Sean berjalan di lorong mansion menuju ruang kerja Ayahnya dengan wajah datar tanpa ekspresi, tetapi siapa pun yang mengenal baik pria itu, mereka dapat melihat kemarahan tersirat di balik manik mata sebiru samudra.
Gesture tubuh yang tampak biasa bagi orang awam, tidak bisa menipu pandangan orang terdekat; Sean berusaha kuat dengan keyakinan diri bahwa dia hendak memberontak dari cangkangnya selama ini.
Manison yang merupakan kediaman Reviano terlihat sepi. Semua orang termasuk pelayan seakan sengaja bersembunyi, karena tahu perubahan atmosfir di sekitar yang menjadi tegang seketika begitu mobil Sean memasuki halaman.
Apabila suasana di Mansion Kediaman Reviano diandaikan seperti benda tajam, maka ketegangan yang terasa dapat memotong nadi semua orang.
Sean mengetuk pintu besar di hadapan sebanyak dua kali. Tata krama yang dia pelajari sejak masih berusia lima tahun. Dengan patuh dia menunggu hingga terdengar suara berat sang Ayah yang menyuruh mas
Daren baru saja keluar dari ruang rapat bersama Executive Luna Star yang lain. Beberapa karyawan yang tadi ikut rapat bersama masih berada dalam ruangan, mereka memberi jalan bagi para Executive untuk keluar lebih dulu.Hadley yang merupakan kepala Divisi Quality Control menghentikan langkah saat dia melihat CEO mereka. Dia tersenyum begitu mendapati kehadiran Sean di sana.“Sepertinya Pak CEO baru saja kembali,” ucap Hadley pada rekan yang lain.Sean Reviano berjalan cepat di lorong menuju ke arah kumpulan para Executive yang berdiri di depan ruang rapat.Melihat sahabatnya sudah kembali, Daren tersenyum hendak menyapa, namun suasana berubah menegangkan begitu Sean berada di hadapan mereka, karena senyuman di wajah Daren lenyap seketika saat dua pukulan keras mendarat di pipi kiri sedang tubuhnya terhempas ke lantai.Terdengar suara keributan hingga menarik perhatian karyawan Luna Star di sekitar.Dario Leaman, merupakan Manager
Sean berlari di sepanjang lorong rumah sakit. Dia mengabaikan hardikan beberapa perawat. Di dalam kepalanya hanya ada Via dan bayi dalam kandungan. Ponsel Sean bergetar, dia melihat pesan yang dikirim Tya, memberi tahukan letak bangsal kamar perawatan.Melihat Sean yang hadir dari ujung lorong, Tya pun berdiri dari bangku dan menunggu hingga Sean tiba di dekatnya.“Apa yang terjadi?” tanya Sean dengan suara bergetar menahan emosional.Tya menatap Sean cemas, sedang tangannya saling meremas menyalurkan kegugupan.“Dia melihat majalah yang memuat wajahmu dengan seorang wanita. Seketika Via menjadi pucat dan aku mengantarnya pulang. Baru sebentar saja aku meninggalkan dia, saat aku mendengar teriakan dan mendapati Via dengan darah di sekitar tubuhnya.” Tya menangis mengingat kejadian itu. “Aku tidak pernah melihat darah sebanyak itu seumur hidup. Kupikir aku akan kehilangan Via saat itu juga.”Tubuh Sean terasa lema
Ruang perawatan Via terasa sempit. Sean berpikir untuk memindahkannya ke ruangan yang lebih besar, tetapi dia menolak untuk keluar dan meninggalkan Via sendirian, sehingga yang dilakukan Sean adalah duduk di sisi wanita itu sejak tadi.Sean mengelus pipi Via yang pucat. Dia juga mencium wajahnya yang terlelap.“Maaf kan aku, Baby,” bisik Sean dengan suara bergetar.Pria tangguh itu menundukan wajah, tanpa peduli air mata yang perlahan turun membasahi pipi hingga ke dagu. Dia menangis tanpa suara. Pada waktu yang terbuang karena kesalah pahaman dan juga keegoisannya sendiri.Andaikan saja sebelum pergi ke Blueberry dia menjelaskan gossip yang beredar, Via mungkin tidak berbaring di sana.“Maaf kan aku,” gumam Sean sembari menangkup kedua tangan Via dalam genggaman, lalu menciumi buku-buku jari yang terkulai tak berdaya.Sean bangkit dari kursi kemudian memeluk Via yang terbaring. Lama dia melilitkan kedua tangan pada t
Nicko Andreson mendekati Sean yang bersandar pada dinding di dekat halaman rumah sakit. Kedua pria itu menatap lampu yang menerangi jalan-jalan di sekitar halaman. Cukup lama keduanya diam dan memerhatikan beberapa orang yang lalu-lalang.Hingga pada akhirnya, Nicko mengeluarkan sebatang rokok dan menawarkan pada Sean yang ditolak mentah-mentah.Nicko mengedikan bahu dan membuang rokok itu ke tanah. Tidak satu pun dari pria-pria itu merokok, Nicko hanya basa-basi. Dia mendapatkan batangan nikotin dari salah satu bawahan yang dia bawa. Tadinya Nicko pikir, benda itu bisa mencairkan suasana.Setelah keheningan panjang, Nicko pun berkata, “Bawalah Via dari sini.” Dia memasukan tangan pada saku karena udara dingin mulai menggigit. “Aku memiliki Villa di sebuah pulau pribadi. Untuk sementara tinggal-lah di sana. Aku sudah menyediakan semua fasilitas yang Via butuhkan, termasuk tim medis yang siap sedia dua puluh empat jam.”Sean melirik
Suara ombak yang bergulung bagaikan musik di telinga, menarik Via semakin dalam ke mimpinya. Bibir ranum Via mengulas senyum, merasakan betapa indah mimpinya saat itu. Bahkan, samar-samar dia melihat Sean yang juga ikut berbaring di atas ranjang tepat di sebelah.Fokus Via semakin tajam. Lama dia memandang wajah pria yang dicinta. Hatinya membuncah bahagia, seolah hendak meledak dari dada. Dalam benak Via berdoa, mimpi itu bertahan lama, karena tabungan kerinduan yang terpendam membuat Via enggan menghadapi dunia nyata.Tangan Via melingkar di pinggang Sean yang tanpa sehelai benang. Pria itu hanya mengenakan celana pendek yang tertutup selimut sampai perut.Mimpi Via mulai terasa sangat nyata ketika dia meraba kulit Sean yang hangat dalam sentuhan. Dan juga, Via dapat mencium wangi familiar tubuh Sean yang maskulin. Dengan sadar Via mengendus dada telanjang Sean, tanpa malu menciumi permukaan kulit pria itu.Siapa yang dapat menyalahkannya dalam mimpi? D
Via menatap Sean yang sejak tadi menyuapinya. Dengan sabar pria itu menyendokan suapan demi suapan. Tidak peduli apakah Via lambat mengunyah, atau enggan menerima makanan yang disodorkan ke depan mulut. Sean tetap tersenyum dan membuat Via secara tidak sadar menghabiskan lebih dari setengah mangkuk sup.“Aku kenyang,” kata Via pada akhirnya, memalingkan wajah begitu Sean menyodorkan sendok di depan bibir.Sean menaruh sendok stainless itu kembali dalam mangkuk porselin dan menaruhnya di meja. Dia memberikan segelas air mineral yang Via terima tanpa protes.Kali ini, pria itu beralih pada buah di meja. Dia mengupas kulit buah apel yang tadi berada dalam nampan. Jemari Sean begitu ahli saat menguliti buah di tangan. Dia membelah buah itu dalam beberapa bagian, lalu menyuapi ke Via lagi.Lama Via menatap buah yang hanya berjarak beberapa inci di depan wajah, bahkan berkali-kali dia mencuri-curi lihat ke arah Sean yang duduk tenang tanpa sekali pu
“Kau ingin keluar?” tanya Sean setelah Dokter Timothy menyatakan bahwa kondisi Via membaik, tapi masih berada dalam pengawasan sehingga tidak boleh melakukan aktivitas yang berat.Cukup lama Via menimbang-nimbang sebelum akhirnya menerima.“Aku ingin mengganti piyama dengan sundress,” kata Via berusaha bangun.Dengan cepat Sean meneggendong Via hingga wanita itu terpekik kaget dan menatap Sean bingung ketika dia meletakan Via kembali ke atas tempat tidur.“Apa yang kau lakukan?”“Tetaplah di ranjang,” ucap Sean menggunakan intonasi tanpa bantahan, sembari berjalan menuju lemari mencari sundress berwarna kuning lemon. “Aku suka saat kau memakai warna ini,” katanya menunjukan sundress tersebut pada Via.Melihat sundress di tangan Sean, Via pun menggeleng tidak percaya. Bisa-bisanya pria itu berubah menjadi over protektif bahkan sampai melarang untuk berjalan ke lemari pakaian!
Sean berjalan melintasi pantai dan berpapasan dengan Gideon Rose.Mata kedua pria itu saling mengunci dan mereka hanya mengangguk bersamaan begitu saling melewati. Tidak ada kata yang terucap, hanya pandangan mengerti posisi maing-masing. Bahkan, Sean tidak menatap wanita dalam gendongan pria itu, karena dia juga tidak suka bila seorang pria asing melihat ke arah Via.Wajah Sean yang tadinya datar berubah menjadi lembut begitu berada dalam jarak pandang Via.“Kau lama menunggu?” tanya Sean membungkukan tubuh dan memberi kecupan di kening.“Tidak, aku baru saja berbicara dengan tetangga kita,” kata Via, menatap pasangan yang sudah menjauh.Pandangan Via kembali pada buku yang berada dalam genggaman Sean. Senyum wanita itu sirna begitu melihat buku yang Sean bawa.Melihat perubahan ekspresi Via yang tiba-tiba, Sean pun menatap buku itu ragu.“Ada apa? Kau tidak suka buku ini? Bukankah saat di rumah sakit ka
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap