Share

BAB 2 - Nama Asing

"Lara! Berkas penilaian MUTU yang kemarin lo taroh mana, sih?!" Kak Siska, seketaris senior yang pagi ini sudah disibukan dengan beberapa laporan permintaan direksi ketika Lara baru saja datang.

Hari ini, dia dijadwalkan masuk tanggung, jam sepuluh pagi, karena nanti ia dipersiapkan untuk menemani direksi yang hendak lembur. Persiapan akreditasi rumah sakit yang cukup menguras tenaga dan pikiran, disamping kehidupannya sendiri yang compang-camping tak karuan.

Lara baru saja meletakan tas-nya di kursi ketika Kak Siska kembali mengeluarkan kalimat perintah. "Lo cari deh, di email rumah sakit, kalau nggak salah kemarin dikirim jam tujuh pagi, cetak ulang ya, terus taruh di meja dr. Aksa."

Direksi rumah sakit Al Fayaadh terdiri dari lima orang, yang semuanya menjabat sebagai direktur. Untuk posisi kunci dipegang dr. Aksa sebagai direktur utama, dan dr. Alina, adik dr. Aksa sebagai direktur keuangan. Dari lima direksi, ada tiga seketaris yang ditempatkan di depan ruangan direksi untuk membantu pekerjaan semua direksi, termasuk salah satunya adalah Lara.

Lara adalah seketaris terbaru, dimana seniornya adalah Siska, dan Dewi yang pagi ini belum terlihat batang hidungnya.

"Dokter Aksa belom sampai, jangan lupa siapin air mineral dulu di mejanya daripada doi nyari nggak ada, bisa bikin badmood seharian."

"Siap, Kak."

Semua seketaris, harus memahami apa saja kebiasaan para direksi. Walaupun sebenarnya tugasnya lebih banyak tentang pengorganisasian kerja, tapi mereka juga harus tahu apa saja yang bisa membuat mood direksi tetap stabil dalam sehari. Jika sampai ada sesuatu yang mencetus mood buruk mereka, sudah dipastikan pekerjaan ketiga seketaris itu akan semakin lebih berat.

Mereka biasa menyebutnya dengan 'S3', Semua Serba Salah.

Lara baru saja meletakan air mineral di meja Aksa ketika laki-laki itu masuk ke dalam ruangan. Melihat sekilas ke arah Lara, lalu dengan cepat mengabaikan wanita itu. Aneh bukan? Semalam mereka berdua berbagai ranjang dan kenikmatan, sedang paginya, mereka berperan seperti dua manusia asing. Itu adalah salah satu peraturan mengikat dari Aksa yang harus dijalankan mereka berdua, yaitu : tidak ada pembahasan terkait hubungan di kantor dan bekerja secara profesional, Aksa adalah atasan dan Lara adalah seketarisnya. Tidak lebih.

"Mau kopi, dok?" Sebagai seketaris yang baik, Lara menawarkan minuman kesukaan atasannya. Tidak hanya dia, semua seketaris pasti melakukan hal yang sama.

Aksa hanya memberikan lambaian tangan sebagai jawaban, dan gerakan mengusir halus yang bisa Lara tangkap. Seperti yang diinstruksikan, Lara keluar dari ruangan Aksa. Berjalan menuju meja-nya sendiri. Pekerjaannya sudah menumpuk banyak, dia tidak ingin kembali mendapatkan murka jika pekerjaannya tidak selesai di waktu yang tepat.

"Mood Baby Bear sepertinya lagi jelek, gue sapa nggak jawab tau," celetuk Kak Siska tiba-tiba. Wanita itu memulai pembicaraan, sedang tangannya masih disibukkan membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja. Kita bertiga biasa menyebut dr. Aksa dengan sebutan baby bear, kata Kak Dewi karena tubuhnya yang besar seperti beruang. Sejujurnya, Lara tidak setuju jika postur laki-laki itu disamakan dengan beruang, dr. Aksa tidak gendut, tubuhnya atletis dan ... sudahlah, seharusnya pembahasan itu tidak boleh dibahas ketika baru mulai bekerja.

"Kak Dewi mana, Kak? Masuk pagi juga kan dia?"

"Sama dr. Alina, lagi muter kaya-nya."

"Oh."

Lara memulai pekerjaan, menyiapkan berkas dan data yang akan digunakan untuk rapat nanti jam satu siang. Duduk di depan layar dengan kacamata anti radiasi yang selalu tersedia di kantor. Tangannya bergerak lihai di atas keyboard, bermain dengan angka dan huruf. Menit kesekian, telepon di mejanya berdering. Tangannya bergerak mengangkat horne lalu mendekatkan ke telinga.

"Ha—."

"Siska suruh ke ruangan saya."

"Ba—."

Telepon diputus sepihak meskipun belum ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. "Kak, diminta ke ruangan dr. Aksa."

"Yassh, kenapa lagi itu si Baby Bear. Gue lagi ngehindar malah dipanggil." Ada kekhawatiran yang nampak di wajah Kak Siska, mengingat fakta yang disampaikan wanita itu tadi sebelumnya, mood dr. Aksa sedang tidak baik-baik saja. Sebenarnya bukan cuma hari ini, tapi sudah lebih dari seminggu ini, dr. Aksa dicap lebih 'susah' dari biasanya.

Kak Siska membawa kedua tangannya menengadah di depan dada sambil memejamkan kedua mata.

"Ngapain, Kak?" Lara menelisik dalam.

Siska mengusap kedua telapak tangan di wajah sebelum menjawab pertanyaan Lara. "Berdoa, semoga diberi keselamatan."

"Haha, ngawur."

Kak Siska terlihat berjalan ke ruangan dr. Aksa, membawa setumpuk berkas yang mungkin saja dibutuhkan laki-laki itu. Tak lama berselang, seketaris satu-nya datang. Kak Dewi berjalan di belakang dr. Alina yang disibukan dengan telepon genggam di telinga.

"Masuk temenin dr. Alina dulu, Ra. Gue mau siapin notulen inspeksi pagi ini," titah Kak Dewi.

"Baik, Kak."

Kak Dewi adalah seketaris ter-lama, sudah berkeluarga dan memiliki dua anak. Lara direkrut saat Kak Dewi cuti hamil dua tahun yang lalu. Karena memiliki kinerja yang bagus, dan rumah sakit pun berkembang semakin besar, Lara tetap dipertahankan.

"Dokter mau teh?" tawar Lara saat masuk ke dalam ruangan dr. Alina. Terlihat wanita itu sudah tak lagi menerima panggilan, tapi masih disibukan dengan ponsel.

"Boleh, Ra. Dua ya, sebentar lagi Mama mau ke sini."

"Baik, dok."

Dr. Alina adalah tipe atasan baik, pengertian dan yang jelas ... cantik, tidak perlu diperdebatkan. Garis keturunan timur tengah dengan hidung mancung dan mata berwarna coklat yang indah. Dr. Alina sudah bersuami, tetapi belum memiliki keturunan. Wanita itu sedang disibukan dengan program bayi tabung yang sering menyita perhatiannya akhir-akhir ini.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Nah, si ibu suri sudah datang. Biasa, dipanggil Ibu Halimah. Ibu dari dr. Alina dan dr. Aksa. Bu Halimah tinggal terpisah dari kedua anaknya yang sudah dewasa, hanya hidup berdua bersama dr. Asad Al Fayaadh di rumah besar kediaman keduanya.

Lara bergegas menyelesaikan teh seduhannya, menyiapkan dua cangkir teh hangat dan camilan yang sudah tersedia di meja pantry kecil di sudut ruangan. Dengan sopan, Lara menyajikan minuman di meja tengah diantara  dr. Alina dan Bu Halimah.

"Ra, teh buat ibu manis, nggak?" tanya Bu Halimah, menghentikan langkah Lara yang berniat pergi.

"Manis, Bu."

"Yah, Ibu lupa bilang, saya sedang diet manis, minta tolong diganti teh tawar ya, Ra. Bisa?" Tutur kata lembut yang selalu terdengar adem di telinga Lara.

"Bisa, Bu."

"Terima kasih, Lara."

Keluarga Al Fayaadh adalah keluarga terpandang di dunia kesehatan, dr. Asad sendiri bergelar profesor besar yang banyak berkontribusi di dunia kesehatan, khususnya di bidang kedokteran neurologi. Lara sangat mengagumi bagaimana cara keluarga ini berinteraksi, saling menghormati dan bertutur kata yang baik. Sangat berbeda dengan keluarga yang ia miliki, himpitan ekonomi keluarganya banyak menimbulkan konflik, tidak jarang, ia mendengar pertengkaran di rumahnya sendiri.

Tapi bukankah, tempat terbaik adalah rumah? Lara tak ingin terlalu banyak membandingkan, dia bersyukur keluarganya masih utuh meskipun cobaan berat sedang menghantam dengan penyakit yang diderita ibunya saat ini.

"Mama sedang pusing."

"Pusing kenapa?"

"Sama Mas-mu itu."

Pembicaraan Bu Halimah dan dr. Alina terdengar di telinga Lara. Tangan Lara bergerak cepat menyelesaikan tugasnya, dia tidak terlalu nyaman mendengar pembicaraan orang lain yang seharusnya bukan hak-nya.

"Karena Mbak Savi lagi?"

"Iya."

Deg.

Namun, setelah mendengar nama asing yang dikaitkan dengan laki-laki itu, Lara justru semakin memperlebar pendengarannya. Savi? Siapa? Ia nyaris menahan nafas, antara tak siap tapi juga ingin tahu banyak.

"Kenapa lagi dengan Mas Aksa, Ma?" Suara dr. Alina terdengar menahan tawa.

"Ya itu, Savi mau pulang dari Jepang, Mas-mu mepet banget sama Papa, minta dijodohin sama Savi."

"Haha, yaa emang Mas itu naksir berat kan, Ma, sama Mbak Savi. Sejak dulu."

Dampak dari menyimpan perasaan yang tidak seharusnya menjadi miliknya memang sangat fatal. Entah kenapa, ribuan tusukan tak kasat mata dan sesak nafas di dadanya semakin menderu hebat. Lara menguatkan langkah, berjalan menuju sofa di mana Bu Halimah dan dr. Alina duduk. Ia meletakan minuman yang tadi dipesan, lalu permisi kembali ke ruangannya.

"Mau kemana, Ra?" tanya Mbak Dewi.

"Pipis bentar, Mbak."

Pada intinya dia berbohong, tidak ada sisa air di kandung kemih yang ingin ia keluarkan. Lara hanya duduk di kloset tertutup untuk sendiri, menetralkan perasaan kacau yang seharusnya memang tidak ia miliki. Dr. Aksa sangat pantas sudah memiliki pujaan hati, sedang dirinya hanyalah pemuas yang bisa mendapatkan uang dari transaksi yang mereka berdua lakukan.

Tidak boleh ada perasaan yang salah, bukankah keduanya berkewajiban profesional dalam bekerja?

Lara mencoba menikmati rasa sesak yang hebat di dadanya. Bahkan satu tangannya bergerak memukul pelan dadanya untuk mengusir ngilu.

Kenapaa sih guee!

Lara merutuki kebodohannya sendiri. Bukankah pengingat terbaik adalah rasa sakit? Seharusnya tidak ada rasa ini, seharusnya Lara tahu diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status