manis, minta tolong diganti teh tawar ya, Ra. Bisa?" Tutur kata lembut yang selalu terdengar adem di telinga Lara.
"Bisa, Bu."
"Terima kasih, Lara."
Keluarga Al Fayaadh adalah keluarga terpandang di dunia kesehatan, dr. Asad sendiri bergelar profesor besar yang banyak berkontribusi di dunia kesehatan, khususnya di bidang kedokteran neurologi. Lara sangat mengagumi bagaimana cara keluarga ini berinteraksi, saling menghormati dan bertutur kata yang baik. Sangat berbeda dengan keluarga yang ia miliki, himpitan ekonomi keluarganya banyak menimbulkan konflik, tidak jarang, ia mendengar pertengkaran di rumahnya sendiri.
Tapi bukankah, tempat terbaik adalah rumah? Lara tak ingin terlalu banyak membandingkan, dia bersyukur keluarganya masih utuh meskipun cobaan berat sedang menghantam dengan penyakit yang diderita ibunya saat ini.
"Mama sedang pusing."
"Pusing kenapa?"
"Sama Mas-mu itu."
Pembicaraan Bu Halimah dan dr. Alina terdengar di telinga Lara. Tangan Lara bergerak cepat menyelesaikan tugasnya, dia tidak terlalu nyaman mendengar pembicaraan orang lain yang seharusnya bukan hak-nya.
"Karena Mbak Savi lagi?"
"Iya."
Deg.
Namun, setelah mendengar nama asing yang dikaitkan dengan laki-laki itu, Lara justru semakin memperlebar pendengarannya. Savi? Siapa? Ia nyaris menahan nafas, antara tak siap tapi juga ingin tahu banyak.
"Kenapa lagi dengan Mas Aksa, Ma?" Suara dr. Alina terdengar menahan tawa.
"Ya itu, Savi mau pulang dari Jepang, Mas-mu mepet banget sama Papa, minta dijodohin sama Savi."
"Haha, yaa emang Mas itu naksir berat kan, Ma, sama Mbak Savi. Sejak dulu."
Dampak dari menyimpan perasaan yang tidak seharusnya menjadi miliknya memang sangat fatal. Entah kenapa, ribuan tusukan tak kasat mata dan sesak nafas di dadanya semakin menderu hebat. Lara menguatkan langkah, berjalan menuju sofa di mana Bu Halimah dan dr. Alina duduk. Ia meletakan minuman yang tadi dipesan, lalu permisi kembali ke ruangannya.
"Mau kemana, Ra?" tanya Mbak Dewi.
"Pipis bentar, Mbak."
Pada intinya dia berbohong, tidak ada sisa air di kandung kemih yang ingin ia keluarkan. Lara hanya duduk di kloset tertutup untuk sendiri, menetralkan perasaan kacau yang seharusnya memang tidak ia miliki. Dr. Aksa sangat pantas sudah memiliki pujaan hati, sedang dirinya hanyalah pemuas yang bisa mendapatkan uang dari transaksi yang mereka berdua lakukan.
Tidak boleh ada perasaan yang salah, bukankah keduanya berkewajiban profesional dalam bekerja?
Lara mencoba menikmati rasa sesak yang hebat di dadanya. Bahkan satu tangannya bergerak memukul pelan dadanya untuk mengusir ngilu.
Kenapaa sih guee!
Lara merutuki kebodohannya sendiri. Bukankah pengingat terbaik adalah rasa sakit? Seharusnya tidak ada rasa ini, seharusnya Lara tahu diri.
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar."Kak Lara, coba ajarkan lagi gera
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa