"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.
Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.
Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."
Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk membantu pekerjaan semua direksi, termasuk salah satunya adalah Lara.
Lara adalah seketaris terbaru, dimana seniornya adalah Siska, dan Dewi yang pagi ini belum terlihat batang hidungnya.
"Dokter Aksa belom sampai, jangan lupa siapin air mineral dulu di mejanya daripada doi nyari nggak ada, bisa bikin badmood seharian."
"Siap, Kak."
Semua seketaris, harus memahami apa saja kebiasaan para direksi. Walaupun sebenarnya tugasnya lebih banyak tentang pengorganisasian kerja, tapi mereka juga harus tahu apa saja yang bisa membuat mood direksi tetap stabil dalam sehari. Jika sampai ada sesuatu yang mencetus mood buruk mereka, sudah dipastikan pekerjaan ketiga seketaris itu akan semakin lebih berat.
Mereka biasa menyebutnya dengan 'S3', Semua Serba Salah.
Lara baru saja meletakan air mineral di meja Aksa ketika laki-laki itu masuk ke dalam ruangan. Melihat sekilas ke arah Lara, lalu dengan cepat mengabaikan wanita itu. Aneh bukan? Semalam mereka berdua berbagai ranjang dan kenikmatan, sedang paginya, mereka berperan seperti dua manusia asing. Itu adalah salah satu peraturan mengikat dari Aksa yang harus dijalankan mereka berdua, yaitu : tidak ada pembahasan terkait hubungan di kantor dan bekerja secara profesional, Aksa adalah atasan dan Lara adalah seketarisnya. Tidak lebih.
"Mau kopi, dok?" Sebagai seketaris yang baik, Lara menawarkan minuman kesukaan atasannya. Tidak hanya dia, semua seketaris pasti melakukan hal yang sama.
Aksa hanya memberikan lambaian tangan sebagai jawaban, dan gerakan mengusir halus yang bisa Lara tangkap. Seperti yang diinstruksikan, Lara keluar dari ruangan Aksa. Berjalan menuju meja-nya sendiri. Pekerjaannya sudah menumpuk banyak, dia tidak ingin kembali mendapatkan murka jika pekerjaannya tidak selesai di waktu yang tepat.
"Mood Baby Bear sepertinya lagi jelek, gue sapa nggak jawab tau," celetuk Kak Siska tiba-tiba. Wanita itu memulai pembicaraan, sedang tangannya masih disibukkan membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja. Kita bertiga biasa menyebut dr. Aksa dengan sebutan baby bear, kata Kak Dewi karena tubuhnya yang besar seperti beruang. Sejujurnya, Lara tidak setuju jika postur laki-laki itu disamakan dengan beruang, dr. Aksa tidak gendut, tubuhnya atletis dan ... sudahlah, seharusnya pembahasan itu tidak boleh dibahas ketika baru mulai bekerja.
"Kak Dewi mana, Kak? Masuk pagi juga kan dia?"
"Sama dr. Alina, lagi muter kaya-nya."
"Oh."
Lara memulai pekerjaan, menyiapkan berkas dan data yang akan digunakan untuk rapat nanti jam satu siang. Duduk di depan layar dengan kacamata anti radiasi yang selalu tersedia di kantor. Tangannya bergerak lihai di atas keyboard, bermain dengan angka dan huruf. Menit kesekian, telepon di mejanya berdering. Tangannya bergerak mengangkat horne lalu mendekatkan ke telinga.
"Ha—."
"Siska suruh ke ruangan saya."
"Ba—."
Telepon diputus sepihak meskipun belum ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. "Kak, diminta ke ruangan dr. Aksa."
"Yassh, kenapa lagi itu si Baby Bear. Gue lagi ngehindar malah dipanggil." Ada kekhawatiran yang nampak di wajah Kak Siska, mengingat fakta yang disampaikan wanita itu tadi sebelumnya, mood dr. Aksa sedang tidak baik-baik saja. Sebenarnya bukan cuma hari ini, tapi sudah lebih dari seminggu ini, dr. Aksa dicap lebih 'susah' dari biasanya.
Kak Siska membawa kedua tangannya menengadah di depan dada sambil memejamkan kedua mata.
"Ngapain, Kak?" Lara menelisik dalam.
Siska mengusap kedua telapak tangan di wajah sebelum menjawab pertanyaan Lara. "Berdoa, semoga diberi keselamatan."
"Haha, ngawur."
Kak Siska terlihat berjalan ke ruangan dr. Aksa, membawa setumpuk berkas yang mungkin saja dibutuhkan laki-laki itu. Tak lama berselang, seketaris satu-nya datang. Kak Dewi berjalan di belakang dr. Alina yang disibukan dengan telepon genggam di telinga.
"Masuk temenin dr. Alina dulu, Ra. Gue mau siapin notulen inspeksi pagi ini," titah Kak Dewi.
"Baik, Kak."
Kak Dewi adalah seketaris ter-lama, sudah berkeluarga dan memiliki dua anak. Lara direkrut saat Kak Dewi cuti hamil dua tahun yang lalu. Karena memiliki kinerja yang bagus, dan rumah sakit pun berkembang semakin besar, Lara tetap dipertahankan.
"Dokter mau teh?" tawar Lara saat masuk ke dalam ruangan dr. Alina. Terlihat wanita itu sudah tak lagi menerima panggilan, tapi masih disibukan dengan ponsel.
"Boleh, Ra. Dua ya, sebentar lagi Mama mau ke sini."
"Baik, dok."
Dr. Alina adalah tipe atasan baik, pengertian dan yang jelas ... cantik, tidak perlu diperdebatkan. Garis keturunan timur tengah dengan hidung mancung dan mata berwarna coklat yang indah. Dr. Alina sudah bersuami, tetapi belum memiliki keturunan. Wanita itu sedang disibukan dengan program bayi tabung yang sering menyita perhatiannya akhir-akhir ini.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Nah, si ibu suri sudah datang. Biasa, dipanggil Ibu Halimah. Ibu dari dr. Alina dan dr. Aksa. Bu Halimah tinggal terpisah dari kedua anaknya yang sudah dewasa, hanya hidup berdua bersama dr. Asad Al Fayaadh di rumah besar kediaman keduanya.
Lara bergegas menyelesaikan teh seduhannya, menyiapkan dua cangkir teh hangat dan camilan yang sudah tersedia di meja pantry kecil di sudut ruangan. Dengan sopan, Lara menyajikan minuman di meja tengah diantara dr. Alina dan Bu Halimah.
"Ra, teh buat ibu manis, nggak?" tanya Bu Halimah, menghentikan langkah Lara yang berniat pergi.
"Manis, Bu."
"Yah, Ibu lupa bilang, saya sedang diet manis, minta tolong diganti teh tawar ya, Ra. Bisa?" Tutur kata lembut yang selalu terdengar adem di telinga Lara.
"Bisa, Bu."
"Terima kasih, Lara."
Keluarga Al Fayaadh adalah keluarga terpandang di dunia kesehatan, dr. Asad sendiri bergelar profesor besar yang banyak berkontribusi di dunia kesehatan, khususnya di bidang kedokteran neurologi. Lara sangat mengagumi bagaimana cara keluarga ini berinteraksi, saling menghormati dan bertutur kata yang baik. Sangat berbeda dengan keluarga yang ia miliki, himpitan ekonomi keluarganya banyak menimbulkan konflik, tidak jarang, ia mendengar pertengkaran di rumahnya sendiri.
Tapi bukankah, tempat terbaik adalah rumah? Lara tak ingin terlalu banyak membandingkan, dia bersyukur keluarganya masih utuh meskipun cobaan berat sedang menghantam dengan penyakit yang diderita ibunya saat ini.
"Mama sedang pusing."
"Pusing kenapa?"
"Sama Mas-mu itu."
Pembicaraan Bu Halimah dan dr. Alina terdengar di telinga Lara. Tangan Lara bergerak cepat menyelesaikan tugasnya, dia tidak terlalu nyaman mendengar pembicaraan orang lain yang seharusnya bukan hak-nya.
"Karena Mbak Savi lagi?"
"Iya."
Deg.
Namun, setelah mendengar nama asing yang dikaitkan dengan laki-laki itu, Lara justru semakin memperlebar pendengarannya. Savi? Siapa? Ia nyaris menahan nafas, antara tak siap tapi juga ingin tahu banyak.
"Kenapa lagi dengan Mas Aksa, Ma?" Suara dr. Alina terdengar menahan tawa.
"Ya itu, Savi mau pulang dari Jepang, Mas-mu mepet banget sama Papa, minta dijodohin sama Savi."
"Haha, yaa emang Mas itu naksir berat kan, Ma, sama Mbak Savi. Sejak dulu."
Dampak dari menyimpan perasaan yang tidak seharusnya menjadi miliknya memang sangat fatal. Entah kenapa, ribuan tusukan tak kasat mata dan sesak nafas di dadanya semakin menderu hebat. Lara menguatkan langkah, berjalan menuju sofa di mana Bu Halimah dan dr. Alina duduk. Ia meletakan minuman yang tadi dipesan, lalu permisi kembali ke ruangannya.
"Mau kemana, Ra?" tanya Mbak Dewi.
"Pipis bentar, Mbak."
Pada intinya dia berbohong, tidak ada sisa air di kandung kemih yang ingin ia keluarkan. Lara hanya duduk di kloset tertutup untuk sendiri, menetralkan perasaan kacau yang seharusnya memang tidak ia miliki. Dr. Aksa sangat pantas sudah memiliki pujaan hati, sedang dirinya hanyalah pemuas yang bisa mendapatkan uang dari transaksi yang mereka berdua lakukan.
Tidak boleh ada perasaan yang salah, bukankah keduanya berkewajiban profesional dalam bekerja?
Lara mencoba menikmati rasa sesak yang hebat di dadanya. Bahkan satu tangannya bergerak memukul pelan dadanya untuk mengusir ngilu.
Kenapaa sih guee!
Lara merutuki kebodohannya sendiri. Bukankah pengingat terbaik adalah rasa sakit? Seharusnya tidak ada rasa ini, seharusnya Lara tahu diri.
Lara suka menari, menggerakan tubuh senada dengan irama musik jawa yang indah. Bermain dengan selendang panjang berwarna merah, menggerakan kepala dan tangan dengan senyum di bibir merah merona. Sejak kecil, Lara menyukai tari. Ketika tangan dan kakinya bergerak lembut seiring dengan suara gamelan jawa yang ditabuh ayahnya.Lara suka menari, tapi tidak suka ketika orang lain melihatnya menari. Dia suka menikmati alunan lagu dan tarinya seorang diri, atau hanya sekedar disaksikan keluarga dekat seperti ayah dan ibunya.Selain bekerja, Lara juga menjadi seorang pengajar tari suka-rela di salah satu sanggar dekat kos-kosan. Aktivitas yang sering ia habiskan di hari Minggu. Dia tidak suka pergi ke mall seperti teman-temannya, nongkrong atau belanja kebutuhan dasar wanita. Lara lebih suka menghabiskan hari Minggu-nya bersama adik-adik perempuan dan teman yang memiliki hobi yang sama. Seperti hari ini, sejak pukul dua belas siang, Lara sudah ada di sanggar."Kak Lara, coba ajarkan lagi gera
Adalah kesalahan, ketika kita menyimpan perasaan yang memang tidak seharusnya ada. Mengabaikan rasa, berharap hilang dengan sendirinya. Bukankah hal termudah untuk mematikan rasa adalah dengan tidak memupuknya? Lara melakukan itu. Membiasakan diri dengan rasa sakit hanya agar rasanya mati.Tapi terkadang, hati manusia berjalan tanpa kendali pemiliknya. Meskipun rasa sakit itu sudah terbiasa, Lara tetap merasakan getar hangat ketika tangan Aksa menyentuh kulitnya. Warna merah di tubuhnya masih tersisa, dan malam ini, laki-laki itu kembali memberi bekas yang sama.Satu tamparan keras Lara dapatkan di tubuhnya bagian belakang, tubuh bagian atasnya telungkup di atas ranjang, sedang kakinya menjuntai ke lantai marmer hotel yang dingin. Lara mengeratkan genggaman tangannya di selimut, saat dorongan dari belakang seakan ingin menghancurkan tubuhnya, mendesak masuk menuntut lebih.Udara dingin malam, tak mengurangi hawa panas di sekitarnya. Lara nyaris sesak, dalam geraman kuat yang coba dita
Malam mulai sepi, suara motor lalu lalang mulai berkurang. Jarum jam dinding di kamar Lara menunjuk ke arah sepuluh, artinya, sudah hampir tiga jam Lara duduk di depan layar. Ada beberapa berkas yang perlu ia siapkan untuk rapat besok pagi, bukan karena tidak cinta tubuh sendiri, tapi memang karena tuntutan demi gajian setiap akhir bulan.Beberapa kali, notifikasi ponselnya berbunyi. Dari grup kantor, yang hanya berisi tiga seketaris direksi. Mereka menamai grup dengan 'trio kece', alasannya ... karena mereka bertiga merasa 'kece badai'. Lara cukup terhibur, setidaknya, bukan hanya dia yang lembur.Kak Dewi :Ada gosip, yang digosok semakin siip.Kak Siska :Waah, mantap nih. Informasi terpercaya, diukir dengan kredibilitas tinggi.Kak Dewi :Jelas, dooong.Kak Siska :Apaan tuh?Meskipun ketiganya lembur untuk hal berbeda. Kedua seniornya justru terlihat asik menggosip. Ketika bosan atau jenuh, Lara ikut membaca pesan mereka. Dia juga sedang berkirim pesan dengan Koko, laki-laki itu
"Akhirnya bertemu juga sama pangeran Al Fayaadh. Mau ketemu kamu, susahnya melebihi ketemu konsultan riset bergelar profesor lho, Sa." "Ngaco, kamu aja pulang ke Indo nggak kabar-kabar. Mungkin lupa, jadi ya ... gimana." "Nggak mungkin lupa sama sahabatku tertampan sejagad raya ini." "Haha, sini kasih aku pelukan." Sialnya, Lara mendengar guyonan keduanya yang hangat. Kenapa salah satu jobdesk seketaris itu harus menyiapkan dan membereskan sisa rapat? Mematikan proyektor, memanggil cleaning service, termasuk sekarang Lara sedang disibukan membersihkan white board. Dia terpaksa masih di sini, menjadi orang ketiga sekaligus kacang diantara pertemuan manis dua manusia yang sudah lama tidak bersua. "Aku kangen banget sama kamu, Sa." Suara lembut manja yang terdengar manis, disambut kekehan renyah dari laki-laki yang terbiasa bersikap sadis. "Kangenku sama banyaknya, kalau ditumpuk mungkin tingginya sudah melebihi gunung everest." Aksa tidak pernah terdengar sereceh ini di hadapan s
Manusia dianugerahi dengan rasa malu, namun terkadang, rasa itu bisa kita singkirkan. Dalam teori hirarki kehidupan manusia, puncak tertinggi kebutuhan yang utama adalah kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, kesehatan, dan makan.Lara pernah berada di posisi yang harus dihadapkan dengan memangkas rasa malu, ketika ibu membutuhkan radioterapi mahal dengan segera, tindakan yang terpaksa harus dipilih demi bertahan hidup. Harta benda mereka tidak punya, sawah hanya tinggal sepetak yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Gaji yang sebagian Lara kirimkan setiap bulan pun tak cukup.Memberanikan diri, di masa kontrak pertama setelah tiga bulan masa percobaan, Lara mengajukan pinjaman sebesar lima puluh juta ke perusahaan. Tentu saja, tidak langsung di approve. Pinjaman di atas sepuluh juta harus atas persetujuan atasan sekelas Manajer. Karena Lara berada langsung di bawah direksi, ajuan pinjaman itu harus atas persetujuan direksi, yang waktu itu dengan dr. Aksa."Lima puluh ju
Wajah wanita di hadapannya tak banyak berubah, lebih cantik dari terakhir kali Aksa bertemu. Pipi merah alami, dengan bibir tipis yang dibubuhi lipstik berwarna pucat. Tetapi bukannya aneh, wajah ayu di hadapannya semakin indah dipandang. Malam ini, Aksa membawa Savira makan malam. Di sebuah hotel berbintang pusat kota Jakarta. Sebenarnya, Aksa ingin membawa Savi ke restaurant Jepang, tapi wanita itu menolak dengan alasan bosan. Mereka berakhir di sebuah rooftop hotel yang menampilkan lampu kelap kelip kota Jakarta dari ketinggian. Ditemani angin yang berhembus menerbangkan anakan rambut Savi yang tak masuk ke dalam gelungan kecil di belakang kepalanya. Wanita itu tampil cantik dengan dress off shoulder yang elegan berwarna hitam. "Kamu sama sekali tidak terlihat berubah, Sav," ucap Aksa, sambil menarik kursi dan mempersilahkan Savi duduk. Terakhir kali mereka bertemu, keduanya baru menyelesaikan studi kedokteran umum, setelah proses internship yang cukup memakan waktu dan tenaga.
Fake smile, adalah sejenis topeng yang digunakan manusia untuk menutupi luka. Dia menunjukan senyumnya pada semua orang, tapi menyembunyikan luka hanya untuk dirinya sendiri.Aksa melakukannya, menutupi semua kebusukan papanya, menekan amarah yang ingin dilepaskan. Ia menyimpan semua itu demi menjaga perasaan mamanya, menjaga keluarganya tetap utuh. Meskipun terkadang, masalah yang tertimbun itu bisa jadi bomerang yang mematikan.Senyum terbaik Aksa lepaskan, mencium punggung tangan papa dan mamanya ketika sampai di rumah Om Gibran, —ayah Savira. Mereka diundang di pesta kepulangan Savira ke Indonesia, pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat dan teman-teman Savira. Aksa datang terpisah, karena mereka tinggal di rumah berbeda."Kok lama, Mas?""Macet, Ma. Biasa-lah, Jakarta.""Ya udah, hayuk masuk, sudah ditunggu keluarga Om Gibran."Sebenarnya, pertemuan ini tidak hanya bertujuan untuk menyambut kepulangan Savira, tetapi juga untuk mendekatkan dua keluarga sebelum perjodoha
Kabar pertunangan Aksa dan Savira santer berhembus di seantero rumah sakit, meskipun keluarga Al-Fayaadh tidak mengeluarkan statement apapun, tapi kabar itu sudah menjadi tranding topic di rumah sakit ini. Hampir di setiap penjuru rumah sakit seperti ruang fotokopi, pantry bahkan saat di parkiran, semua karyawan yang mengenalnya menanyakan perihal kedekatan dr. Aksa dan kekasih barunya —dr. Savira, yang mulai minggu ini sudah ikut praktek di rumah sakit Al-Fayaadh sebagai dokter anak. Lara tidak terlalu berfikir rumit mempermasalahkan perasaannya, ketika kabar ibu yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, lalu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kondisi ibunya drop pasca proses radioterapi yang panjang, sel darah putihnya melonjak drastis, hal yang membuat kedua mata ibunya tak lagi terbuka lebih dari dua kali dua puluh empat jam. Ibu Lara sedang tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Daerah. "Mau ambil cuti?" Kak Dewi bertanya, atau lebih tepatnya memberikan penawaran pada Lara keti